Senin, 11 Januari 2021

3L3W TMOPB - Chapter 16 Part 1

Ten Miles of Peach Blossoms

Chapter 16 Part 1


Tidak ada penjaga langit yang berjaga ketika kami tiba di pintu gerbang selatan Jiu Chong Tian, hanya beberapa ekor harimau sedang tidur di dekat sana, bulu oranye dan hitam mereka halus dan bersinar. Dengan satu lirikan, kau bisa tahu kalau mereka adalah roh-roh dengan tingkat penempaan energi spiritual yang luar biasa.

“Kami mungkin tidak punya banyak pertahanan di Qing Qiu, tetapi paling tidak, kami punya Mi Gu yang duduk di sana untuk menjaga tempatnya,” aku menggoda Ye Hua, mengetukkan kipasku.

“Jangan bilang alam tersuci kerajaan kalian hanya memiliki beberapa ekor harimau?”

“Ada tetua Tao yang sedang mengadakan kotbah hari ini di perkumpulan Taoisme. Aku rasa mereka semua menghadiri acara itu,” katanya sembari mengernyit.

Ia berbalik, tertawa samar, dan berkata, “Qian Qian, kudengar, kau sering berdiskusi tentang Taoisme dengan Yuan Zhen ketika kau berada di dunia manusia, membantunya melalui musibahnya. Aku menganggap, ini artinya kau punya pengetahuan dan pemahaman mendalam mengenai Taoisme.

“Tetua Tao sudah mengeluh selama bertahun-tahun tentang tidak adanya seorang pun di langit yang bisa menandinginya dalam hal Taoisme dan betapa kesepiannya berdiri di puncak tertinggi itu seorang diri tanpa jangkauan orang lain sekian lama. Tetapi, karena sekarang ada kau di sini, sungguh sebuah kesempatan yang luar biasa bagi kalian berdua untuk mengadakan satu atau dua diskusi.”

Aku menelan ludahku.

“Baik sekali dirimu,” kataku sembari tertawa canggung.

***

Di luar pintu gerbang Jiu Chong Tian, ada hamparan awan putih tak terbatas sejauh mata memandang, sementara di dalam gerbangnya, lain lagi ceritanya. Lantainya terbuat dari emas, tangganya dari batu giok, jalannya diapit dengan hutan bambu berwarna hijau zamrud, dan ribuan jejak uap keberuntungan. Benar-benar mengalahkan kemewahan emas di Istana Kristal air seluruh Empat Lautan.

Beruntungnya, aku sudah menduga hal ini dan telah mengikatkan sutra putih di sekeliling kepalaku sebagai tindakan jaga-jaga. Kalau tidak, mataku mungkin sudah hancur sekarang. Sering kudengar di kejauhan suara burung bangau dan kepakan sayap salah satu dari mereka yang terbang melewatiku. Aku mendesah keras dan meraih tangan Ye Hua.

“Keluargamu sangat kaya!” komentarku.

Wajah Ye Hua awalnya berubah putih, lalu kehijauan.

“Tidak semua istana di Jiu Chong Tian mirip dengan yang satu ini,” jelasnya.

Selagi kami berjalan, aku memperhatikan saksama akan kemegahan di Jiu Chong Tian, benar-benar berbeda dari sawah bertumpuk dan rumah-rumah pertanian di Qing Qiu, meskipun ini memiliki daya tarik mereka sendiri.

Beberapa dayang istana yang kami temui semuanya sangat hati-hati dan sopan. Tidak ada seorang pun dari mereka bersikap kaget sedikit pun dengan wajah aneh tertutup sutra milikku. Aku senang melihat mereka semua bertingkah dengan sehormat itu ketika mereka memberikan salam pada Ye Hua.

Aku mendengar kalau Ye Hua diberikan departemen pemerintahannya serta pasukan untuk dipimpinnya sendiri ketika ia baru berusia 30.000 tahun, dan sekitar saat inilah, Tian Jun membangun Istana Xi Wu untuknya, sebagai hadiah.

Meskipun kenyataannya ini adalah pertama kalinya aku mengunjungi Jiu Chong Tian, aku punya firasat kalau Istana Xi Wu tidak seredup dan sesuram sekarang. Tidak perlu sesuatu seflamboyan ubin emas ataupun tangga giok, tetapi Istana Xi Wu bisa saja sedikit lebih terang.

