Ten Miles of Peach Blossoms
Chapter 16 Part 1
Tidak ada
penjaga langit yang berjaga ketika kami tiba di pintu gerbang selatan Jiu Chong
Tian, hanya beberapa ekor harimau sedang tidur di dekat sana, bulu oranye dan
hitam mereka halus dan bersinar. Dengan satu lirikan, kau bisa tahu kalau
mereka adalah roh-roh dengan tingkat penempaan energi spiritual yang luar
biasa.
“Kami mungkin
tidak punya banyak pertahanan di Qing Qiu, tetapi paling tidak, kami punya Mi Gu
yang duduk di sana untuk menjaga tempatnya,” aku menggoda Ye Hua, mengetukkan
kipasku.
“Jangan bilang
alam tersuci kerajaan kalian hanya memiliki beberapa ekor harimau?”
“Ada tetua Tao yang
sedang mengadakan kotbah hari ini di perkumpulan Taoisme. Aku rasa mereka semua
menghadiri acara itu,” katanya sembari mengernyit.
Ia berbalik,
tertawa samar, dan berkata, “Qian Qian, kudengar, kau sering berdiskusi tentang
Taoisme dengan Yuan Zhen ketika kau berada di dunia manusia, membantunya
melalui musibahnya. Aku menganggap, ini artinya kau punya pengetahuan dan
pemahaman mendalam mengenai Taoisme.
“Tetua Tao
sudah mengeluh selama bertahun-tahun tentang tidak adanya seorang pun di langit
yang bisa menandinginya dalam hal Taoisme dan betapa kesepiannya berdiri di
puncak tertinggi itu seorang diri tanpa jangkauan orang lain sekian lama.
Tetapi, karena sekarang ada kau di sini, sungguh sebuah kesempatan yang luar
biasa bagi kalian berdua untuk mengadakan satu atau dua diskusi.”
Aku menelan
ludahku.
“Baik sekali
dirimu,” kataku sembari tertawa canggung.
***
Di luar pintu
gerbang Jiu Chong Tian, ada hamparan awan putih tak terbatas sejauh mata
memandang, sementara di dalam gerbangnya, lain lagi ceritanya. Lantainya
terbuat dari emas, tangganya dari batu giok, jalannya diapit dengan hutan bambu
berwarna hijau zamrud, dan ribuan jejak uap keberuntungan. Benar-benar
mengalahkan kemewahan emas di Istana Kristal air seluruh Empat Lautan.
Beruntungnya,
aku sudah menduga hal ini dan telah mengikatkan sutra putih di sekeliling
kepalaku sebagai tindakan jaga-jaga. Kalau tidak, mataku mungkin sudah hancur
sekarang. Sering kudengar di kejauhan suara burung bangau dan kepakan sayap
salah satu dari mereka yang terbang melewatiku. Aku mendesah keras dan meraih
tangan Ye Hua.
“Keluargamu
sangat kaya!” komentarku.
Wajah Ye Hua
awalnya berubah putih, lalu kehijauan.
“Tidak semua
istana di Jiu Chong Tian mirip dengan yang satu ini,” jelasnya.
Selagi kami
berjalan, aku memperhatikan saksama akan kemegahan di Jiu Chong Tian,
benar-benar berbeda dari sawah bertumpuk dan rumah-rumah pertanian di Qing Qiu,
meskipun ini memiliki daya tarik mereka sendiri.
Beberapa dayang
istana yang kami temui semuanya sangat hati-hati dan sopan. Tidak ada seorang
pun dari mereka bersikap kaget sedikit pun dengan wajah aneh tertutup sutra
milikku. Aku senang melihat mereka semua bertingkah dengan sehormat itu ketika
mereka memberikan salam pada Ye Hua.
Aku mendengar
kalau Ye Hua diberikan departemen pemerintahannya serta pasukan untuk
dipimpinnya sendiri ketika ia baru berusia 30.000 tahun, dan sekitar saat
inilah, Tian Jun membangun Istana Xi Wu untuknya, sebagai hadiah.
Meskipun
kenyataannya ini adalah pertama kalinya aku mengunjungi Jiu Chong Tian, aku
punya firasat kalau Istana Xi Wu tidak seredup dan sesuram sekarang. Tidak
perlu sesuatu seflamboyan ubin emas ataupun tangga giok, tetapi Istana Xi Wu
bisa saja sedikit lebih terang.
