Rabu, 21 Juli 2021

3L3W TMOPB - Chapter 19 Part 2

Ten Miles of Peach Blossoms

Chapter 19 Part 2

Malam itu, aku mencari jalanku menuju kamar tidur Ye Hua.

Ia sedang duduk di atas bangku marmer di halaman, minum-minum. Ada sebotol anggur dari batu aventurine di atas meja marmer di sebelahnya, dan tujuh hingga delapan botol tergeletak berserakan di samping, di bawah meja. Koral di dekatnya pun memantulkan botol-botol ini, bersinar dengan warna hijau terang berkilauan. Kemarin, ketika Buntalan mabuk, Nai Nai menghela napas terus-menerus tentang bagaimana Yang Mulia Pangeran Kecilnya pasti mewarisi ayahnya kalau soal alkohol.

Ia terkejut saat melihatku dan mengangkat tangan ke keningnya.

“Aku tebak, kau datang untuk mengambil Jie Po Deng,” katanya sambil berdiri.

Setelah berdiri, ia mulai limbung. Aku mengulurkan tangan untuk menopangnya, tetapi dengan halus ia mengibaskannya.

“Aku baik-baik saja,” katanya tenang.

Raja Laut Barat menyediakan sebuah kamar tidur yang luar biasa untuknya, dan meja tempatnya duduk berada seratus langkah dari aula bagian dalam. Wajahnya benar-benar tanpa eskpresi, tetapi beberapa kali lebih pucat dari terakhir kali aku melihatnya, dan ketika dilihat berhadapan dengan rambut hitam gelap terurainya, pipinya tampak agak pucat kelabu. Ia berbalik dan mulai berjalan menuju aula, dan aku mengikutinya, tiga atau empat langkah di belakang.

Ia berjalan dengan mantap sekarang, seakan-akan yang terhuyung barusan adalah pria lain. Ia berjalan agak lamban dari biasanya dan kerap kali mengangkat tangan untuk mengusap pelipisnya. Ia terlihat agak mabuk, tetapi Ye Hua bahkan mabuk dalam diam, cocok sekali dengan kepribadiannya.

Tidak ada dayang yang melayani di aulanya. Aku duduk di sebuah bangku dan menengadahkan wajahku, beradu pandang dengan tatapan tak bernyawanya.

Matanya tajam dan indah, dan terisi penuh oleh kegelapan. Saat ia tidak sedang tersenyum, tampak sangat dingin, tetapi tentu saja, tetap terisi oleh kebangsawanan Jiu Chong Tian.

Meskipun aku handal dalam menilai suasana hati orang lain dari perkataan dan gestur mereka, biasanya aku tidak cukup ahli dalam membaca mata. Namun, hari ini berbeda, dan kami berdua saling berpandangan cukup lama, yang membuatku melihat melalui rasa dingin itu, terdapat kesedihan dan kesengsaraan.

Ia mengalihkan pandangannya ke samping, dan ia terdiam sejenak sebelum menggumamkan sesuatu dengan pelan. Aku menatap kosong ke arah lentera minyak yang mendadak muncul di tangannya.

“Jadi, inilah Jie Po Deng?” aku terkagum.

“Tetapi tampak biasa saja.”

Ia meletakkan lentera itu ke dalam tanganku, dan dengan ekspresi tenang, ia berkata, “Letakkan di atas kepala ranjang Die Yong selama tiga hari dan pastikan tidak padam selama masa itu. Semua bagian dari jiwa Mo Yuan akan kembali menyatu. Api di lentera ini harus dijaga dengan hati-hati sepanjang waktu. Jangan tergoda untuk menggunakan energi abadi untuk melindunginya demi memudahkan dirimu.”

Ia menjatuhkan lenteranya ke dalam tanganku, dan satu lingkaran energi yang familier pun mengalir kepadaku. Diwarnai dengan debu merah, lebih mirip dengan energi manusia. Aku tidak pernah punya teman manusia, jadi mengejutkanku betapa familiernya rasa energi ini.

