Rabu, 21 Juli 2021

3L3W TMOPB - Chapter 19 Part 3

Ten Miles of Peach Blossoms

Chapter 19 Part 3

Deklarasi Sang Ji penuh keputusasaan dan melankolis hingga semua orang yang ada di Jiu Chong Tian yang mendengarnya akan mulai meratap. Tetapi, Tian Jun, menjadi seorang Tian Jun, dan pimpinan Klan Langit, ia punya caranya sendiri dalam menangani masalah, dan ia menghancurkan Sang Ji hanya dengan beberapa kata sederhana.

“Jika kau ingin mencabut nyawamu, aku tak akan menghentikanmu,” katanya.

“Tetapi, itu artinya, nyawa ular ba kecilmu berada di tanganku. Silakan saja hancurkan jiwamu sendiri, asal kau tahu, segera setelah kau berubah jadi abu yang melayang dan api yang padam, aku akan dengan sungguh-sungguh menyiksa ular ba kecilmu itu. Akan kuberikan begitu banyak rasa sakit dan penderitaan padanya hingga ia tidak akan tahu apakah harus memohon demi nyawanya atau membiarkannya mati saja.”

Sang Ji terdiam kaku, tetapi tak lagi menyebut-nyebut soal kematian atas nama cinta; ia hanya duduk menyepi di istananya. Tian Jun lega melihat akhirnya Sang Ji sudah tenang, dan pikirannya berpindah dari mengurusi peristiwa sial ini ke masalah baru.

Segera setelah punggungnya berbalik, Sang Ji, yang bersandiwara menyendiri dan menyerah, mengambil kesempatan untuk melarikan diri. Ia menghambur di mahkamah Tian Jun dan berlutut di hadapannya, menyebabkan keributan yang dalam sekejap saja, semua orang di antara langit dan bumi mengetahui apa yang terjadi.

Saat itulah, Zhe Yan dan orang tuaku mendatangi Jiu Chong Tian, meminta keadilan. Jika Sang Ji tidak mengubah hal ini menjadi masalah publik dan urusan besar, Tian Jun dapat secara diam-diam menyingkirkan Shao Xin sesukanya tanpa seorang pun yang lebih bijak. Tetapi sekarang, semua orang membicarakannya, dan selagi Tian Jun punya hak untuk melarang Shao Xin mendapatkan perlakuan baik di Istana Langit, ia tidak melakukan apa pun yang bisa membenarkannya untuk menghukum mati ular itu. Kedua tangan Tian Jun terikat. Ia tidak punya pilihan lain selain melepaskan Shao Xin dan mengusir Sang Ji, oleh karenanya memperbolehkan mereka berdua bersama-sama.

“Sang Ji memohon pengampunan dan mendapatkannya,” jelas Ye Hua.

“Itu adalah jalan yang terjal, tetapi pada akhirnya ia mendapatkan apa yang diinginkannya. Tian Jun tetap menyayanginya, tetapi tak lagi ada pertanyaan mengenai dirinya menjadi pewaris Takhta Langit. Ia terbebas dari belenggu gelar itu. Ia mendapatkan kebebasannya, benar-benar bebas.”

Aku memeluk lengannya dan menguap.

“Bagaimana denganmu?” tanyaku.

“Aku?” pada akhirnya, ia pun berbicara.

“Saat aku terlahir, tujuh puluh dua burung berbagai warna mengitari sekeliling kasaunya dan cahaya samar bersinar di Timur selama tiga tahun penuh. Mo Yuan adalah dewa lainnya yang kelahirannya pun ditandai dengan kehormatan semacam ini. Tian Jun melihat kemenangan yang belum pernah terjadi sebelumnya, menyelimuti kelahiranku dan langsung menamaiku sebagai pewaris takhtanya, walaupun baru ketika berusia lima puluh ribu tahun aku diberikan upacara resminya. Sepanjang waktu aku tumbuh dewasa, aku tahu kalau suatu hari nanti, Bai Qian dari Qing Qiu akan menjadi istriku.”

Aku tidak pernah mengetahui kalau kelahirannya seheboh itu.

“Apakah kau tidak penasaran tentang diriku ketika kau masih lebih muda?”

Aku bertanya-tanya langsung.

“Apa yang akan kau lakukan jika kau tidak menginginkanku sebagai istrimu?”

Ia terdiam dan memelukku lebih erat lagi.

“Jika bukan Bai Qian dari Qing Qiu yang kucintai,” ia memulai perlahan, “Aku akan menipu para makhluk abadi tua yang bengah itu agar mengira aku sudah berubah jadi abu berterbangan dan api yang padam dan meninggalkan Tiga Alam dan Lima Fase untuk menemukan sebuah tempat yang benar-benar baru, hidup bahagia dan memelihara cintaku.”

