Ten Miles of Peach Blossoms
Chapter 16 Part 2
Aku melihat
pembuluh darah di kening Ye Hua mulai berdenyut. Tut, tut, Cheng Yu ini, yang
melonjak dari dunia manusia, sudah jelas merupakan suatu keajaiban untuk
dilihat, beraninya menentang kekuasaan dan mencabuti bulu-bulu dari ekor
harimau. Aku benar-benar mengaguminya.
“Mengapa
wajahmu begitu merah, Yang Mulia Pangeran Kecil?” tanya Nai Nai, terdengar
kebingungan.
“Meskipun Dewi
Agung sedang mengandung, apakah itu akan sangat buruk?”
Buntalan meraih
wajahku dan menciuminya dengan suara kecupan yang keras, berkata, “Sebenarnya,
aku senang. Jika Ibu mempunyai seorang bayi, aku bukan lagi anggota termuda di
Klan Langit.”
“Kita akan
segera memiliki seorang bayi setelah kita menikah,” kata Ye Hua setelah terdiam
sesaat.
“Apabila kau
menginginkan satu, maka aku akan dengan senang hati membantumu,” aku membalas
tanpa perlawanan.
Ye Hua membuka
mulutnya, tetapi tidak ada kata-kata yang keluar.
***
Alasanku datang
ke Istana Langit adalah untuk berendam di dalam kolam mata air Yang Mulia Ling
Bao. Dan jadilah, setelah beristirahat dan menetap sebentar, aku bergegas
menuju wilayah Yang Mulia Ling Bao Shang Qing.
Karena aku
berniat untuk berendam di mata air langitnya, sudah pasti aku perlu menunjukkan
sopan santun dan memperkenalkan diriku terlebih dahulu dan menjelaskan mengapa
aku berada di sana.
Itu bukan hari
terbaik untuk tiba di sana, karena berbarengan dengan perkumpulan para Guru
Taoisme, dan karena Ling Bao merupakan Gurunya guru Taoisme, paling tidak, aku
harus menunjukkan wajahku di perkumpulannya.
Ling Bao tidak
berada di dalam Istana Gioknya. Tujuh dewa tua yang menunggui aula besarnya
memberitahuku kalau Ling Bao akan mengunjungiku secara resmi setelah
perkumpulan Guru Taoisme itu selesai.
Aku menghadiahi
mereka dengan sebuah mutiara malam, dan delapan belas dayang membentuk dua
barisan, tangan mereka penuh dengan buah-buahan, bunga, dan anggur, dan membawa
Ye Hua, Buntalan, dan aku menuju ke mata air penyembuhan Langit itu.
Aku memahami
aturan dasar untuk ritual Klan Langit dan mengetahui kalau dipimpin oleh
delapan belas dayang adalah suatu bentuk tata krama kesopanan yang
dianugerahkan terhadap para Dewa-Dewi Agung. Suatu pertanyaan mendadak muncul
di kepalaku.
Aku berhasil
menyimpannya sendiri selama beberapa lama, tetapi akhirnya aku berbalik pada Ye
Hua dan berkata, “Jika aku adalah Selir Utamamu dan aku ingin berendam di mata
air ini, berapa banyak dayang yang akan membawaku?”
Ia berhenti
berjalan, Buntalan berada dalam gendongannya.
“Empat belas,”
akhirnya ia berkata.
“Memangnya
kenapa?”
Aku memegangi
kipasku dan mendesah melankolis.
“Bukan apa-apa.
Aku baru menyadari kalau menikahimu tidak akan meningkatkan statusku, tetapi
sebenarnya malah akan menyebabkannya jatuh. Tampaknya sama sekali bukanlah sebuah
perjanjian yang bagus dari sudut pandang itu.”
Aku bisa
melihatnya diam-diam menggertakkan giginya.
“Sebagai Tian Hou,
kau akan dipimpin oleh dua puluh empat dayang dan kami akan mengatur empat
dayang yang terampil untuk menggosokkan punggungmu.”
Aku tertawa
canggung, diikuti dengan helaan napas dalam.
“Baiklah, itu
terdengar lebih baik.”
Mata air
langitnya mengalir turun dari sebuah pegunungan buatan. Itu merupakan sebuah
area yang terpencil, dan mata air serta kabut di sekitarnya sejernih biru
zamrud. Di masa kekacauan sebelum yin
terbelah dari yang, tidak ada apa-apa
lagi selain kabut di antara langit dan bumi, selain kolam biru dangkal ini.
