Selasa, 03 Juni 2025

TPB : Back to Chaos in a Dream - Chapter 8

 Three Lives Three Worlds, The Pillow Book

Pillow Book of Samsara

Back to Chaos in a Dream : Chapter 8



Tiga tahun yang lalu, ras Iblis terbagi menjadi tujuh klan setelah Dewi Agung Leluhur Iblis, Shao Wan, lenyap. Ketujuh Raja Iblis di bawah takhta suci Shao Wan, masing-masingnya memimpin cabang klan mereka, tinggal di wilayah terpisah mereka di dalam Alam Selatan, dan mengatur klan mereka dengan cara mereka sendiri. Sejak saat itu, ras Iblis memasuki zaman ketujuh Raja Iblis yang hidup bersama selama dua ratus enam puluh ribu tahun.

Tanpa pengendalian Shao Wan, ketujuh Raja Iblis pun tidak menentu dan gelisah. Ketika Fu Ying memulai pemberontakan, sekali lagi melemparkan Langit dan Bumi dalam pergolakan, mereka ingin maju untuk membuat situasi semakin kacau. Namun sayang, ketujuh raja sedang dalam perebutan wilayah dan demarkasi batas pada waktu itu, jadi mereka tidak memiliki kekuatan meskipun memiliki keinginan untuk melakukan demikian. Oleh sebab itu, mereka harus melepaskan niatan itu.

Menjelang bagian akhir pemberontakan, ketujuh Raja Iblis hampir selesai mengurusi masalah internal mereka dan dengan bersemangat bersiap untuk membatalkan <<Ikrar Zhang Wei>> dan memasuki peperangan. Tetapi siapa yang menyangka bahwa Di Jun akan berperang dengan kecepatan kilat; para Dewa sudah mendeklarasikan berakhirnya perang di tepi sungai Jie Shui.

Selain itu, ketika perhitungan diselesaikan setelah perang, Di Jun memberikan mereka pelajaran yang akan meninggalkan kesan yang sangat mendalam: Dewa Agung Fu Ying dan pendukungnya yang bertanggung jawab atas pemberontakan semuanya dibunuh, tidak meninggalkan seorang pun. Di antara ras Hantu dan Monster, klan mana saja yang berpartisipasi atau mendukung pemberontakan, semuanya dibereskan satu per satu. Itu baru tujuh hari, tetapi darah dari para pemberontak dan pembangkang telah mewarnai seluruh tanah Alam Barat dengan warna merah.

Metode kejam dan garis keras ini sangat mengintimidasi ras Iblis. Ketujuh Raja Iblis yang gelisah pun tak punya pilihan selain menarik kembali niat licik mereka, dan mereka tidak berani membuat keputusan gegabah lagi.

Dikatakan bahwa, <<Ikrar Zhang Wei>> yang asli sudah disobek oleh Raja Iblis Abu-Abu yang terburu nafsu. Setelah ia menyaksikan metode berdarah besi Di Jun, Raja Iblis Abu-Abu itu diam-diam dan dengan hati-hati merekatkan kembali <<Ikrar Zhang Wei>>, halaman demi halamannya, dan mengembalikannya dengan hormat ke tempat yang seharusnya sekali lagi ....

Bagaimanapun juga, akhirnya Delapan Dataran kembali ke ketenangan dan kedamaian pada saat Penobatan Dewa Mo Yuan tiga tahun yang lalu; ras Dewa bersatu, dan dunia dalam kesetiaan kepada para Dewa.

Namun, semua orang tidak mengantisipasikan bahwa, selagi ras Iblis dan Monster telah menghentikan intrik mereka, timbul lagi masalah dalam urusan internal ras Dewa.

Pada bulan setelah peperangan di sungai Jie Shui, seorang Xian Jun mengirimkan artikel resmi tentang pemakzulan Raja para Dewa kepada para Tetua.

Artikel pemakzulan mengalir dengan fasihnya. Meskipun menegaskan bahwa Di Jun memiliki jasa besar dalam menekan Fu Ying, itu juga menegurnya atas metodenya yang kelewat kejam.

