Three Lives Three Worlds, The Pillow Book
Pillow Book of Samsara
Back to Chaos in a Dream : Chapter 8
Tiga tahun yang lalu, ras Iblis
terbagi menjadi tujuh klan setelah Dewi Agung Leluhur Iblis, Shao Wan, lenyap.
Ketujuh Raja Iblis di bawah takhta suci Shao Wan, masing-masingnya memimpin
cabang klan mereka, tinggal di wilayah terpisah mereka di dalam Alam Selatan,
dan mengatur klan mereka dengan cara mereka sendiri. Sejak saat itu, ras Iblis
memasuki zaman ketujuh Raja Iblis yang hidup bersama selama dua ratus enam
puluh ribu tahun.
Tanpa pengendalian Shao Wan,
ketujuh Raja Iblis pun tidak menentu dan gelisah. Ketika Fu Ying memulai
pemberontakan, sekali lagi melemparkan Langit dan Bumi dalam pergolakan, mereka
ingin maju untuk membuat situasi semakin kacau. Namun sayang, ketujuh raja
sedang dalam perebutan wilayah dan demarkasi batas pada waktu itu, jadi mereka
tidak memiliki kekuatan meskipun memiliki keinginan untuk melakukan demikian.
Oleh sebab itu, mereka harus melepaskan niatan itu.
Menjelang bagian akhir
pemberontakan, ketujuh Raja Iblis hampir selesai mengurusi masalah internal
mereka dan dengan bersemangat bersiap untuk membatalkan <<Ikrar Zhang
Wei>> dan memasuki peperangan. Tetapi siapa yang menyangka bahwa Di Jun
akan berperang dengan kecepatan kilat; para Dewa sudah mendeklarasikan
berakhirnya perang di tepi sungai Jie Shui.
Selain itu, ketika perhitungan
diselesaikan setelah perang, Di Jun memberikan mereka pelajaran yang akan
meninggalkan kesan yang sangat mendalam: Dewa Agung Fu Ying dan pendukungnya
yang bertanggung jawab atas pemberontakan semuanya dibunuh, tidak meninggalkan
seorang pun. Di antara ras Hantu dan Monster, klan mana saja yang
berpartisipasi atau mendukung pemberontakan, semuanya dibereskan satu per satu.
Itu baru tujuh hari, tetapi darah dari para pemberontak dan pembangkang telah
mewarnai seluruh tanah Alam Barat dengan warna merah.
Metode kejam dan garis
keras ini sangat mengintimidasi ras Iblis. Ketujuh Raja Iblis yang gelisah pun
tak punya pilihan selain menarik kembali niat licik mereka, dan mereka tidak
berani membuat keputusan gegabah lagi.
Dikatakan bahwa,
<<Ikrar Zhang Wei>> yang asli sudah disobek oleh Raja Iblis Abu-Abu
yang terburu nafsu. Setelah ia menyaksikan metode berdarah besi Di Jun, Raja
Iblis Abu-Abu itu diam-diam dan dengan hati-hati merekatkan kembali
<<Ikrar Zhang Wei>>, halaman demi halamannya, dan mengembalikannya
dengan hormat ke tempat yang seharusnya sekali lagi ....
Bagaimanapun juga, akhirnya
Delapan Dataran kembali ke ketenangan dan kedamaian pada saat Penobatan Dewa Mo
Yuan tiga tahun yang lalu; ras Dewa bersatu, dan dunia dalam kesetiaan kepada
para Dewa.
Namun, semua orang tidak
mengantisipasikan bahwa, selagi ras Iblis dan Monster telah menghentikan intrik
mereka, timbul lagi masalah dalam urusan internal ras Dewa.
Pada bulan setelah
peperangan di sungai Jie Shui, seorang Xian
Jun mengirimkan artikel resmi tentang pemakzulan Raja para Dewa kepada para
Tetua.
Artikel pemakzulan mengalir
dengan fasihnya. Meskipun menegaskan bahwa Di Jun memiliki jasa besar dalam
menekan Fu Ying, itu juga menegurnya atas metodenya yang kelewat kejam.