Semua pembicaraan ini membuatku bengong dan mengantuk. Aku mendesah kagum tentang bagaimana cara keberuntungan bekerja.

“Beruntungnya kau memang jatuh cinta pada Bai Qian dari Qing Qiu,” kataku, menarik selimut awannya, mencari posisi yang nyaman di dalam pelukannya, dan kembali tertidur.

Setengah tidur dan terbangun, aku mendadak mendengarnya berkata, “Qian Qian, jika ada orang yang mencoba mengambil matamu dan membuatmu tak bisa melihat, apakah kau bisa memaafkan mereka?”

Aku kebingungan atas keanehan pertanyaannya.

“Tidak aada seorang pun di seluruh Empat Lautan dan Delapan Dataran yang berani mencobanya!” ucapku asal-asalan, merasa kebingungan.

Ia pun terdiam sekian lama.

Tepat saat aku kembali akan tertidur, ia berkata, “Bagaimana kalau orang itu adalah aku?”

Aku menyentuh mataku, masih berada di dalam lubang mataku, merasa benar-benar tak masuk akal atas ucapan gilanya. Aku memeluk lengannya.

“Takutnya, itu berarti, akhir dari hubungan kita,” kataku santai.

“Kau benar-benar tidak mengingatnya, ya?” katanya.

“Mengingat apa?” tanyaku, tidak mengerti nada suram dalam suaranya.

“Dulu sekali, sebelum aku digelari sebagai pewaris secara resmi, aku dikirim ke dunia manusia untuk menghabisi monster singa merah emas menyala,” kata Ye Hua.

“Aku berhasil menghabisinya, tetapi aku terluka parah. Sangat parah sebenarnya, hingga aku berubah menjadi seekor naga kecil. Selagi memulihkan diri, aku menemukan sebuah pondok jerami di Gunung Jun Ji dan tertidur panjang. Saat aku terbangun, aku melihat seorang wanita dengan wajah yang cantik. Ia mengenakan pakaian putih, dan selama berminggu-minggu ia merawatku dalam wujud nagaku. Di malam hari, selagi ia tertidur, aku akan berubah wujud lagi menjadi manusia dan memeluknya.”

Ye Hua menjeda. Aku kira, ia mungkin cemas kalau aku akan cemburu pada wanita ini, tetapi anehnya aku tidak merasa cemburu. Perkataannya tampaknya mengaduk-aduk sesuatu dalam benakku, tetapi aku tidak mengatakan apa-apa, dan ia pun melanjutkan.

“Suatu hari, sementara aku bersamanya di Gunung Jun Ji, ia membawa pulang seekor gagak dan memeliharanya sebagai peliharaan bersama denganku. Aku tidak tahan harus berbagi perhatiannya, jadi saat punggungnya berbalik, aku berubah wujud lagi jadi pria, memanggil awan, dan kembali ke Jiu Chong Tian. Tetapi, aku tak mampu berhenti memikirkannya, jadi aku menyusun sebuah rencana.”

Ye Hua berhenti lagi, tetapi aku masih tak berkata apa-apa. Benakku tertutup oleh pemikiran aneh, tetapi aku tidak bisa memahaminya.

Ye Hua pun berucap lagi.

“Aku memasang sebuah medan pelindung di sekitar pegunungan agar tidak ada seorang pun di Jiu Chong Tian yang bisa melihatnya, dan setelahnya aku kembali padanya, kali ini sebagai seorang pria. Aku melemparkan sebuah mantra pada diriku sendiri agar terlihat seakan-akan aku terluka parah. Aku muncul di hadapannya, dan ia berjuang keras untuk menyelamatkanku. Aku membiarkannya merawatku kembali sehat meskipun sejak awal aku memang tidak apa-apa. Saat aku sudah sembuh, aku memberitahunya kalau aku harus membalas budinya. Ia memintaku untuk membalas dengan tubuhku, dan kami menikah di dunia manusia.”

Ye Hua pun terdiam.

“Lanjutkan,” kataku bahkan sebelum aku menyadarinya.

Rasanya seperti aku sedang melamun. Aku tidak merasakan cemburu sama sekali. Aku bahkan tidak terkejut pada tipu daya Ye Hua. Anehnya, semua tampak familier.