Di saat aku
sudah mendapatkan kembali kesadaranku, Ye Hua membawaku menuju gerbang
belakang. Dengan hati-hati ia memeriksa dinding rendah di pintu belakang,
menghitung secara kasar.
Ia menunjuk ke
salah satu dindingnya dan menyuruhku, “Melompatlah.”
“Apa?” kataku
tercengang.
Ia mengerutkan
keningnya, melingkarkan lengannya di sekelilingku, berjalan di sepanjang
dinding hingga ke titik yang baru saja ditunjuk olehnya, dan melompat bersamaku
masuk ke dalam halaman.
Apakah melompat
melewati dinding adalah yang dilakukan di Jiu Chong Tian, ketimbang berjalan
melalui pintunya? Sepertinya kebiasaan yang aneh ... Ye Hua meluruskan lengan
jubahnya, menatapku, dan tersenyum canggung.
“Jika kita
masuk melalui pintu utama, akan membuat semua orang di halaman ini mengetahui tentang
kedatangan kita, dan kita harus bertahan dengan sambutan serta hiruk-pikuk yang
tiada hentinya. Melompati dinding menyelamatkan kita dari banyak kerepotan.”
Satu pemikiran
tiba-tiba saja melintas.
Aku menepuk
bahunya dengan kipasku dan berkata, “Kita tiba di sini sangat awal hari ini. Bahkan
belum waktunya Jia Yun mengantarkan dokumenmu. Aku menduga, kau akan
menyuruhnya untuk tidak mengirimkan dokumen apa pun ke Qing Qiu hari ini.
“Kau tidak akan
menginginkannya untuk melakukan perjalanan panjang yang sia-sia. Masuk melalui
pintu utama sudah pasti akan membuat Jia Yun mengetahui kedatanganmu, dan itu
pastinya akan memberikanmu kerepotan.”
Aku terkekeh.
“Atau, dengan
kata lainnya, sudah sangat larut ketika kita kembali ke gua rubah semalam.
Apakah kau berhasil menyelesaikan pekerjaanmu, dokumen-dokumen yang
berhari-hari itu?”
Ia menegang,
dan wajahnya memerah. Ia mengepalkan tangannya, menggulung lengan jubahnya, dan
berdeham canggung. Aku mencemaskan tentang Ye Hua yang bertingkah dewasa
sebelum waktunya; hanya di usia 50.000 tahun, ia tampak lebih serius dan tegang
ketimbang Dong Hua. Melihat penampilan bersemangat ala anak muda benar-benar
melegakan, dan aku pun mengayunkan kipasku dengan senang.
***
Ye Hua tinggal
di Istana Zi Chen, terletak di sebelah Istana Qing Yun milik Buntalan. Aku
hanya berencana menghabiskan dua atau tiga hari memulihkan diri di Jiu Chong
Tian, dan semenjak kami masuk secara diam-diam begini dan menghindari segala
kemegahan serta upacara yang biasanya akan dianugerahkan kepada para Dewa Dewi
Agung yang berkunjung, aku tidak ingin membiarkan Ye Hua kerepotan dengan
menyediakan kamar tidur sendiri untukku.
Aku baru saja
akan mengungkit soal ini dengan perlahan dan menjelaskan bahwa aku akan sangat
senang menghabiskan beberapa hari ke depan tinggal di Istana Qing Yun bersama
dengan Buntalan, tetapi sebelum aku bisa mengatakan apa pun, ia membawaku
memasuki sebuah aula yang spesial.
Aku mendongak
dan melihat sebuah papan penanda tergantung tinggi di pintu aulanya, terukir
dengan huruf kaligrafi yang di baca “Yi Lan Fang Hua.”
“Ini adalah
kediamanmu,” Ye Hua memberitahuku, matanya berkelap-kelip.
Aku mengayunkan
kipasku dan bergumam sendiri. Baru saja menyadarkanku akan betapa borosnya
mereka di Langit ini. Aku hanya bisa membandingkannya dengan kediaman yang
kutempati selama berbulan-bulanku di dunia manusia, membantu Yuan Zhen melalui
musibah besarnya.
Aku berada di
langit hanya selama beberapa hari, tetapi aku diberikan kediamanku sendiri.