Dokumen itu menyatakan bahwa,
Fu Ying bersalah karena memulai pemberontakan dan pantas dihukum mati; akan
tetapi Raja Hantu dan Monster, keduanya telah ditipu oleh Fu Ying. Walaupun
mereka telah membantunya dalam pemberontakan, mereka tetap dengan tulus
bertobat dan telah menyerahkan dokumen penyerahan mereka. Namun Di Jun tidak
menunjukkan belas kasihan sedikit pun, dan tetap membunuh kedua Raja itu,
sebuah tindakan yang sangat kejam.
Alam Barat dan Utara
dipenuhi dengan jutaan mayat yang bergelimpangan, darah mereka mengalir layaknya
sungai, lautan darah di tengah-tengah tumpukan mayat, memperlihatkan kurangnya
kebajikan dalam hati Di Jun secara luas.
Apabila ia menjadi Raja
para Dewa, bagaimana bisa ia tidak bermurah hati?
Dengan demikian, diharapkan
agar Di Jun akan menyerahkan posisi Raja para Dewa atas kemauannya sendiri,
mengizinkan ras Dewa untuk memilih raja yang lebih welas asih, sehingga
memenangkan orang-orang di seluruh dunia dengan kebajikannya.
Para Tetua menerima arikel
pemakzulan itu dan melaksanakan majelis legislatif secara pribadi. Mereka
memberikan suara pada perhitungan jajak pendapat tujuh belas banding tiga
mendukung afirmatif, dan menyetujui pemakzulan Di Jun.
Para Dewa di bawah mereka
tidak tahu apa-apa, tetapi semua Dewa terhormat di posisi yang lebih tinggi
dapat melihat kebenaran di balik masalah ini. Itu hanyalah sandiwara yang
diarahkan sendiri dan ditampilkan oleh Dewa Agung Hou Zhen dan para Tetua.
Pemberontakan Fu Ying dan
krisis yang ditimbulkannya sekarang telah diberantas, jadi para Tetua tak lagi
membutuhkan Di Jun dan ingin sekali mencabut otoritasnya, mengambil kembali
kekuasaan mereka.
Dengan kekuasaan dan
prestise Di Jun di Delapan Dataran, orang dapat membayangkan bahwa, apabila ia
tetap menjadi Raja para Dewa, para tetua pasti akan kehilangan otoritas mereka
untuk berbicara mengenai masalah masa depan ras Dewa.
Dikatakan bahwa, Di Jun
dimakzulkan karena ia tidak murah hati, dan bahwa merekaa hendak menunjuk
seorang raja yang lebih welas asih untuk memenangkan tunduknya dunia dengan
kebajikan.
Ini semua hanyalah alasan
belaka.
Semua orang berasumsi bahwa Di
Jun akan marah besar; bagaimanapun juga, masalah ini ditangani dengan cara yang
sama dengan mengabaikan sang dermawan
setelah mendapatkan tujuannya. Para Tetua sangat takut, tetapi mereka masih
bertaruh untuk mencobanya.
(T/N : Meninggalkan dermawan
setelah mendapatkan tujuannya adalah kiasan dari (Guò Hé Chāi Qiáo). Arti
literal dari idiom ini menjadi “membongkar jembatan setelah menyeberangi
sungai”.)
Meskipun Di Jun selalu memiliki kekuatan bela diri yang tangguh, ia adalah orang yang
sombong dan penyendiri, dan tidak pernah memiliki dorongan untuk bertarung demi
penaklukan Langit dan Bumi. Oleh karenanya, ia tidak mengumpulkan kekuatan
militer dan hanya memiliki dua puluh lebih jenderal Dewa yang setia dan
mengabdi, dan beberapa ratus ribu pasukan di bawah namanya ketika ia membantu
Mo Yuan dalam usahanya untuk menyatukan Delapan Dataran.
Di Jun hidup dalam pengasingan
setelah itu, jenderal Dewanya dibubarkan, dan mereka kembali ke rumah asal
mereka. Tak ada seorang pun yang pernah mendengar adanya pasukan pribadi
tambahan yang tinggal di Laut Giok Surgawi.
