Senin, 11 Januari 2021

3L3W TMOPB - Chapter 16 Part 3

Ten Miles of Peach Blossoms

Chapter 16 Part 3


Aku mengelus sutra putih di wajahku. Sudah tiga kali aku salah dikenali sebagai dirinya, dan aku sudah terbiasa jadi aku tidak lagi merasa perlu membenarkan orang-orang. Aku menyesap tehku dan menatapnya dari atas ke bawah lagi.

“Kau memiliki mata yang sangat indah,” aku memberitahunya pelan.

Itu merupakan sebuah pujian, diberikan secara tulus, dan kebanyakan orang akan merasa senang saat mendengarnya. Walau begitu, dayang muda yang berlutut di hadapanku sudah jelas berbeda dari orang kebanyakan: bukan hanya ia tampak tidak senang mendengar pujianku, sebenarnya ia jatuh ke lantai dan terlentang di sisinya, memandangiku dengan mata yang semakin panik.

Aku mungkin tidak cukup dianugerahi dalam hal penampilan seperti Kakak Keempat, tetapi aku sejauh ini, aku selalu menjadi wanita tercantik di Qing Qiu. Aku membayangkannya menghormatiku atas kecantikanku, yang tidak luntur selama puluhan ribu tahun ini, bukannya menjadi sangat ketakutan akan penampilanku hingga ia terjatuh seperti tumpukan kusut di atas lantai!

Ye Hua dengan tenang melepaskan sutra putihku dan menarikku untuk duduk di sebelahnya. Kedua dayang di hadapan kami membelalakkan matanya melihat wajahku. Akhirnya, mereka pasti meyadari kalau aku tidak ada miripnya dengan ibu Buntalan.

Ye Hua mengangkat dagunya dan memanggil kedua dayang yang menatap bodoh ke arahku dengan suara dingin.

“Putri Miao Qing, sudah tidak ada lagi tempat bagimu di Istana Xi Wu. Silakan kembali ke Laut Timur besok pagi. Su Jin, sudah jelas kau sangat mementingkan persahabatanmu dengan Putri Miao Qing, kalau kau memang benar-benar tidak sanggup melihatnya pergi, kusarankan agar kau meminta Tian Jun menurunkan satu titah untuk menikahkan kalian berdua ke Laut Timur. Bagaimana kedengarannya?”

Ucapannya membuatku mengigil hingga ke tulang. Kedua dayang yang sedang bersimpuh itu memucat.

Aku terkejut. Aku menyipitkan mata, memandangi gadis yang ada di kiri, yang masih menangis tanpa suara. Samar-samar dapat kubedakan struktur tulang wajahnya yang elegan, sangat mirip dengan Raja Laut Timur. Ia pastilah Putri Miao Qing.

Yang artinya, gadis yang berlutut di sebelah kanan, dengan mata yang tidak sesuai dengan bagian wajah lainnya, adalah wanita yang hampir dilecehkan oleh murid tidak berbaktiku, Yuan Zhen, yang mencoba menggantung dirinya sebagai hasilnya, dan merupakan Selir Utama Ye Hua, Su Jin.

Aku merasa kalau penampilannya agak biasa sebelum aku mengetahui siapa dirinya, tetapi sekarang, karena aku mengetahui ia adalah alasan murid kesayangan malangku menghadapi segala ujian dan musibah itu, aku merasa wajahnya semakin biasa-biasa saja. Aku melepaskan desahan sedih ke lengan jubahku.

Yuan Zhen, oh, Yuan Zhen, seleramu buruk sekali. Kau akan lebih membantu dirimu sendiri jika kau mengambil keuntungan dari dirimu sendiri selagi menatap ke dalam sebuah cermin; kau bermil-mil jauhnya lebih menarik dari dirinya.

Su Jin masih memandangiku, matanya jernih lagi, sementara Miao Qing masih menangis dan memohon. Aku bisa melihat betapa marahnya Ye Hua. Selain dari pertarungan dengan Xuan Nu di Istana Da Si Ming, aku tidak pernah melihatnya begitu marah. Aku jadi ingin tahu, dan walaupun aku sudah mendapatkan apa yang ingin kuambil dari sini, aku tidak bisa membuat diriku pergi. Aku mengangkat satu cangkir teh, mengisinya dengan air mendidih, menemukan satu pojokan untuk duduk, dan dengan tenang menunggu hingga tehnya mendingin.

