Three Lives Three Worlds, The Pillow Book
Extra Chapter : Ayah yang Ideal
T/N : Ini juga dari sudut pandang Bai Gungun ya, sekuel dari adegan “Gungun, aku adalah ayahmu”. :D
Di tengah malam, Bai Gun Gun bangun dari tempat tidur. Meskipun ia setengah tertidur dan kelopak matanya terasa berat, dalam hatinya, ia tahu bahwa itu adalah waktu Yin dan itu waktunya untuk bangun dan menyelimuti ibunya.
Gun Gun butuh waktu sejenak sebelum akhirnya membuka
matanya. Ia melihat ke samping, hanya menemukan kalau selimut di sebelahnya
ternyata kosong. Ia kaget dan hampir jatuh dari ranjang. Akhirnya, ia teringat
bahwa ia sudah tidak tidur sekamar dengan ibunya selama sebulan. Ibunya terluka
dan berada dalam kondisi koma selama lebih dari sebulan. Si paman yang tampan,
yang menyatakan sebagai ayahnya, sudah merawat ibunya, dan mereka tidur di
sebelahnya.
Bai Gun Gun teringat hari itu, sebulan yang lalu.
Paman Xie Gu Chou membawanya mencari ibunya dan ia
bertemu dengan paman tampan yang warna rambutnya sama dengannya. Si paman
tampan ini bertanya padanya, siapa dirinya, dan ia memberitahunya secara jujur,
bahwa ia adalah putra Jiu Jiu. Si paman tampan menumpahkan mangkuk obatnya di
tempat.
Kemudian, penasaran, Gun Gun pun bertanya pada paman
itu, siapakah dirinya. Si paman menjawab kalau ia adalah Fù Jūn-nya. Di alam
makhluk abadi, apakah artinya Fù Jūn? Meski Bai Gun Gun,
sebagai anak dewa kecil yang baru saja kembali ke alam makhluk abadi, ia sangat
memahami bahwa Fù Jūn berarti ayah.
Waktu itu, ia merasa terkejut. Karena, ia sudah lama
mencurigai penjelasan ibunya bahwa ia adalah orang tua tunggal adalah suatu
kebohongan. Tetapi, di waktu bersamaan, ia adalah bocah dewa yang
hati-hati/bijaksana. Ia tidak akan bisa ditipu semudah itu.
Ia menghindari tangan besar yang menepuk kepalanya
dan bertanya pada si paman tampan dengan hati-hati, “Kau bilang, kau adalah Fù Jūn-ku, yang
berarti kau adalah ayahku, tetapi, ibu memberitahuku kalau aku tidak punya
ayah, jadi bagaimana kau bisa membuktikan kalau kau memang adalah ayahku?”
Paman
itu tampak tercengang, kemudian berwajah sedih.
Ia
menatap Gun Gun untuk waktu yang lama dan bertanya padanya, “Ibumu
memberitahumu begitu?”
Gun
Gun mengangguk jujur.
Paman
tampan itu menepuk kepalanya lagi: “Itu adalah salahku, aku membuatmu dan ibumu
menderita.”
Pada
hari itu juga, mereka berdua tinggal di sisi ibunya yang tertidur pulas dan
merawatnya bersama-sama, untuk waktu yang lama.
Selanjutnya,
Bai Gun Gun secara pribadi mendengarnya dari Paman Xie Gu Chou, orang yang
dipercayainya, bahwa si paman tampan yang menyatakan dirinya sebagai ayahnya,
merupakan seorang dewa yang sangat hebat di alam makhluk abadi, mantan penguasa
langit dan bumi, dan penguasa dari laut biru. Seluruh alam makhluk abadi, dari
tiap sudut dunia, menghormatinya sebagai seorang Kaisar. Di waktu yang sama,
Paman Xie Gu Chou juga memberitahunya bahwa orang ini memang adalah ayahnya.
Saat
Paman Xie Gu Chou memberitahukannya semua ini, paman lainnya yang sedang
memegangi sebuah kipas keras pun tertawa dan berkomentar bahwa ia seorang putra
yang ayahnya adalah orang yang sudah tua.
