Senin, 11 Januari 2021

3L3W TMOPB - Chapter 16 Part 2

Ten Miles of Peach Blossoms

Chapter 16 Part 2


Aku melihat pembuluh darah di kening Ye Hua mulai berdenyut. Tut, tut, Cheng Yu ini, yang melonjak dari dunia manusia, sudah jelas merupakan suatu keajaiban untuk dilihat, beraninya menentang kekuasaan dan mencabuti bulu-bulu dari ekor harimau. Aku benar-benar mengaguminya.

“Mengapa wajahmu begitu merah, Yang Mulia Pangeran Kecil?” tanya Nai Nai, terdengar kebingungan.

“Meskipun Dewi Agung sedang mengandung, apakah itu akan sangat buruk?”

Buntalan meraih wajahku dan menciuminya dengan suara kecupan yang keras, berkata, “Sebenarnya, aku senang. Jika Ibu mempunyai seorang bayi, aku bukan lagi anggota termuda di Klan Langit.”

“Kita akan segera memiliki seorang bayi setelah kita menikah,” kata Ye Hua setelah terdiam sesaat.

“Apabila kau menginginkan satu, maka aku akan dengan senang hati membantumu,” aku membalas tanpa perlawanan.

Ye Hua membuka mulutnya, tetapi tidak ada kata-kata yang keluar.

***

Alasanku datang ke Istana Langit adalah untuk berendam di dalam kolam mata air Yang Mulia Ling Bao. Dan jadilah, setelah beristirahat dan menetap sebentar, aku bergegas menuju wilayah Yang Mulia Ling Bao Shang Qing.

Karena aku berniat untuk berendam di mata air langitnya, sudah pasti aku perlu menunjukkan sopan santun dan memperkenalkan diriku terlebih dahulu dan menjelaskan mengapa aku berada di sana.

Itu bukan hari terbaik untuk tiba di sana, karena berbarengan dengan perkumpulan para Guru Taoisme, dan karena Ling Bao merupakan Gurunya guru Taoisme, paling tidak, aku harus menunjukkan wajahku di perkumpulannya.

Ling Bao tidak berada di dalam Istana Gioknya. Tujuh dewa tua yang menunggui aula besarnya memberitahuku kalau Ling Bao akan mengunjungiku secara resmi setelah perkumpulan Guru Taoisme itu selesai.

Aku menghadiahi mereka dengan sebuah mutiara malam, dan delapan belas dayang membentuk dua barisan, tangan mereka penuh dengan buah-buahan, bunga, dan anggur, dan membawa Ye Hua, Buntalan, dan aku menuju ke mata air penyembuhan Langit itu.

Aku memahami aturan dasar untuk ritual Klan Langit dan mengetahui kalau dipimpin oleh delapan belas dayang adalah suatu bentuk tata krama kesopanan yang dianugerahkan terhadap para Dewa-Dewi Agung. Suatu pertanyaan mendadak muncul di kepalaku.

Aku berhasil menyimpannya sendiri selama beberapa lama, tetapi akhirnya aku berbalik pada Ye Hua dan berkata, “Jika aku adalah Selir Utamamu dan aku ingin berendam di mata air ini, berapa banyak dayang yang akan membawaku?”

Ia berhenti berjalan, Buntalan berada dalam gendongannya.

“Empat belas,” akhirnya ia berkata.

“Memangnya kenapa?”

Aku memegangi kipasku dan mendesah melankolis.

“Bukan apa-apa. Aku baru menyadari kalau menikahimu tidak akan meningkatkan statusku, tetapi sebenarnya malah akan menyebabkannya jatuh. Tampaknya sama sekali bukanlah sebuah perjanjian yang bagus dari sudut pandang itu.”

Aku bisa melihatnya diam-diam menggertakkan giginya.

“Sebagai Tian Hou, kau akan dipimpin oleh dua puluh empat dayang dan kami akan mengatur empat dayang yang terampil untuk menggosokkan punggungmu.”

Aku tertawa canggung, diikuti dengan helaan napas dalam.

“Baiklah, itu terdengar lebih baik.”