Meskipun ia sedang marah, Ye Hua sangat berbakat mempertahankan ketenangannya. Pertahanan Putri Miao Qing sudah cukup untuk membuat siapa pun yang mendengarnya tersentuh menangis, tetapi ia tetap tidak terpengaruh. Ia hanya duduk di sana dalam diam, memeriksa dokumennya.

Aku pernah melihat Putri Miao Qing meneteskan air mata saat menyatakan kedalaman cintanya untuk Ye Hua sebelumnya, setelah perjamuan Laut Timur, dan sekarang, walaupun Su Jin begitu terpengaruh dengan penampilan sang putri sampai ia mengusap air matanya sendiri, aku merasa aku bisa mempertahankan ketenanganku.

Setelah mendengarkan sejenak, akhirnya aku mengerti apa yang terjadi dan memahami mengapa Ye Hua begitu marah.

Sebelumnya, malam itu, Putri Laut Timur, Miao Qing, dengan beraninya mencoba memberi Ye Hua makan semangkuk sup yang telah ditaburi dengan ramuan cinta dengan harapan dapat menggodanya. Sayangnya bagi dirinya, ia tidak memilih sebuah ramuan yang berkualitas, dan Ye Hua mencium aromanya selagi memegangi mangkuknya. Ia tidak berakhir menyalakan api di hatinya seperti yang diharapkannya, tetapi malah menyalakan api amarahnya.

Dayang yang bertugas menggilingkan tinta Ye Hua, berdiri di mejanya waktu itu dan menyaksikan seluruh kejadiannya. Ia bergegas memanggil Selir Utama Su Jin untuk melakukan proses pengadilan, sesuai dengan peraturan Istana Langit.

Aku terkesan dengan toleransi yang ditunjukkan oleh Su Jin, yang tampaknya melampaui segala batasan. Saat ia mengetahui kalau Miao Qing mencoba menggoda suaminya dengan sebuah ramuan cinta, ia tidak menunjukkan sedikit pun kebencian ataupun amarah, namun sebenarnya justru memohon ampun untuk sang putri. Sikap murah hatinya bisa menjadikannya sebagai selir panutan di seluruh Empat Lautan dan Delapan Dataran.

Aku datang mengambil kipasku saat ada istirahat dalam drama mereka. Segera setelah aku memahami apa yang terjadi, aku tak lagi tertarik untuk tetap tinggal. Masih ada lebih banyak hal menarik untuk dilakukan ketimbang menonton kedua orang yang berlutut di atas lantai dan meratap. Sandiwara dunia manusia punya alur yang mirip tetapi tidak selemah ini dan jauh lebih baik ditulisnya.

Tehku dalam suhu yang ideal untuk diminum. Aku menghabiskannya dalam beberapa tegukan, memungut kipasku, dan bersiap pergi.

Tepat ketika aku baru saja akan melarikan diri, Putri Miao Qing memeluk kakiku.

Niang Niang, aku tidak tahu siapa Anda waktu terakhir kali kita bertemu, tetapi Anda membantuku waktu itu, dan aku akan selalu mengingatnya dan merasa berterima kasih. Sekarang, aku mohon pada Anda agar membantuku sekali lagi.”

Diam-diam aku menoleh pada Ye Hua.

“Karena Putri Miao Qing sudah berlutut meminta pertolonganku, aku merasa harus memberikan beberapa patah nasihat, jika kau mengizinkanku.”

Ye Hua mengangkat kepalanya dari dokumennya, menatapku, dan berkata, “Silakan.”

Aku menghela napas.

“Putri Miao Qing bukan satu-satunya orang yang bersalah di sini. Kau tahu sejak awal bagaimana perasaannya terhadapmu, dan kau tetap membawanya kembali ke Istana Langit. Aku menghargai dirimu yang ingin membalas budi padanya dengan membantunya menghindari pernikahannya dengan pangeran kedua Laut Barat dan memberinya waktu untuk berpikir sebelum mengembalikannya ke Laut Timur, tetapi ia tidak mengetahui pemikiranmu. Ia sudah jelas mengharapkan agar perasaanmu dapat bertumbuh padanya. Ia melihat betapa tulus dan hormatnya dirimu kepadanya, dan jadilah pada akhirnya ia membuat dirinya untuk mengambil langkah pertama.”

