Ten Miles of Peach Blossoms
Chapter 19 Part 3
Deklarasi Sang
Ji penuh keputusasaan dan melankolis hingga semua orang yang ada di Jiu Chong
Tian yang mendengarnya akan mulai meratap. Tetapi, Tian Jun, menjadi seorang
Tian Jun, dan pimpinan Klan Langit, ia punya caranya sendiri dalam menangani
masalah, dan ia menghancurkan Sang Ji hanya dengan beberapa kata sederhana.
“Jika kau ingin
mencabut nyawamu, aku tak akan menghentikanmu,” katanya.
“Tetapi, itu
artinya, nyawa ular ba kecilmu berada
di tanganku. Silakan saja hancurkan jiwamu sendiri, asal kau tahu, segera
setelah kau berubah jadi abu yang melayang dan api yang padam, aku akan dengan
sungguh-sungguh menyiksa ular ba
kecilmu itu. Akan kuberikan begitu banyak rasa sakit dan penderitaan padanya
hingga ia tidak akan tahu apakah harus memohon demi nyawanya atau membiarkannya
mati saja.”
Sang Ji terdiam
kaku, tetapi tak lagi menyebut-nyebut soal kematian atas nama cinta; ia hanya
duduk menyepi di istananya. Tian Jun lega melihat akhirnya Sang Ji sudah
tenang, dan pikirannya berpindah dari mengurusi peristiwa sial ini ke masalah
baru.
Segera setelah
punggungnya berbalik, Sang Ji, yang bersandiwara menyendiri dan menyerah,
mengambil kesempatan untuk melarikan diri. Ia menghambur di mahkamah Tian Jun
dan berlutut di hadapannya, menyebabkan keributan yang dalam sekejap saja,
semua orang di antara langit dan bumi mengetahui apa yang terjadi.
Saat itulah,
Zhe Yan dan orang tuaku mendatangi Jiu Chong Tian, meminta keadilan. Jika Sang
Ji tidak mengubah hal ini menjadi masalah publik dan urusan besar, Tian Jun dapat
secara diam-diam menyingkirkan Shao Xin sesukanya tanpa seorang pun yang lebih
bijak. Tetapi sekarang, semua orang membicarakannya, dan selagi Tian Jun punya
hak untuk melarang Shao Xin mendapatkan perlakuan baik di Istana Langit, ia
tidak melakukan apa pun yang bisa membenarkannya untuk menghukum mati ular itu.
Kedua tangan Tian Jun terikat. Ia tidak punya pilihan lain selain melepaskan
Shao Xin dan mengusir Sang Ji, oleh karenanya memperbolehkan mereka berdua
bersama-sama.
“Sang Ji
memohon pengampunan dan mendapatkannya,” jelas Ye Hua.
“Itu adalah
jalan yang terjal, tetapi pada akhirnya ia mendapatkan apa yang diinginkannya.
Tian Jun tetap menyayanginya, tetapi tak lagi ada pertanyaan mengenai dirinya
menjadi pewaris Takhta Langit. Ia terbebas dari belenggu gelar itu. Ia
mendapatkan kebebasannya, benar-benar bebas.”
Aku memeluk
lengannya dan menguap.
“Bagaimana
denganmu?” tanyaku.
“Aku?” pada
akhirnya, ia pun berbicara.
“Saat aku
terlahir, tujuh puluh dua burung berbagai warna mengitari sekeliling kasaunya
dan cahaya samar bersinar di Timur selama tiga tahun penuh. Mo Yuan adalah dewa
lainnya yang kelahirannya pun ditandai dengan kehormatan semacam ini. Tian Jun
melihat kemenangan yang belum pernah terjadi sebelumnya, menyelimuti
kelahiranku dan langsung menamaiku sebagai pewaris takhtanya, walaupun baru
ketika berusia lima puluh ribu tahun aku diberikan upacara resminya. Sepanjang
waktu aku tumbuh dewasa, aku tahu kalau suatu hari nanti, Bai Qian dari Qing Qiu
akan menjadi istriku.”
Aku tidak
pernah mengetahui kalau kelahirannya seheboh itu.
“Apakah kau
tidak penasaran tentang diriku ketika kau masih lebih muda?”
Aku
bertanya-tanya langsung.
“Apa yang akan
kau lakukan jika kau tidak menginginkanku sebagai istrimu?”
Ia terdiam dan
memelukku lebih erat lagi.
“Jika bukan Bai
Qian dari Qing Qiu yang kucintai,” ia memulai perlahan, “Aku akan menipu para
makhluk abadi tua yang bengah itu agar mengira aku sudah berubah jadi abu
berterbangan dan api yang padam dan meninggalkan Tiga Alam dan Lima Fase untuk
menemukan sebuah tempat yang benar-benar baru, hidup bahagia dan memelihara
cintaku.”
