Rabu, 21 Juli 2021

3L3W TMOPB - Chapter 19 Part 1

Ten Miles of Peach Blossoms

Chapter 19 Part 1

Aku berdiri di aula besar, melamun dan sedih.

Aku mengambil secangkir teh dingin dari meja dan menyesap beberapa kali untuk membasahi tenggorokanku yang kering sebelum melangkah serampangan keluar dari aulanya.

Setengah dari makhluk abadi muda Laut Barat yang tadinya berdiri membentuk dua barisan di luar aula pun sudah menyebar, berjalan di depan Ye Hua, kuduga, memberikan jalan. Setengah lainnya, kulihat sedang kasak-kusuk di sepanjang arah menuju pintu masuk utama Istana Kristal Air Laut Barat.

Tampaknya, seolah ada tamu lainnya yang tiba.

Aku menarik seorang dayang dari bagian belakang iringan dan menanyakan apa yang sedang terjadi.

Ia memandangiku dengan ekspresi yang tersinggung, dan berkata, “Seorang pengunjung dari jauh sudah tiba, dan para pejabat Raja Laut akan menyambutnya.”

Hari ini, Raja Laut Barat ditakdirkan untuk menerima pengunjung. Tak ada lagi yang bisa mengejutkanku, bahkan kalau pun Buddha dari singgasana teratainya di Surga Barat muncul. Dikarenakan prilaku rendah hati yang dilakukan oleh dua generasi Raja Laut Barat ini, mereka tidak mendapatkan banyak perhatian dari dewa-dewi segenerasiku. Menerima tamu terhormat satu per satu seperti ini sudah jelas merupakan sebuah kehormatan bagi mereka, dan sepertinya akan meningkatkan strata sosial mereka hingga tiada akhirnya.

Karena Ye Hua membawa Jie Po Deng bersamanya, aku tak perlu lagi melakukan perjalanan menuju Jiu Chong Tian, yang berarti paling tidak, satu hal sudah lepas dari benakku, namun anehnya, aku tidak merasa lega seperti dugaanku. Sosok serius Ye Hua berulang kali melintas di depan mataku, hingga aku merasa sanubari hati rubahku mulai mengencang.

Kedua dayang yang membawaku ke aula besar, dengan penuh tanggung jawab membawaku kembali ke Istana Fuying. Saat aku melihat Die Yong sebelumnya, ketidakmiripannya dengan Mo Yuan membawakan perasaan rumit yang besar dalam diriku, dan ketika kami tiba kembali di luar pintu istananya, aku memutuskan untuk tidak menemuinya lagi. Sebaliknya, aku mencari seorang dayang muda untuk membawaku langsung ke tempat dimana aku akan tinggal.

Raja Laut Barat punya reputasi, seseorang yang agak tidak berdaya. Sudah pasti ia tidak punya kegemerlapan seperti rekanannya di Laut Timur.

Ada dua bangunan di bagian timur Istana Fuying, satunya menuju istana dalam, disebut Inner House, dan yang satunya lagi menuju bagian luar istana, disebut Out House.

Aku merasa kalau aku tidak beruntung dan akan tinggal di Out House.

Pot bunga di atas bangku di dalam dan perlengkapan teh yang ada di meja terbuat dari porselen putih, bahkan dayang yang menungguiku juga berpakaian putih menyilaukan. Mendongak, mataku dipenuhi warna putih cerah, dan melihat kerumunan dayang muda bergegas di depan mataku dengan warna ini, aku mulai merasa pusing hingga tak sanggup lagi menahannya, dan aku memerintahkan mereka semua keluar untuk mencabuti rerumputan liar.

Out House pun jadi sunyi, tetapi kesunyiannya malah semakin membuat hatiku merasa lebih sedih lagi. Tepat saat aku dihadapkan pada rasa kesedihan ini, aku mendengarkan bunyi dari belakang tirainya dan mengangkat pandanganku untuk melihatnya.

Tampaknya, si tamu kehormatan yang disambut oleh separuh makhluk abadi Laut Barat bukanlah Buddha dari singgasana teratainya di Surga Barat.

Aku menuangkan secangkir teh dan memanggil, “Kakak Keempat, kemari dan minumlah secangkir teh!”

Ia melompat ke dalam dan memandangiku dari atas ke bawah sebelum menerima cangkir yang kutawarkan dan menyesapnya.

Matanya bergerak bingung saat ia berkata, “Apa yang kau lakukan, tinggal di Out House, dan kenapa pula kau menyamar jadi seorang pria? Apa yang terjadi pada moral dan kesopanan!”

Aku menengadah memandangi kasau dan berkata, “Zhe Yan yang membuatku berdandan seperti ini.”