Kali ini, Di Jun meninggalkan
pengasingan demi menolong para Tetua mengalahkan Fu Ying, dan tentara yang
dipimpinnya adalah pasukan dari ras Dewa. Pasukan ras Dewa merupakan gabungan
kekuatan Mo Yuan, Hou Zhen, dan para Tetua. Di Jun menggunakan formasi Qian
Yuan Besar dan melatih pasukan ras Dewa selama prosesnya, sehingga mereka
menjadi kekuatan besi yang tak tertandingi di seluruh dunia. Namun, pasukan
besi ini bukan milik Di Jun, tetapi milik para Tetua ras Dewa.
Para Tetua sangat teliti
dalam perhitungan mereka, jadi mereka tidak terlalu takut kalau Di Jun akan
mengikuti jejak Fu Ying dan berhadapan dengan mereka di medan perang untuk
memperebutkan posisi Raja para Dewa. Tetapi, mereka takut kalau Di Jun akan
mengamuk di Aula Istana Ling Xiao dan membantai mereka bersama seluruh klan
mereka ....
Oleh karena itu, setelah
pemungutan suara pemakzulan mereka, ketujuh belas Tetua itu dilaporkan jatuh
sakit satu per satu, diam-diam bersembunyi di kediaman resmi mereka. Mereka
bahkan membuat benteng yang cukup untuk rumah mereka, takut jika Di Jun akan
muncul di depan pintu mereka untuk membuat perhitungan dengan mereka.
Para Tetua tidak menghadiri
mahkamah di Aula Istana Ling Xiao selama beberapa hari berturut-turut, dan
tanpa diduga, begitu pula dengan Di Jun. Lima hari berlalu setelah semua orang
merasa bahwa ada sesuatu yang tidak beres, dan mulai mencarinya kemana-mana, hanya
untuk mendapati bahwa seluruh Langit Ketiga belas Jiu Chong Tian ditutup.
Pada Akhirnya, penjaga
Pohon Pārijāta,
Ling Shu Xian Jun, yang datang ke
Istana Ling Xiao membawakan pesan dari Di Jun.
Ling Shu Xian Jun memasang senyum ambigu, “Di Jun mengatakan, semuanya
teruskan saja bersaing demi kekuasaan, dan jangan repot-repot dengan proses
pemakzulan apa pun. Membuat semuanya begitu segar dan nyaman pastinya sulit
bagi kalian semua. Ia tidak punya kesabaran untuk berurusan dengan semuanya,
dan telah kembali ke Laut Giok Surgawi. Oh iya, ia juga mengatakan, jika langit runtuh dan bumi terbelah di masa
depan, tolong jangan pernah datang ke Laut Giok Surgawi untuk mengganggunya
lagi.”
(T/N : Langit runtuh dan bumi
terbelah adalah arti literal dari “天崩地裂” (Tiān Bēng Dì Liè) yang
berarti diguncang bencana besar atau dunia runtuh.)
Kelompok Tetua itu merasa
malu, dan ketika perasaan itu berlalu, mereka pun jadi marah; beberapa Tetua
senior begitu marah hingga mereka nyaris pingsan. Tetapi mereka tak berdaya
dalam situasi ini. Pertama-tama, mereka terlalu takut untuk mengarahkan kemarahan
mereka pada Di Jun, dan yang kedua, mereka tidak berani melampiaskan kemarahan
mereka pada Ling Shu Xian Jun, yang
secara pribadi mereka pilih sendiri, dan hanya bisa melepaskannya.
***
Sementara para dewa dan
makhluk abadi di Jiu Chong Tian menjungkirbalikkan Langit dan Bumi dalam
pencarian mereka akan Di Jun, seorang Dewa Agung yang berpengetahuan luas terus
berjaga di luar pintu masuk Laut Giok Surgawi.
Seperti yang diharapkan, ia
berhasil menunggu Di Jun.
Dewa Agung Zhe Yan maju ke
depan untuk menghentikannya, dan langsung ke intinya terhadap Di Jun, “Kau
mengaku kalah begitu saja?”
“Kalah?”
