Three Lives Three Worlds, The Pillow Book 2
Chapter 14 Part 3
Aranya selalu menghibur dirinya sendiri dengan kata-kata ini kapan saja ia menghadapi rasa sakit tak tertahankan di masa lalu.
Setelah menyelesaikan kata terakhir, Aranya menyingkirkan kuasnya dan menurunkan suaranya: “Apa maksudmu dengan ‘remeh’?”
Mata Qinghua kelihatan lebih kasihan selagi ia berkata, “Chen Ye meminta kakakmu agar mengizinkannya menikah.”
Aranya pelan-pelan mengangkat kepalanya.
“Gadis itu bukan wanita dari keluarga terkemuka. Tetapi kelebihannya adalah ia sopan dan berbudi luhur. Ia adalah seorang guru di Akademi Kerajaan. Aku dengar wanita ini sebenarnya datang dari kediamanmu; namanya terdiri dari satu karakter: Tian. Wen Tian, bahkan namanya pun terdengar begitu halus.”
Aranya memejamkan matanya.
Tak lama kemudian, ia berkata, “Aku merasa sedikit lelah. Ibu, tolong pergilah.”
Qinghua berbalik, lalu setelah dua langkah, melihat ke belakang dan berkata, “Kasusmu telah diselesaikan pagi ini, eksekusi dalam tiga hari. Chen Ye mengirimkan laporan ini siang hari, meminta Yang Mulia untuk memindahkan eksekusinya ke kuil. Kepergianmu ke kuil tentu hal yang lumrah, karena kuil memiliki lebih banyak alat hukuman dibandingan dengan ruang bawah tanah Biro Pidana.
"Aku tahu, bahkan jika jiwamu berubah menjadi abu, kau tidak akan pernah ingin menerima penghinaan ini. Apabila kau tidak sanggup, maka gunakan obat di dalam botol obat porselen itu untuk mengakhirnya sendiri. Sebagai ibumu, ini adalah kasih sayang terakhir yang bisa kutawarkan padamu.”
Setelah sosok Qinghua menghilang dari cahaya redup yang dikeluarkan lampu minyak, Aranya mendadak bergetar, tertawa terbahak-bahak. Seteguk darah mewarnai kertas putih dan kata-kata hitam di dalamnya dengan noda kemerahan. Api kecil dalam lampu minyak berkelap-kelip, kemudian akhirnya padam.
Sosok Qinghua terhenti di pintu ruang bawah tanah.
Saat ia baru saja akan meneruskan langkahnya, Aranya mendadak berbicara dari selnya, suaranya serak: “Kasih sayang? Darimu? Untukku?”
Aranya melanjutkan setelah serentetan batuknya: “Kau mungkin juga ingat di tahun itu ketika Guru Mo menyelamatkanku dari sarang ular. Pertama kali aku melihatmu, mereka bilang kau adalah ibuku. Aku begitu gembira melihat betapa cantiknya dirimu. Saat aku melihatmu menuju ke arahku, aku berlari untuk memelukmu namun tanpa sengaja terjatuh.
"Kau berjalan melewatiku seolah tidak melihatku, seolah aku hanya setangkai bunga, sebilah rumput, atau sebongkah kerikil. Gaunmu menyerempet wajahku. Aku terjatuh dan membuat lenganku terluka, tetapi kau tetap menatap lurus ke depan dan berjalan melewatiku. Suara gemerisik kain yang menyapu tanah hari itu persis sama dengan malam ini.”
Jemari Qinghua memegangi sisi magnolia.
Terdengar serangkaian batuk-batuk lagi.
Aranya menambahkan lembut, “Aku tidak pernah tahu apa itu cinta seumur hidupku. Kau begitu pelit dalam memberikannya, jadi aku berjuang untuk mendapatkannya. Sekarang kau menghancurkannya juga. Aku benar-benar tidak mengerti. Kenapa kau harus begini kejam? Apakah aku adalah musuhmu? Apakah melihatku menderita membawakan kepuasan bagimu?”
Bibir Qinghua gemetar.
Lama setelahnya, ia berkata, “Jika kau bereinkarnasi, aku akan membayarmu di kehidupan kita mendatang.”
Aranya tersenyum samar dan berujar lelah, “Biarkan ikatan fana kita berakhir dalam kehidupan ini. Kalau ada kehidupan selanjutnya, aku tidak menginginkan apa pun. Harapanku satu-satunya adalah tidak pernah melihatmu lagi di luar sana.”