Dokumen itu menyatakan bahwa, Fu Ying bersalah karena memulai pemberontakan dan pantas dihukum mati; akan tetapi Raja Hantu dan Monster, keduanya telah ditipu oleh Fu Ying. Walaupun mereka telah membantunya dalam pemberontakan, mereka tetap dengan tulus bertobat dan telah menyerahkan dokumen penyerahan mereka. Namun Di Jun tidak menunjukkan belas kasihan sedikit pun, dan tetap membunuh kedua Raja itu, sebuah tindakan yang sangat kejam.

Alam Barat dan Utara dipenuhi dengan jutaan mayat yang bergelimpangan, darah mereka mengalir layaknya sungai, lautan darah di tengah-tengah tumpukan mayat, memperlihatkan kurangnya kebajikan dalam hati Di Jun secara luas.

Apabila ia menjadi Raja para Dewa, bagaimana bisa ia tidak bermurah hati?

Dengan demikian, diharapkan agar Di Jun akan menyerahkan posisi Raja para Dewa atas kemauannya sendiri, mengizinkan ras Dewa untuk memilih raja yang lebih welas asih, sehingga memenangkan orang-orang di seluruh dunia dengan kebajikannya.

Para Tetua menerima arikel pemakzulan itu dan melaksanakan majelis legislatif secara pribadi. Mereka memberikan suara pada perhitungan jajak pendapat tujuh belas banding tiga mendukung afirmatif, dan menyetujui pemakzulan Di Jun.

Para Dewa di bawah mereka tidak tahu apa-apa, tetapi semua Dewa terhormat di posisi yang lebih tinggi dapat melihat kebenaran di balik masalah ini. Itu hanyalah sandiwara yang diarahkan sendiri dan ditampilkan oleh Dewa Agung Hou Zhen dan para Tetua.

Pemberontakan Fu Ying dan krisis yang ditimbulkannya sekarang telah diberantas, jadi para Tetua tak lagi membutuhkan Di Jun dan ingin sekali mencabut otoritasnya, mengambil kembali kekuasaan mereka.

Dengan kekuasaan dan prestise Di Jun di Delapan Dataran, orang dapat membayangkan bahwa, apabila ia tetap menjadi Raja para Dewa, para tetua pasti akan kehilangan otoritas mereka untuk berbicara mengenai masalah masa depan ras Dewa.

Dikatakan bahwa, Di Jun dimakzulkan karena ia tidak murah hati, dan bahwa merekaa hendak menunjuk seorang raja yang lebih welas asih untuk memenangkan tunduknya dunia dengan kebajikan.

Ini semua hanyalah alasan belaka.

Semua orang berasumsi bahwa Di Jun akan marah besar; bagaimanapun juga, masalah ini ditangani dengan cara yang sama dengan mengabaikan sang dermawan setelah mendapatkan tujuannya. Para Tetua sangat takut, tetapi mereka masih bertaruh untuk mencobanya.

(T/N : Meninggalkan dermawan setelah mendapatkan tujuannya adalah kiasan dari (Guò Hé Chāi Qiáo). Arti literal dari idiom ini menjadi “membongkar jembatan setelah menyeberangi sungai”.)

Meskipun Di Jun selalu memiliki kekuatan bela diri yang tangguh, ia adalah orang yang sombong dan penyendiri, dan tidak pernah memiliki dorongan untuk bertarung demi penaklukan Langit dan Bumi. Oleh karenanya, ia tidak mengumpulkan kekuatan militer dan hanya memiliki dua puluh lebih jenderal Dewa yang setia dan mengabdi, dan beberapa ratus ribu pasukan di bawah namanya ketika ia membantu Mo Yuan dalam usahanya untuk menyatukan Delapan Dataran.

Di Jun hidup dalam pengasingan setelah itu, jenderal Dewanya dibubarkan, dan mereka kembali ke rumah asal mereka. Tak ada seorang pun yang pernah mendengar adanya pasukan pribadi tambahan yang tinggal di Laut Giok Surgawi.