Di Jun menjawabnya selagi ia
membuka pintu, “Kau pasti bercanda, kata ini tidak ada dalam kamusku.”
Dewa Agung Zhe Yan mengira
bahwa Di Jun hanya enggan untuk mengakui kekalahan, dan mengikutinya sendiri, “Sekelompok
orang tua itu dibutakan oleh keserakahan. Kapan mereka benar-benar memedulikan
tentang ras Dewa dan Delapan Dataran? Mereka hanya merasa bahwa, jika kau tetap
sebagai Raja para Dewa, itu hanya akan membuat mereka tidak nyaman dalam upaya
mereka mengkonsolidasikan kekuasaan, itu saja.”
Berbicara penuh kebencian,
“Orang-orang tua licik itu membujukmu menggunakan formasi Qian Yuan, melatih
tentara mereka menjadi pasukan tak tertandingi untuk mereka selama prosesnya.
Pada akhirnya, mereka menggunakan pasukan mereka sebagai kartu melawanmu.
Tetapi, mereka juga sangat tidak sabaran, baru juga sebulan, dan mereka sudah
merebut kekuasaanmu. Tidakkah itu terlalu menjijikkan?”
“En,” Di Jun membuka pintu dan langsung berjalan masuk, “Mereka
pastinya tidak berani bertindak terlalu terburu-buru, jadi aku membantu
mereka.”
Seolah ia hanya bertanya sambil
lalu, “Kau juga sudah membaca artikel resmi pemakzulan yang ditulis oleh Duo Yi
Xian Jun terhadapku, kan? Itu ditulis
dengan lumayan bagus, kan?”
Dewa Agung Zhe Yan mengerutkan
alisnya erat, “Di saat begini, kau masih bisa mengatakan ....”
Ia tiba-tiba bereaksi mendengar
apa yang dimaksudkan Di Jun dan tidak dapat memercayainya, “Tidak mungkin ....”
Di Jun acuh tak acuh, “Aku
menawarkan beberapa ide pada Duo Yi.”
Dewa Agung Zhe Yan dalam
keadaan linglung yang syok, “... jadi kaulah yang menuliskannya!”
Di Jun tidak mau menerima
pujian atas pencapaian orang lain, “Pilihan katanya tetap diputuskan oleh Duo
Yi.”
Dewa Agung Zhe Yan merasa
kehabisan napas, “Kenapa kau ....”
Di Jun kalem, “Tidakkah
menurutmu situasi saat ini sangat baik? Siapa yang berdiri di pihak siapa,
sekarang jelas dengan sekali lihat.”
Keadaan pikiran Dewa Agung
Zhe Yan berputar-putar seperti aliran listrik, dan ia memahami semuanya dalam
sekejap. Setelah semuanya jadi jelas baginya, Dewa Agung Zhe Yan merasa bahwa
berhari-hari yang dihabiskannya untuk mencemaskan tentang masalah ini, sudah
sia-sia.
Pada saat ini, mereka berdua
berdiri di tepi danau Laut Giok Surgawi.
Di Jun memanggil sebuah perahu
awan, dan melihat ke arah Dewa Agung Zhe Yan, “Sudah gelap, kau yakin ingin
menjadi tamu di istana batu?”
Kemudian, ia menjawab
menggantikan Dewa Agung Zhe Yan, “Tidak, mungkin tidak. Fei Wei harus mengurusi
keluarga tiga orang kami, jadi ia tidak punya waktu untuk melayanimu.”
“....”
Dewa Agung Zhe Yan tidak tahu
apa yang mesti dikatakannya untuk sesaat. Ia hanya mempertanyakan dirinya
sendiri, kenapa ia mengikuti Di Jun ketika seharusnya ia yang paling
mengetahuinya.
Selagi ia menyaksikan Di Jun
menaiki perahu awan sendirian tanpa adanya rasa bersalah, ia memikirkannya, dan
akhirnya jadi begitu marah hingga ia bergegas ke tampak belakang Di Jun,
berteriak, “Keluarga tiga orang. Apakah keluarga tiga orang sebegitu hebatnya, huh?”
