Minggu, 15 November 2020

3L3W TMOPB - Chapter 6 Part 1

Ten Miles of Peach Blossoms 

Chapter 6 Part 1


Aku bekerja sangat keras setelah itu, menghabiskan sepanjang hariku di kamarku, belajar dan merenungi tentang sihir dan ajaran Taoisme dan membaca buku-buku klasik yang diwariskan oleh generasi makhluk abadi sebelumnya di waktu luangku. Saudara seperguruanku semuanya merasa tenang dengan perubahan prilakuku.

Setiap kali aku mempelajari satu keterampilan baru, aku berdiri di luar gua Mo Yuan dan mempraktikkannya. Meskipun ia tidak mengetahui aku sedang melakukan ini, ini membawakan ketenangan bagiku.

Suatu hari, aku sedang duduk bermeditasi di kebun persik di belakang puncak gunung, saat Saudara Seperguruan Pertama mengirimkan bangau pos, memberitahuku untuk segera menuju aula depan, dimana seorang tamu sedang menungguku.

Aku mematahkan sebatang ranting bunga persik, karena yang ada di kamar Mo Yuan sudah mulai layu.

Ia masih berada dalam pengasingan dan belum kembali ke kamarnya, tetapi aku ingin membuatnya tetap rapi dan menyenangkan agar ia memiliki sebuah tempat yang nyaman menantinya saat ia keluar dari pengasingannya.

Aku berjalan menuju aula depan, memutar-mutar ranting bunga persik di tanganku.

Aku melewati halaman tengah, dimana Saudara Seperguruan Ke-13 dan Ke-14 sedang duduk di bawah pohon kurma, bertaruh tentang apakah tamu yang ada di aula depan adalah seorang pria ataukah wanita.

Aku menduga, itu pastilah Kakak Keempat yang datang mengunjungiku, jadi aku mengeluarkan mutiara malamku dan dengan ragu meletakkan taruhanku.

Orang yang sedang duduk di aula depan jauh berbeda dengan apa yang digambarkan oleh Saudara Seperguruan Pertama. Ia adalah anggota Klan Hantu: Pangeran Kedua, Li Jing.

Ia sedang duduk dengan posisi tegak yang anggun di atas kursi kayu pir, kursi pengajar privat, matanya setengah terpejam saat ia menyesap tehnya. Ia memberi kejutan saat melihatku masuk.

Mo Yuan melakukan pembantaian di Istana Da Si Ming, dan aku menduga kalau Li Jing kemari untuk membalas dendam.

Sebaliknya, ia bergegas menghampiri dan menggenggam tanganku penuh perasaan.

“Si Yin, aku sudah memikirkannya. Aku ingin menghabiskan hidupku bersamamu.”

Ranting bunga persikku tercecer di atas lantai.

“Berikan aku uangnya, berikan aku uangnya, itu adalah seorang gadis!” Saudara Seperguruan Ke-13 berteriak keras dari luar pintu.

Aku benar-benar kebingungan. Aku merenunginya sejenak sebelum membuka bagian depan bajuku dan membiarkannya melihat sekilas dadaku.

“Tetapi aku adalah seorang pria,” kataku. “Kau mempunyai hubungan yang baik dengan semua istrimu di kamar tidurmu. Kau tidak condong ke arah ini.”

Aku bukannya pria sungguhan. Hati sekepalan tangan rubah di bawah kulit dan dagingku tidak seluas milik seorang pria; milik seorang gadis: ramping, lembut, dan halus. Tetapi Ibu menipu Mo Yuan agar menerimaku, yang artinya aku terjebak dalam wujud priaku sampai aku menyelesaikan belajarku.

Li Jing terkejut memandangi dada rataku.

“Aku sudah banyak memikirkannya semenjak aku meninggalkan kamarmu pagi itu. Aku takut akan hasratku kepadamu, dan aku menghabiskan hariku dikelilingi oleh wanita-wanita cantik, mencoba dalam kepedihan ... mencoba dalam kepedihan untuk mematikan rasaku sendiri. Awalnya itu bekerja, tetapi aku tidak menyangka akan sangat merindukanmu, memikirkanmu siang dan malam. Si Yin ...” Diambil alih oleh emosinya, ia berjalan ke arahku untuk memelukku. “... Aku akan jadi homoseksual jika itu untuk dirimu.”

Aku mendongak menatap kasau dari kayu bunga persik, tidak tahu apa yang harus dilakukan.

Tawa Saudara Seperguruan Ke-14 melayang masuk dari kejauhan. “Memberikanmu uang? Siapa tepatnya yang harus memberikan siapa uang?”

Li Jing berjalan bermil-mil jauhnya ke Gunung Kun Lun yang terpencil untuk menyatakan perasaannya kepadaku, tetapi dalam wujud pria, aku merasa kalau aku tidak bisa menyambut cintanya. Aku mencoba mengecewakannya dengan lembut.