Aku pun mengangguk mendengar peringatannya, mengatakan, “Tentu saja. Aku akan sangat berhati-hati.”

“Kecemasanku sia-sia saja,” pada akhirnya ia berkata.

“Kau selalu sangat rajin dan berhati-hati jika itu terkait dengan Mo Yuan.”

Sebagai sebuah artefak suci Klan Langit, Jie Po Deng diabadikan dan disembah oleh Tian Jun di masa lalu. Dengan begitu banyaknya konvensi, artinya Jiu Chong Tian sangatlah ketat, dan peraturannya selalu dijunjung tinggi. Aku sedikit heran mengenai fakta, meskipun si tua Tian Jun masih hidup, Ye Hua, yang saat ini hanyalah seorang pewaris takhta, memiliki lentera berharga ini.

Istana Langit sangat berbeda dari Qing Qiu, bahkan Istana Da Si Ming. Peraturan mereka ketat, dan artefak klan mereka tidak pernah dipinjamkan dengan bebas kepada orang luar. Jika aku pergi ke Istana Langit untuk menemui Tian Jun dan meminjam lentera ini, maka itu akan melunasi hutang Jiu Chong Tian pada Qing Qiu. Fakta bahwa Ye Hua meminjamkanku lentaranya seperti ini sangat menyentuh diriku.

Aku berbalik ke arahnya, memegangi lenteranya.

“Kau sudah memberikan bantuan besar padaku,” seruku.

“Takutnya, ini akan merugikan dirimu. Jika ada sesuatu yang kau inginkan sebagai gantinya, yang perlu kau lakukan hanyalah mengatakannya saja. Aku akan mengabulkan semua keinginanmu yang dapat kulakukan.”

Ia duduk di kursi berseberangan denganku, terlihat lelah.

Ia mengernyit samar dan berkata, “Tidak ada yang kuinginkan.”

Ekspresinya itu lagi-lagi menyengat sanubariku. Sebelum ceramah Kakak Keempat, aku tidak dapat benar-benar menjelaskan mengenai tarikan aneh yang kadang kala muncul ini. Tetapi, setelah ilham dari Kakak Keempat, aku mulai memikirkan kalau ia mungkin saja benar dan menjelajahi emosiku sendiri lebih jauh. Aku sudah mulai meluaskan kesadaran atas perasaanku.

Jie Po Deng sudah berada di tanganku sekarang.

Haruskah aku berbalik dan pergi, atau tetap tinggal di sana dan meluruskan semuanya dengan Ye Hua?

Mungkin ia sedang tidak ingin bicara, dan akan lebih baik membiarkannya sendirian di sana?

Aku ragu-ragu saat aku memikirkannya.

“Apakah sungguh tak ada yang kau inginkan? Kalau begitu, aku akan pergi sekarang.”

Ia mendongak tajam dan menatapku, wajahnya tenang.

“Kau ingin tahu apa yang kuinginkan?” katanya perlahan.

“Itu adalah satu-satunya hal yang kuinginkan.”

Ia memandangiku, wajahnya kaku.

“Hanya dirimu.”

Aku mulai gemetaran.

Apa yang terjadi padaku malam ini?

Mendengarkan kata-kata romantis itu tidak membuatku mual, malahan membuatku terharu, begitu pula dengan ekspresi di wajahnya.

Ia selalu tampan, dan ketika ia mengutarakan hal indah semacam itu, siapa yang mungkin bisa menolaknya?

Di bawah tatapan dalamnya, aku mendengar beberapa kata keluar dari mulutku.

Butuh waktu sejenak bagiku untuk menyadari apa yang baru saja aku katakan. Saat aku menyadarinya, aku ingin jatuh ke dalam lubang yang dalam dan terkubur di tengah-tengah bumi.

Kata-kata yang keluar dari mulutku adalah, “Apakah kau ingin menghabiskan malam penuh kemesraan bersamaku?”