Setelah ia selesai berteriak,
ia menenangkan diri dan berpikir, dan merasa itu memang prestasi yang luar
biasa. Ia menghela napas, merasa agak kasihan pada dirinya sendiri selagi ia
berbalik untuk pulang ke rumah sendirian.
***
Sehari sebelum Di Jun
sampai di rumah, Feng Jiu mendengar dari Fei Wei mengenai peristiwa besar di
Jiu Chong Tian yang dapat mengubah segalanya seperti fluktuasi matahari dan
bulan. Tetapi buku sejarah jelas-jelas menyatakan bahwa Di Jun ditunjuk untuk
bertindak sebagai Raja para Dewa sementara saat menghadapi bahaya, dan setelah
Peperangan Jie Shui, secara sukarela menyerahkan posisinya karena ia tidak
berniat memerintah Delapan Dataran dan kembali ke Laut Giok Surgawi.
Perbedaan antara menyerahkan
secara sukarela dan pergi, dan disuruh pergi setelah dimakzulkan oleh para
Tetua, terlalu besar. Dua ratus enam puluh ribu tahun mendatang, siapa di Empat
Lautan dan Delapan Dataran yang berani membuat Di Jun mengalami penghinaan
semacam ini?
Feng Jiu begitu marah hingga ia
menangis di tempat. Ia duduk diam selama setengah malaman, merasa marah sambil
memikirkan bahwa Di Jun pasti akan merasa sangat tidak senang juga. Akibatnya,
ia pergi ke ruang makan sebelum fajar dan tetap di sana sepanjang hari, berniat
mempersiapkan semeja penuh makanan lezat untuk menyambut kepulangan Di Jun,
sembari menghiburnya di waktu yang sama.
Feng Jiu baru saja mulai
merebus dua kali hidangan terakhir, Budha Melompati Dinding, ketika seorang
anak abadi kecil datang ke ruang makan untuk melaporkan bahwa Di Jun sudah
kembali, dan saat ini sedang menunggunya di kamar tidur.
Segera setelah ia mendengar
apa yang dikatakan, Feng Jiu langsung memadamkan apinya dan cepat-cepat berlari
menuju kamar tidur. Sewaktu ia dalam perjalanannya ke sana, ia teringat bahwa
ia sudah tinggal di ruang makan sepanjang hari, jadi tubuhnya terendam dalam
bau asap dari api dapur. Karenanya, ia buru-buru ke kamar tidur samping
terdekat untuk mandi dengan cepat.
Di Jun juga baru saja
selesai mandi dan duduk di bangku batu giok, membiarkan Fei Wei membersihkan
dan mengoleskan lagi obat di luka cambukannya. Itu adalah luka yang disebabkan
oleh cambuk Cang Lei di tangan Dewa Agung Fu Ying selama pertarungan
pamungkasnya dengannya.
Cambuk Cang Lei merupakan
salah satu dari senjata ilahi teratas yang terdaftar di Bagan Senjata Delapan
Dataran. Bahkan dengan kemampuan bawaan Di Jun untuk regenerasi lebih cepat
daripada orang biasa, luka yang dideritanya akibat itu, tetaplah memerlukan
beberapa bulan untuk sembuh.
Tepat saat Fei Wei
mengambil lagi obat untuk lukanya, Di Jun mendengar suara langkah kaki yang
terburu-buru. Langkah kaki itu terdengar tergesa dan kacau seolah-olah
mengandung banyak kekhawatiran mendesak yang tak ada habisnya.
Ia mengeratkan jubahnya selagi
ia berbalik untuk berdiri. Sesuai dugaan, ia melihat seorang gadis muda berbaju
merah berdiri di pintu masuk kamar tidur, sedang memandanginya.
“Kemarilah.”
Ia mengangkat tangannya ke
arah Feng Jiu.
Feng Jiu sudah melihat luka
yang kini telah ditutupi oleh jubah dalaman seputih salju.
Mendekatinya selangkah demi
selangkah, pinggiran matanya pun memerah selagi ia bertanya pelan, “Bagaimana
kau bisa terluka?”