Buntalan
bersorak gembira ketika ia melihat kolamnya. Ia membiarkan seorang dayang
melepaskan baju dan jubahnya, dan aku memperhatikan sosok kecil, lembutnya saat
ia melompat masuk ke dalam air. Ia terangkat ke permukaan, dimana ia
mencipratkan air kesana-kemari, membuat riak.
Ye Hua
memperhatikannya sejenak sebelum memeriksa semua jenis buah, bunga, dan anggur
berbeda yang dibawakan dayang-dayang itu bersama mereka.
“Ini semua
adalah anggur buah,” ia berbalik kepadaku dan menjelaskan.
“A Li boleh
diberikan sedikit, tetapi pastikan ia tidak meminumnya terlalu banyak. Ia
diperbolehkan untuk mencicipi satu dari setiap buah musiman ini juga.”
Aku mengangguk.
Ia adalah ayah sekaligus ibu bagi anak lelaki kecil ini. Bukanlah pekerjaan
yang mudah. Melihat sisi baru ini padanya, memenuhiku dengan kekaguman.
Ia terlihat
agak kaget sebentar, tetapi setelahnya ekspresi dinginnya mulai mencair,
sebaliknya, senyum hangat muncul di wajahnya. Ia mengambil kipas dari tanganku.
“Kipas ini
sudah dilukis dengan bunga-bunga persik yang bermekaran, tetapi belum tertulis dengan
sebuah puisi. Bagaimana kalau aku membawanya sekarang dan menuliskanmu sebuah
puisi pendampingnya?”
“Kau tetaplah
di sini sejenak, dan berendamlah yang nyaman, saat kau sudah selesai, datanglah
ke ruang bacaku untuk mencariku.”
Ia memberikan
senyuman yang sangat cerah sampai menyilaukan mataku, dan sebelum aku menemukan
kembali kesadaranku, ia sudah membawa kipasnya dan pergi.
“Mengapa
Ayahanda pergi?” tanya Buntalan, masih mencipratkan air kesana-kemari di kolam
mata airnya.
“Mengapa ia
tidak tinggal dan berendam bersama kita?”
“Komandan
Langit punya tugas besar untuk Ayahanda,” kataku sembari tertawa kecil.
“Ia harus pergi
dan mencari tahu apakah itu.”
Alkoholnya
terlalu kuat bagi Buntalan, yang segera saja menjadi mabuk.
Ye Hua sudah
memberi penjelasan padaku untuk membiarkan Buntalan memakan hanya satu dari
setiap macam buah musimannya, dan berasumsi kalau hal yang sama pun berlaku
bagi semua jenis anggur buahnya, aku membiarkannya meminum setengah botol tiap
macamnya.
Aku tidak
menyangka kalau ia akan pergi dengan dayangnya setelah dua setengah botol,
memberikannya senyuman lucu dan bodoh, tersenyum-senyum sampai kepalanya jatuh
ke samping dan ia jatuh mengantuk ke dalam airnya.
“Yang Mulia
Pangeran Kecil tidak pernah minum sebanyak ini sebelumnya,” Nai Nai berkata
cemas.
“Mungkin hamba
harus membawanya ke kediaman Dewa Obat untuk pemeriksaan.”
Aku sudah
minum-minum alkohol selama lebih dari 100.000 tahun, selalu anggur berkualitas
tinggi dari si Dewa Agung Zhe Yan, dan mengatakan aku berkualifikasi untuk
membicarakan subjek ini merupakan pernyataan yang sederhana.
Yang diminum
oleh Buntalan hanyalah anggur buah, yang mana tidak ada apa-apanya dibandingkan
dengan buah abadi yang disimpan cukup lama untuk mulai di fermentasi. Itu
adalah benda yang tidak berbahaya, dan tidak mungkin bisa mabuk karenanya,
meskipun jika kau mengkonsumsi banyak.
Satu-satunya
alasan Buntalan jatuh dalam keadaan mabuk ini adalah karena ia tidak pernah
mabuk sebelumnya dan toleransi alkoholnya rendah. Setelah ia tertidur, dengan
tenang aku memeriksa nadinya dan menjaganya, tetapi menemukan bahwa energi yang
bersirkulasi di dalam tubuhnya bahkan lebih kuat daripada milikku sendiri.