Mata air langitnya mengalir turun dari sebuah pegunungan buatan. Itu merupakan sebuah area yang terpencil, dan mata air serta kabut di sekitarnya sejernih biru zamrud. Di masa kekacauan sebelum yin terbelah dari yang, tidak ada apa-apa lagi selain kabut di antara langit dan bumi, selain kolam biru dangkal ini.

Buntalan bersorak gembira ketika ia melihat kolamnya. Ia membiarkan seorang dayang melepaskan baju dan jubahnya, dan aku memperhatikan sosok kecil, lembutnya saat ia melompat masuk ke dalam air. Ia terangkat ke permukaan, dimana ia mencipratkan air kesana-kemari, membuat riak.

Ye Hua memperhatikannya sejenak sebelum memeriksa semua jenis buah, bunga, dan anggur berbeda yang dibawakan dayang-dayang itu bersama mereka.

“Ini semua adalah anggur buah,” ia berbalik kepadaku dan menjelaskan.

“A Li boleh diberikan sedikit, tetapi pastikan ia tidak meminumnya terlalu banyak. Ia diperbolehkan untuk mencicipi satu dari setiap buah musiman ini juga.”

Aku mengangguk. Ia adalah ayah sekaligus ibu bagi anak lelaki kecil ini. Bukanlah pekerjaan yang mudah. Melihat sisi baru ini padanya, memenuhiku dengan kekaguman.

Ia terlihat agak kaget sebentar, tetapi setelahnya ekspresi dinginnya mulai mencair, sebaliknya, senyum hangat muncul di wajahnya. Ia mengambil kipas dari tanganku.

“Kipas ini sudah dilukis dengan bunga-bunga persik yang bermekaran, tetapi belum tertulis dengan sebuah puisi. Bagaimana kalau aku membawanya sekarang dan menuliskanmu sebuah puisi pendampingnya?”

“Kau tetaplah di sini sejenak, dan berendamlah yang nyaman, saat kau sudah selesai, datanglah ke ruang bacaku untuk mencariku.”

Ia memberikan senyuman yang sangat cerah sampai menyilaukan mataku, dan sebelum aku menemukan kembali kesadaranku, ia sudah membawa kipasnya dan pergi.

“Mengapa Ayahanda pergi?” tanya Buntalan, masih mencipratkan air kesana-kemari di kolam mata airnya.

“Mengapa ia tidak tinggal dan berendam bersama kita?”

“Komandan Langit punya tugas besar untuk Ayahanda,” kataku sembari tertawa kecil.

“Ia harus pergi dan mencari tahu apakah itu.”

Alkoholnya terlalu kuat bagi Buntalan, yang segera saja menjadi mabuk.

Ye Hua sudah memberi penjelasan padaku untuk membiarkan Buntalan memakan hanya satu dari setiap macam buah musimannya, dan berasumsi kalau hal yang sama pun berlaku bagi semua jenis anggur buahnya, aku membiarkannya meminum setengah botol tiap macamnya.

Aku tidak menyangka kalau ia akan pergi dengan dayangnya setelah dua setengah botol, memberikannya senyuman lucu dan bodoh, tersenyum-senyum sampai kepalanya jatuh ke samping dan ia jatuh mengantuk ke dalam airnya.

“Yang Mulia Pangeran Kecil tidak pernah minum sebanyak ini sebelumnya,” Nai Nai berkata cemas.

“Mungkin hamba harus membawanya ke kediaman Dewa Obat untuk pemeriksaan.”

Aku sudah minum-minum alkohol selama lebih dari 100.000 tahun, selalu anggur berkualitas tinggi dari si Dewa Agung Zhe Yan, dan mengatakan aku berkualifikasi untuk membicarakan subjek ini merupakan pernyataan yang sederhana.

Yang diminum oleh Buntalan hanyalah anggur buah, yang mana tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan buah abadi yang disimpan cukup lama untuk mulai di fermentasi. Itu adalah benda yang tidak berbahaya, dan tidak mungkin bisa mabuk karenanya, meskipun jika kau mengkonsumsi banyak.