Gadis muda itu menundukkan
pandangannya, berusaha keras untuk menahan air matanya, tetapi tidak bisa
menahan mata dan alisnya yang memerah. Hatinya merasa sakit untuk Di Jun, dan
sakit sekali sampai-sampai ia harus menangis. Feng Jiu benar-benar memahami Di
Jun dengan baik.
Di Jun mengelus kepalanya,
menenangkannya, “Jangan cemas, ini bukan luka yang serius.”
Feng Jiu terus melihat ke
bawah, menggigit bibirnya, “Berbaliklah, biarkan aku melihatnya.”
Fei Wei melirik dengan bijak ke
arah mereka sebelum menurunkan salep obatnya dan mundur, sampai-sampai membantu
mereka berdua menutup pintu kamar saat ia keluar. Selagi ia melakukannya,
secara tak sengaja, ia melihat ke dalam kamar tidur dan melihat bahwa sekali
lagi, Di Jun sudah kembali duduk di bangku giok tersebut.
Punggung pemuda itu menghadap
ke pintu kamar, darah dari lukanya yang belum sembuh pun terbuka, sedikit
merembes ke jubah dalaman seputih saljunya. Gadis muda itu berdiri di samping,
ekspresinya tak terbaca. Tangan halusnya berada di punggung bahunya, bermaksud
melepaskan jubahnya. Fei Wei tidak berani melihat lebih jauh dan buru-buru
pergi dengan langkah yang ringan.
Jubah bagian atasnya pun
terlepas dari tubuhnya, menumpuk di pinggangnya, memperlihatkan punggung
telanjang kuat dan indah milik pemuda itu, dalam untaian lembut cahaya mutiara
cerah. Di sepanjang punggungnya, luka cambukan ganas itu menjalar dari bahu
kirinya tepat di seluruh punggungnya hingga ke sisi kanan pinggangnya juga jadi
terlihat. Dikarenakan penyembuhan luka yang lambat, daging segarnya masih bisa
terlihat setelah sisa-sisa lukanya.
Di Jun tidak merasa bahwa ini
luka yang serius, selain itu, sudah setengah sembuh. Awalnya, ia merasa bahwa,
karena Feng Jiu begitu bersikeras, membiarkannya melihat tidak akan jadi
masalah besar. Tetapi, segera setelah ia melepaskan jubah, ia mendengar tarikan
napas tajam datang dari belakangnya. Saat itulah ia mengetahui bahwa Feng Jiu
ketakutan melihat lukanya, dan secara naluriah mengenakan kembali jubahnya.
Ia pun berbicara menghibur
sekali lagi, “Jangan takut. Ini sudah hampir sepenuhnya pulih, dan tidak sakit
sama sekali.”
Tetapi Feng Jiu menghentikan
tangannya yang mengenakan kembali pakaiannya, suara lembutnya mengandung
sejejak keparauan karena menahan keinginan untuk menangis, “Obatnya masih belum
dioleskan.”
Di Jun berhenti, “Bukankah kau
ketakutan melihatnya?”
“Tidak.”
Feng Jiu berujar lesu.
Feng Jiu mengangkat mangkuk
obat yang ditinggalkan Fei Wei ke tangannya dan mulai mengoleskan obat itu ke
lukanya. Di dalam mangkuk itu ada sendok giok dan batangan aplikator yang
semula digunakan untuk mengoleskan salep obatnya, tetapi ia khawatir kalau
peralatan giok itu terlalu keras, menyebabkan rasa sakit pada lukanya.
Setelah mempertimbangkannya
sejenak, Feng Jiu mengabaikan peralatan giok itu dan mencelupkan jarinya ke
dalam salep, kemudian dengan ringan dan lembut mengoleskan salep itu ke luka Di
Jun.
Tubuh Di Jun menegang, dan Feng
Jiu khawatir apabila jarinya melukainya. Gerakannya bahkan menjadi semakin
lembut dan pelan daripada sebelumnya. Karena ia sangat lambat dan pelan, butuh
waktu yang lama sekali sebelum ia selesai mengoleskan salep obatnya ke
sepanjang luka itu.