Hari jadi gelap dan sudah terlalu larut baginya untuk mengambil rute pegunungan, jadi aku mengizinkannya untuk bermalam di gunung. Ketika Saudara Seperguruan Pertama mendengar kalau ada seorang anggota homoseksual Klan Hantu yang datang ke gunung untuk menculikku, ia menghajarnya dan mengusirnya.

Aku mengagumi keberanian Li Jing. Ia menolak meringkuk ketakutan dengan pemukulan parah yang diberikan Saudara Seperguruan Pertama padanya. Setiap beberapa hari sekali ia akan mengirimkan tunggangannya, seekor qi lin api, dengan sebuah puisi yang menggambarkan patah hatinya.

Pada awalnya mereka berisi, “Kita merupakan sepasang kekasih di angkasa, menjalin akar di bawah tanah.”

Beberapa hari setelahnya, ia menuliskan, “Aku rindu bertemu denganmu, kapankah hari itu tiba, penderitaan ini perlahan-lahan membunuhku.”

Beberapa hari setelahnya, adalah: “Ikat pinggangku jadi lebih longgar di bagian pinggang, tetapi aku tidak punya penyesalan, demi dirinya aku akan senang hati layu, menjadi pudar dan akhirnya mati.”

Surat-surat yang dituliskannya ini berguna untuk membuat api, dan Saudara Seperguruan Ke-13, yang bertanggung jawab menyalakan tungku, mengumpulkan mereka semua demi tujuan ini. Aku mati-matian berusaha menyelamatkan surat-surat itu, tetapi Saudara Seperguruan Ke-13 memprotes.

“Kau menghabiskan sepanjang hari di gunung tanpa melakukan apa pun selain menunggu yang lainnya memberimu makanan. Limbah kertas seperti ini langka. Bagaimana bisa kau jadi begitu egois?”

Aku merasa tidak sanggup membantah itu.

Aku masih muda, dan meskipun menghabiskan sepanjang hariku bersama para pria, aku masih memiliki beberapa sentimen kewanitaan. Li Jing terus saja menulis untukku meskipun aku jarang sekali menanggapi puisi-puisinya, dan setiap hari, qi lin apinya akan tiba dengan sebuah puisi baru.

Perlahan tetapi pasti, ia mulai memenangkan hatiku.

Suatu hari, qi lin apinya membawakan sebait puisi pendek yang dibaca, “Hidup itu panjang, tetapi memiliki sebuah akhir, tetapi kesedihanku ini bahkan akan melampaui kematian.”

Aku dipenuhi kengerian, mengira kalau ini adalah selembar surat bunuh diri. Dengan panik, aku melompat ke atas qi lin apinya, berencana membuat diriku tak terlihat agar aku dapat memasuki Istana Da Si Ming dan meyakinkan dirinya untuk tidak melakukannya. Tetapi sebaliknya, si qi lin apinya membawaku ke sebuah gua yang ada di kaki gunung kami.

Itu merupakan sebuah gua alami, yang dipelihara dengan rapi. Li Jing tergeletak di kursi malas marmer, dan aku tidak dapat melihat apakah ia sudah mati atau masih hidup. Aku merasa seolah setengah langit baru saja runtuh.

Aku melompat turun dari qi lin api dan menguncangkannya. Aku mengguncang dan mengguncang dan terus mengguncang, tetapi aku tidak bisa membangunkannya. Merasa benar-benar tak berdaya, aku akhirnya menggunakan senjataku. Aku menggunakan guntur dan badai petir padanya bersamaan dengan angin kencang, silih berganti, tetapi ia tetap tidak terbangun.

Qi lin apinya tidak sanggup lagi menyaksikannya. “Yang dilakukan senjatamu adalah menyakiti tubuhnya. Sebagai gantinya, mungkin kau harus mencoba untuk membangkitkan hati rapuh Pangeran? Katakan sesuatu yang akan memberikannya harapan.”

Dan itulah ketika aku mengucapkannya. Kalimat itu.

“Bangunlah dan aku akan menerima cintamu.”

Tentu saja, ia membuka matanya, dan walaupun ia terluka begitu parah akibat kipasku, ia tampak bersinar-sinar.

“Si Yin, jika kau mengatakan kau menerima cintaku, kau tidak bisa menarik kembali perkataanmu. Bantu aku bangun. Kau memukulku berulang kali dengan kipasmu sampai semua tulangku terasa copot.”

Setelahnya, Kakak Pertama memberitahukan padaku bahwa cara romantis tidak seperti cara lainnya, lebih seperti ketertarikan. Dan ketertarikan romantis tidak seperti ketertarikan lainnya, lebih seperti permainan. Setelah merasakan deritanya patah hati, aku percaya kalau itu benar adanya. Biarpun begitu, aku tidak mengerti apa kenyataannya dulu.

***

Li Jing mengusir semua istri-istri di kamar tidurnya, dan aku tetap bersamanya. Saat itu bulan April, dan bunga persik di sisi gunung baru saja bermekaran. Setelah Li Jing berhasil dalam usaha percintaannya, puisinya berhenti. Tidak ada lagi kunjungan dari qi lin apinya, yang menyenangkan Saudara Seperguruan Pertama, yang menduga kalau Li Jing akhirnya kehilangan kesabaran dan menyerah.