Satu-satunya alasan Buntalan jatuh dalam keadaan mabuk ini adalah karena ia tidak pernah mabuk sebelumnya dan toleransi alkoholnya rendah. Setelah ia tertidur, dengan tenang aku memeriksa nadinya dan menjaganya, tetapi menemukan bahwa energi yang bersirkulasi di dalam tubuhnya bahkan lebih kuat daripada milikku sendiri. Membawanya ke kediaman Dewa Obat hanya untuk menghilangkan efek alkoholnya akan terlalu merepotkan.

“Tidak baik memanjakan anak lelaki dengan cara begini,” kataku, menoleh pada Nai Nai.

“Tidak ada hal serius yang terjadi padanya. Bawalah ia kembali ke kamarnya dan biarkan ia tidur. Paling lama, ia akan tertidur hingga tengah malam nanti, setelahnya ia akan terbangun dengan sendirinya.”

Dua dayang menciduk Buntalan keluar dari air dan mengenakan kembali pakaiannya, dan Nai Nai membawanya kembali ke istananya.

Aku memakan beberapa buah, meminum ampas anggur yang ditinggalkan Buntalan, dan tertidur lelap. Ketika aku membuka mataku lagi, hari sudah malam. Aku benar-benar merugikan ke-18 dayang malang yang menunggui di sisi kolamnya selama ini tanpa satu pun keluhan. Dengan semangat yang lebih terisi, aku meluruskan rambutku, mengikatkan jubahku, dan membayangkan akan ada lebih banyak pemandangan menyilaukan di antara Yu Chen dan Istana Xi Wu, membuat keputusan bijaksana untuk membiarkan sutera putih tetap terikat di sekitar wajahku.

Tiga bulan kami hidup bersama di Qing Qiu memberikanku pengetahuan dasar mengenai kebiasaan hidup Ye Hua. Di jam begitulah biasanya ia akan menyeretku untuk bermain catur dengannya. Aku membayangkan ia mungkin masih berada di ruang bacanya. Mempertimbangkan kalau kipasku akan berguna untuk mengusir nyamuk, aku pun memutuskan tidak segera kembali ke Yi Lan Fang Hua, tetapi menuju ke ruang bacanya terlebih dahulu.

Tidak ada seorang pun yang berjaga di luarnya. Aku mengetuk pintunya. Mendengar tidak ada jawaban, aku mendorongnya perlahan, dan pintunya mulai terbuka. Tidak ada seorang pun di ruangan bagian luar juga, tetapi aku bisa tahu kalau ada lilin yang terbakar di sisi tirai pintunya, karena aku bisa melihat bayangan mereka yang bergoyang.

Aku mendengar suara rendah erangan seorang wanita dari dalam sana, dan jantungku berdebar kencang di dadaku. Aku merasa kehilangan sesaat, dan telingaku serasa terbakar. Aku belum lama tanpa sengaja bertemu dengan salah satu tempat pertemuan yang melakukan aktivitas semacam ini. Tidak mungkin aku sesial ini, membuat diriku berada di depan tirai pintu, lagi-lagi menemukan kegiatan pasangan semacam ini lagi, kan?

Aku jadi marah sendiri.

Ye Hua sering tampak tenang dan menyendiri, tetapi ia masih muda, dan alaminya ia akan berdarah panas. Semua dayang yang kutemui hari ini memiliki penampilan yang halus dan menarik. Berurusan dengan semeja penuh dokumen siang dan malam sudah jelas monoton bagi si pemuda malang. Mengangkat kepalanya dan melihat seorang dayang dengan penampilan seindah lukisan, mungkin akan memberikannya ide tentang bagaimana memaniskan pil pahit dari pekerjaan birokratisnya yang membosankan.

Ini membuatku merasa aneh.

Hal yang bagus jika Ye Hua sudah menggoyahkan cara tak diinginkan yang mulai dipikirkannya tentang diriku, dan harusnya aku merasa riang gembira. Sebaliknya, aku merasa resah mengenai dayang dengan penampilan seindah lukisan yang pastinya cukup cantik bagi Ye Hua.

Aku mempertimbangkan perkataan Buddha: “Akan lebih baik menghancurkan sepuluh kuil ketimbang menghancurkan satu pernikahan.”

Aku mencubiti telingaku, yang serasa panas terbakar, dan bersiap untuk menyelinap keluar diam-diam, melangkah sepelan mungkin agar aku tidak mengganggu bahkan segumpal awan pun.