Keheningan mencekik mengambil alih suasana. Bunyi tapak kaki Qinghua semakin menjauh. Samar-samar terlihat, tetapi seseorang dapat mendengar getaran tersembunyi dari langkah kaki yang terlihat stabil itu.
Ketika sosok Qinghua menghilang dalam kegelapan di balik pintu penjara, si penjaga yang berdiri dari kejauhan tergesa-gesa menghampiri untuk menyalakan lampunya.
Adegan terakhir dari potongan kenangan ini menunjukkan Aranya yang sedang melipat dokumen berdarah itu dan perlahan menyalakan lampu. Api menari-nari di sepanjang bekas noda darah kabur dan membakar mereka dalam sekejap mata. Abu bertaburan ke bawah, di atas meja kayu, membawa bersama mereka bintik-bintik bara api yang berkilauan.
Su Moye pernah bertanya jikalau ia menjadi marah karena Chen Ye suatu hari nanti, karena alasan apakah itu?
Pada saat itu, Aranya bergurau mengatakan kalau itu pasti karena Chen Ye pernah menjadi miliknya. Sebagai contohnya, Chen Ye jatuh cinta dengannya, kemudian tidak mencintainya lagi dan malah jatuh hati pada orang lain.
Aranya tidak menyangka perkataannya akan menjadi kenyataan suatu hari. Chen Ye mungkin tidak pernah mencintainya, dan bahkan kenangan berharganya hanyalah sebuah kebohongan. Betapa cerdasnya Chen Ye.
Aranya menurunkan pandangannya ke jarinya yang terkena jilatan api.
Beberapa saat kemudian, Aranya berkata pada dirinya sendiri, “Dapatkah kau melepaskannya jika kau melihat bagaimana diriku hari ini, Chen Ye?”
Lama waktu berlalu saat Aranya menambahkan, “Tetapi kau tahu, bagiku, balas dendam ini sedikit kejam.”
Lampu minyak itu merefleksikan bayangannya di tembok batu gelap, bermartabat, tetapi begitu suram.
***
Lika-liku kehidupan tidak pernah berjalan sesuai yang kita inginkan. Mereka tidak berjalan sesuai harapan Aranya, tidak juga berjalan sesuai keinginan Qinghua.
Aranya dibawa kabur satu hari sebelum ia dipindahkan ke Istana Qinan.
Di balik Gunung Qinan, cuacanya sejuk. Matahari menyinari hangat. Kicauan dari burung-burung yang berkicau keluar dari dalam hutan, dari waktu ke waktu. Tak jauh dari sana, monster Quanyin dari hutan batu tengah berjemur sinar matahari dengan perut menghadap ke atas.
Semuanya tenang dan damai, seolah perubahan-perubahan di luar gunung ini semuanya hanya bagian dari kesenangan dan permainan dari kehidupan yang tidak kekal ini.
Fengjiu melihat seorang pria berjubah putih duduk di atas sebongkah batu, tengah berdebat dengan Aranya, tetapi ia tidak mengenali siapa pria itu.
Rambut hitamnya diikat begitu saja di bawah topinya, wajahnya juga tenang dan acuh tak acuh, sikapnya agak kurang ajar, di tangannya terdapat sebatang tongkat yang terbuat dari batang jagung, dan ia tampaknya seolah tak sabar lagi untuk memukulkan tongkat itu langsung ke kepala Aranya.
“Apa lagi yang tertinggal di istana itu, membuatmu begitu merindukannya sampai seperti ini? Aku akhirnya berhasil menyelamatkanmu, tetapi kau tidak sabar untuk kembali. Jangan bilang padaku ini karena Chen Ye?”
Di persimpangan jalan ini, pria itu merenung sekilas dan memukulkan tongkat jagungnya ke atas batu.
“Tidak, kau bukan tipe yang masih akan mempertahankannya bahkan sampai sekarang. Apa yang sebenarnya kau inginkan dengan turun gunung?”
Di sebelah bebatuan terdapat dua pohon tua menghijau. Tanaman merambat yang kokoh memanjati mereka menjadi sebuah tempat tidur yang sejuk.
Aranya duduk dan melihat ke pemandangan kejauhan di balik hutan seraya berkata, “Ada satu hal yang selalu kau katakan: dunia tak kekal dan hidupnya yang cepat berlalu tak lain hanyalah sebuah pengalaman. Aku pikir itu sangatlah masuk akal. Banyak pengalaman sama dengan hidup yang panjang, pengalaman yang sedikit sama dengan hidup yang pendek. Aku baru-baru ini menyadari kalau hidupku tampak pendek, tetapi dapat juga dianggap cukup panjang.”