Membawanya ke kediaman Dewa Obat hanya untuk menghilangkan efek alkoholnya akan
terlalu merepotkan.
“Tidak baik
memanjakan anak lelaki dengan cara begini,” kataku, menoleh pada Nai Nai.
“Tidak ada hal
serius yang terjadi padanya. Bawalah ia kembali ke kamarnya dan biarkan ia
tidur. Paling lama, ia akan tertidur hingga tengah malam nanti, setelahnya ia
akan terbangun dengan sendirinya.”
Dua dayang
menciduk Buntalan keluar dari air dan mengenakan kembali pakaiannya, dan Nai
Nai membawanya kembali ke istananya.
Aku memakan
beberapa buah, meminum ampas anggur yang ditinggalkan Buntalan, dan tertidur
lelap. Ketika aku membuka mataku lagi, hari sudah malam. Aku benar-benar
merugikan ke-18 dayang malang yang menunggui di sisi kolamnya selama ini tanpa
satu pun keluhan. Dengan semangat yang lebih terisi, aku meluruskan rambutku,
mengikatkan jubahku, dan membayangkan akan ada lebih banyak pemandangan
menyilaukan di antara Yu Chen dan Istana Xi Wu, membuat keputusan bijaksana
untuk membiarkan sutera putih tetap terikat di sekitar wajahku.
Tiga bulan kami
hidup bersama di Qing Qiu memberikanku pengetahuan dasar mengenai kebiasaan
hidup Ye Hua. Di jam begitulah biasanya ia akan menyeretku untuk bermain catur
dengannya. Aku membayangkan ia mungkin masih berada di ruang bacanya.
Mempertimbangkan kalau kipasku akan berguna untuk mengusir nyamuk, aku pun
memutuskan tidak segera kembali ke Yi Lan Fang Hua, tetapi menuju ke ruang
bacanya terlebih dahulu.
Tidak ada seorang
pun yang berjaga di luarnya. Aku mengetuk pintunya. Mendengar tidak ada
jawaban, aku mendorongnya perlahan, dan pintunya mulai terbuka. Tidak ada
seorang pun di ruangan bagian luar juga, tetapi aku bisa tahu kalau ada lilin
yang terbakar di sisi tirai pintunya, karena aku bisa melihat bayangan mereka
yang bergoyang.
Aku mendengar
suara rendah erangan seorang wanita dari dalam sana, dan jantungku berdebar
kencang di dadaku. Aku merasa kehilangan sesaat, dan telingaku serasa terbakar.
Aku belum lama tanpa sengaja bertemu dengan salah satu tempat pertemuan yang
melakukan aktivitas semacam ini. Tidak mungkin aku sesial ini, membuat diriku
berada di depan tirai pintu, lagi-lagi menemukan kegiatan pasangan semacam ini
lagi, kan?
Aku jadi marah
sendiri.
Ye Hua sering
tampak tenang dan menyendiri, tetapi ia masih muda, dan alaminya ia akan
berdarah panas. Semua dayang yang kutemui hari ini memiliki penampilan yang
halus dan menarik. Berurusan dengan semeja penuh dokumen siang dan malam sudah
jelas monoton bagi si pemuda malang. Mengangkat kepalanya dan melihat seorang
dayang dengan penampilan seindah lukisan, mungkin akan memberikannya ide
tentang bagaimana memaniskan pil pahit dari pekerjaan birokratisnya yang
membosankan.
Ini membuatku
merasa aneh.
Hal yang bagus
jika Ye Hua sudah menggoyahkan cara tak diinginkan yang mulai dipikirkannya
tentang diriku, dan harusnya aku merasa riang gembira. Sebaliknya, aku merasa
resah mengenai dayang dengan penampilan seindah lukisan yang pastinya cukup
cantik bagi Ye Hua.
Aku mempertimbangkan
perkataan Buddha: “Akan lebih baik menghancurkan sepuluh kuil ketimbang
menghancurkan satu pernikahan.”
Aku mencubiti
telingaku, yang serasa panas terbakar, dan bersiap untuk menyelinap keluar
diam-diam, melangkah sepelan mungkin agar aku tidak mengganggu bahkan segumpal
awan pun.