Namun, sebelum kaki kananku bahkan melewati ambang pintunya, aku mendengarkan suara lembut Ye Hua memanggil, “Apa yang sebenarnya sedang kau lakukan di luar sana? Kau mau masuk atau tidak?”

Aku mengusap keningku dan menghela napas pelan. Meskipun dengan seorang wanita cantik dalam pelukannya, Ye Hua masih bisa mendengarkan suara samar yang tak jelas. Ia benar-benar seorang dewa yang luar biasa.

Lilin di balik tirainya mulai melompat-lompat. Aku tidak ingin masuk, tetapi aku tidak bisa pergi juga.

“Aku menuliskan sebuah puisi untuk kipasmu. Kemari dan ambillah,” kata Ye Hua.

Aku meneguk ludah. Karena ia memintaku untuk masuk, aku membayangkan kalau ia pasti dalam keadaan yang pantas. Sebenarnya, aku merasa penasaran untuk melihat seperti apa rupa si dayang yang kudengar suara erangannya itu, jadi aku mengumpulkan keberanian untuk mengangkat tirainya dengan bersemangat dan masuk ke dalam ruang bacanya.

Instingku tidak terlalu meleset; akan tetapi, bukan hanya satu dayang yang bertugas di ruangan bagian dalam, melainkan dua orang.

Biarpun begitu, mereka berpakaian lengkap dan sedang berlutut, kepala mereka tertunduk ke atas tanah. Bahu salah satu dayangnya gemetaran, seakan ia sedang bersimpuh di sana sembari diam-diam menangis.

Ye Hua duduk di balik mejanya dengan setumpuk dokumen di hadapannya. Di sebelah dokumennya terdapat satu mangkuk porselen berwarna biru-putih, uap masih mengepul darinya. Ekspresi kerasnya sangat berbeda dari ekspresi kasmaran yang kubayangkan selagi berdiri di luar tadi.

Aku dipenuhi gelombang keraguan yang begitu kuat hingga mereka bisa mencapai tingginya pegunungan dan mengisi dalamnya lembah. Namun, aku harus mempertahankan sikap dewi agungku di hadapan para dayang kecil ini, dan untuk sementara mengatasi keraguan ini dan berpura-pura tenang, aku mengambil kipasnya dari tangan Ye Hua.

Selagi aku memeriksa tulisan di permukaannya, aku berhasil mengumpulkan cukup ketenangan untuk bertanya, “Jadi, ada apa ini?”

Tulisan tangan Ye Hua indah. Ia menuliskan delapan belas huruf dalam dua baris di permukaan kipasnya. Dibaca, “Kepada arah angin di timur, mari kita bersulang, bersantai bersama dan menikmati waktu yang kita lalui.”

Aku gemetaran menantikan saat aku membuka kipasnya, takut kalau ia mungkin akan menuliskan sesuatu yang terlalu berlebihan.

Namun, aku senang dengan apa yang kulihat.

Ruangannya jadi sunyi. Aku mengangkat mataku penasaran dan melihat gadis yang berlutut di sebelah kanan sedang menatapku, ekspresi teror penuh kekejian tampak di matanya.

Ia punya mata yang indah. Dalam 140.000 tahunku, aku tidak pernah melihat sepasang mata yang begitu indahnya. Mata Feng Jiu sangat cantik, tetapi ia masih lebih muda, dan mereka tidak menunjukkan banyak endapan waktu. Mata yang ada di hadapanku tampaknya dipenuhi oleh emosi tiada batas, dan setelah aku melihatnya, aku merasa sulit untuk memalingkan wajah.

Ada sesuatu yang sangat spesial tentang si dayang ini.

Namun, matanya adalah satu-satunya fiturnya yang menarik. Sisanya, wajahnya tampak biasa saja, dan ia bahkan tidak secantik si Putri Lu Xiu dari keluarga Kerajaan Laut Selatan.

Dengan bibir yang bergetar, dayang ini berhasil memanggil sebuah nama dengan goyah. Aku mendengarnya dengan jelas: itu adalah nama ibu Buntalan, wanita yang melompat dari Zhu Xian Tai.

Related Posts:

0 comments:

Posting Komentar