Kali ini, Di Jun meninggalkan pengasingan demi menolong para Tetua mengalahkan Fu Ying, dan tentara yang dipimpinnya adalah pasukan dari ras Dewa. Pasukan ras Dewa merupakan gabungan kekuatan Mo Yuan, Hou Zhen, dan para Tetua. Di Jun menggunakan formasi Qian Yuan Besar dan melatih pasukan ras Dewa selama prosesnya, sehingga mereka menjadi kekuatan besi yang tak tertandingi di seluruh dunia. Namun, pasukan besi ini bukan milik Di Jun, tetapi milik para Tetua ras Dewa.

Para Tetua sangat teliti dalam perhitungan mereka, jadi mereka tidak terlalu takut kalau Di Jun akan mengikuti jejak Fu Ying dan berhadapan dengan mereka di medan perang untuk memperebutkan posisi Raja para Dewa. Tetapi, mereka takut kalau Di Jun akan mengamuk di Aula Istana Ling Xiao dan membantai mereka bersama seluruh klan mereka ....

Oleh karena itu, setelah pemungutan suara pemakzulan mereka, ketujuh belas Tetua itu dilaporkan jatuh sakit satu per satu, diam-diam bersembunyi di kediaman resmi mereka. Mereka bahkan membuat benteng yang cukup untuk rumah mereka, takut jika Di Jun akan muncul di depan pintu mereka untuk membuat perhitungan dengan mereka.

Para Tetua tidak menghadiri mahkamah di Aula Istana Ling Xiao selama beberapa hari berturut-turut, dan tanpa diduga, begitu pula dengan Di Jun. Lima hari berlalu setelah semua orang merasa bahwa ada sesuatu yang tidak beres, dan mulai mencarinya kemana-mana, hanya untuk mendapati bahwa seluruh Langit Ketiga belas Jiu Chong Tian ditutup.

Pada Akhirnya, penjaga Pohon Pārijāta, Ling Shu Xian Jun, yang datang ke Istana Ling Xiao membawakan pesan dari Di Jun.

Ling Shu Xian Jun memasang senyum ambigu, “Di Jun mengatakan, semuanya teruskan saja bersaing demi kekuasaan, dan jangan repot-repot dengan proses pemakzulan apa pun. Membuat semuanya begitu segar dan nyaman pastinya sulit bagi kalian semua. Ia tidak punya kesabaran untuk berurusan dengan semuanya, dan telah kembali ke Laut Giok Surgawi. Oh iya, ia juga mengatakan, jika langit runtuh dan bumi terbelah di masa depan, tolong jangan pernah datang ke Laut Giok Surgawi untuk mengganggunya lagi.”

(T/N : Langit runtuh dan bumi terbelah adalah arti literal dari  天崩地裂” (Tiān Bēng Dì Liè) yang berarti diguncang bencana besar atau dunia runtuh.)

Kelompok Tetua itu merasa malu, dan ketika perasaan itu berlalu, mereka pun jadi marah; beberapa Tetua senior begitu marah hingga mereka nyaris pingsan. Tetapi mereka tak berdaya dalam situasi ini. Pertama-tama, mereka terlalu takut untuk mengarahkan kemarahan mereka pada Di Jun, dan yang kedua, mereka tidak berani melampiaskan kemarahan mereka pada Ling Shu Xian Jun, yang secara pribadi mereka pilih sendiri, dan hanya bisa melepaskannya.

***

Sementara para dewa dan makhluk abadi di Jiu Chong Tian menjungkirbalikkan Langit dan Bumi dalam pencarian mereka akan Di Jun, seorang Dewa Agung yang berpengetahuan luas terus berjaga di luar pintu masuk Laut Giok Surgawi.

Seperti yang diharapkan, ia berhasil menunggu Di Jun.

Dewa Agung Zhe Yan maju ke depan untuk menghentikannya, dan langsung ke intinya terhadap Di Jun, “Kau mengaku kalah begitu saja?”