Aku mendapatkan kembali akalku sebelum Ye Hua. Dengan wajah merah padam, aku membungkus lenteranya dan ingin pergi, tetapi Ye Hua menghampiri sebelum aku sampai di ambang pintunya dan memelukku dari belakang.

Aku mengangkat kepalaku ke arah kasau, ingin pura-pura mati saja saking malunya. Uap alkohol di sekeliling Ye Hua seolah memberi lapisan mantra yang memusingkan, dan ia memelukku begitu eratnya hingga membuat penyesalanku menghilang. Yang kurasakan adalah kabut tipis bunga persik, seolah jiwaku sudah meninggalkan tubuhku. Jiwaku mungkin sebenarnya sudah meninggalkan tubuhku, karena aku melanjutkan dengan kata-kata yang lebih lancang lagi.

“Agak kurang pantas melakukannya di ambang pintu. Haruskah kita pindah ke ranjang?”

Aku melemparkan satu mantra dan mengubah tubuhku kembali ke wujud wanita ....

***

Aku terbangun di tengah malam dengan kepala kebingungan, seolah ada seseorang yang menggantikannya dengan satu kuali besar berisi bubur nasi. Ye Hua pasti mengeluarkan satu mantra untuk menghadang cahaya dari mutiara malamnya. Ia memelukku erat di dadanya, dan wajahku bersandar di luka lamanya yang panjang.

Aku memikirkan kembali malam penyatuan kami, yang dapat kuingat adalah tirai ranjang yang berkibar.

Setelah kegembiraan fisik itu, aku melayang masuk ke dalam tidur samar yang mana aku pun teringat samar akan ucapannya, “Jika aku hanya bisa memilikimu seutuhnya kali ini saja, meskipun hanya satu malam, meskipun kau melakukannya hanya supaya mendapatkan Jie Po Deng demi Mo Yuan, aku tetapi tidak punya penyesalan.”

Aku kira itulah yang dikatakannya. Aku tidak mendengar jelas ucapannya, dan karena suara-suara aneh, terputus-putus, dan halusinasi sebelumnya, aku tidak lagi sepenuhnya mempercayai otakku sendiri.

Sayangnya, bersama dengannya seperti itu, tidak memberikanku kejelasan soal wanita cantik dalam naskah lakonku itu, dan untuk pertama kalinya, aku bertanya-tanya apakah sandiwara yang digambarkan oleh para manusia hanyalah gambaran yang terlampau sederhana.

Tetap saja, Ye Hua cepat tertidur, tetapi setelah terbangun mendadak seperti itu, aku tak bisa lagi tertidur. Saat aku melarikan jariku di bekas luka di dadanya, mendadak aku teringat sesuatu yang pernah kudengar.

Ada sebuah rumor tiga ratus tahun yang lalu, Klan Hiu dari Laut Selatan mengirimkan pasukan mereka untuk memberontak, berlomba-lomba mendapatkan kemerdekaan. Tidak mampu menahan mereka, Raja Air Laut Selatan pun mengirimkan sepucuk surat ke Jiu Chong Tian, memohon bala bantuan.

Tian Jun pun memerintahkan Ye Hua untuk memimpin pasukannya untuk meredakan kericuhan. Tetapi siapa sangka, Klan Hiu bertarung dengan keberanian dan penuh keganasan, dan selama pertarungan Laut Selatan ini, Ye Hua nyaris saja terbunuh.

Aku tetap berada di Qing Qiu sekian lama tanpa pergi hingga aku hanya tahu sedikit tentang kejadian ini, dan baru hari inilah aku teringat akan kejadian itu. Ketika akhirnya aku terbangun dari tidur panjangku, diikuti dengan perang dengan Qing Cang, Kakak Keempat pernah menyebutkan ini beberapa kali, meremas-remas tangannya penuh derita setiap kali ia mengingatnya, ekspresi kesakitan muncul di wajahnya.