Semua
pembicaraan ini membuatku bengong dan mengantuk. Aku mendesah kagum tentang
bagaimana cara keberuntungan bekerja.
“Beruntungnya
kau memang jatuh cinta pada Bai Qian dari Qing Qiu,” kataku, menarik selimut
awannya, mencari posisi yang nyaman di dalam pelukannya, dan kembali tertidur.
Setengah tidur
dan terbangun, aku mendadak mendengarnya berkata, “Qian Qian, jika ada orang
yang mencoba mengambil matamu dan membuatmu tak bisa melihat, apakah kau bisa
memaafkan mereka?”
Aku kebingungan
atas keanehan pertanyaannya.
“Tidak aada
seorang pun di seluruh Empat Lautan dan Delapan Dataran yang berani mencobanya!”
ucapku asal-asalan, merasa kebingungan.
Ia pun terdiam
sekian lama.
Tepat saat aku
kembali akan tertidur, ia berkata, “Bagaimana kalau orang itu adalah aku?”
Aku menyentuh
mataku, masih berada di dalam lubang mataku, merasa benar-benar tak masuk akal
atas ucapan gilanya. Aku memeluk lengannya.
“Takutnya, itu
berarti, akhir dari hubungan kita,” kataku santai.
“Kau
benar-benar tidak mengingatnya, ya?” katanya.
“Mengingat
apa?” tanyaku, tidak mengerti nada suram dalam suaranya.
“Dulu sekali,
sebelum aku digelari sebagai pewaris secara resmi, aku dikirim ke dunia manusia
untuk menghabisi monster singa merah emas menyala,” kata Ye Hua.
“Aku berhasil
menghabisinya, tetapi aku terluka parah. Sangat parah sebenarnya, hingga aku
berubah menjadi seekor naga kecil. Selagi memulihkan diri, aku menemukan sebuah
pondok jerami di Gunung Jun Ji dan tertidur panjang. Saat aku terbangun, aku
melihat seorang wanita dengan wajah yang cantik. Ia mengenakan pakaian putih,
dan selama berminggu-minggu ia merawatku dalam wujud nagaku. Di malam hari,
selagi ia tertidur, aku akan berubah wujud lagi menjadi manusia dan
memeluknya.”
Ye Hua menjeda.
Aku kira, ia mungkin cemas kalau aku akan cemburu pada wanita ini, tetapi
anehnya aku tidak merasa cemburu. Perkataannya tampaknya mengaduk-aduk sesuatu
dalam benakku, tetapi aku tidak mengatakan apa-apa, dan ia pun melanjutkan.
“Suatu hari,
sementara aku bersamanya di Gunung Jun Ji, ia membawa pulang seekor gagak dan
memeliharanya sebagai peliharaan bersama denganku. Aku tidak tahan harus berbagi
perhatiannya, jadi saat punggungnya berbalik, aku berubah wujud lagi jadi pria,
memanggil awan, dan kembali ke Jiu Chong Tian. Tetapi, aku tak mampu berhenti
memikirkannya, jadi aku menyusun sebuah rencana.”
Ye Hua berhenti
lagi, tetapi aku masih tak berkata apa-apa. Benakku tertutup oleh pemikiran
aneh, tetapi aku tidak bisa memahaminya.
Ye Hua pun
berucap lagi.
“Aku memasang
sebuah medan pelindung di sekitar pegunungan agar tidak ada seorang pun di Jiu
Chong Tian yang bisa melihatnya, dan setelahnya aku kembali padanya, kali ini
sebagai seorang pria. Aku melemparkan sebuah mantra pada diriku sendiri agar
terlihat seakan-akan aku terluka parah. Aku muncul di hadapannya, dan ia
berjuang keras untuk menyelamatkanku. Aku membiarkannya merawatku kembali sehat
meskipun sejak awal aku memang tidak apa-apa. Saat aku sudah sembuh, aku
memberitahunya kalau aku harus membalas budinya. Ia memintaku untuk membalas
dengan tubuhku, dan kami menikah di dunia manusia.”
Ye Hua pun
terdiam.
“Lanjutkan,”
kataku bahkan sebelum aku menyadarinya.
Rasanya seperti
aku sedang melamun. Aku tidak merasakan cemburu sama sekali. Aku bahkan tidak
terkejut pada tipu daya Ye Hua. Anehnya, semua tampak familier.