Di saat aku sudah mendapatkan kembali kesadaranku, Ye Hua membawaku menuju gerbang belakang. Dengan hati-hati ia memeriksa dinding rendah di pintu belakang, menghitung secara kasar.

Ia menunjuk ke salah satu dindingnya dan menyuruhku, “Melompatlah.”

“Apa?” kataku tercengang.

Ia mengerutkan keningnya, melingkarkan lengannya di sekelilingku, berjalan di sepanjang dinding hingga ke titik yang baru saja ditunjuk olehnya, dan melompat bersamaku masuk ke dalam halaman.

Apakah melompat melewati dinding adalah yang dilakukan di Jiu Chong Tian, ketimbang berjalan melalui pintunya? Sepertinya kebiasaan yang aneh ... Ye Hua meluruskan lengan jubahnya, menatapku, dan tersenyum canggung.

“Jika kita masuk melalui pintu utama, akan membuat semua orang di halaman ini mengetahui tentang kedatangan kita, dan kita harus bertahan dengan sambutan serta hiruk-pikuk yang tiada hentinya. Melompati dinding menyelamatkan kita dari banyak kerepotan.”

Satu pemikiran tiba-tiba saja melintas.

Aku menepuk bahunya dengan kipasku dan berkata, “Kita tiba di sini sangat awal hari ini. Bahkan belum waktunya Jia Yun mengantarkan dokumenmu. Aku menduga, kau akan menyuruhnya untuk tidak mengirimkan dokumen apa pun ke Qing Qiu hari ini.

“Kau tidak akan menginginkannya untuk melakukan perjalanan panjang yang sia-sia. Masuk melalui pintu utama sudah pasti akan membuat Jia Yun mengetahui kedatanganmu, dan itu pastinya akan memberikanmu kerepotan.”

Aku terkekeh.

“Atau, dengan kata lainnya, sudah sangat larut ketika kita kembali ke gua rubah semalam. Apakah kau berhasil menyelesaikan pekerjaanmu, dokumen-dokumen yang berhari-hari itu?”

Ia menegang, dan wajahnya memerah. Ia mengepalkan tangannya, menggulung lengan jubahnya, dan berdeham canggung. Aku mencemaskan tentang Ye Hua yang bertingkah dewasa sebelum waktunya; hanya di usia 50.000 tahun, ia tampak lebih serius dan tegang ketimbang Dong Hua. Melihat penampilan bersemangat ala anak muda benar-benar melegakan, dan aku pun mengayunkan kipasku dengan senang.

***

Ye Hua tinggal di Istana Zi Chen, terletak di sebelah Istana Qing Yun milik Buntalan. Aku hanya berencana menghabiskan dua atau tiga hari memulihkan diri di Jiu Chong Tian, dan semenjak kami masuk secara diam-diam begini dan menghindari segala kemegahan serta upacara yang biasanya akan dianugerahkan kepada para Dewa Dewi Agung yang berkunjung, aku tidak ingin membiarkan Ye Hua kerepotan dengan menyediakan kamar tidur sendiri untukku.

Aku baru saja akan mengungkit soal ini dengan perlahan dan menjelaskan bahwa aku akan sangat senang menghabiskan beberapa hari ke depan tinggal di Istana Qing Yun bersama dengan Buntalan, tetapi sebelum aku bisa mengatakan apa pun, ia membawaku memasuki sebuah aula yang spesial.

Aku mendongak dan melihat sebuah papan penanda tergantung tinggi di pintu aulanya, terukir dengan huruf kaligrafi yang di baca “Yi Lan Fang Hua.”

“Ini adalah kediamanmu,” Ye Hua memberitahuku, matanya berkelap-kelip.

Aku mengayunkan kipasku dan bergumam sendiri. Baru saja menyadarkanku akan betapa borosnya mereka di Langit ini. Aku hanya bisa membandingkannya dengan kediaman yang kutempati selama berbulan-bulanku di dunia manusia, membantu Yuan Zhen melalui musibah besarnya.

