Ten Miles of Peach Blossoms
Chapter 19 Part 2
Malam itu, aku mencari
jalanku menuju kamar tidur Ye Hua.
Ia sedang duduk
di atas bangku marmer di halaman, minum-minum. Ada sebotol anggur dari batu
aventurine di atas meja marmer di sebelahnya, dan tujuh hingga delapan botol tergeletak
berserakan di samping, di bawah meja. Koral di dekatnya pun memantulkan
botol-botol ini, bersinar dengan warna hijau terang berkilauan. Kemarin, ketika
Buntalan mabuk, Nai Nai menghela napas terus-menerus tentang bagaimana Yang
Mulia Pangeran Kecilnya pasti mewarisi ayahnya kalau soal alkohol.
Ia terkejut
saat melihatku dan mengangkat tangan ke keningnya.
“Aku tebak, kau
datang untuk mengambil Jie Po Deng,” katanya sambil berdiri.
Setelah
berdiri, ia mulai limbung. Aku mengulurkan tangan untuk menopangnya, tetapi
dengan halus ia mengibaskannya.
“Aku baik-baik
saja,” katanya tenang.
Raja Laut Barat
menyediakan sebuah kamar tidur yang luar biasa untuknya, dan meja tempatnya
duduk berada seratus langkah dari aula bagian dalam. Wajahnya benar-benar tanpa
eskpresi, tetapi beberapa kali lebih pucat dari terakhir kali aku melihatnya,
dan ketika dilihat berhadapan dengan rambut hitam gelap terurainya, pipinya
tampak agak pucat kelabu. Ia berbalik dan mulai berjalan menuju aula, dan aku
mengikutinya, tiga atau empat langkah di belakang.
Ia berjalan
dengan mantap sekarang, seakan-akan yang terhuyung barusan adalah pria lain. Ia
berjalan agak lamban dari biasanya dan kerap kali mengangkat tangan untuk
mengusap pelipisnya. Ia terlihat agak mabuk, tetapi Ye Hua bahkan mabuk dalam
diam, cocok sekali dengan kepribadiannya.
Tidak ada
dayang yang melayani di aulanya. Aku duduk di sebuah bangku dan menengadahkan
wajahku, beradu pandang dengan tatapan tak bernyawanya.
Matanya tajam
dan indah, dan terisi penuh oleh kegelapan. Saat ia tidak sedang tersenyum,
tampak sangat dingin, tetapi tentu saja, tetap terisi oleh kebangsawanan Jiu
Chong Tian.
Meskipun aku
handal dalam menilai suasana hati orang lain dari perkataan dan gestur mereka,
biasanya aku tidak cukup ahli dalam membaca mata. Namun, hari ini berbeda, dan
kami berdua saling berpandangan cukup lama, yang membuatku melihat melalui rasa
dingin itu, terdapat kesedihan dan kesengsaraan.
Ia mengalihkan
pandangannya ke samping, dan ia terdiam sejenak sebelum menggumamkan sesuatu
dengan pelan. Aku menatap kosong ke arah lentera minyak yang mendadak muncul di
tangannya.
“Jadi, inilah
Jie Po Deng?” aku terkagum.
“Tetapi tampak
biasa saja.”
Ia meletakkan
lentera itu ke dalam tanganku, dan dengan ekspresi tenang, ia berkata,
“Letakkan di atas kepala ranjang Die Yong selama tiga hari dan pastikan tidak
padam selama masa itu. Semua bagian dari jiwa Mo Yuan akan kembali menyatu. Api
di lentera ini harus dijaga dengan hati-hati sepanjang waktu. Jangan tergoda
untuk menggunakan energi abadi untuk melindunginya demi memudahkan dirimu.”
Ia menjatuhkan
lenteranya ke dalam tanganku, dan satu lingkaran energi yang familier pun
mengalir kepadaku. Diwarnai dengan debu merah, lebih mirip dengan energi
manusia. Aku tidak pernah punya teman manusia, jadi mengejutkanku betapa
familiernya rasa energi ini.
