Minggu, 15 November 2020

3L3W TMOPB - Chapter 8 Part 1

Ten Miles of Peach Blossoms

Chapter 8 Part 1


Aku merangkak keluar dari ranjang pagi-pagi sekali esok harinya dan dengan cepat membersihkan diri. Aku meminum setengah gelas teh beraroma kuat sebelum menyeret diriku menuju pintu masuk gua untuk menanti ye Hua membawaku jalan-jalan ke hutan bersamanya.

Aku tidak tahu darimana ia terbiasa melakukan ini, tetapi tiap pagi, ia akan berjalan-jalan di sekitar gua rubah, tanpa pengecualian, tamasya yang dipaksakannya kepadaku, tidak peduli aku menyukainya atau tidak.

Tidak ada yang istimewa dari pemandangan yang mengelilingi gua rubah, hanya beberapa hutan bambu dan beberapa mata air jernih. Berjalan-jalan di sekitar tempat ini sekali-dua kali tidak masalah, tetapi setelah ketiga kalinya, aku mulai merasa bosan. Dua minggu kemudian, entusiasmenya dalam jalan-jalan ini tampaknya tidak berkurang sedikit pun. Semuanya membingungkanku.

Hari ini, aku mencapai pintu masuk, mendengar ketipak derai hujan di luar sana. Aku mencoba meredam perasaan gembiraku saat aku meletakkan kembali cangkir tehku di atas meja di sebelah pintu masuknya dan dengan riang gembira kembali ke kamar tidur.

Aku baru saja mulai terlelap saat aku mendengarkan langkah kaki. Aku membuka mataku, melihat Ye Hua berdiri di samping ranjangku.

“Ada Raja Air atau yang lainnya, tampaknya mengatur hujan untuk hari ini. Jika kita keluar dalam cuaca seperti ini, kita hanya akan berkahir basah kuyup,” kataku, mencoba terdengar kecewa. “Lebih baik kita bersikap bijaksana dan tetap di dalam rumah.”

Ada senyuman bermain di bibir Ye Hua, tetapi ia tidak mengatakan apa-apa.

Tepat saat ini, si Buntalan Ketan Kecil, yang biasanya masih tidur lelap di jam begini, muncul di balik Ye Hua. Memberikan pekikan gembiranya, ia melemparkan dirinya di atas ranjangku. Ia mengenakan tunik berwarna dengan sulaman awan kapas berkilauan, yang menonjolkan tangan kecil putih nan lembutnya, juga wajah cerahnya. Ia meletakkan lengannya di sekitar leherku, membuat mataku silau dengan baju mencoloknya.

"Ayahanda bilang padaku ia akan membawa kita keluar, ke dunia manusia hari ini, jadi kenapa kau masih bermalas-malasan di ranjang, Ibu?” tanyanya dengan suara rajukan bernada tinggi.

Aku menatapnya terkejut.

Ye Hua menyerahkanku jubahku, yang tergantung di atas pembatas ruangan, berkata, “Beruntungnya, tidak turun hujan hari ini di dunia manusia.”

Aku tidak tahu apa yang direncanakan oleh Ye Hua. Jika ia tidak familier dengan dunia manusia, ia harusnya meminta Dewa Bumi setempat untuk menjadi pemandunya. Selagi belajar di Gunung Kun Lun, aku menjelajahi dunia manusia setiap beberpa hari sekali, tetapi aku tidak pernah berhasil mengorientasikan diriku dengan benar dan akan menjadi pemandu yang payah. Akan tetapi, melihat Buntalan Ketan Kecil menatapku dengan mata besar, basah, berkaca-kacanya, aku merasa tidak sanggup mengutarakan alasan.

Aku melompat ke atas awan keberuntunganku, dan mengubah penampilanku menjadi seorang pria terhormat.

“Selama beberapa hari ke depan, kau harus memanggil Ye Hua sebagai Ayah, bukannya Ayahanda. Dan kau bisa memanggilku, um, Ayah Angkat,” aku memberitahu Buntalan Ketan Kecil.

Buntalan Ketan Kecil tidak mengerti mengapa, tetapi seperti biasa, ia mendengarkan dengan mata berkedipnya, dan mengangguk patuh. Ye Hua tetap menggunakan wujudnya, tetapi menggunakan sihir untuk mengubah jubahnya sementara dengan pakaian manusia.

Ia melemparkan senyum ramah dan penuh penghargaan, berkata, “Kau tampak sangat percaya diri dan tenang seperti itu.”