Kakak Keempat menyemburkan tehnya. Ia mengusap sudut mulutnya dengan lengan bajunya.

“Berpakaian begini sebenarnya bukanlah penampilan yang buruk untukmu,” katanya, tetap mempertahankan wajah datar.

Biasanya, ketika Kakak Keempat datang ke Laut Barat, adalah untuk minum-minum bersama putra kedua Raja Laut Barat, Su Mo Ye. Tetapi alasan ia bergegas kemari hari ini bukanlah untuk bertemu dengan Su Mo Ye, melainkan aku, adik perempuannya.

Ia ingin pergi bersama Zhe Yan menuju Jiu Chong Tian guna mencariku, tetapi Zhe Yan tidak mengizinkannya. Sebaliknya, ia menunggu di Qing Qiu, dan ketika Zhe Yan masih belum juga pulang, ia sadar kalau Zhe Yan pastinya membawaku langsung ke Laut Barat. Kakak Keempat memutuskan untuk langsung datang mencariku, dan menyapa Su Mo Ye di waktu bersamaan.

Ia duduk di sebuah kursi kayu putih berlengan dan, dengan kepala yang ditenglengkan, berkata, “Aku hanya kemari untuk melihat apakah kau tinggal baik-baik saja di sini. Kau bisa mengandalkan Zhe Yan untuk memastikan semuanya lancar. Tapi, ada apa? Kau tampak sepucat seprai. Mo Yuan akan segera kembali, bukankah seharusnya kau melompat kegirangan?”

Aku mengangkat tangan ke wajahku dan mencoba terlihat gembira.

“Tentu saja aku gembira,” kataku.

“Aku dipenuhi kegembiraan, tetapi dalam cara diamku sendiri.”

“Lalu, mengapa kau tampak tidak fokus?” tanyanya sembari mengerutkan dahi.

Aku mengusap wajahku dan tertawa canggung.

“Itu pasti karena aku baru saja melakukan sihir pengejar arwah dan belum punya kesempatan untuk memulihkan diri dengan benar.”

Ekspresi yang diberikannya padaku seintens api.

Aku pun tertawa canggung lagi.

“Selain itu, pagi ini, Ye Hua dan aku bertengkar.”

Selama ini, ia menghabiskan waktu ditemani Zhe Yan, Kakak Keempat jadi mempunyai kebiasaan buruk mengorek gosip, dan saat itu tentang menyebarkan gosip, sudah pasti murid akan melampaui gurunya. Zhe Yan adalah ahlinya, sementara Kakak Keempat sudah menjadi ahli dari ahlinya.

Aku tidak merasa kalau argumen Ye Hua denganku yang terjadi karena Buntalan bisa dianggap sebagai gosip, tetapi jika aku tidak memberitahukannya sesuatu, ia akan menempeliku sepanjang sore. Aku mempertimbangkannya dan memutuskan, demi kehidupan yang tenang, aku akan melemparkannya beberapa tulang. Aku menyesap teh untuk membasahi tenggorokanku dan memilih bagian argumen di Jiu Chong Tian untuk diberitahukan kepadanya.

Ia membungkuk di kursi, telinganya mendengarkan dengan semangat. Ketika aku selesai, ia duduk di sana sejenak sebelum mengangkat kepalanya dan memberikanku senyuman yang aneh.

“Kau selalu mengira sebagai seorang anggota dari generasi yang lebih tua, kau harus menunjukkan toleransi terhadap mereka yang lebih muda darimu, walaupun ketika yang lebih muda mengatakan hal bodoh untuk menyinggungmu, kau mencoba untuk tidak terpancing emosi dan bertengkar dengan mereka karena hal itu.

“Tentang argumenmu dengan Ye Hua seperti yang kau gambarkan, karena kau adalah adik perempuan kesayanganku, sudah pasti aku akan memihakmu, bicara soal logika, aku pikir, Ye Hua adalah yang benar. A Li adalah anak kecil. Kau memberikannya cukup banyak alkohol hingga memabukkannya selama berjam-jam, yang mana selama masa itu ia tidak pernah terbangun sekali pun. Dan kau tidak pernah berpikir, itu patut untuk mengutus seseorang agar menginformasikannya pada Ye Hua?

“Klan Langit hebat dalam bertarung, tetapi kemampuan penyembuhan mereka selalu kurang memadai. Melihat anak kesayangannya berada dalam keadaan mabuk pastilah sangat menakutkan Ye Hua. Bagaimana ia bisa tahu jika tidak akan ada kerusakan jangka panjang? Dan setelah itu, si ibu tiri anak ini hanya pergi begitu saja. Kalau ia tidak sedikit marah, aku akan menyebutnya sebagai seorang malaikat.”