Kakak
lelaki bernama Zhong Lin, yang melayani ayahnya, melirik kesal ke arah pria
itu.
Apa
itu penguasa langit dan bumi, apa itu Laut Biru Suci, dan apa artinya seorang
putra yang ayahnya adalah orang yang sudah tua?
Bai
Gun Gun tidak bisa memahami semua ini dengan baik. Tetapi, apakah si paman
tampan sungguh adalah ayahnya? Ia merasa agak bergembira, agak gugup, agak
malu, dan sedikit gelisah saat memikirkannya.
Saat
ia dan ibunya tinggal di tempat terpencil, Gun Gun sudah sering kali memikirkan
tentang itu. Jika ia memiliki seorang ayah, akan seperti apakah rupa ayahnya?
Ayah
ideal yang didambakannya, meskipun dari tampangnya, mungkin tidak setara dengan
ibunya, tetapi ayahnya seharusnya lebih hebat dalam keterampilan memasaknya,
ilmu berpedangnya semestinya lebih baik daripada ibunya, dan ia seharusnya bisa
bangun tepat waktu, dan tidak pernah mendendang selimutnya.
Oleh
sebab itu, suatu sore di Istana Langit, saat ia yakin kalau paman ini adalah
ayahnya, Gun Gun berinisiatif untuk menjelajah ke dalam kamar ibunya untuk menjaga
ibunya, bersama-sama dengan ayahnya. Kemudian, ia mengambil kesempatan untuk
memulai sebuah percakapan serius dengan ayahnya, walaupun merasa agak gelisah.
Bai
Gun Gun duduk di atas sebuah bangku yang satu kepala lebih tinggi darinya.
Karena kakinya tidak bisa menyentuh lantai, ia merasa kehilangan martabat dan
memutuskan untuk menegakkan punggungnya. Ia mengepalkan kedua tangannya dan
meletakkannya di atas lututnya untuk menenangkan dirinya sendiri.
Dengan
hati-hati, ia menatap ayahnya yang sedang duduk di atas ranjang di sebelah
ibunya dan berkata, “Paman Xie Gu Chou bilang bahwa kau memang adalah ayahku,
dan aku harus memanggilmu dengan sebutan Fù Jūn. Jadi, aku
datang kemari untuk mencarimu hari ini, Fù Jūn. Sebenarnya,
ada beberapa hal penting yang ingin kubicarakan denganmu.”
Ayahnya sedang mengelap tangan ibunya dengan kapas
lembap. Ketika ia mendengar kata ‘Fù Jūn’
dilontarkan, sudut bibirnya pun agak bergerak. Melihat bahwa itu adalah
senyuman, Bai Gun Gun merasa sedikit rileks. Tetapi, terpikirkan betapa
pentingnya percakapan ini, ia segera menegakkan punggungnya.
Ayahnya menaruh kapas itu ke dalam baskom giok, dan
memasukkan tangan ibunya ke bawah selimut.
Kemudian, ia menatapnya, melirik dari atas ke bawah,
dan berkomentar, “Gun Gun, mengapa kau duduk begitu tegak?”
Bai Gun Gun tidak berani menganggapnya enteng dan
membalas dengan tampang serius, “Karena aku ingin menanyakan
pertanyaan-pertanyaan yang sangat penting pada Fù Jūn.”
Ayahnya memandanginya sejenak dan berkata: “Kalau
begitu, tanyakan saja.”
Dengan nada suara yang akan diasosiasikan seperti
tengah menceritakan kisah hantu, Bai Gun Gun bertanya pada ayahnya, “Fù Jūn, apakah kau
lebih hebat dalam memasak daripada ibu?”
Ayahnya diam-diam berkata, “Kurasa masih oke.”
Pot giok yang sedang dibersihkan oleh Kakak Zhong
Lin jatuh ke lantai.
Bai
Gun Gun tidak begitu mengerti apa itu artinya, dan bertanya lagi dengan
hati-hati: “Masih oke, berarti lebih hebat daripada kemampuan memasak ibu?”
Ayahnya
terdiam lagi dan menjawab, “Dibandingkan dengan ibumu, agak sedikit kurang.”