Aranya menjeda kemudian melanjutkan: “Jika ada orang yang kurindukan di istana, mungkin itu hanyalah kakak lelakiku. Ia sebenarnya orang yang mudah. Sejujurnya, ia tidak berambisi pada takhta. Perang ini dengan Klan Burung Hantu bukanlah suatu kebetulan. Tak perlu diragukan lagi, ini ulah licik ib—Lady Qinghua.
"Ia berencana menggunakan pedang orang lain untuk menyingkirkan kakakku selamanya. Menjadi orang yang baik hati, kakakku tidak akan bisa bertahan melawan musuh. Sekalinya berada di medan perang, ia tidak akan pernah kembali dalam keadaan hidup.”
Pria berpakaian putih itu mengernyitkan dahi.
“Bahkan walaupun Xiangli He memperlakukanmu dengan baik, ini adalah takdir yang harus ditanggungnya. Dapatkah kau benar-benar melindungi hidupnya mempertimbangkan situasi ini? Kau sendiri baru saja keluar dari pusarannya, kenapa malah melompat masuk lagi?”
“Kalau kau tahu kepribadianku,” Aranya memberitahunya tanpa tergesa, “maka kau seharusnya tahu kalau aku tidak akan berpura-pura tidak tahu dan mengabaikan kakakku. Aku akan pergi ke medan perang dan bertukar tempat dengannya.
"Pada saat itu, aku memerlukanmu juga untuk tetap waspada. Jangan cemas, aku sangat menghargai hidupku. Aku akan mempertimbangkan keputusanku dengan berhati-hati. Dibandingkan dengan kakakku, aku tidak akan sampai bertemu dengan jalan buntu dimana pun, dan aku akan punya peluang untuk hidup.”
Melihat wajah muram si pria berjubah putih, Aranya tertawa dan berkata, “Aku belum pernah terlalu sering melihat ekspresi ini padamu. Beruntung sekali, tidak ada begitu banyak orang yang memperlakukanku dengan baik dalam hidup ini. Kau dan Guru Mo tidak seberuntung kakakku, jadi kau tidak memerlukan aku untuk melakukan penyelamatan berisiko seperti itu.”
Si pria berbalut pakaian putihnya memperhatikan Aranya sejenak dan berkata, “Kau selalu saja keras kepala. Aku tahu aku tak akan bisa menghentikanmu tak peduli apa pun yang kukatakan, tetapi medan perang adalah tempat yang berbahaya, bagaimana kalau kau tidak kembali dari perjanalan ini?”
Aranya begitu tenang.
“Apabila aku tidak kembali dari perjalanan ini, meskipun jika aku mati, aku akan mati di peperangan atas nama kakakku. Dibandingkan dengan Lady Qinghua yang memaksaku untuk bunuh diri, mati dengan cara ini jauh lebih bermakna. Ketika itu, bersediakah kau bersusah payah mengubah nama kakakku dan membawanya ke suatu tempat yang aman sehingga ia bisa menjalani kehidupan biasa?”
Setelah beberapa saat, Aranya menambahkan, “Aku telah menuliskan dua puluh surat untuk Chen Ye, tolong aku untuk mengambilnya kembali. Agak menggelikan untuk meninggalkan ketulusan di dalam surat-surat itu bersamanya.”
Si pria berpakaian putih menghela napas.
“Aku akan mengingat hal-hal yang kau percayakan padaku. Aku hanya berharap kalau aku tidak benar-benar harus melaksanakannya ketika waktunya tiba. Kapan kau akan turun gunung?”
Aranya berbaring di tempat tidur sejuk dari tanaman merambat dan menggunakan lengannya sebagai bantal, bibirnya menunjukkan sedikit senyuman.
“Angin begitu sejuk, matahari begitu hangat. Hari ini adalah hari untuk tidur. Biarkan aku mencuri setengah hari kebahagiaan ini untuk sekarang.”
(T/N : ‘mencuri setengah hari kebahagiaan’ merupakan sebuah pepatah yang diambil dari Li She's “Written at Helin Temple” 題 鶴林寺僧舍.)
Adegan yang terlihat seperti surga di balik Gunung Qinan perlahan menghilang dalam tipisnya matahari tenggelam.
Fengjiu menahan hatinya yang terbeban berat selagi ia berusaha membuka guratan terakhir dari kenangan itu.