Ia menjeda dan setelahnya mencondongkan diri melewati meja, mengelus kepalaku.

“Biasanya, kau akan membuat lelucon dan menertawakan hal-hal semacam ini, tetapi pengalaman ini sepertinya benar-benar membingungkanmu. Kau bahkan melampiaskannya pada selir utamanya. Sebagai kakakmu, harus kukatakan, aku mengagumi gayamu, tetapi aku juga penasaran, mungkinkah kelakuan anehmu ini disebabkan oleh ... kecemburuan?”

Mendengarkan itu membuatku tersentak, dan kepalaku mendadak dipenuhi cahaya putih menyilaukan. Selama dua hari, dimulai dari aku meninggalkan Qing Qiu menuju Jiu Chong Tian, sering sekali aku merasakan perasaan tarikan begini di sanubariku.

Aku tahu aku bertingkah lebih tidak sabaran ketimbang biasanya.

Pertemuanku dengan Su Jin membuatku merasa sangat gelisah.

Aku merasa kritikan Ye Hua sulit sekali untuk didengar.

Aku menghabiskan sepanjang hari tak fokus dan merasa risau.

Mungkinkah, mungkinkah kalau aku benar-benar cemburu? Apakah ini bagaimana rasanya cemburu? Apakah aku merasa cemburu selama ini bahkan tanpa menyadarinya sedikit pun?

Cangkir tehnya jatuh dari tanganku dan berdenting di lantai. Kakak Keempat melompat dan menepuk tangannya.

“Kau memang cemburu!” katanya, mengangguk-angguk.

Aku merasa benar-benar bengong. Aku memandang resah ke arah Kakak Keempat.

“Tidak, mana mungkin,” protesku.

“Usiaku sembilan puluh ribu tahun lebih tua darinya. Jika aku bergerak lebih cepat, ia bisa menjadi cucuku, atau bahkan cicitku, setua inilah aku. Aku selalu merasa kalau pertunangan ini tidak adil baginya. Aku bahkan bersedia memberikannya beberapa selir yang cantik. Dan sehari sebelumnya ketika ia menyatakan perasaannya padaku, aku tidak merasakan diriku berdebar-debar penuh semangat. Aku pernah mengalami percintaan, dan jika aku benar-benar jatuh hati padanya, aku pasti akan mengalami rasa semangat ketika ia menyatakan cintanya padaku, kan?”

Mata Kakak Keempat berbinar terang.

“Ia benar-benar menyatakan cintanya padamu? Ah, ia sudah jatuh cinta pada bayi rubah yang kubesarkan, selera yang bagus! Selera yang sangat bagus.”

Ia terkekeh lama sebelum menambahkan, “Kau tidak perlu mencemaskan soal usia. Usia Ayah lima belas ribu tahun lebih tua dari Ibu. Selama kalian berdua terlihat seperti pasangan, yang mana kukatakan, kalian tampak begitu. Apa yang kau katakan padaku barusan ini tentang memberinya beberapa selir mengingatkanku ketika Zhe Yen bersikeras sekali membantu mencarikan istri untukku. Lihatlah berapa lama ia telah melakukannya, tanpa ada hasilnya sama sekali.”

Ia terkikik.

“Tampaknya, ia tidak berpikir kalau ada dewi mana pun di seluruh Empat Lautan dan Delapan Dataran ini yang pantas untukku.”

Ia menepuk pundakku sok tahu.

“Berdebar penuh semangat sudah jelas merupakan perasaan yang luar biasa, dan secara alami adalah satu periode dari hasrat besar yang luar biasa, tetapi sebagai seorang wanita, kau harus lebih sensitif dan menyadari perasaan romantismu sendiri. Mereka tidak selalu terucap segamblang itu. Walaupun kau adalah adik perempuanku, aku harus bilang kalau kau memang selalu tidak peka.

“Meski kau adalah seorang dewi agung yang luar biasa, tetapi kalau masalah hati, terus terang saja, kau tidak kompeten. Dari apa yang kulihat, orang yang bisa membuatmu berdebar dengan semangat akan jadi terlalu menggebu-gebu dan terlalu dramatis bagi orang sepertimu. Seseorang yang tidak peka sepertimu membutuhkan perasaan semangat yang mengalir konstan seperti sungai, bukannya semburan air.”

Urat di keningku pun berdenyut.

Ia mengambil satu cangkir teh dari meja dan memutar-mutarnya di antara jemarinya, tersenyum.