Aku berada di langit hanya selama beberapa hari, tetapi aku diberikan kediamanku sendiri. Satunya adalah kaisar dunia manusia, yang lainnya kaisar makhluk abadi, dan selain keduanya adalah kaisar, mereka berbeda layaknya lumpur dengan awan.

Aku menghela napas dan mengulurkan tangan, mendorong pintu aula berwarna merah terang itu. Pintunya terbuka, memperlihatkan sebuah halaman dipenuhi dengan kebun persik yang semuanya sedang bermekaran. Mataku dipenuhi dengan warna merah muda kelopak bunga persik.

Tercengang akan pemandangannya, aku bergumam, “Jadi, kau menipuku datang kemari untuk membantu Tian Hou mengurusi kebun bunga persiknya!”

Ekspresi di wajah Ye Hua membeku, tetapi aku bisa melihat sudut bibirnya berkedut.

“Aku tidak yakin seberapa besar tepatnya kebun bunga persik Tian Hou, tetapi tidak akan mungkin muat ke dalam halaman ini. Ini adalah pepohonan persik yang kutanam sendiri dua ratus tahun yang lalu dan kuurus sejak saat itu. Ini pertama kalinya mereka berbunga.”

Jantungku berdetak tak terduga. Aku melangkah perlahan-lahan memasuki halamannya dan menggunakan kipasku untuk memetik satu ranting bunganya.

Ranting bunga persiknya halus dan indah.

Aku baru saja akan meletakkan kipas ke belakangku saat aku mendengar suara memilukan yang beresonansi memanggil, “Niang Niang!”

Aku berbalik melihat Ye Hua berdiri di atas tangga di sisi halamannya, matanya terhalang oleh beberapa untaian rambut gelapnya. Seorang wanita berdiri di ambang pintu di belakangnya, dan aku menduga kalau ia adalah dayang istana, dari caranya berpakaian.

Ia sedang memegangi sebuah vas elegan di satu tangan, sementara berpegangan pada pintu merah terangnya dengan tangan satunya. Ia memandangiku, matanya berkedip penuh dengan kasih sayang, dua baris air mata mengalir menuruni wajahnya.

Tanganku mulai gemetaran, dan ranting yang sedang kupegangi berdesing di udara. Setengah kelopak bunganya berguguran, dan beberapa lainnya jatuh mengenaiku.

Wanita itu tersandung ke arahku dan memeluk kakiku.

Niang Niang, ini benar Anda!” ia berkata disela tangisannya.

“Nai Nai sudah menunggu Anda selama tiga ratus tahun. Anda akhirnya kembali ...”

Tertawa sembari menangis, ia berbalik ke arah Ye Hua dan berkata, “Jie Po Deng benar-benar sebuah pusaka suci—Niang Niang tidak berubah sama sekali.”

(T/N : Jie Po Deng : lampu pengikat arwah.)

Dari ekspresinya aku menyadari ia sudah salah mengenaliku dengan orang lain. Aku tidak bisa membebaskan kakiku dari cengkeramannya, tetapi aku menggunakan tanganku, mencoba mendorongnya menjauhiku. Ia mengangkat kepalanya untuk menatapku, matanya berkabut penuh air mata, tetapi di balik air mata itu aku bisa melihat kebahagiaan yang tulus.

Saat ia mengulurkan tangan untuk menyentuh sutra putih di sekitar mataku, aku merasa aku harus mengatakan sesuatu.

“Kau pasti salah mengenaliku dengan orang lain. Aku adalah Bai Qian dari Qing Qiu, bukan Niang Niang yang kau bicarakan.”

Dayang muda ini, Nai Nai, terlihat kaget, tetapi ia terus saja memeluk kakiku. Aku melemparkan tatapan tak berdaya pada Ye Hua, tetapi sutra putihku mengganggu, menghentikanku berkomunikasi dengan mataku, jadi aku mengangkat tangan dan menyuruhnya untuk mendekat.

Ia menghampiri, membantu Nai Nai bangkit berdiri, matanya tetap berada di kebun persik di hadapannya sepanjang waktu.

“Ini adalah Dewi Agung Bai Qian dari Kerajaan Qing Qiu,” katanya tenang.