Luka itu ditutupi dengan salep
putih, tampak seperti pita sutra lembap yang meluncur menuruni punggung
kuatnya. Meskipun sudah tak lagi tidak
sedap dipandang, itu pasti masih sangat menyakitkan.
Feng Jiu berpikir, kalau tidak, kenapa keringat masih keluar
dari punggungnya ketika ia jelas-jelas menggunakan pergerakan seringan dan
selambat itu sewaktu mengoleskan obatnya? Itu pasti muncul karena rasa
sakitnya.
Dengan ini dalam pikirannya,
Feng Jiu pun meletakkan satu tangannya ke pundak Di Jun, dan bertanya padanya
dengan suara penuh kasih sayang yang lembut, “Apakah masih sakit?”
Tanpa menunggu Di Jun
menjawabnya, Feng Jiu pun berkata lagi, “Aku akan meniupnya.”
Saat ia mengatakan itu, ia pun
sedikit membungkuk, menempatkan tangan lainnya ke kulit telanjangnya di dekat
luka itu. Menggerakkan bibirnya lebih dekat, ia meniup ringan ke luka yang
ditutupi obat itu.
Feng Jiu merasakan tubuh Di Jun
yang duduk tegak itu sedikit menggigil.
“Apakah masih sakit?”
Hatinya merasa sakit untuk Di
Jun, tetapi ia tidak bisa terpikirkan cara lain untuk membantunya meredakan rasa
sakitnya.
Tangan kanannya yang terletak
di punggungnya tanpa sadar mengelusnya ke bawah, bibirnya beralih menuju luka
yang agak di bawah, “Kalau begitu, aku akan meniupnya lagi.”
Tepat saat napas hangatnya
menyentuh luka di punggung Di Jun sekali lagi, tangannya yang diletakkan di
sisi kiri Di Jun mendadak dipegang. Sebelum ia dapat bereaksi, tangannya sudah
ditarik secara agresif. Saat berikutnya, ia sudah setengah berbaring di
pangkuan Di Jun, dan dengan kuat dibawa ke pelukannya.
Gadis muda itu mendongakkan
kepalanya, dengan kosong menatap ke dalam mata tertunduk si pemuda yang
menatapnya dalam-dalam. Ketika Di Jun memaksanya menghadapnya secara langsung
dengan telapak tangan kanannya yang memegangi bagian belakang kepalanya, akhirnya
Feng Jiu bereaksi, saat tubuhnya menegang
dan menggigil tadi, itu benar-benar bukan karena rasa sakit.
Wajah Feng Jiu yang mirip daun
maple segar pun langsung menyala merah terang seketika, “Aku ... aku tidak
....”
Ia hendak menjelaskan bahwa ia
benar-benar dengan hati-hati mengoleskan obat ke lukanya dan tidak bermaksud
untuk menggodanya. Tetapi, sebelum ia dapat mengeluarkan kata-katanya dengan
lengkap, Di Jun sudah menundukkan kepalanya dan menciumnya.
Itu adalah ciuman yang sangat
dalam.
Dan mereka berciuman untuk
waktu yang sangat lama.
Di Jun memejamkan kepalanya
setelah ia melepaskan Feng Jiu, keningnya menempeli kening Feng Jiu. Sekujur
tubuh Feng Jiu seperti terbakar dan pikirannya linglung akibat efek ciuman Di
Jun, tetapi ia masih ingat untuk membela diri.
Dengan bisikan pelan, Feng Jiu
berkata, “Aku bukannya mau ....”
Di Jun tersenyum secara tidak
mencolok selagi matanya tetap terpejam, “En,
bukan kau yang menginginkannya, akulah yang menginginkannya.”
Jawabannya membuat Feng Jiu
merasa malu. Ia menggigit bibir bawahnya ringan, kemudian ia mengangkat
lengannya, meletakkannya di pundaknya dan melingkarkan tangannya di lehernya.
Tetapi, ketika pandangannya tertuju pada pundak bak ukiran giok itu, Feng Jiu
mendadak teringat akan lukanya.