“Mi Gu bilang kalau Ye Hua sudah tinggal di Qing Qiu selama empat bulan. Agak sedikit awal untuk menanyakan ini, tetapi apakah kau akan merasa sedih jika ia tidak lagi tinggal di Qing Qiu? Tidak, denganmu yang tidak peka ini, mungkin dibutuhkan waktu sepuluh ribu tahun untuk menjawab pertanyaan itu. Apabila ia pergi sekarang, apa yang akan kau rindukan darinya?”

Aku bisa merasakan pembuluh darah di keningku mulai berdenyut lagi.

Beberapa hari pertama setelah Ye Hua pindah ke Qing Qiu, aku merasa kalau kehadirannya agak aneh. Namun, pemikiranku, setelah pernikahan, kami harus tinggal bersama cepat atau lambat, dan akan lebih baik untuk mengikuti saja arusnya.

Diseret untuk berjalan-jalan setiap harinya.

Ia yang memasak sementara aku menyalakan apinya.

Duduk di sebelahnya, memakan kuaci dan membaca naskah lakonku sementara ia membaca dokumennya.

Memainkan beberapa permainan catur di malam hari.

Aku mengira, setelah kami menikah, kami akan menghabiskan banyak, banyak sekali malam dengan cara demikian dan perlahan-lahan menjadi terbiasa dengan rutinitas kami.

Baru empat bulan seperti ini, tetapi sekarang karena Kakak Keempat membuatku memikirkannya, aku sungguh tidak ingat bagaimana aku menghabiskan waktuku sebelum Ye Hua datang untuk tinggal di Qing Qiu.

Hatiku terasa berat.

Kakak Keempat tertawa.

“Setelah Mo Yuan memulihkan diri, kita akan mengatur pertemuan antara Ayah dan Tian Jun dan memintanya mulai mengatur soal pernikahanmu. Kakakmu yang bijaksana ini melihat sepertinya kau punya banyak sekali rasa cinta di dalam hatimu untuk Ye Hua. Takdir akhirnya membuka matanya dan mengarahkan bintang phoenix merahnya padamu. Mungkin bergerak diam-diam, tetapi aku bisa melihatnya. Jangan membuat dirimu terlalu kacau. Ye Hua sudah membuat langkah awal dengan menyatakan perasaannya. Jika ia mengingkari perkataannya, aku yakin kau akan merasa ....”

Aku langsung duduk tegak dengan telinga yang ditajamkan menanti untuk mengetahui bagaimana perasaanku jika Ye Hua mengingkari ucapannya.

Tetapi yang dilakukan oleh Kakak Keempat adalah meletakkan cangkir tehnya kembali di atas meja dengan bunyi dentingan dan berkata, “Dari caramu bertingkah sekarang ini, benar-benar sudah menenangkan pikiranku. Aku bisa kembali sekarang.”

Dengan itu, ia melompat keluar dari jendela, dan dengan bunyi whoosh, ia pun menghilang.

Aku memikirkan kembali ucapan Kakak Keempat. Mereka terngiang-ngiang di hatiku, menyebabkan riak di danau yang tetap tenang selama ratusan ribu tahun ini. Kakak Keempat memaku tepat di kepala: walaupun aku sering memikirkan tentang memberikan Ye Hua banyak selir cantik, aku sudah melihat banyak sekali dewi seusianya dan tidak satu pun yang kuanggap pantas untuk dirinya. Jika aku memang benar-benar jatuh hati pada Ye Hua ....

Di usia keseratus empat puluh ribu tahun ini, aku merasa, semakin lama aku hidup, semakin aku mundur. Aku jatuh hati pada seorang pria yang lebih muda sembilan puluh ribu tahun dariku, orang yang sepantasnya memanggilku Tetua. Aku mondar-mandir di ruangan kosongku, resah, terengah-engah, tetapi masih juga belum bisa menemukan solusinya.

Aku berbaring di atas ranjang dengan pakaianku, tetapi hatiku masih merasa tidak tenang. Berbaring tidak membuatku lebih tenang, dan segera setelah aku memejamkan mataku, wajah pucat Ye Hua muncul di dalam kegelapan luas di hadapanku.

Aku memutarnya dalam benakku, ke depan dan ke belakang, bertanya-tanya apakah mungkin untuk menaksirkan kembali apa yang kukatakan padanya mengenai pembatalan pertunangan kami, sebaliknya melihat bagaimana nanti jadinya. Walaupun itu membuatku sakit kepala untuk memikirkan kata-kata aneh yang diucapkannya siang itu, aku memutuskan untuk melepaskannya dan tidak berargumen dengannya.

Malam ini, aku akan menampilkan sikap dewi agungku. Aku akan pergi ke tempatnya, mengambil Jie Po Deng, dan selagi di sana, aku akan menghilangkan semua kepura-puraan dan berbicara secara terbuka dan jujur padanya.

Related Posts:

0 comments:

Posting Komentar