Satunya adalah kaisar dunia manusia, yang lainnya kaisar makhluk abadi, dan
selain keduanya adalah kaisar, mereka berbeda layaknya lumpur dengan awan.
Aku menghela
napas dan mengulurkan tangan, mendorong pintu aula berwarna merah terang itu.
Pintunya terbuka, memperlihatkan sebuah halaman dipenuhi dengan kebun persik
yang semuanya sedang bermekaran. Mataku dipenuhi dengan warna merah muda
kelopak bunga persik.
Tercengang akan
pemandangannya, aku bergumam, “Jadi, kau menipuku datang kemari untuk membantu
Tian Hou mengurusi kebun bunga persiknya!”
Ekspresi di
wajah Ye Hua membeku, tetapi aku bisa melihat sudut bibirnya berkedut.
“Aku tidak
yakin seberapa besar tepatnya kebun bunga persik Tian Hou, tetapi tidak akan
mungkin muat ke dalam halaman ini. Ini adalah pepohonan persik yang kutanam
sendiri dua ratus tahun yang lalu dan kuurus sejak saat itu. Ini pertama
kalinya mereka berbunga.”
Jantungku
berdetak tak terduga. Aku melangkah perlahan-lahan memasuki halamannya dan
menggunakan kipasku untuk memetik satu ranting bunganya.
Ranting bunga
persiknya halus dan indah.
Aku baru saja
akan meletakkan kipas ke belakangku saat aku mendengar suara memilukan yang
beresonansi memanggil, “Niang Niang!”
Aku berbalik
melihat Ye Hua berdiri di atas tangga di sisi halamannya, matanya terhalang
oleh beberapa untaian rambut gelapnya. Seorang wanita berdiri di ambang pintu
di belakangnya, dan aku menduga kalau ia adalah dayang istana, dari caranya
berpakaian.
Ia sedang
memegangi sebuah vas elegan di satu tangan, sementara berpegangan pada pintu
merah terangnya dengan tangan satunya. Ia memandangiku, matanya berkedip penuh
dengan kasih sayang, dua baris air mata mengalir menuruni wajahnya.
Tanganku mulai
gemetaran, dan ranting yang sedang kupegangi berdesing di udara. Setengah
kelopak bunganya berguguran, dan beberapa lainnya jatuh mengenaiku.
Wanita itu
tersandung ke arahku dan memeluk kakiku.
“Niang Niang, ini benar Anda!” ia berkata
disela tangisannya.
“Nai Nai sudah
menunggu Anda selama tiga ratus tahun. Anda akhirnya kembali ...”
Tertawa sembari
menangis, ia berbalik ke arah Ye Hua dan berkata, “Jie Po Deng benar-benar
sebuah pusaka suci—Niang Niang tidak
berubah sama sekali.”
(T/N : Jie Po
Deng : lampu pengikat arwah.)
Dari
ekspresinya aku menyadari ia sudah salah mengenaliku dengan orang lain. Aku
tidak bisa membebaskan kakiku dari cengkeramannya, tetapi aku menggunakan
tanganku, mencoba mendorongnya menjauhiku. Ia mengangkat kepalanya untuk
menatapku, matanya berkabut penuh air mata, tetapi di balik air mata itu aku
bisa melihat kebahagiaan yang tulus.
Saat ia
mengulurkan tangan untuk menyentuh sutra putih di sekitar mataku, aku merasa
aku harus mengatakan sesuatu.
“Kau pasti
salah mengenaliku dengan orang lain. Aku adalah Bai Qian dari Qing Qiu, bukan Niang Niang yang kau bicarakan.”
Dayang muda
ini, Nai Nai, terlihat kaget, tetapi ia terus saja memeluk kakiku. Aku
melemparkan tatapan tak berdaya pada Ye Hua, tetapi sutra putihku mengganggu,
menghentikanku berkomunikasi dengan mataku, jadi aku mengangkat tangan dan
menyuruhnya untuk mendekat.
Ia menghampiri,
membantu Nai Nai bangkit berdiri, matanya tetap berada di kebun persik di
hadapannya sepanjang waktu.
“Ini adalah
Dewi Agung Bai Qian dari Kerajaan Qing Qiu,” katanya tenang.
“Ia akan
tinggal di aula ini selama beberapa hari di bawah pengurusanmu. Kau tidak boleh
memanggilnya Niang Niang lagi.