“Kalah?”

Di Jun menjawabnya selagi ia membuka pintu, “Kau pasti bercanda, kata ini tidak ada dalam kamusku.”

Dewa Agung Zhe Yan mengira bahwa Di Jun hanya enggan untuk mengakui kekalahan, dan mengikutinya sendiri, “Sekelompok orang tua itu dibutakan oleh keserakahan. Kapan mereka benar-benar memedulikan tentang ras Dewa dan Delapan Dataran? Mereka hanya merasa bahwa, jika kau tetap sebagai Raja para Dewa, itu hanya akan membuat mereka tidak nyaman dalam upaya mereka mengkonsolidasikan kekuasaan, itu saja.”

Berbicara penuh kebencian, “Orang-orang tua licik itu membujukmu menggunakan formasi Qian Yuan, melatih tentara mereka menjadi pasukan tak tertandingi untuk mereka selama prosesnya. Pada akhirnya, mereka menggunakan pasukan mereka sebagai kartu melawanmu. Tetapi, mereka juga sangat tidak sabaran, baru juga sebulan, dan mereka sudah merebut kekuasaanmu. Tidakkah itu terlalu menjijikkan?”

En,” Di Jun membuka pintu dan langsung berjalan masuk, “Mereka pastinya tidak berani bertindak terlalu terburu-buru, jadi aku membantu mereka.”

Seolah ia hanya bertanya sambil lalu, “Kau juga sudah membaca artikel resmi pemakzulan yang ditulis oleh Duo Yi Xian Jun terhadapku, kan? Itu ditulis dengan lumayan bagus, kan?”

Dewa Agung Zhe Yan mengerutkan alisnya erat, “Di saat begini, kau masih bisa mengatakan ....”

Ia tiba-tiba bereaksi mendengar apa yang dimaksudkan Di Jun dan tidak dapat memercayainya, “Tidak mungkin ....”

Di Jun acuh tak acuh, “Aku menawarkan beberapa ide pada Duo Yi.”

Dewa Agung Zhe Yan dalam keadaan linglung yang syok, “... jadi kaulah yang menuliskannya!”

Di Jun tidak mau menerima pujian atas pencapaian orang lain, “Pilihan katanya tetap diputuskan oleh Duo Yi.”

Dewa Agung Zhe Yan merasa kehabisan napas, “Kenapa kau ....”

Di Jun kalem, “Tidakkah menurutmu situasi saat ini sangat baik? Siapa yang berdiri di pihak siapa, sekarang jelas dengan sekali lihat.”

Keadaan pikiran Dewa Agung Zhe Yan berputar-putar seperti aliran listrik, dan ia memahami semuanya dalam sekejap. Setelah semuanya jadi jelas baginya, Dewa Agung Zhe Yan merasa bahwa berhari-hari yang dihabiskannya untuk mencemaskan tentang masalah ini, sudah sia-sia.

Pada saat ini, mereka berdua berdiri di tepi danau Laut Giok Surgawi.

Di Jun memanggil sebuah perahu awan, dan melihat ke arah Dewa Agung Zhe Yan, “Sudah gelap, kau yakin ingin menjadi tamu di istana batu?”

Kemudian, ia menjawab menggantikan Dewa Agung Zhe Yan, “Tidak, mungkin tidak. Fei Wei harus mengurusi keluarga tiga orang kami, jadi ia tidak punya waktu untuk melayanimu.”

“....”

Dewa Agung Zhe Yan tidak tahu apa yang mesti dikatakannya untuk sesaat. Ia hanya mempertanyakan dirinya sendiri, kenapa ia mengikuti Di Jun ketika seharusnya ia yang paling mengetahuinya.

Selagi ia menyaksikan Di Jun menaiki perahu awan sendirian tanpa adanya rasa bersalah, ia memikirkannya, dan akhirnya jadi begitu marah hingga ia bergegas ke tampak belakang Di Jun, berteriak, “Keluarga tiga orang. Apakah keluarga tiga orang sebegitu hebatnya, huh?”