Aku pun
mengangguk mendengar peringatannya, mengatakan, “Tentu saja. Aku akan sangat
berhati-hati.”
“Kecemasanku
sia-sia saja,” pada akhirnya ia berkata.
“Kau selalu
sangat rajin dan berhati-hati jika itu terkait dengan Mo Yuan.”
Sebagai sebuah
artefak suci Klan Langit, Jie Po Deng diabadikan dan disembah oleh Tian Jun di
masa lalu. Dengan begitu banyaknya konvensi, artinya Jiu Chong Tian sangatlah
ketat, dan peraturannya selalu dijunjung tinggi. Aku sedikit heran mengenai
fakta, meskipun si tua Tian Jun masih hidup, Ye Hua, yang saat ini hanyalah
seorang pewaris takhta, memiliki lentera berharga ini.
Istana Langit
sangat berbeda dari Qing Qiu, bahkan Istana Da Si Ming. Peraturan mereka ketat,
dan artefak klan mereka tidak pernah dipinjamkan dengan bebas kepada orang
luar. Jika aku pergi ke Istana Langit untuk menemui Tian Jun dan meminjam
lentera ini, maka itu akan melunasi hutang Jiu Chong Tian pada Qing Qiu. Fakta bahwa
Ye Hua meminjamkanku lentaranya seperti ini sangat menyentuh diriku.
Aku berbalik ke
arahnya, memegangi lenteranya.
“Kau sudah
memberikan bantuan besar padaku,” seruku.
“Takutnya, ini
akan merugikan dirimu. Jika ada sesuatu yang kau inginkan sebagai gantinya,
yang perlu kau lakukan hanyalah mengatakannya saja. Aku akan mengabulkan semua
keinginanmu yang dapat kulakukan.”
Ia duduk di
kursi berseberangan denganku, terlihat lelah.
Ia mengernyit
samar dan berkata, “Tidak ada yang kuinginkan.”
Ekspresinya itu
lagi-lagi menyengat sanubariku. Sebelum ceramah Kakak Keempat, aku tidak dapat
benar-benar menjelaskan mengenai tarikan aneh yang kadang kala muncul ini.
Tetapi, setelah ilham dari Kakak Keempat, aku mulai memikirkan kalau ia mungkin
saja benar dan menjelajahi emosiku sendiri lebih jauh. Aku sudah mulai meluaskan
kesadaran atas perasaanku.
Jie Po Deng
sudah berada di tanganku sekarang.
Haruskah aku
berbalik dan pergi, atau tetap tinggal di sana dan meluruskan semuanya dengan
Ye Hua?
Mungkin ia
sedang tidak ingin bicara, dan akan lebih baik membiarkannya sendirian di sana?
Aku ragu-ragu
saat aku memikirkannya.
“Apakah sungguh
tak ada yang kau inginkan? Kalau begitu, aku akan pergi sekarang.”
Ia mendongak
tajam dan menatapku, wajahnya tenang.
“Kau ingin tahu
apa yang kuinginkan?” katanya perlahan.
“Itu adalah
satu-satunya hal yang kuinginkan.”
Ia
memandangiku, wajahnya kaku.
“Hanya dirimu.”
Aku mulai
gemetaran.
Apa yang
terjadi padaku malam ini?
Mendengarkan
kata-kata romantis itu tidak membuatku mual, malahan membuatku terharu, begitu
pula dengan ekspresi di wajahnya.
Ia selalu
tampan, dan ketika ia mengutarakan hal indah semacam itu, siapa yang mungkin
bisa menolaknya?
Di bawah
tatapan dalamnya, aku mendengar beberapa kata keluar dari mulutku.
Butuh waktu
sejenak bagiku untuk menyadari apa yang baru saja aku katakan. Saat aku
menyadarinya, aku ingin jatuh ke dalam lubang yang dalam dan terkubur di
tengah-tengah bumi.
Kata-kata yang
keluar dari mulutku adalah, “Apakah kau ingin menghabiskan malam penuh kemesraan
bersamaku?”