“Aku jatuh
cinta pada wanita ini. Aku tak lagi berharap menjadi seorang pewaris. Aku ingin
tinggal di gunung bersamanya. Luka ini,” Ye Hua berkata selagi ia melarikan
jarinya menuruni bekas luka dari pertarungan melawan Klan Hiu, “adalah hasil
dari tipu muslihatku pada Tian Jun. Ketika Klan Hiu memberontak, aku diutus
untuk bertarung melawan mereka. Aku membiarkan pemimpin mereka melukaiku dengan
begitu parahnya agar terlihat seperti aku akan mati. Rencanaku adalah untuk
membuat Tian Jun mempercayai ini dan setelahnya kembali ke gunung untuk bisa
bersama-sama dengannya.
“Tetapi, selagi
aku pergi dari gunung, bertarung dengan Klan Hiu, ia pergi, menembus medan
pelindung yang sudah kubuat yang melindungi kami dari mata Alam Langit. Tian Jun
melihat ia mengandung anakku. Tidak ada cara untuk melarikan diri dari takdir
kami. Aku mengabaikan rencana berpura-pura mati. Tian Jun pun membawanya ke Jiu
Chong Tian untuk melahirkan anakku, tetapi aku waspada sekali padanya setelah
melihat caranya memperlakukan Shao Xin dan Sang Ji. Aku harus bersikap sangat
dingin pada wanita itu. Aku tidak boleh membiarkan Tian Jun mengetahui bahwa
kami saling mencintai.”
Ye Hua berbicara tenang agar tidak membuatku kecewa, tetapi anehnya aku
mati rasa.
“Apa yang terjadi padanya?” tanyaku.
“Tian Jun tidak bisa dibodohi,” kata Ye Hua.
“Ia mengirimku keluar untuk bertarung, dan setelahnya ....”
“Setelahnya, apa?” kataku.
“Dan apa hubungannya ini dengan seseorang mencungkil mataku?”
“Qian Qian ....”
Aku merasakan dirinya mengigil di dadaku.
“Siapa namanya?” tanyaku.
Memelukku bahkan lebih erat lagi, ia pun berkata, “Tidurlah.”
Aku menantikannya untuk berbicara lebih banyak, agar ia menjelaskan,
agar dengungan di benakku terdiam, tetapi ia tak lagi mengatakan apa pun. Pada
akhirnya, aku memejamkan mata dan dunia kembali menghitam.
***
Malam itu aku bermimpi.
Aku sadar kalau itu adalah mimpi selagi aku memimpikannya.
Dalam mimpi ini, aku sedang berdiri di atas puncak gunung yang diterangi
dengan cemerlangnya bunga persik. Bunga-bunganya bermekaran penuh, berguguran
di sepanjang pegunungan ini, tak terputus. Seindah Sepuluh Mil Kebun Persik
milik Zhe Yan. Di kedalaman bunga-bunga persik yang indah ini, ada sebuah
pondok jerami, dan suara kicauan jernih dari burung terdekat pun terdengar.
Aku melangkah ke depan dan membuka pintu pondok jerami itu. Di dalamnya,
aku melihat seorang gadis berpakaian putih sedang berdiri di belakang seorang
pria berpakaian hitam yang tengah duduk, menyisir rambutnya di depan sebuah
cermin perunggu tua. Keduanya memunggungiku. Aku bisa melihat pantulan samar
mereka dari dalam cerminnya, tetapi mereka terselubung dalam kabut yang pekat,
menghadang wajah mereka.
“Aku sudah menemukan suatu tempat dimana kita berdua bisa tinggal,” kata
yang pria.
“Bukan tempat berbukit hijau dan berair jernih, namun, aku tidak yakin
apakah kau akan menikmati tinggal di sana.”
“Bisakah kita menanam pohon persik di sana?” si gadis bertanya.
“Selama kita bisa menanam pohon persik, aku tidak keberatan. Kita bisa
menggunakan kayu-kayu dari pohon persik untuk membangun rumah kita, dan kita
bisa memakan buah persik sebanyak yang kita inginkan. Tetapi, apakah kau tidak
senang dengan gunung yang indah ini? Dan kau baru saja selesai memperbaiki
pondok kita. Kenapa kau ingin kita pindah?”
Energi abadi terpancar dari pria itu, sementara si gadis, sudah jelas
adalah seorang manusia, tidak memilikinya. Suara mereka terasa akrab, tetapi
karena ini adalah sebuah mimpi, seluruh pengalaman ini terpotong-potong, dan
aku tidak tahu bagaimana caranya aku mengenali mereka.
Pria itu terdiam sejenak.
“Tanahnnya berbeda di sana, dan aku tidak yakin apakah kita bisa menanam
pohon persik. Tetapi, jika kau ingin persik, kita akan menemukan caranya.”
Gadis itu terdiam sejenak sebelum akhirnya mencondong ke depan dan
melingkarkan lengannya di pundak pria itu. Ia berbalik dan memandanginya
sesaat, mengelus rambut yang ada di keningnya dengan jari rampingnya dan
setelahnya menciumnya di sana.