Namun, sebelum
kaki kananku bahkan melewati ambang pintunya, aku mendengarkan suara lembut Ye
Hua memanggil, “Apa yang sebenarnya sedang kau lakukan di luar sana? Kau mau
masuk atau tidak?”
Aku mengusap
keningku dan menghela napas pelan. Meskipun dengan seorang wanita cantik dalam
pelukannya, Ye Hua masih bisa mendengarkan suara samar yang tak jelas. Ia
benar-benar seorang dewa yang luar biasa.
Lilin di balik
tirainya mulai melompat-lompat. Aku tidak ingin masuk, tetapi aku tidak bisa
pergi juga.
“Aku menuliskan
sebuah puisi untuk kipasmu. Kemari dan ambillah,” kata Ye Hua.
Aku meneguk
ludah. Karena ia memintaku untuk masuk, aku membayangkan kalau ia pasti dalam
keadaan yang pantas. Sebenarnya, aku merasa penasaran untuk melihat seperti apa
rupa si dayang yang kudengar suara erangannya itu, jadi aku mengumpulkan
keberanian untuk mengangkat tirainya dengan bersemangat dan masuk ke dalam
ruang bacanya.
Instingku tidak
terlalu meleset; akan tetapi, bukan hanya satu dayang yang bertugas di ruangan
bagian dalam, melainkan dua orang.
Biarpun begitu,
mereka berpakaian lengkap dan sedang berlutut, kepala mereka tertunduk ke atas
tanah. Bahu salah satu dayangnya gemetaran, seakan ia sedang bersimpuh di sana
sembari diam-diam menangis.
Ye Hua duduk di
balik mejanya dengan setumpuk dokumen di hadapannya. Di sebelah dokumennya
terdapat satu mangkuk porselen berwarna biru-putih, uap masih mengepul darinya.
Ekspresi kerasnya sangat berbeda dari ekspresi kasmaran yang kubayangkan selagi
berdiri di luar tadi.
Aku dipenuhi
gelombang keraguan yang begitu kuat hingga mereka bisa mencapai tingginya
pegunungan dan mengisi dalamnya lembah. Namun, aku harus mempertahankan sikap
dewi agungku di hadapan para dayang kecil ini, dan untuk sementara mengatasi
keraguan ini dan berpura-pura tenang, aku mengambil kipasnya dari tangan Ye
Hua.
Selagi aku
memeriksa tulisan di permukaannya, aku berhasil mengumpulkan cukup ketenangan
untuk bertanya, “Jadi, ada apa ini?”
Tulisan tangan
Ye Hua indah. Ia menuliskan delapan belas huruf dalam dua baris di permukaan
kipasnya. Dibaca, “Kepada arah angin di timur, mari kita bersulang, bersantai
bersama dan menikmati waktu yang kita lalui.”
Aku gemetaran
menantikan saat aku membuka kipasnya, takut kalau ia mungkin akan menuliskan
sesuatu yang terlalu berlebihan.
Namun, aku
senang dengan apa yang kulihat.
Ruangannya jadi
sunyi. Aku mengangkat mataku penasaran dan melihat gadis yang berlutut di
sebelah kanan sedang menatapku, ekspresi teror penuh kekejian tampak di matanya.
Ia punya mata
yang indah. Dalam 140.000 tahunku, aku tidak pernah melihat sepasang mata yang
begitu indahnya. Mata Feng Jiu sangat cantik, tetapi ia masih lebih muda, dan
mereka tidak menunjukkan banyak endapan waktu. Mata yang ada di hadapanku
tampaknya dipenuhi oleh emosi tiada batas, dan setelah aku melihatnya, aku
merasa sulit untuk memalingkan wajah.
Ada sesuatu
yang sangat spesial tentang si dayang ini.
Namun, matanya
adalah satu-satunya fiturnya yang menarik. Sisanya, wajahnya tampak biasa saja,
dan ia bahkan tidak secantik si Putri Lu Xiu dari keluarga Kerajaan Laut
Selatan.
Dengan bibir
yang bergetar, dayang ini berhasil memanggil sebuah nama dengan goyah. Aku
mendengarnya dengan jelas: itu adalah nama ibu Buntalan, wanita yang melompat
dari Zhu Xian Tai.
0 comments:
Posting Komentar