“Bisakah kau mempercayai kalau Klan Hiu, memberontak seperti itu tanpa sebab? Makhluk abadi generasi muda ini jadi semakin sukar dikendalikan. Klan Hiu adalah contoh baiknya, dan karena ini, seluruh klan mereka dibantai habis. Tetapi, mereka nyaris mengubah pewaris Jiu Chong Tian menjadi abu berterbangan dan api yang padam, dan mereka membayar harganya.”

Kadang kala, celotehan tiada henti Kakak Keempat biasanya melelahkanku, tetapi berkat ia pula aku mengetahui tentang beberapa prestasi militer Ye Hua yang luar biasa.

Setiap pertempuran yang terjadi di Empat Lautan dan Delapan Dataran selama dua puluh ribu hingga tiga puluh ribu tahun terakhir yang dikomandoi oleh Ye Hua, pasukannya seolah tak terkalahkan, melenyapkan segala hal yang menghadang langkah mereka. Serangan terparah Ye Hua ada di tangan Klan Hiu yang mana mengejutkan semua orang, terlebih lagi Kakak Keempat.

Ye Hua terbangun saat aku tengah merenungi semua ini. Ia menatap ke bawah padaku.

“Kenapa kau bangun?” tanyanya diam-diam.

“Apa kau tidak lelah?”

Aku tidak pernah handal dalam menyimpan pertanyaan dalam kepalaku. Aku mengelus bekas luka yang mencolok di dadanya sebelum tanpa bisa ditahan lagi pertanyaanku pun terlontar.

Ia menempeli lenganku, dan suaranya seperti melayang, terdengar jauh sekali.

“Tolong jangan singgung tentang pertempuran itu. Seluruh klan mereka dihancurkan, dan aku tidak mendapatkan apa yang kuinginkan. Kedua belah pihak berakhir dengan kerugian besar.”

“Kau hampir mati di Laut Selatan,” kataku, tersenyum cerah padanya.

“Semestinya kau bahagia karena kau selamat. Apalagi yang kau inginkan?”

“Apabila aku sengaja tidak melawan, apakah menurutmu ada kesempatan bagi mereka untuk melukaiku?”

Bunyi boom keras bergaung di dalam kepalaku.

“Sengaja mengalah? Kau mempertaruhkan nyawamu dengan sengaja?”

Ia menggenggam lenganku dengan erat.

“Itu hanyalah sebuah tipu muslihat untuk membohongi Tian Jun,” jelasnya.

“Jadi, kau mencoba berpura-pura mati?” kataku, mengira aku mengerti, sebelum mulai kebingungan lagi.

“Tapi kenapa kau ingin kehilangan reputasimu sebagai si pewaris takhta langit yang tak terkalahkan dalam pertempuran? Kenapa pula kau ingin berpura-pura mati?”

Untuk waktu yang lama, ia tidak mengatakan apa-apa, dan aku mulai bertanya-tanya apakah ia mungkin saja ketiduran lagi.

Tetapi mendadak, ia memandang ke bawah padaku, dan dengan suara pahit ia berkata, “Aku tidak pernah mengetahui apa itu perasaan iri hingga aku merasakannya pada paman keduaku, Sang Ji.”

Toleransi alkoholnya sudah jelas tidak sebaik yang kukira. Ia mengkonsumsi empat atau lima botol anggur sebelumnya, dan selagi ia tetap terlihat berakal sehat barusan, sekarang ini ia berbicara seakan ia sedang mabuk. Biasanya, ia bukanlah pembicara yang aktif, tetapi segera setelah ia menyebut soal putra kedua Tian Jun, Sang Ji, pintu airnya terbuka, dan rentetan kata-kata pun membanjir keluar. Aku membayangkan kalau seluruh anggur itu pasti akhirnya baru mencapai ke kepalanya.