Baskom
giok yang sedang dibereskan Kakak Zhong Lin pun jatuh lagi ke lantai.
Gun
Gun mengangguk. ‘Agak sedikit kurang’, berarti mungkin keterampilan memasak
ayahnya tidak sehebat ibunya. Ini membuat Gun Gun merasa agak kecewa.
Ia
menghela napas dan bertanya lagi, “Pertanyaan kedua adalah, apakah ilmu
berpedangmu lebih hebat daripada ibu?”
Kali
ini, ayahnya menjawab dengan sangat cepat: “Dibandingkan dengan ibumu,
perbedaannya sama seperti langit dan bumi, aku langit, ia bumi.”
Setelah
berpikir sejenak, ia mengoreksi: “Tidak, aku langit, ia dasar laut.”
Mulut
Gun Gun terbuka lebar dan merintih.
Merasa
agak bersemangat, ia pun hanya bisa bertanya, “Apa kau akan bangun tepat waktu,
apa kau akan menendang selimutmu?”
Ayahnya
tetap diam lagi, dan kemudian menjawab dengan sungguh-sungguh, “Tentu saja.”
Gun
Gun berpikir sejenak dan memastikan dengan bertanya, “Tentu saja kau bangun
tepat waktu, tentu saja kau tidak akan menendangi selimutmu?”
Ayahnya
mengangguk kalem.
“Hmm.”
Setelah
membersihkan pot giok itu, Zhong Lin melirik ayahnya. Tampaknya seolah ia ingin
mengatakan sesuatu tetapi langsung berhenti. Kemudian, ia pun membungkuk dan
meninggalkan ruangan.
Gun
Gun beringsut di kursinya, merenungi jawaban yang diberikan oleh ayahnya dan
merasa lumayan puas dengan mereka. Meskipun kemampuan memasak ayahnya tidak
sehebat ibunya, tetapi tidak terlalu jauh berbeda. Apalagi, ilmu berpedangnya
hebat, ia bangun tepat waktu dan tidak menendang selimutnya. Meskipun semua
kualitas ini tidak terlalu ideal, mereka lumayan bisa diterima sebagai seorang
ayah yang ideal. Ia merasa lega, kembali bersandar di bangkunya, menghela napas
puas, dan senyum penuh suka cita pun muncul. Ayahnya sepertinya tampak lega
juga.
Tetapi,
saat ini, sepiring kue di atas meja menarik matanya.
Tiba-tiba
saja, Bai Gun Gun teringat sebuah pertanyaan yang sama pentingnya yang sudah
dilupakannya, dan cepat-cepat duduk lagi: “Ayah, aku punya pertanyaan lain!”
Ayahnya
juga duduk tegak, “Katakan.”
Bai
Gun Gun mengulurkan kedua tangan kecilnya, mengangkat tiga jari dengan satu
tangan, dan empat jari di tangan lainnya.
“Seandainya
ibu membuat tujuh kue asin dan menaruhnya ke dalam dua piring; satu piring
berisi tiga kue dan yang lainnya empat kue. Di keluarga kita, menurutmu,
bagaimana kita harus membagi kuenya?”
Ayahnya
berpikir sejenak dan menjawab, “Kau mendapatkan tiga kue dan ibumu empat kue.”
Tidak
pernah terpikirkan oleh Bai Gun Gun bahwa, meski kembali ke dunia dewa, ia
tetap hanya akan mendapatkan tiga kue jika ibunya membuatkan tujuh kue. Ia
merosot di kursinya, merasa jawaban itu tidak bisa diterima.
Melihat
tampangnya, ayahnya menjawab acuh tak acuh, “Atau, untuk menunjukkan rasa
bakti, menurutmu, kita harus memberikan ayahmu ini tiga kue dan ibumu empat
kue?”
Bai
Gun Gun berpikir bahwa itu adalah jawaban yang menjengkelkan sampai ia menatap
ayahnya tak percaya, gemetaran sembari turun dari bangku dan berjalan keluar
tanpa kata. Sosoknya yang menjauh menyatakan kesedihan dan kesepiannya yang
terdalam. Ketika ia sampai di pintu, akhirnya ayahnya menyadari masalahnya dan
dengan tulus ingin menebusnya.