Setelah ia selesai berteriak, ia menenangkan diri dan berpikir, dan merasa itu memang prestasi yang luar biasa. Ia menghela napas, merasa agak kasihan pada dirinya sendiri selagi ia berbalik untuk pulang ke rumah sendirian.

***

Sehari sebelum Di Jun sampai di rumah, Feng Jiu mendengar dari Fei Wei mengenai peristiwa besar di Jiu Chong Tian yang dapat mengubah segalanya seperti fluktuasi matahari dan bulan. Tetapi buku sejarah jelas-jelas menyatakan bahwa Di Jun ditunjuk untuk bertindak sebagai Raja para Dewa sementara saat menghadapi bahaya, dan setelah Peperangan Jie Shui, secara sukarela menyerahkan posisinya karena ia tidak berniat memerintah Delapan Dataran dan kembali ke Laut Giok Surgawi.

Perbedaan antara menyerahkan secara sukarela dan pergi, dan disuruh pergi setelah dimakzulkan oleh para Tetua, terlalu besar. Dua ratus enam puluh ribu tahun mendatang, siapa di Empat Lautan dan Delapan Dataran yang berani membuat Di Jun mengalami penghinaan semacam ini?

Feng Jiu begitu marah hingga ia menangis di tempat. Ia duduk diam selama setengah malaman, merasa marah sambil memikirkan bahwa Di Jun pasti akan merasa sangat tidak senang juga. Akibatnya, ia pergi ke ruang makan sebelum fajar dan tetap di sana sepanjang hari, berniat mempersiapkan semeja penuh makanan lezat untuk menyambut kepulangan Di Jun, sembari menghiburnya di waktu yang sama.

Feng Jiu baru saja mulai merebus dua kali hidangan terakhir, Budha Melompati Dinding, ketika seorang anak abadi kecil datang ke ruang makan untuk melaporkan bahwa Di Jun sudah kembali, dan saat ini sedang menunggunya di kamar tidur.

Segera setelah ia mendengar apa yang dikatakan, Feng Jiu langsung memadamkan apinya dan cepat-cepat berlari menuju kamar tidur. Sewaktu ia dalam perjalanannya ke sana, ia teringat bahwa ia sudah tinggal di ruang makan sepanjang hari, jadi tubuhnya terendam dalam bau asap dari api dapur. Karenanya, ia buru-buru ke kamar tidur samping terdekat untuk mandi dengan cepat.

Di Jun juga baru saja selesai mandi dan duduk di bangku batu giok, membiarkan Fei Wei membersihkan dan mengoleskan lagi obat di luka cambukannya. Itu adalah luka yang disebabkan oleh cambuk Cang Lei di tangan Dewa Agung Fu Ying selama pertarungan pamungkasnya dengannya.

Cambuk Cang Lei merupakan salah satu dari senjata ilahi teratas yang terdaftar di Bagan Senjata Delapan Dataran. Bahkan dengan kemampuan bawaan Di Jun untuk regenerasi lebih cepat daripada orang biasa, luka yang dideritanya akibat itu, tetaplah memerlukan beberapa bulan untuk sembuh.

Tepat saat Fei Wei mengambil lagi obat untuk lukanya, Di Jun mendengar suara langkah kaki yang terburu-buru. Langkah kaki itu terdengar tergesa dan kacau seolah-olah mengandung banyak kekhawatiran mendesak yang tak ada habisnya.

Ia mengeratkan jubahnya selagi ia berbalik untuk berdiri. Sesuai dugaan, ia melihat seorang gadis muda berbaju merah berdiri di pintu masuk kamar tidur, sedang memandanginya.

“Kemarilah.”

Ia mengangkat tangannya ke arah Feng Jiu.

Feng Jiu sudah melihat luka yang kini telah ditutupi oleh jubah dalaman seputih salju.

Mendekatinya selangkah demi selangkah, pinggiran matanya pun memerah selagi ia bertanya pelan, “Bagaimana kau bisa terluka?”