Menghabiskan 20.000 tahun hidupku sebagai seorang pria, kepura-puraan ini memang agak natural. Aku menangkupkan kedua tanganku bersamaan dan membungkuk ke arahnya.

“Kau terlalu memuji,” kataku sambil tersenyum.

Seorang dewa tua, dewa yang lebih muda, dan seorang anak dewa muda, semuanya turun ke dalam hiruk-pikuknya ibu kota.

Kami mulai berjalan berdampingan, Buntalan Ketan Kecil berteriak dan menjerit gembira pada setiap pemandangan baru, etika Klan Langitnya benar-benar menghilang. Ye Hua tidak berusaha untuk mengekangnya, dan membiarkannya berlarian dengan cepat di depan sementara mereka berdua mengikuti perlahan.

Pasar di dunia manusia lebih sibuk dan hidup ketimbang pasar di Qing Qiu. Dengan santai aku mengayunkan kipasku dan mendadak teringat apa yang ingin kutanyakan pada Ye Hua.

“Kenapa kau memutuskan kalau kita harus datang ke dunia manusia hari ini? Jia Yun membawakanmu setumpuk besar dokumen kemarin pagi, dan dari ekspresinya, tampaknya itu cukup mendesak.”

Ia melirikku melalui sudut matanya.

“Hari ini adalah ulang tahun A Li,” katanya.

“Oh!” aku menutup kipasnya. “Buruk sekali sikapmu,” ucapku tegas. “Mengapa kau tidak memberitahukanku sebelumnya? Aku tidak punya apa pun yang bagus untuk diberikan padanya. Buntalan menganggapku sebagai ibunya. Ia pasti kecewa jika aku tidak memberikan sesuatu yang bagus di hari ulang tahunnya.”

Ye Hua tampak tak terganggu.

“Kalau kau ingin memberikannya sebuah hadiah yang bagus, kenapa tidak berikan mutiara malam?” tanyanya.

“Bagaimana kau tahu soal mutiara malamku?” aku terheran.

Ia mengangkat sebelah alisnya dan tersenyum.

“Beberapa dewa tua terlalu banyak minum-minum selama perjamuan di Istana Langit dan bergosip. Mereka menyebutkan ini sebagai pilihan hadiahmu. Tampaknya, kau memelihara kebiasaan hanya memberikan mutiara malam sebagai hadiah selama bertahun-tahun ini.

“Mutiara kecil untuk dewa-dewi muda, dan mutiara besar untuk dewa-dewi yang lebih tua, sangat adil. Tetapi, mutiara malam mahal, dan A Li terlalu kecil untuk menghargai nilai mereka. Sia-sia saja memberikan satu padanya. Sebaliknya, bagaimana kalau memberikannya satu hari yang sangat baik? Pasti itu akan membuatnya bahagia.”

Aku mengusap hidungku dan tertawa canggung.

“Aku punya satu mutiara yang ukurannya setengah orang dewasa. Dari kejauhan tampak seperti sebuah bulan kecil. Jika kita membawanya ke Aula Qing Yun dan memasangkannya di sana untuk Buntalan, pastinya akan membuat tempat itu bahkan lebih terang dari kediaman pangeran matahari. Mungkin satu-satunya di Empat Lautan dan Delapan Dataran yang ...”

Aku berbicara dengan kegembiraan menggebu sampai aku berhenti memperhatikan apa yang terjadi di sekitarku. Mendadak aku merasakan diriku ditarik keluar jalanan dan tersandung ke dalam pelukan Ye Hua saat sebuah kereta kuda berpacu lewat.

Alis Ye Hua agak berkedut. Kedua kuda yang berpacu di depan keretanya tiba-tiba saja berhenti dan menaikkan kedua kaki depan mereka, bertumpu pada kaki belakangnya, meringkik kuat, dan kereta beroda kayu itu berputar-putar dalam kecepatan penuh. Kusirnya meluncur turun dari kursi pengendara dan mengelap peluh dari keningnya.

“Terima kasih Tuhan, kuda-kudaku berhenti! Mereka menggila barusan ini.”

Buntalan, yang berlari mendahului kami, merangkak keluar dari bawah salah satu perut kuda dengan seorang anak perempuan yang sedang meratap di tangannya. Anak perempuan ini sedikit lebih tinggi dari Buntalan, dan ia sepertinya mencengkamnya di sekitar pinggang dan menariknya.

Seorang wanita muda mendadak menerobos kerumunan dan menarik anak perempuan itu dari tangan Buntalan, menangis, “Oh, Tuhan, membuatku hampir mati ketakutan! Oh!”