“Aku jatuh cinta pada wanita ini. Aku tak lagi berharap menjadi seorang pewaris. Aku ingin tinggal di gunung bersamanya. Luka ini,” Ye Hua berkata selagi ia melarikan jarinya menuruni bekas luka dari pertarungan melawan Klan Hiu, “adalah hasil dari tipu muslihatku pada Tian Jun. Ketika Klan Hiu memberontak, aku diutus untuk bertarung melawan mereka. Aku membiarkan pemimpin mereka melukaiku dengan begitu parahnya agar terlihat seperti aku akan mati. Rencanaku adalah untuk membuat Tian Jun mempercayai ini dan setelahnya kembali ke gunung untuk bisa bersama-sama dengannya.

“Tetapi, selagi aku pergi dari gunung, bertarung dengan Klan Hiu, ia pergi, menembus medan pelindung yang sudah kubuat yang melindungi kami dari mata Alam Langit. Tian Jun melihat ia mengandung anakku. Tidak ada cara untuk melarikan diri dari takdir kami. Aku mengabaikan rencana berpura-pura mati. Tian Jun pun membawanya ke Jiu Chong Tian untuk melahirkan anakku, tetapi aku waspada sekali padanya setelah melihat caranya memperlakukan Shao Xin dan Sang Ji. Aku harus bersikap sangat dingin pada wanita itu. Aku tidak boleh membiarkan Tian Jun mengetahui bahwa kami saling mencintai.”

Ye Hua berbicara tenang agar tidak membuatku kecewa, tetapi anehnya aku mati rasa.

“Apa yang terjadi padanya?” tanyaku.

“Tian Jun tidak bisa dibodohi,” kata Ye Hua.

“Ia mengirimku keluar untuk bertarung, dan setelahnya ....”

“Setelahnya, apa?” kataku.

“Dan apa hubungannya ini dengan seseorang mencungkil mataku?”

“Qian Qian ....”

Aku merasakan dirinya mengigil di dadaku.

“Siapa namanya?” tanyaku.

Memelukku bahkan lebih erat lagi, ia pun berkata, “Tidurlah.”

Aku menantikannya untuk berbicara lebih banyak, agar ia menjelaskan, agar dengungan di benakku terdiam, tetapi ia tak lagi mengatakan apa pun. Pada akhirnya, aku memejamkan mata dan dunia kembali menghitam.

***

Malam itu aku bermimpi.

Aku sadar kalau itu adalah mimpi selagi aku memimpikannya.

Dalam mimpi ini, aku sedang berdiri di atas puncak gunung yang diterangi dengan cemerlangnya bunga persik. Bunga-bunganya bermekaran penuh, berguguran di sepanjang pegunungan ini, tak terputus. Seindah Sepuluh Mil Kebun Persik milik Zhe Yan. Di kedalaman bunga-bunga persik yang indah ini, ada sebuah pondok jerami, dan suara kicauan jernih dari burung terdekat pun terdengar.

Aku melangkah ke depan dan membuka pintu pondok jerami itu. Di dalamnya, aku melihat seorang gadis berpakaian putih sedang berdiri di belakang seorang pria berpakaian hitam yang tengah duduk, menyisir rambutnya di depan sebuah cermin perunggu tua. Keduanya memunggungiku. Aku bisa melihat pantulan samar mereka dari dalam cerminnya, tetapi mereka terselubung dalam kabut yang pekat, menghadang wajah mereka.

“Aku sudah menemukan suatu tempat dimana kita berdua bisa tinggal,” kata yang pria.

“Bukan tempat berbukit hijau dan berair jernih, namun, aku tidak yakin apakah kau akan menikmati tinggal di sana.”

“Bisakah kita menanam pohon persik di sana?” si gadis bertanya.

“Selama kita bisa menanam pohon persik, aku tidak keberatan. Kita bisa menggunakan kayu-kayu dari pohon persik untuk membangun rumah kita, dan kita bisa memakan buah persik sebanyak yang kita inginkan. Tetapi, apakah kau tidak senang dengan gunung yang indah ini? Dan kau baru saja selesai memperbaiki pondok kita. Kenapa kau ingin kita pindah?”

Energi abadi terpancar dari pria itu, sementara si gadis, sudah jelas adalah seorang manusia, tidak memilikinya. Suara mereka terasa akrab, tetapi karena ini adalah sebuah mimpi, seluruh pengalaman ini terpotong-potong, dan aku tidak tahu bagaimana caranya aku mengenali mereka.

Pria itu terdiam sejenak.

“Tanahnnya berbeda di sana, dan aku tidak yakin apakah kita bisa menanam pohon persik. Tetapi, jika kau ingin persik, kita akan menemukan caranya.”

Gadis itu terdiam sejenak sebelum akhirnya mencondong ke depan dan melingkarkan lengannya di pundak pria itu. Ia berbalik dan memandanginya sesaat, mengelus rambut yang ada di keningnya dengan jari rampingnya dan setelahnya menciumnya di sana.