Aku mendapatkan
kembali akalku sebelum Ye Hua. Dengan wajah merah padam, aku membungkus lenteranya
dan ingin pergi, tetapi Ye Hua menghampiri sebelum aku sampai di ambang
pintunya dan memelukku dari belakang.
Aku mengangkat
kepalaku ke arah kasau, ingin pura-pura mati saja saking malunya. Uap alkohol
di sekeliling Ye Hua seolah memberi lapisan mantra yang memusingkan, dan ia
memelukku begitu eratnya hingga membuat penyesalanku menghilang. Yang kurasakan
adalah kabut tipis bunga persik, seolah jiwaku sudah meninggalkan tubuhku.
Jiwaku mungkin sebenarnya sudah meninggalkan tubuhku, karena aku melanjutkan
dengan kata-kata yang lebih lancang lagi.
“Agak kurang
pantas melakukannya di ambang pintu. Haruskah kita pindah ke ranjang?”
Aku melemparkan
satu mantra dan mengubah tubuhku kembali ke wujud wanita ....
***
Aku terbangun
di tengah malam dengan kepala kebingungan, seolah ada seseorang yang
menggantikannya dengan satu kuali besar berisi bubur nasi. Ye Hua pasti
mengeluarkan satu mantra untuk menghadang cahaya dari mutiara malamnya. Ia
memelukku erat di dadanya, dan wajahku bersandar di luka lamanya yang panjang.
Aku memikirkan
kembali malam penyatuan kami, yang dapat kuingat adalah tirai ranjang yang
berkibar.
Setelah
kegembiraan fisik itu, aku melayang masuk ke dalam tidur samar yang mana aku
pun teringat samar akan ucapannya, “Jika aku hanya bisa memilikimu seutuhnya
kali ini saja, meskipun hanya satu malam, meskipun kau melakukannya hanya supaya
mendapatkan Jie Po Deng demi Mo Yuan, aku tetapi tidak punya penyesalan.”
Aku kira itulah
yang dikatakannya. Aku tidak mendengar jelas ucapannya, dan karena suara-suara
aneh, terputus-putus, dan halusinasi sebelumnya, aku tidak lagi sepenuhnya
mempercayai otakku sendiri.
Sayangnya,
bersama dengannya seperti itu, tidak memberikanku kejelasan soal wanita cantik
dalam naskah lakonku itu, dan untuk pertama kalinya, aku bertanya-tanya apakah
sandiwara yang digambarkan oleh para manusia hanyalah gambaran yang terlampau
sederhana.
Tetap saja, Ye
Hua cepat tertidur, tetapi setelah terbangun mendadak seperti itu, aku tak bisa
lagi tertidur. Saat aku melarikan jariku di bekas luka di dadanya, mendadak aku
teringat sesuatu yang pernah kudengar.
Ada sebuah
rumor tiga ratus tahun yang lalu, Klan Hiu dari Laut Selatan mengirimkan
pasukan mereka untuk memberontak, berlomba-lomba mendapatkan kemerdekaan. Tidak
mampu menahan mereka, Raja Air Laut Selatan pun mengirimkan sepucuk surat ke
Jiu Chong Tian, memohon bala bantuan.
Tian Jun pun
memerintahkan Ye Hua untuk memimpin pasukannya untuk meredakan kericuhan.
Tetapi siapa sangka, Klan Hiu bertarung dengan keberanian dan penuh keganasan,
dan selama pertarungan Laut Selatan ini, Ye Hua nyaris saja terbunuh.
Aku tetap
berada di Qing Qiu sekian lama tanpa pergi hingga aku hanya tahu sedikit
tentang kejadian ini, dan baru hari inilah aku teringat akan kejadian itu.
Ketika akhirnya aku terbangun dari tidur panjangku, diikuti dengan perang
dengan Qing Cang, Kakak Keempat pernah menyebutkan ini beberapa kali,
meremas-remas tangannya penuh derita setiap kali ia mengingatnya, ekspresi
kesakitan muncul di wajahnya.