Sebaliknya, kau harus memanggilnya dengan gelar kehormatannya, Dewi Agung.”
Nai Nai, masih
mengapit kakiku, awalnya terlihat bingung ke arah Ye Hua, lalu kepadaku. Aku
memberi senyuman yang menenangkan, tetapi ia tidak bereaksi, hanya menggunakan
lengan bajunya untuk mengelap wajah bersimbah air mata miliknya sebelum
mengangguk untuk menanggapi permintaan Ye Hua.
Aku hanya
membawa dua pasang baju ganti, jadi tidak banyak yang harus dibereskan. Ye Hua
mengirim Nai Nai untuk membawakanku jubah mandi dan aksesoris lainnya dan
menyuruhku untuk berbaring sejenak sementara ia pergi ke Istana Qing Yun untuk
menjemput Buntalan.
Ye Hua
benar-benar cepat tanggap. Ia bisa melihat kalau cederaku membuatku sulit
berjalan dan perjalanan panjang sudah membuatku kelelahan. Ia juga bisa
mengetahui aku merindukan Buntalan. Aku merasa sangat tersentuh dengan betapa
sensitifnya ia akan kebutuhanku.
Buntalan juga
merindukanku, sepertinya. Ye Hua membawanya, dan segera setelah ia melihatku,
ia mencondongkan tubuh dari gendongan ayahnya, memanggil, “Ibu,” dengan suara
kecil yang manis, yang menyenangkan untuk didengar.
Vas bunga yang
terdapat ranting-ranting bunga persik di dalamnya, yang dipegangi Nai Nai
mendadak jatuh ke tanah. Aku menyadari, dewi kecil ini pastinya akrab dengan
ibu Buntalan. Ibu Buntalan mati di usia terprimanya, tidak pernah lagi
merasakan kegembiraan keibuan. Kepergiannya memperbolehkanku menikmati menjadi
ibu tiri, yang sudah jelas menjadi hal menyakitkan untuk disaksikan bagi dayang
istana kecil ini.
Betapa
pemberani dan setianya dayang ini.
Ye Hua bilang
kalau Buntalan dalam keadaan syok seusai insiden di Istana Da Si Ming, tetapi
tidak terlalu serius. Aku memeriksanya sedikit, dan melihat ia masih sepucat
dan segemuk biasanya, dan ketika ia tersenyum, dua lesung pipi kecilnya muncul
seperti sebelumnya. Ia tidak terlihat ketakutan karena pengalaman itu, yang
mana menenangkan untuk dilihat.
Ia sudah jelas
ingin menghampiriku, tetapi ayahnya memeganginya erat. Ia berusaha melepaskan
diri sebentar, terlihat frustasi ketika ia mengetahui ia tidak bisa membebaskan
dirinya. Ia mendatarkan mulutnya tak senang dan menatapku, berpura-pura
menangis tanpa air mata di matanya.
Aku mengelus
rambutnya sayang dan berkata, “Ibu tidak terlalu sehat. Biarkan Ayahanda yang
menggendongmu untuk sementara waktu.”
Ia mengejap,
wajah kecilnya mendadak berubah merah, dan ia bergeliut kecil.
“A Li tahu. Ibu
sedang mengandung, bukan?” katanya pelan.
“Apa?” Aku
bertanya terkejut.
Ia
mengutak-atik lapisan bajunya.
“Itu yang
dikatakan di buku,” jelasnya.
“Bahwa, seorang
wanita tidak boleh bermain dengan anak-anak dari keluarga lain ketika ia sedang
mengandung, berjaga-jaga apabila itu bisa menyakiti ...”
Ia merenunginya
sesaat, dan memukulkan satu kepalan kecilnya ke telapak tangannya saat ia
teringat kata yang dimaksudnya.
“Benar,
embrionya,” ia menyelesaikannya dengan nada suara meyakinkan.
Hatiku
bergetar. Si sayang kecil ini, anak kecil yang tidak lebih besar daripada
kecambah bawang putih, sudah mengetahui tentang embrio!
“Dimana kau
menemukan buku seperti itu?” Ye Hua bertanya sembari tertawa kecil.
“Cheng Yu yang meminjamkannya padaku,” kata Buntalan polos.
0 comments:
Posting Komentar