Mereka berciuman dengan sebergairah itu, hingga mereka tampak menyatu. Aku masih mencoba melihat wajah mereka lebih jelas, dan karena aku tahu ini hanyalah sebuah mimpi, aku tidak mencoba mengalihkan pandanganku. Aku menonton pasangan berciuman ini dengan mata yang terbuka lebar selagi mereka berjalan ke arah ranjang, walaupun kenyataannya sekarang ini tengah hari dan mataharinya bersinar dengan terang di luar sana.

Tiba-tiba saja, aku melihat adegan lainnya.

Aku pun menghela napas. Aku memang sedang bermimpi.

Latar pemandangan baru ini adalah mulut dari kebun persik.

“Apa pun yang terjadi, kau tidak boleh menginjakkan kaki keluar dari gunung ini,” pria berbaju hitam mendesak si gadis berbaju putih.

“Kau sedang mengandung anakku sekarang, dan kau akan mudah dilacak. Jika itu terjadi, semuanya akan jadi sangat sulit bagi kita. Aku akan kembali sesegera mungkin setelah aku selesai melakukan apa yang perlu kulakukan. Oh, dan juga, aku sudah memikirkan bagaimana caranya agar kita bisa menanam pohon persik.”

Segera setelah ia selesai mengatakan ini, ia menarik sebuah cermin perunggu dari kantong lengan bajunya dan meletakkannya di atas tangan si gadis.

“Jika kau merasa kesepian, panggillah namaku di cermin ini, dan aku akan berbicara padamu kalau aku bisa. Tetapi ingatlah, apa pun yang terjadi, kau tidak boleh menginjakkan kakimu keluar dari gunung ini.”

Gadis itu terus mengangguk sampai ia menghilang.

Ia pun mendesah dalam diam dan berkata, “Kita sudah menyembah langit bumi di Dataran Timur saat kita menikah, tetapi ia masih belum membawaku kembali untuk menemui keluarganya. Aku merasa seolah aku hanyalah simpanannya. Tetap harus bersembunyi setelah aku mengandung bayinya, tidak ada cara untuk hidup.”

Ia menggelengkan kepalanya dan masuk ke dalam.

Aku ikut menggeleng juga. Hubungan mereka ini tidak ada bedanya dari para makhluk abadi dengan manusia sejak dahulu kala; tidak akan berakhir baik.

Segera setelah si gadis masuk ke dalam rumah, pemandangan di depanku berubah lagi.

Tetap sama dengan kebun persik yang kulihat, tetapi kebanyakan pohon persiknya sudah layu, dan semua cabang serta rantingnya tandus. Bulan yang bundar menggantung di langit. Pemandangan yang sangat menyedihkan. Gadis berbaju putih sedang memegangi cermin perunggu dan memanggil sesuatu. Yang bisa kulihat adalah penampilannya yang kabur dan tak jelas, juga bibirnya yang terbuka dan terkatup, tetapi aku tidak bisa mendengarkan apa yang ia katakan.

Gadis itu mendadak berjalan terhuyung keluar dari pondok. Jantungku berdegup kencang. Aku benar-benar lupa aku sedang bermimpi. Aku cepat-cepat keluar bersamanya.

“Apa kau tidak ingat, suamimu menyuruhmu jangan meninggalkan kebun persiknya?” peringatku.

Tak bisa mendengarkanku, ia terus saja berlari liar.

Satu medan pelindung tebal dipasang seratus kaki di luar kebun persiknya, dan seharusnya bisa dengan mudahnya mengurung seorang manusia seperti dirinya di dalam sana. Tetapi, ia berlari melewati medan pelindung ini, dan tanpa usaha sedikit pun, ia melewatinya begitu saja, seolah tidak ada apa-apa di sana.

Sambaran petir ganas pun mendadak turun dari langit.

Aku terbangun dalam teror.

Aku membuka mataku, melihat kamar yang terangi cahaya pagi hari. Aku sendirian, dan Jie Po Deng diletakkan di kepala ranjang.

Aku menyadari kalau aku memang tidak sedang berada di ranjang Ye Hua, tetapi di ranjangku sendiri di Out House. Ye Hua memang tahu bagaimana caranya menangani banyak hal.

Kedua dayang berpakaian cerah datang melayaniku dan membersihkan diriku. Namun, aku sudah merasa sangat bersih, dan menyadari aku tak perlu lagi mandi. Ye Hua pasti sudah memandikanku sendiri sebelum pergi pagi ini.

Terbangun melihat cahaya matahari pagi bersinar cemerlang berwarna putih di kamarku, aku merasakan kejelasan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dan aku pun menyadari hal lainnya.

Related Posts:

0 comments:

Posting Komentar