Jika kita berbicara soal cerita rakyat, bibinya, Bai Qian, punya koleksi yang tak terhitung jumlahnya. Dikarenakan pemaparan yang diketahui Fengjiu semenjak ia masih kecil, ia telah membaca cukup banyak cerita-cerita itu.
Fengjiu bahkan tidak tahu sudah berapa banyak cerita yang membuat air matanya mengalir, yang pernah dibacanya, tetapi tak satu pun yang dapat dibandingkan dengan kisah yang berada di depan matanya.
Kenangan ini tidak mengandung setetes pun air mata. Malahan, ini merupakan bilah pedang halus yang keduanya sangat dingin dan sangatlah berat. Ketika merenggut nyawa seseorang, begitu cepat dan tanpa keraguan.
Luka Aranya sangat hening, rasa sakitnya pun begitu tenang, dan bahkan, kematiannya pun begitu sunyi.
Menurut Su Moye, Xiangli He dicatat dalam sejarah, turun tangan sendiri dalam perang dan mengusir musuh dalam tujuh belas hari. Namun, dikarenakan kekuatannya tak cukup kuat, ia pun akhirnya gugur di medan perang.
Dalam kenangan ini, Fengjiu dapat melihat kenyataan yang ditutupi di balik lembaran tipis buku sejarah. Yang mati di medan perang bukanlah Xiangli He; melainkan Aranya.
Perang dengan Klan Burung Hantu disebabkan oleh para Biyiniao yang melanggar batas perburuan. Maka, perang di antara kedua klan, tentu saja terjadi di garis perbatasan dimana Sungai Si’xing yang terus mengalir ke arah selatan, melewati gunung Pingyun, bertahun-tahun, sampai ke Laut Cibei.
Bagian Sungai Si’xing di antara Gunung Pingyun dan Laut Cibei selalu dikenal dengan sebutan Si’xing Selatan. Di sebelahnya, terdapat sebuah hutan musik yang dipenuhi pepohonan bermusik.
Sejak zaman dahulu, hutan ini telah digunakan oleh Biyiniao dan Klan Burung hantu sebagai perbatasan antara kedua kerajaan.
Aranya pergi ke medan perang di tanggal tujuh Agustus. Baru enam hari semenjak pecah perang, tetapi Klan Biyiniao telah kehilangan sebidang tanah yang luas dan dipaksa mundur ke selatan Si’xing.
Delapan puluh ribu pasukan telah kehilangan sekitar tiga puluh ribu. Sisa lima puluh ribu pasukan ini sekarang tengah berusaha menghalangi laju seratus dua pulub ribu pasukan Klan Burung Hantu dari sisi lain sungai.
Perintah militer yang meminta bala bantuan kian dipercepat satu setelah yang lainnya ke ibu kota. Qinghua menulikan telinga dan tetap tak bergerak.
Di hadapan mereka ada pasukan yang kuat, di belakang mereka tidak ada bala bantuan. Moral para pasukan pun merosot drastis. Mereka sudah terlihat benar-benar dikalahkan bahkan sebelum mereka menginjakkan kaki di medan perang.
Malam itu, Aranya menyusup masuk ke pangkalan militer dan membuat Xiangli He tak sadarkan diri. Ia mengirimkan Xiangli He keluar dari pangkalan militer, mengenakan pakaian perangnya, dan mengambil alih tenda panglima perang.
Aranya memimpin lima puluh ribu pasukan yang sudah kelelahan itu dan mendorong Klan Burung Hantu keluar dari sungai dengan memanfaatkan formasi setengah lingkaran dari sungai tersebut.
Di atas Si’xing, darah mengapung di sepanjang dayung; mayat-mayat berbaris di selatan pinggir sungai. Saat itu akhir musim panas, dan pada malam hari, angin sepoi-sepoi bertiup di sepanjang pinggir sungai, tetapi hanya dapat tercium aroma mayat membusuk dan noda darah.
Formasi setengah lingkaran menghadang musuh selama tujuh hari, memangkas lima puluh ribu pasukan Klan Burung Hantu. Meskipun demikian, dikarenakan pasokan makanan berkepanjangan yang tak mencukupi, disertai tak adanya bala bantuan, tidak mampu menahan serangan berulang dari Klan Burung Hantu, berkat jumlah pasukan mereka yang menipis.
Akhirnya, tengah malam pada hari ketujuh, formasi itu rusak pada putaran pertama pertahanannya.