Gadis muda itu menundukkan pandangannya, berusaha keras untuk menahan air matanya, tetapi tidak bisa menahan mata dan alisnya yang memerah. Hatinya merasa sakit untuk Di Jun, dan sakit sekali sampai-sampai ia harus menangis. Feng Jiu benar-benar memahami Di Jun dengan baik.

Di Jun mengelus kepalanya, menenangkannya, “Jangan cemas, ini bukan luka yang serius.”

Feng Jiu terus melihat ke bawah, menggigit bibirnya, “Berbaliklah, biarkan aku melihatnya.”

Fei Wei melirik dengan bijak ke arah mereka sebelum menurunkan salep obatnya dan mundur, sampai-sampai membantu mereka berdua menutup pintu kamar saat ia keluar. Selagi ia melakukannya, secara tak sengaja, ia melihat ke dalam kamar tidur dan melihat bahwa sekali lagi, Di Jun sudah kembali duduk di bangku giok tersebut.

Punggung pemuda itu menghadap ke pintu kamar, darah dari lukanya yang belum sembuh pun terbuka, sedikit merembes ke jubah dalaman seputih saljunya. Gadis muda itu berdiri di samping, ekspresinya tak terbaca. Tangan halusnya berada di punggung bahunya, bermaksud melepaskan jubahnya. Fei Wei tidak berani melihat lebih jauh dan buru-buru pergi dengan langkah yang ringan.

Jubah bagian atasnya pun terlepas dari tubuhnya, menumpuk di pinggangnya, memperlihatkan punggung telanjang kuat dan indah milik pemuda itu, dalam untaian lembut cahaya mutiara cerah. Di sepanjang punggungnya, luka cambukan ganas itu menjalar dari bahu kirinya tepat di seluruh punggungnya hingga ke sisi kanan pinggangnya juga jadi terlihat. Dikarenakan penyembuhan luka yang lambat, daging segarnya masih bisa terlihat setelah sisa-sisa lukanya.

Di Jun tidak merasa bahwa ini luka yang serius, selain itu, sudah setengah sembuh. Awalnya, ia merasa bahwa, karena Feng Jiu begitu bersikeras, membiarkannya melihat tidak akan jadi masalah besar. Tetapi, segera setelah ia melepaskan jubah, ia mendengar tarikan napas tajam datang dari belakangnya. Saat itulah ia mengetahui bahwa Feng Jiu ketakutan melihat lukanya, dan secara naluriah mengenakan kembali jubahnya.

Ia pun berbicara menghibur sekali lagi, “Jangan takut. Ini sudah hampir sepenuhnya pulih, dan tidak sakit sama sekali.”

Tetapi Feng Jiu menghentikan tangannya yang mengenakan kembali pakaiannya, suara lembutnya mengandung sejejak keparauan karena menahan keinginan untuk menangis, “Obatnya masih belum dioleskan.”

Di Jun berhenti, “Bukankah kau ketakutan melihatnya?”

“Tidak.”

Feng Jiu berujar lesu.

Feng Jiu mengangkat mangkuk obat yang ditinggalkan Fei Wei ke tangannya dan mulai mengoleskan obat itu ke lukanya. Di dalam mangkuk itu ada sendok giok dan batangan aplikator yang semula digunakan untuk mengoleskan salep obatnya, tetapi ia khawatir kalau peralatan giok itu terlalu keras, menyebabkan rasa sakit pada lukanya.

Setelah mempertimbangkannya sejenak, Feng Jiu mengabaikan peralatan giok itu dan mencelupkan jarinya ke dalam salep, kemudian dengan ringan dan lembut mengoleskan salep itu ke luka Di Jun.

Tubuh Di Jun menegang, dan Feng Jiu khawatir apabila jarinya melukainya. Gerakannya bahkan menjadi semakin lembut dan pelan daripada sebelumnya. Karena ia sangat lambat dan pelan, butuh waktu yang lama sekali sebelum ia selesai mengoleskan salep obatnya ke sepanjang luka itu.