Ia terkejut sejenak sebelum
merespon fakta bahwa ia tidak boleh membiarkan orang yang cedera untuk
melakukan sesuatu yang berat, dan langsung berusaha untuk turun dari tubuhnya.
Merasakan pergerakan Feng Jiu, Di Jun membuka matanya, dan menatapnya seketika
sebelum tiba-tiba saja berdiri sambil menggendongnya ala putri. Feng Jiu
melonjak kaget dan secara naluriah memeluk lehernya.
Itu hanya beberapa langkah.
Beberapa langkah menuju
ranjang giok.
Saat itu sudah malam di Laut
Giok Surgawi, dan semuanya sunyi. Meskipun kamar tidur itu diterangi oleh
mutiara cerah, kecemerlangan mereka yang luar biasa diredam oleh kulit kerang
mereka yang setengah tertutup, hanya menyisakan cahaya redup yang lembut.
Cahaya redup menyelubungi kamar tidur itu dalam selapis warna kehitaman kabur.
Gadis muda itu ditempatkan di
antara tumpukan selimut awan yang lembut. Di saat berikutnya, pemuda itu
membungkuk dan menekankan tubuhnya ke tubuh Feng Jiu.
Wajah Feng Jiu menyala semerah
darah sewaktu ia lansung menebak apa yang mungkin akan terjadi selanjutnya,
“Lukamu ....”
Kening pemuda itu menempeli
keningnya.
Merasa geli dengan betapa
menggemaskannya Feng Jiu, untuk masih memedulikan tentang lukanya di saat
begini, ia pun tersenyum, “Bukan apa-apa.”
Setelah itu, ia mengelus bibir
Feng Jiu, dan menciumnya sekali lagi di tengah-tengah cahaya samar di dalam
tirai kamar tidur.
***
Bai Gun Gun dengan senang hati bergegas
untuk melihat Ayahnya setelah ia mendengar kepulangan Di Jun, tetapi dihentikan
Fei Wei di luar kamar tidur.
Sejujurnya, Fei Wei tidak tahu
bagaimana ia harus menjelaskan pada Xiao Gun Gun mengapa ia tidak boleh masuk
ke kamar tidur di saat ini, dan bukan hanya saat ini, tetapi mungkin sepanjang
malam.
Tepat selagi ia memutar
otaknya, ia melihat Gun Gun dengan ekspresi merenung, “Ayah sedang memberikan
Feng Jiu perlajaran remidial lagi, kan?”
Fei Wei menatap kosong sesaat,
“Pelajaran ... pelajaran remidial?”
Gun Gun mengangguk, “Hal
semacam ini adalah kejadian yang sangat umum. Ada banyak waktu ketika aku
datang mencari Jiu Jiu di malam hari, Kakak Zhong Lin akan mengatakan bahwa
Ayah sedang memberikan pelajaran remidial pada Jiu Jiu untuk membantunya
mengejar tugas sekolah, sehingga aku tidak boleh mengganggu.”
Ia menghela napas pasrah, “Guru
Jiu Jiu sangat ketat. Jika ia tidak bisa mengejar tugas sekolahnya, ia pasti
akan dihukum berat oleh Gurunya. Ayah membantunya dengan pelajaran remidial
sangatlah penting, aku memahami itu.”
Fei Wei tidak tahu bagaimana ia
harus membalas perkataannya, jadi ia hanya bisa menganggukkan kepalanya secara
mekanis, “En, iya, pelajaran remidial
sangat penting. Baguslah jika Anda mengerti, Tuan Muda.”
Bai Gun Gun ber-en, “Kalau begitu, aku tidak akan
mengganggu Ayah dan Jiu Jiu bekerja keras.”
Ia pun pergi dengan
bijaksana selagi ia berbicara.
Keadaan pikiran Fei Wei
jadi rumit selagi ia memerhatikan sosok mungil Gun Gun menghilang di koridor
batu. Untuk sesaat, ia merasakan sedikit kesakitan dalam hati nuraninya ....
Di
cakrawala,
bulan
dinginnya purnama.
Malam
ini, bulan purnama memberkati reuni pasangan kekasih,
esok
hari akan menjadi hari yang baik.
0 comments:
Posting Komentar