Venus terlihat cerah di langit malam. Merasa gembira luar biasa, pangeran tertua Klan Burung Hantu akan mengirimkan pasukannya menyeberangi sungai. Di bawah langit berbintang di lingkungan lain di sisi sungai, sebuah busur besi setinggi manusia mendadak muncul dari tangan sang Komandan.
Tiga panah tak bersayap membawa angin menggigit bersama mereka dan menembus langit malam. Panah-panah itu terjun langsung ke sungai, berubah menjadi tiga pilar besi raksasa yang berjejer di sepanjang arus yang mengamuk.
Formasi Kebangkitan Jiwa.
Venus mendadak terselubungi oleh awan yang menggelap. Seberkas cahaya keemasan dengan ganasnya meledak dari tubuh langsing di sebelah busur besi yang menjulang.
Setelah menembak ke langit, cahaya keemasan itu berubah bentuk menjadi Biyiniao raksasa, dengan anggun melayang di tepi sungai. Sayapnya mengepak, menyerang dengan angin kencang, menyapu seluruh pasukan bersenjata itu.
Sosok yang berada di samping busur besi masih belum bergerak. Angin kencang membuat helmnya terlepas, memperlihatkan ikal rambut hitam panjang, lalu wajah cantik yang dingin.
Di tengah ringkikan menyedihkan, Biyiniao emas itu bertengger di atas pilar besi di tengah sungai, lebar sayapnya menyebar di sepanjang aliran sungai.
Biyiniao emas itu mengepakkan sayapnya lagi bersamaan dengan tubuhnya yang meletus menjadi api.
Api yang kuat, membara bagai api yang tak berkesudahan, menghadang seluruh Sungai Si’xing dan membentuk penghalang alami dari musuh.
Panasnya angin membuat hutan musik pun berdentang. Pepohonan musikal disebut demikian karena dedaunan dan dahan mereka membuat suara musikal bersamaan dengan tiupan angin.
Untuk menghalau musuh keluar dari Sungai Si’xing, Aranya terpaksa menggunakan sihir Kebangkitan Jiwa dan membakar jiwanya sendiri. Inilah yang sebenarnya menghancurkan jiwa Aranya, alasan mengapa keberadaannya berubah menjadi abu.
Langit gelap.
Api terus berkobar marah di sepanjang sungai yang mengalir. Tangisan Biyiniao menggema ke seluruh penjuru hutan; irama lagu terdengar dari pepohonan musikal.
Mereka terdengar seperti requiem (lagu untuk orang meninggal), ikut berduka atas kematian seorang putri.
Tak takut dengan angin yang begitu panas, bunga putih musikal kecil dengan berani memasuki api di dalam sungai layaknya burung-burung yang sedang bermigrasi, berhamburan seperti turunnya salju.
Ada sekuntum bunga yang begitu keras kepala, perlahan melayang turun hingga di rambut Aranya. Ia mengangkat tangannya dan membawa bunga itu ke telinganya, jarinya mengelus keningnya sejenak lalu berhenti.
Itu adalah apa yang Chen Ye lakukan tiap kali ia memberikan Aranya setangkai bunga. Ia melamun. Kemudian, lama setelahnya, Aranya tersenyum pada diri sendiri.
Biyiniao emas itu meraung untuk yang terakhir kalinya bersamaan dengan Aranya mengelus bunga putih di rambutnya dan perlahan memejamkan matanya.
Burung raksasa di atas sungai membeku, berubah menjadi sebuah patung. Hanya apinya yang tak kunjung padam. Si Putri berambut panjang menyandarkan diri pada busur besinya, kehidupannya benar-benar terkuras habis bersamaan dengan Aranya yang memasuki kekosongan abadi.
Apinya tidak padam hingga tiga hari setelahnya.
Saat apinya akhirnya padam, sang putri dan busur besinya telah berubah menjadi debu, larut dalam arus yang bergulir.
Ini adalah kehidupan Aranya.
Fengjiu masih belum bisa mengetahui apa yang dipikirkan Aranya saat ia tersenyum untuk terakhir kalinya.
Ketika Fengjiu kembali dari kenangan itu, di depannya berdiri cermin besar yang diselimuti hujan salju lebat.
Fengjiu mengulurkan tangannya ke depan ketika mendadak ia bertemu dengan kegelapan. Tepat saat ia kehilangan kesadaran, Fengjiu berpikir pada dirinya sendiri kalau akhirnya ia berhasil pingsan.
Alangkah baiknya jika ia bisa pingsan seperti ini lebih cepat.
0 comments:
Posting Komentar