“Bisakah kau
mempercayai kalau Klan Hiu, memberontak seperti itu tanpa sebab? Makhluk abadi
generasi muda ini jadi semakin sukar dikendalikan. Klan Hiu adalah contoh
baiknya, dan karena ini, seluruh klan mereka dibantai habis. Tetapi, mereka
nyaris mengubah pewaris Jiu Chong Tian menjadi abu berterbangan dan api yang
padam, dan mereka membayar harganya.”
Kadang kala,
celotehan tiada henti Kakak Keempat biasanya melelahkanku, tetapi berkat ia
pula aku mengetahui tentang beberapa prestasi militer Ye Hua yang luar biasa.
Setiap pertempuran
yang terjadi di Empat Lautan dan Delapan Dataran selama dua puluh ribu hingga tiga
puluh ribu tahun terakhir yang dikomandoi oleh Ye Hua, pasukannya seolah tak
terkalahkan, melenyapkan segala hal yang menghadang langkah mereka. Serangan
terparah Ye Hua ada di tangan Klan Hiu yang mana mengejutkan semua orang,
terlebih lagi Kakak Keempat.
Ye Hua
terbangun saat aku tengah merenungi semua ini. Ia menatap ke bawah padaku.
“Kenapa kau
bangun?” tanyanya diam-diam.
“Apa kau tidak
lelah?”
Aku tidak
pernah handal dalam menyimpan pertanyaan dalam kepalaku. Aku mengelus bekas
luka yang mencolok di dadanya sebelum tanpa bisa ditahan lagi pertanyaanku pun
terlontar.
Ia menempeli
lenganku, dan suaranya seperti melayang, terdengar jauh sekali.
“Tolong jangan
singgung tentang pertempuran itu. Seluruh klan mereka dihancurkan, dan aku
tidak mendapatkan apa yang kuinginkan. Kedua belah pihak berakhir dengan
kerugian besar.”
“Kau hampir
mati di Laut Selatan,” kataku, tersenyum cerah padanya.
“Semestinya kau
bahagia karena kau selamat. Apalagi yang kau inginkan?”
“Apabila aku
sengaja tidak melawan, apakah menurutmu ada kesempatan bagi mereka untuk melukaiku?”
Bunyi boom keras bergaung di dalam kepalaku.
“Sengaja
mengalah? Kau mempertaruhkan nyawamu dengan sengaja?”
Ia menggenggam
lenganku dengan erat.
“Itu hanyalah
sebuah tipu muslihat untuk membohongi Tian Jun,” jelasnya.
“Jadi, kau
mencoba berpura-pura mati?” kataku, mengira aku mengerti, sebelum mulai
kebingungan lagi.
“Tapi kenapa
kau ingin kehilangan reputasimu sebagai si pewaris takhta langit yang tak
terkalahkan dalam pertempuran? Kenapa pula kau ingin berpura-pura mati?”
Untuk waktu
yang lama, ia tidak mengatakan apa-apa, dan aku mulai bertanya-tanya apakah ia
mungkin saja ketiduran lagi.
Tetapi
mendadak, ia memandang ke bawah padaku, dan dengan suara pahit ia berkata, “Aku
tidak pernah mengetahui apa itu perasaan iri hingga aku merasakannya pada paman
keduaku, Sang Ji.”
Toleransi
alkoholnya sudah jelas tidak sebaik yang kukira. Ia mengkonsumsi empat atau
lima botol anggur sebelumnya, dan selagi ia tetap terlihat berakal sehat
barusan, sekarang ini ia berbicara seakan ia sedang mabuk. Biasanya, ia
bukanlah pembicara yang aktif, tetapi segera setelah ia menyebut soal putra
kedua Tian Jun, Sang Ji, pintu airnya terbuka, dan rentetan kata-kata pun
membanjir keluar. Aku membayangkan kalau seluruh anggur itu pasti akhirnya baru
mencapai ke kepalanya.