Sulit membaca apa yang sedang dipikirkan oleh Ye Hua dari matanya.

Ia menatap Miao Qing acuh tak acuh dan berkata, “Kau memberitahuku bahwa yang kau inginkan hanyalah bekerja sebagai seorang dayang di Istana Xi Wu dan kau akan sepenuhnya merasa puas.”

“Apakah kau kira, kau bisa mempercayai segala sesuatu yang diberitahukan padamu oleh seorang gadis yang sedang jatuh cinta?” kataku sembari menguap.

Miao Qing menangis tersedu-sedu hingga wajahnya sulit dikenali.

Aku menepuk ujung kipasku dan berkata, “Dengarkanlah perkataan seorang wanita tua. Lebih baik kau kembali ke Laut Timur.”

Kemudian, aku mengambil beberapa langkah untuk membebaskan diriku dari cengkeramannya. Aku meluruskan bajuku, dan sebelum ia punya kesempatan untuk bereaksi, aku membawa kipasku dan menyelinap keluar dari ruangan.

Aku sudah mencapai ambang pintu ruangan luar sebelum Ye Hua menyusulku dan menarikku. Aku berbalik menatapnya. Ia melepaskanku, dan kami berdiri di sana bahu-membahu.

“Sudah gelap di luar sana. Apakah kau bisa menemukan jalanmu kembali ke kediamanmu?” tanyanya.

Aku melihat ke sekitar dan berkata, “Aku yakin aku pasti bisa menemukannya,” tetapi perkataanku terdengar penuh keraguan.

Ia terdiam sejenak sebelum berkata, “Aku akan mengantarkanmu pulang.”

Aku mendengar Miao Qing terisak dari ruangan dalam, di balik tirai dengan lilin yang berkelap-kelip.

Mereka berdua pastinya sangat kelelahan dengan segala kehebohan itu. Mereka bisa menggunakan waktu selagi Ye Hua menemaniku untuk beristirahat dan memulihkan energi mereka, agar nantinya mereka bisa memberikannya pertunjukkan yang lebih bersemangat lagi.

Walaupun sementara aku menyingkirkan Ye Hua dari tempat itu agar ia bisa menjadi pemanduku, aku membayangkan kalau aku tidak akan bisa membawanya pergi dari urusan belakang istana ini terlalu lama. Aku membawanya keluar tanpa merasa terlalu bersalah.

Bulannya sewarna beku, dan anginnya bertiup.

Ye Hua terdiam sepanjang jalan, hanya terkadang mengutarakan peringatan tentang dahan pohon atau bebatuan yang mungkin membuatku tersandung. Ia membawaku menuruni jalanan yang tidak rata, dan karena mataku, aku harus tetap fokus kemana arahku berjalan, yang mana menghalangiku berbicara.

Aku memang merasa agak lelah, dan di waktu kami sudah melalui seluruh jalannya, aku merasa lebih terkuras lagi. Tiba di depan pintu masuk kediamanku, yang kuinginkan hanyalah menyelam ke dalam kamarku dan menjatuhkan diri ke atas ranjang.

Tetapi aku baru saja mencapai ambang pintunya ketika Ye Hua menarikku lagi.

Aku mengangkat kepalaku dengan menyedihkan dan berkata, “Kau tidak perlu mengantarkanku lebih jauh lagi. Aku tahu jalannya dari sini.”

Ia agak kaget dengan komentarku, tetapi tertawa juga.

“Jika kediaman ini lebih besar lagi, kau mungkin akan tersesat di dalamnya dan mungkin bahkan tidak akan berhasil menemukan jalanmu kembali ke kamarmu sendiri. Aku sudah tahu tentang dirimu sekarang.”

Ia menjeda, memandangiku dengan ekspresi serius.

“Sebenarnya aku ingin menanyakan sesuatu padamu. Mengapa kau menyakinkan Putri Miao Qing untuk kembali ke Laut Timur barusan ini?”

Aku menutupi mulutku, setengah menguap.

“Bukankah kau ingin agar ia kembali ke Laut Timur?” tanyaku.

Matanya menggelap.

“Itukah alasan kau menasihatinya untuk kembali, karena itulah yang kuinginkan?”

Aku menopangkan kipasku di sikuku dan tak berkata apa-apa.