“Ia akan tinggal di aula ini selama beberapa hari di bawah pengurusanmu. Kau tidak boleh memanggilnya Niang Niang lagi. Sebaliknya, kau harus memanggilnya dengan gelar kehormatannya, Dewi Agung.”

Nai Nai, masih mengapit kakiku, awalnya terlihat bingung ke arah Ye Hua, lalu kepadaku. Aku memberi senyuman yang menenangkan, tetapi ia tidak bereaksi, hanya menggunakan lengan bajunya untuk mengelap wajah bersimbah air mata miliknya sebelum mengangguk untuk menanggapi permintaan Ye Hua.

Aku hanya membawa dua pasang baju ganti, jadi tidak banyak yang harus dibereskan. Ye Hua mengirim Nai Nai untuk membawakanku jubah mandi dan aksesoris lainnya dan menyuruhku untuk berbaring sejenak sementara ia pergi ke Istana Qing Yun untuk menjemput Buntalan.

Ye Hua benar-benar cepat tanggap. Ia bisa melihat kalau cederaku membuatku sulit berjalan dan perjalanan panjang sudah membuatku kelelahan. Ia juga bisa mengetahui aku merindukan Buntalan. Aku merasa sangat tersentuh dengan betapa sensitifnya ia akan kebutuhanku.

Buntalan juga merindukanku, sepertinya. Ye Hua membawanya, dan segera setelah ia melihatku, ia mencondongkan tubuh dari gendongan ayahnya, memanggil, “Ibu,” dengan suara kecil yang manis, yang menyenangkan untuk didengar.

Vas bunga yang terdapat ranting-ranting bunga persik di dalamnya, yang dipegangi Nai Nai mendadak jatuh ke tanah. Aku menyadari, dewi kecil ini pastinya akrab dengan ibu Buntalan. Ibu Buntalan mati di usia terprimanya, tidak pernah lagi merasakan kegembiraan keibuan. Kepergiannya memperbolehkanku menikmati menjadi ibu tiri, yang sudah jelas menjadi hal menyakitkan untuk disaksikan bagi dayang istana kecil ini.

Betapa pemberani dan setianya dayang ini.

Ye Hua bilang kalau Buntalan dalam keadaan syok seusai insiden di Istana Da Si Ming, tetapi tidak terlalu serius. Aku memeriksanya sedikit, dan melihat ia masih sepucat dan segemuk biasanya, dan ketika ia tersenyum, dua lesung pipi kecilnya muncul seperti sebelumnya. Ia tidak terlihat ketakutan karena pengalaman itu, yang mana menenangkan untuk dilihat.

Ia sudah jelas ingin menghampiriku, tetapi ayahnya memeganginya erat. Ia berusaha melepaskan diri sebentar, terlihat frustasi ketika ia mengetahui ia tidak bisa membebaskan dirinya. Ia mendatarkan mulutnya tak senang dan menatapku, berpura-pura menangis tanpa air mata di matanya.

Aku mengelus rambutnya sayang dan berkata, “Ibu tidak terlalu sehat. Biarkan Ayahanda yang menggendongmu untuk sementara waktu.”

Ia mengejap, wajah kecilnya mendadak berubah merah, dan ia bergeliut kecil.

“A Li tahu. Ibu sedang mengandung, bukan?” katanya pelan.

“Apa?” Aku bertanya terkejut.

Ia mengutak-atik lapisan bajunya.

“Itu yang dikatakan di buku,” jelasnya.

“Bahwa, seorang wanita tidak boleh bermain dengan anak-anak dari keluarga lain ketika ia sedang mengandung, berjaga-jaga apabila itu bisa menyakiti ...”

Ia merenunginya sesaat, dan memukulkan satu kepalan kecilnya ke telapak tangannya saat ia teringat kata yang dimaksudnya.

“Benar, embrionya,” ia menyelesaikannya dengan nada suara meyakinkan.

Hatiku bergetar. Si sayang kecil ini, anak kecil yang tidak lebih besar daripada kecambah bawang putih, sudah mengetahui tentang embrio!

“Dimana kau menemukan buku seperti itu?” Ye Hua bertanya sembari tertawa kecil.

“Cheng Yu yang meminjamkannya padaku,” kata Buntalan polos.

Related Posts:

0 comments:

Posting Komentar