Mereka berciuman dengan sebergairah itu, hingga mereka tampak menyatu.
Aku masih mencoba melihat wajah mereka lebih jelas, dan karena aku tahu ini
hanyalah sebuah mimpi, aku tidak mencoba mengalihkan pandanganku. Aku menonton
pasangan berciuman ini dengan mata yang terbuka lebar selagi mereka berjalan ke
arah ranjang, walaupun kenyataannya sekarang ini tengah hari dan mataharinya
bersinar dengan terang di luar sana.
Tiba-tiba saja, aku melihat adegan lainnya.
Aku pun menghela napas. Aku memang sedang bermimpi.
Latar pemandangan baru ini adalah mulut dari kebun persik.
“Apa pun yang terjadi, kau tidak boleh menginjakkan kaki keluar dari
gunung ini,” pria berbaju hitam mendesak si gadis berbaju putih.
“Kau sedang mengandung anakku sekarang, dan kau akan mudah dilacak. Jika
itu terjadi, semuanya akan jadi sangat sulit bagi kita. Aku akan kembali
sesegera mungkin setelah aku selesai melakukan apa yang perlu kulakukan. Oh,
dan juga, aku sudah memikirkan bagaimana caranya agar kita bisa menanam pohon
persik.”
Segera setelah ia selesai mengatakan ini, ia menarik sebuah cermin
perunggu dari kantong lengan bajunya dan meletakkannya di atas tangan si gadis.
“Jika kau merasa kesepian, panggillah namaku di cermin ini, dan aku akan
berbicara padamu kalau aku bisa. Tetapi ingatlah, apa pun yang terjadi, kau
tidak boleh menginjakkan kakimu keluar dari gunung ini.”
Gadis itu terus mengangguk sampai ia menghilang.
Ia pun mendesah dalam diam dan berkata, “Kita sudah menyembah langit
bumi di Dataran Timur saat kita menikah, tetapi ia masih belum membawaku
kembali untuk menemui keluarganya. Aku merasa seolah aku hanyalah simpanannya.
Tetap harus bersembunyi setelah aku mengandung bayinya, tidak ada cara untuk
hidup.”
Ia menggelengkan kepalanya dan masuk ke dalam.
Aku ikut menggeleng juga. Hubungan mereka ini tidak ada bedanya dari
para makhluk abadi dengan manusia sejak dahulu kala; tidak akan berakhir baik.
Segera setelah si gadis masuk ke dalam rumah, pemandangan di depanku
berubah lagi.
Tetap sama dengan kebun persik yang kulihat, tetapi kebanyakan pohon
persiknya sudah layu, dan semua cabang serta rantingnya tandus. Bulan yang
bundar menggantung di langit. Pemandangan yang sangat menyedihkan. Gadis berbaju
putih sedang memegangi cermin perunggu dan memanggil sesuatu. Yang bisa kulihat
adalah penampilannya yang kabur dan tak jelas, juga bibirnya yang terbuka dan
terkatup, tetapi aku tidak bisa mendengarkan apa yang ia katakan.
Gadis itu mendadak berjalan terhuyung keluar dari pondok. Jantungku
berdegup kencang. Aku benar-benar lupa aku sedang bermimpi. Aku cepat-cepat
keluar bersamanya.
“Apa kau tidak ingat, suamimu menyuruhmu jangan meninggalkan kebun
persiknya?” peringatku.
Tak bisa mendengarkanku, ia terus saja berlari liar.
Satu medan pelindung tebal dipasang seratus kaki di luar kebun
persiknya, dan seharusnya bisa dengan mudahnya mengurung seorang manusia
seperti dirinya di dalam sana. Tetapi, ia berlari melewati medan pelindung ini,
dan tanpa usaha sedikit pun, ia melewatinya begitu saja, seolah tidak ada
apa-apa di sana.
Sambaran petir ganas pun mendadak turun dari langit.
Aku terbangun dalam teror.
Aku membuka mataku, melihat kamar yang terangi cahaya pagi hari. Aku
sendirian, dan Jie Po Deng diletakkan di kepala ranjang.
Aku menyadari kalau aku memang tidak sedang berada di ranjang Ye Hua,
tetapi di ranjangku sendiri di Out House. Ye Hua memang tahu bagaimana caranya
menangani banyak hal.
Kedua dayang berpakaian cerah datang melayaniku dan membersihkan diriku.
Namun, aku sudah merasa sangat bersih, dan menyadari aku tak perlu lagi mandi.
Ye Hua pasti sudah memandikanku sendiri sebelum pergi pagi ini.
Terbangun melihat cahaya matahari pagi bersinar cemerlang berwarna putih
di kamarku, aku merasakan kejelasan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dan
aku pun menyadari hal lainnya.
0 comments:
Posting Komentar