Terdapat sedikit jejak serangan dalam suara Ye Hua. Aku tidak yakin apakah akan lebih baik bagiku untuk bersikap tulus dan mengangguk atau tidak tulus dan menggelengkan kepalaku, atau apakah akan lebih baik jika aku tetap terlihat tak terpengaruh dan tak bereaksi. Aku tidak punya banyak pengalaman dengan situasi semacam ini, bahkan di usia sangat tuaku ini. Para makhluk abadi yang menghabiskan waktu bersamaku biasanya ceria dan mudah di ajak bergaul.

Aku tidak pernah sungguh-sungguh memahami anak-anak muda yang tumbuh dewasa sebelum waktunya, dan Ye Hua, contoh dari hal ini, belakangan bertingkah tidak terduga, kebanyakan seolah ia tersihir, membuatnya jadi lebih tak terduga lagi. Aku tidak tahu jawaban apa yang ingin didengarkan olehnya.

Sebelum aku memutuskan bagaimana untuk menjawab, ia memegangi kepalanya.

“Jadi, begitu?” katanya sembari tersenyum pahit.

Ketika seorang makhluk abadi mencapai tingkat penempaan energi spiritual sepertiku, cukup untuk memasuki alam dewa-dewi agung, alaminya mereka harus akrab dengan bagaimana cara kerja dunia. Mereka tidak perlu mengetahui segalanya, tetapi setidaknya mereka harus memahami bagaimana cara membaca wajah seseorang. Dengan satu lirikan saja pada wajah Ye Hua dan senyuman pahitnya, aku menyadari betapa penuh amarahnya perasaannya, dan betapa tidak tepatnya diamku ini. Seharusnya, aku menanggapi pertanyaannya.

Segera setelah aku menyadari hal ini, aku tersenyum padanya, mencoba memperbaikinya.

Aku menatap ke wajah dinginnya dan memulai canggung, “Tentu saja aku tidak melupakan janjiku untuk membantumu menemukan beberapa selir yang cantik. Tetapi, kau harus memilih mereka dengan bijak, atau kau hanya akan berakhir hancur, yang hanya akan menyebabkan masalah bagimu. Karena Putri Miao Qing tidak sesuai dengan seleramu, tidak ada alasan baginya untuk terus tinggal di sini.”

Aku menopangkan kipas di sikuku lagi, menepuknya seraya mengerutkan kening.

“Dan ia adalah seorang putri yang licik. Hari ini ia mencoba memberimu ramuan cinta. Siapa yang akan tahu, tindakan berani apalagi yang mungkin akan dilakukannya besok! Istana belakang harus tetap jernih dan bebas dari drama sebisa mungkin.”

Ye Hua terdiam sekian lama, ekspresi aneh muncul di wajahnya.

“Seharusnya aku tidak menanyakan sesuatu seperti itu padamu,” katanya dengan suara datar.

“Ketika aku menyuruhmu masuk ke dalam ruang baca tadi, aku berharap untuk menaikkan sedikit kecemburuan darimu. Aku tidak menduga kalau kau hanya akan duduk di sana, menikmati tontonannya.”

Jantungku berdebar kencang. Ya Tuhan. Aku kira ia memanggilku masuk hanya agar aku mengambil kipasku. Aku tidak membayangkan sedetik pun kalau inilah tujuannya.

Ia mengangkat kepalanya dan melirikku sekilas. Aku tidak bisa membaca kesedihan maupun kebahagiaan di wajahnya. Ia terus berbicara dengan nada datar yang sama.

“Bai Qian, apakah aku bahkan tidak punya tempat secuil pun di hatimu? Apakah semuanya sudah diambil olehnya? Berapa lama kau bersedia untuk menunggunya?”

Aku merasakan satu tarikan di sanubariku, tetapi aku tidak yakin mengapa.

Ye Hua mengucapkan salam perpisahan padaku dengan ekspresi muram di wajahnya. Ketika ia pergi, aku berjalan masuk ke kamarku tanpa membangunkan Nai Nai dan berbaring.

Aku merasa sangat kelelahan sebelumnya, tetapi berbaring di atas ranjang awan yang empuk dan nyaman sekarang, yang bisa kulakukan adalah membolak-balikkan tubuh, tidak bisa tidur. Yang bisa kupikirkan adalah tarikan di sanubariku, sementara eskpresi muram Ye Hua terus melayang dalam benakku. Akhirnya, aku melamun dan mulai tertidur.

Related Posts:

0 comments:

Posting Komentar