Luka itu ditutupi dengan salep putih, tampak seperti pita sutra lembap yang meluncur menuruni punggung kuatnya. Meskipun sudah tak lagi tidak sedap dipandang, itu pasti masih sangat menyakitkan.

Feng Jiu berpikir, kalau tidak, kenapa keringat masih keluar dari punggungnya ketika ia jelas-jelas menggunakan pergerakan seringan dan selambat itu sewaktu mengoleskan obatnya? Itu pasti muncul karena rasa sakitnya.

Dengan ini dalam pikirannya, Feng Jiu pun meletakkan satu tangannya ke pundak Di Jun, dan bertanya padanya dengan suara penuh kasih sayang yang lembut, “Apakah masih sakit?”

Tanpa menunggu Di Jun menjawabnya, Feng Jiu pun berkata lagi, “Aku akan meniupnya.”

Saat ia mengatakan itu, ia pun sedikit membungkuk, menempatkan tangan lainnya ke kulit telanjangnya di dekat luka itu. Menggerakkan bibirnya lebih dekat, ia meniup ringan ke luka yang ditutupi obat itu.

Feng Jiu merasakan tubuh Di Jun yang duduk tegak itu sedikit menggigil.

“Apakah masih sakit?”

Hatinya merasa sakit untuk Di Jun, tetapi ia tidak bisa terpikirkan cara lain untuk membantunya meredakan rasa sakitnya.

Tangan kanannya yang terletak di punggungnya tanpa sadar mengelusnya ke bawah, bibirnya beralih menuju luka yang agak di bawah, “Kalau begitu, aku akan meniupnya lagi.”

Tepat saat napas hangatnya menyentuh luka di punggung Di Jun sekali lagi, tangannya yang diletakkan di sisi kiri Di Jun mendadak dipegang. Sebelum ia dapat bereaksi, tangannya sudah ditarik secara agresif. Saat berikutnya, ia sudah setengah berbaring di pangkuan Di Jun, dan dengan kuat dibawa ke pelukannya.

Gadis muda itu mendongakkan kepalanya, dengan kosong menatap ke dalam mata tertunduk si pemuda yang menatapnya dalam-dalam. Ketika Di Jun memaksanya menghadapnya secara langsung dengan telapak tangan kanannya yang memegangi bagian belakang kepalanya, akhirnya Feng Jiu bereaksi, saat tubuhnya menegang dan menggigil tadi, itu benar-benar bukan karena rasa sakit.

Wajah Feng Jiu yang mirip daun maple segar pun langsung menyala merah terang seketika, “Aku ... aku tidak ....”

Ia hendak menjelaskan bahwa ia benar-benar dengan hati-hati mengoleskan obat ke lukanya dan tidak bermaksud untuk menggodanya. Tetapi, sebelum ia dapat mengeluarkan kata-katanya dengan lengkap, Di Jun sudah menundukkan kepalanya dan menciumnya.

Itu adalah ciuman yang sangat dalam.

Dan mereka berciuman untuk waktu yang sangat lama.

Di Jun memejamkan kepalanya setelah ia melepaskan Feng Jiu, keningnya menempeli kening Feng Jiu. Sekujur tubuh Feng Jiu seperti terbakar dan pikirannya linglung akibat efek ciuman Di Jun, tetapi ia masih ingat untuk membela diri.

Dengan bisikan pelan, Feng Jiu berkata, “Aku bukannya mau ....”

Di Jun tersenyum secara tidak mencolok selagi matanya tetap terpejam, “En, bukan kau yang menginginkannya, akulah yang menginginkannya.”

Jawabannya membuat Feng Jiu merasa malu. Ia menggigit bibir bawahnya ringan, kemudian ia mengangkat lengannya, meletakkannya di pundaknya dan melingkarkan tangannya di lehernya. Tetapi, ketika pandangannya tertuju pada pundak bak ukiran giok itu, Feng Jiu mendadak teringat akan lukanya.