Li Jing masih takut ketika ia membayangkan pemukulan parah yang diberikan Saudara Seperguruan Pertama padanya, dan meskipun ia tinggal di kaki gunung, ia tidak pernah menaikinya. Jadi, akulah yang akan turun gunung setiap harinya, setelah aku menyelesaikan kelas, dan pergi ke gua Mo Yuan untuk melaporkan apa yang telah kupelajari, dimana Li Jing dan diriku berjanji untuk saling bertemu.

Aku masih ingat semua benda-benda indah kecil yang diberikannya kepadaku: anyaman daun kelapa berbentuk jangkrik, seruling kecil yang terbuat dari kulit bambu, semuanya dibuat oleh tangannya sendiri, sangat indah.

Pernah, ia memberikanku segenggam bunga kuning terang dari tanaman mentimun. Dulu, di Istana Da Si Ming, Putri Rou Ge pernah memberitahuku kalau kakaknya menderita kelainan mata yang membuatnya sulit membedakan antara warna kuning dan ungu. Ia melihat kedua warna ini sebagai warna aneh yang tak akan mampu dibayangkan oleh orang biasa.

Ia memberikanku bunga mentimun ini, mengira ia menghadiahkanku spesies langka. Aku tidak sampai hati untuk memberitahukan apa sebenarnya bunga itu, selain itu, bunga tetaplah bunga—meski memang berasal dari sebuah mentimun. Aku mengeringkan bunga-bunga ini dan menyelipkan mereka di antara halaman buku latihan Taoismeku, untuk diamankan.

Setelah patah hati, aku tidak dapat lagi memikirkan tentang bagian masa kehidupanku yang itu, jatuh cinta pada Li Jing. Bertahun-tahun telah berlalu semenjak itu, dan begitu banyak hal yang terjadi, dan banyak sekali rinciannya yang telah mengabur dalam benakku.

Tetapi aku mengingat hal besar selanjutnya yang terjadi: Xuan Nu muncul.

Xuan Nu adalah adik bungsu kakak ipar pertamaku. Saat Kakak Pertama menikahi iparku, ia sudah membawa seorang balita. Sebuah kecelakaan di rumah masa gadisnya, berarti tidak ada seorang pun yang bisa merawat Xuan Nu. Kakak Pertama dan istrinya merawatnya selama beberapa waktu, aku dan dirinya akan bermain bersama.

Xuan Nu merupakan seorang gadis yang cantik, tetapi untuk beberapa alasan, ia jadi menggandrungi wajahku. Ia masih seorang anak kecil, tetapi ia akan menghabiskan sepanjang hari membicarakan tentang betapa ia menginginkan wajah sepertiku.

Mendengarkannya terus mengutarakan ini selama beberapa ratus tahun sangat menyebalkan. Ia mengetahui kalau Zhe Yan memililki keterampilan mengubah wajah yang luar biasa, dan suatu hari pada hari ulang tahunnya, ia sengaja pergi ke Sepuluh Mil Kebun Persik, meminta Zhe Yan mengubah wajahnya agar mirip denganku. Xuan Nu mendapatkan keinginannya yang membuatnya sangat bahagia. Aku pun mendapatkan ketenangan, yang membuatku bahagia juga.

Tak lama setelah itu, aku mulai menyadari ketidaksempurnaannya. Bukannya sihir Zhe Yan yang cacat—aku hanya merasa bingung dan pusing melihat versi wajahku sendiri setiap harinya. Perlahan, aku mulai menjauh dari Xuan Nu dan lebih banyak menghabiskan waktu bersama Kakak Keempat.

Xuan Nu tumbuh besar dan kembali ke rumah keluarganya, dan kami berdua jarang bertemu satu sama lain.

Selagi Li Jing dan aku sedang menikmati masa-masa manis kami, kakak ipar mengirimiku sepucuk surat, menjelaskan bagaimana ibunya memaksa Xuan Nu untuk menikahi roh beruang buta. Xuan Nu melarikan diri dari rumah dan tinggal di gua tempat tinggal mereka, tetapi kakak iparku khawatir kalau ibu mereka akan segera menemukannya. Ia dan Kakak Pertama mendiskusikannya dan bertanya apakah Xuan Nu bisa mengungsi denganku sementara waktu.

Segera setelah aku menerima surat ini, aku pergi untuk menyiapkan sebuah ruangan untuk ditinggali Xuan Nu. Aku pergi menemui Saudara Seperguruan Pertama dengan sepucuk surat yang menjelaskan kalau seorang teman dewi berencana untuk mengunjungiku di Gunung Kun Lun dan bertanya apakah mereka keberatan membiarkannya menginap selama beberapa waktu.

Saudara Seperguruan Pertama sedang bersemangat belakangan ini, dan setelah mengetahui kalau pengunjungku adalah seorang dewi, semangatnya membumbung lebih tinggi lagi, dan ia dengan senang hati menyetujuinya.

Related Posts:

0 comments:

Posting Komentar