Jadi,
ia pun berkata, “Gun Gun, memberikanmu tiga potong kue adalah tanda dari
pertimbanganku yang bijaksana. Kalau kau terlalu banyak makan kue, gigimu akan
rusak.”
Tanpa
berbalik untuk membalasnya, ia menjawab dengan suara yang bosan, “Jangan bicara
padaku seolah aku tidak berakal sehat, makan banyak kue manis akan menyebabkan
gigiku berlubang, tetapi memakan kue asin tidak akan.”
Setelah
berbicara, ia membuka pintunya dan berjalan keluar.
Di
dalam hati Gun Gun, ia sudah bertekad untuk menguji ayahnya dan ayahnya sudah
sepenuhnya gagal. Ia merasa tidak puas dengan ayah ini dan merasa bahwa, sulit
menjadi seorang anak dewa. Apa yang tidak disadarinya adalah, bukannya sulit
menjadi seorang bocah lelaki dewa, tetapi memang lebih sulit untuk menjadi
seorang anak lelaki dewa di dalam keluarga Bai.
***
Dan
malam ini, saat Bai Gun Gun bangun untuk menyelimuti ibunya di kamar sebelah,
mendadak ia teringat akan pemikiran sedih ini. Ia pun mendesah sungguh-sungguh,
dan setelahnya membuka pintu kamar ibunya. Di atas ranjang mahoganinya, ada
sebuah mutiara malam yang bersinar, dan kamarnya diterangi dengan cahaya yang
lembut.
Bai
Gun Gun mendongak, tetapi tidak melihat ibunya. Ia hanya melihat punggung satu
sosok tinggi seperti giok yang berbaring di bagian luar ranjangnya, dengan
rambut peraknya yang mengalir ke bawah seperti air terjun; ia tahu kalau ini
adalah ayahnya.
Meskipun
sosok itu tidak berbalik, ia menyadari kalau ayahnya tidak tidur, karena ia sedang
mengangkat tangannya ke bagian dalam dan membenarkan selimutnya. Gun Gun merasa
ia seperti sedang tidur sambil berjalan, dan tidak benar-benar sadar. Terpikir
olehnya bahwa, ibunya yang tak terlihat mungkin sedang tidur jauh lebih ke
dalam ranjang dan berbaring di dalam pelukan ayahnya. Semua ini memperlihatkan
kalau ayahnya sedang menyelimuti ibunya.
Tiba-tiba
saja terpikir oleh Gun Gun bahwa selama sebulan terakhir, meskipun ia akan
ingat untuk menyelimuti setiap malam di larut malam, setiap kali pintunya
tertutup rapat, dan ia tidak bisa membukanya. Jadi, ia pun kembali ke jalan
darimana ia datang, memanjat kembali ke dalam ranjangnya dan lanjut tidur. Ini
adalah pertama kalinya malam ini ia bisa masuk ke dalam kamar ibunya.
Melihat
pemandangan di depannya, Bai Gun Gun berpikir, “Oh, ternyata, sebulan penuh
ini, ayahku yang sudah menyelimuti ibuku. Baiklah, biarpun ayah ini tidak
begitu sesuai dengan harapanku dari seorang ayah yang ideal, tetapi poin ini
(menyelimuti ibunya), ia melakukannya dengan sangat baik. Sepertinya, ia
merawat ibuku dengan baik.”
Ia
tidak pernah terpikir bahwa ibunya akan tetap terluka dan tidak sadarkan dirinya
untuk waktu yang sangat lama. Tidak mungkin ia akan menendang selimutnya di
malam hari. Tetapi, Gun Gun terlalu muda dan ia sangat naif. Jadi, tindakan
menyelimuti ini cukup membuatnya tersentuh, dan akhirnya, ia merasa sepertinya
ia bisa menerima ayah semacam ini. Lalu, ia pun meninggalkan kamar ibunya
dengan hati yang tenang, dan kembali tidur dengan nyenyak.
(T/N : dalam hal ini, Gungun polos sama kayak ibunya, mau aja kena tipu Dijun hahaha.)
0 comments:
Posting Komentar