Ia terkejut sejenak sebelum merespon fakta bahwa ia tidak boleh membiarkan orang yang cedera untuk melakukan sesuatu yang berat, dan langsung berusaha untuk turun dari tubuhnya. Merasakan pergerakan Feng Jiu, Di Jun membuka matanya, dan menatapnya seketika sebelum tiba-tiba saja berdiri sambil menggendongnya ala putri. Feng Jiu melonjak kaget dan secara naluriah memeluk lehernya.

Itu hanya beberapa langkah.

Beberapa langkah menuju ranjang giok.

Saat itu sudah malam di Laut Giok Surgawi, dan semuanya sunyi. Meskipun kamar tidur itu diterangi oleh mutiara cerah, kecemerlangan mereka yang luar biasa diredam oleh kulit kerang mereka yang setengah tertutup, hanya menyisakan cahaya redup yang lembut. Cahaya redup menyelubungi kamar tidur itu dalam selapis warna kehitaman kabur.

Gadis muda itu ditempatkan di antara tumpukan selimut awan yang lembut. Di saat berikutnya, pemuda itu membungkuk dan menekankan tubuhnya ke tubuh Feng Jiu.

Wajah Feng Jiu menyala semerah darah sewaktu ia lansung menebak apa yang mungkin akan terjadi selanjutnya, “Lukamu ....”

Kening pemuda itu menempeli keningnya.

Merasa geli dengan betapa menggemaskannya Feng Jiu, untuk masih memedulikan tentang lukanya di saat begini, ia pun tersenyum, “Bukan apa-apa.”

Setelah itu, ia mengelus bibir Feng Jiu, dan menciumnya sekali lagi di tengah-tengah cahaya samar di dalam tirai kamar tidur.

***

Bai Gun Gun dengan senang hati bergegas untuk melihat Ayahnya setelah ia mendengar kepulangan Di Jun, tetapi dihentikan Fei Wei di luar kamar tidur.

Sejujurnya, Fei Wei tidak tahu bagaimana ia harus menjelaskan pada Xiao Gun Gun mengapa ia tidak boleh masuk ke kamar tidur di saat ini, dan bukan hanya saat ini, tetapi mungkin sepanjang malam.

Tepat selagi ia memutar otaknya, ia melihat Gun Gun dengan ekspresi merenung, “Ayah sedang memberikan Feng Jiu perlajaran remidial lagi, kan?”

Fei Wei menatap kosong sesaat, “Pelajaran ... pelajaran remidial?”

Gun Gun mengangguk, “Hal semacam ini adalah kejadian yang sangat umum. Ada banyak waktu ketika aku datang mencari Jiu Jiu di malam hari, Kakak Zhong Lin akan mengatakan bahwa Ayah sedang memberikan pelajaran remidial pada Jiu Jiu untuk membantunya mengejar tugas sekolah, sehingga aku tidak boleh mengganggu.”

Ia menghela napas pasrah, “Guru Jiu Jiu sangat ketat. Jika ia tidak bisa mengejar tugas sekolahnya, ia pasti akan dihukum berat oleh Gurunya. Ayah membantunya dengan pelajaran remidial sangatlah penting, aku memahami itu.”

Fei Wei tidak tahu bagaimana ia harus membalas perkataannya, jadi ia hanya bisa menganggukkan kepalanya secara mekanis, “En, iya, pelajaran remidial sangat penting. Baguslah jika Anda mengerti, Tuan Muda.”

Bai Gun Gun ber-en, “Kalau begitu, aku tidak akan mengganggu Ayah dan Jiu Jiu bekerja keras.”

Ia pun pergi dengan bijaksana selagi ia berbicara.

Keadaan pikiran Fei Wei jadi rumit selagi ia memerhatikan sosok mungil Gun Gun menghilang di koridor batu. Untuk sesaat, ia merasakan sedikit kesakitan dalam hati nuraninya ....

Di cakrawala,

bulan dinginnya purnama.

Malam ini, bulan purnama memberkati reuni pasangan kekasih,

esok hari akan menjadi hari yang baik.

0 comments:

Posting Komentar