Selama celotehannya ini, ia mengungkapkan gosip yang mengejutkan tentang bagaimana caranya Sang Ji dan Shao Xin kawin lari, dan aku mendengarkan dengan perhatian penuh. Aku berbaring dalam pelukannya, mendengarkan dengan sangat tertarik, berlomba, mencoba mengisi jarak dalam ceritanya, dan berakhir dengan cukup bingung.

Yang kuketahui sebelumnya adalah, setelah menculik Shao Xin, Sang Ji pergi ke mahkamah Tian Jun dan berlutut di hadapannya. Ia membuat keributan besar tentang masalah itu hingga sebelum malam turun pun, seluruh Empat Lautan dan Delapan Dataran mengetahui tentang itu.

Sudah jelas ini sangat memalukan bagi klan Qing Qiu kami, dan membuat Ayah, Ibu, juga para Kakakku marah besar. Tetapi, sebelum mendengarkan Ye Hua membicarakan soal itu, aku sama sekali tidak menyadari segala lika-liku yang akhirnya mengarahkan pada kejadian penting ini.

Sang Ji sangat mencintai Shao Xin, dan membawanya ke Jiu Chong Tian merupakan sebuah tanda besar atas perasaan mendalamnya. Sang Ji selalu menikmati keuntungan menjadi putra kesayangan Tian Jun. Ia mengira, jika ia mengekspresikan cinta sejatinya pada Shao Xin, ia bisa memenangkan ayahnya, yang akan memberikan restunya pada pasangan muda yang keras kepala ini.

Sebaliknya, deklarasi Sang Ji tentang perasaannya pada Shao Xin menyebabkan malapetaka.

Tian Jun menolak memberikan restunya dan merasa sangat dipermalukan oleh fakta bahwa putra keduanya jatuh cinta pada seekor ular ba. Bukan hanya ini, tindakan putranya juga menyebabkan penghinaan besar pada dewi agung Qing Qiu dan akan memberikan dampak pada persahabatan di antara Klan Langit dan Klan Rubah Putih Ekor Sembilan Qing Qiu.

Tian Jun masih tidak mengetahui kalau anaknya begitu tidak tahu malu hingga meninggalkan sepucuk surat di gua rubah, membatalkan pertunangannya. Ia masih berharap demi persahabatan kedua klan, ia mungkin bisa menyelesaikan segalanya, menutupi sarang lebah yang sudah disenggol oleh putra keduanya.

Di satu siang yang terang dan cerah, Tian Jun pun memutuskannya. Ia menarik Shao Xin, yang mana si Sang Ji yang sangat menyayanginya memastikan akan memperlakukannya dengan sangat baik di Jiu Chong Tian hingga saat itu, dan menguncinya di dalam menara iblis.

Sang Ji marah besar saat mengetahui apa yang telah dilakukan ayahnya. Ia bergegas menuju kamar tidur Tian Jun dan berlutut di luar selama dua hari penuh, hingga lututnya diselimuti memar. Yang berhasil diketahuinya dari Tian Jun adalah kalau si ular ba kecil itu adalah iblis tak berguna yang tak hanya dengan lancangnya menggoda putra kedua Tian Jun, melainkan juga menyebabkan gelombang besar di masa damai ini.

Sesuai dengan peraturan langit, hukumannya adalah dengan menghancurkan penempaan energi spiritualnya dan mengasingkannya ke dunia manusia, tidak pernah lagi kembali menjadi seorang makhluk abadi.

Sang Ji hanya seorang pangeran dan tak berdaya melawan kekuasaan ayahnya. Ia tidak tahu bagaimana caranya menyelamatkan Shao Xin. Ia putus asa sekali hingga ia mengancam untuk membunuh dirinya sendiri. Ia memohon untuk diizinkan pergi ke dunia manusia bersama Shao Xin agar keduanya dapat bersama-sama. Ia bersedia mengorbankan nyawanya demi bersama Shao Xin, berubah menjadi abu dan debu apabila itulah yang diperlukan agar bisa berada di sisinya.

Related Posts:

0 comments:

Posting Komentar