Selama
celotehannya ini, ia mengungkapkan gosip yang mengejutkan tentang bagaimana
caranya Sang Ji dan Shao Xin kawin lari, dan aku mendengarkan dengan perhatian
penuh. Aku berbaring dalam pelukannya, mendengarkan dengan sangat tertarik,
berlomba, mencoba mengisi jarak dalam ceritanya, dan berakhir dengan cukup
bingung.
Yang kuketahui
sebelumnya adalah, setelah menculik Shao Xin, Sang Ji pergi ke mahkamah Tian Jun
dan berlutut di hadapannya. Ia membuat keributan besar tentang masalah itu
hingga sebelum malam turun pun, seluruh Empat Lautan dan Delapan Dataran
mengetahui tentang itu.
Sudah jelas ini
sangat memalukan bagi klan Qing Qiu kami, dan membuat Ayah, Ibu, juga para
Kakakku marah besar. Tetapi, sebelum mendengarkan Ye Hua membicarakan soal itu,
aku sama sekali tidak menyadari segala lika-liku yang akhirnya mengarahkan pada
kejadian penting ini.
Sang Ji sangat
mencintai Shao Xin, dan membawanya ke Jiu Chong Tian merupakan sebuah tanda
besar atas perasaan mendalamnya. Sang Ji selalu menikmati keuntungan menjadi
putra kesayangan Tian Jun. Ia mengira, jika ia mengekspresikan cinta sejatinya
pada Shao Xin, ia bisa memenangkan ayahnya, yang akan memberikan restunya pada pasangan
muda yang keras kepala ini.
Sebaliknya,
deklarasi Sang Ji tentang perasaannya pada Shao Xin menyebabkan malapetaka.
Tian Jun
menolak memberikan restunya dan merasa sangat dipermalukan oleh fakta bahwa putra
keduanya jatuh cinta pada seekor ular ba.
Bukan hanya ini, tindakan putranya juga menyebabkan penghinaan besar pada dewi
agung Qing Qiu dan akan memberikan dampak pada persahabatan di antara Klan
Langit dan Klan Rubah Putih Ekor Sembilan Qing Qiu.
Tian Jun masih
tidak mengetahui kalau anaknya begitu tidak tahu malu hingga meninggalkan
sepucuk surat di gua rubah, membatalkan pertunangannya. Ia masih berharap demi
persahabatan kedua klan, ia mungkin bisa menyelesaikan segalanya, menutupi
sarang lebah yang sudah disenggol oleh putra keduanya.
Di satu siang
yang terang dan cerah, Tian Jun pun memutuskannya. Ia menarik Shao Xin, yang
mana si Sang Ji yang sangat menyayanginya memastikan akan memperlakukannya
dengan sangat baik di Jiu Chong Tian hingga saat itu, dan menguncinya di dalam
menara iblis.
Sang Ji marah
besar saat mengetahui apa yang telah dilakukan ayahnya. Ia bergegas menuju
kamar tidur Tian Jun dan berlutut di luar selama dua hari penuh, hingga
lututnya diselimuti memar. Yang berhasil diketahuinya dari Tian Jun adalah
kalau si ular ba kecil itu adalah
iblis tak berguna yang tak hanya dengan lancangnya menggoda putra kedua Tian Jun,
melainkan juga menyebabkan gelombang besar di masa damai ini.
Sesuai dengan
peraturan langit, hukumannya adalah dengan menghancurkan penempaan energi
spiritualnya dan mengasingkannya ke dunia manusia, tidak pernah lagi kembali
menjadi seorang makhluk abadi.
Sang Ji hanya
seorang pangeran dan tak berdaya melawan kekuasaan ayahnya. Ia tidak tahu
bagaimana caranya menyelamatkan Shao Xin. Ia putus asa sekali hingga ia
mengancam untuk membunuh dirinya sendiri. Ia memohon untuk diizinkan pergi ke
dunia manusia bersama Shao Xin agar keduanya dapat bersama-sama. Ia bersedia
mengorbankan nyawanya demi bersama Shao Xin, berubah menjadi abu dan debu
apabila itulah yang diperlukan agar bisa berada di sisinya.
0 comments:
Posting Komentar