Adegan ini anehnya kelihatan familier. Wajah ibuku sendiri mendadak terlintas dalam benakku, menangis tersedu-sedu sampai ia sulit dikenali.

“Kemana saja kau selama dua ratus tahun terakhir ini?” ia menangis selagi memelukku. “Bagaimana bisa kau melakukan ini padaku?”

Aku menggelengkan kepalaku untuk menyingkirkan mimpi siang bolong yang muncul begitu nyatanya sampai terasa seperti jatuh dalam suatu mantra. Bahkan ketika aku hampir saja mati bersama dengan Mo Yuan di Gua Yan Hua, Ibu tidak sampai sehisteris wanita itu.

Bukan tujuanku untuk meninggalkan Qing Qiu selama dua ratus tahun. Terjadinya lima ratus tahun yang lalu.

Qing Cang melepaskan diri dari Lonceng Dong Huang, dan kami berdua bertarung begitu ganasnya, diikuti dengan aku yang tertidur selama 213 tahun terturut-turut.

Buntalan bergegas menghampiri kami, terengah-engah.

“Ayah, mengapa kau terus memeluk Ayah Angkat?” tanyanya polos.

Kuda-kuda yang melarikan diri tadi begitu mengguncang semua orang, dan jalanan pasar yang ramai jadi senyap. Suara kekanakan Buntalan terdengar lantang dan jelas.

Dalam sekejap, para pedagang dan pejalan kaki di kedua sisi jalanan yang menggelengkan kepala mereka pada kuda-kuda tadi mengalihkan mata berbinar mereka pada kami. Aku tertawa canggung, melepaskan diriku dari pelukan Ye Hua dan meluruskan lengan bajuku.

“Aku tersandung, dan ia menangkapku. Itu saja,” kataku dengan tawa kecil yang canggung.

Buntalan menarik napas panjang. “Beruntungya kau tersandung dalam pelukan Ayah, Ayah Angkat. Kalau kau jatuh ke tanah dan menghancurkan wajah cantikmu, Ayah pasti paling kecewa. A Li juga.”

Aku mendongak menatap Ye Hua.

“Benarkah begitu, Ayah?” tanyaku.

Mata berbinar kerumunan pun beralih sejenak pada Ye Hua, yang tetap merasa tak terganggu. Ia memberikan anggukan yang nyaris tak terlihat dan berkata, “Benar.”

Seorang gadis yang menjual kue mi di dekat tempat kami berdiri tampaknya sudah tak sadar.

“Kalian adalah pasangan homoseksual pertama yang pernah kulihat,” katanya.

Aku membuka kipasku untuk menyembunyikan wajahku dan menyelinap ke dalam kerumunan.

Buntalan mengikuti di belakangku, berteriak, “Ayah Angkat! Ayah Angkat!”

Ye Hua menahan senyumannya dan berkata, “Jangan cemaskan dia, ia hanya malu.”

***

Sudah hampir tengah hari, dan kami memutuskan untuk makan siang di sebuah restoran di ujung jalanan dekat dengan danau.

Ye Hua memilih sebuah meja di lantai atas dekat jendela. Ia memesan seguci anggur dan beberapa makanan yang terkenal di dunia manusia, dan cukup baiknya, tidak ada ikan kali ini.

Angin sepoi-sepoi yang menyejukkan bertiup dari danau menuju ke arah kami.

Saat kami sedang menunggu makanan kami, Buntalan mengeluarkan semua benda kecil yang baru saja dibelinya dan meletakkan mereka di atas meja untuk dilihat. Dua figur tanah liat kecil menarik mataku.

Sebelum kami dilayani, pelayannya membawa dua orang dan bertanya apakah mereka dapat bergabung dengan kami di meja kami. Seorang biarawati Tao yang muda dan ramping berjalan mendekat dengan seorang pelayan yang patuh yang kukenal. Setelah beberapa saat, aku menyadari, ia adalah si kusir dari pasar sebelumnya.

Pelayan muda ini menyatukan kedua tangannya dan membungkuk memohon maaf pada kami. Hanya makanan, kupikir, dan lantai atas juga bawah restoran ini benar-benar penuh. Buntalan berpindah ke tempat dudukku, yang kami bagi berdua, dan kami menawarkan mereka dua tempat duduk kosong lainnya.

Si biarawati duduk dan menuangkan secangkir teh untuk dirinya sendiri. Ia meminum dua teguk sebelum memandang lurus ke arah Ye Hua. Bibir bawahnya bergetar, tetapi ia tidak mengatakan apapun.

Tidak heran: Ye Hua sudah menggunakan sikap dingin dewanya lagi, begitu berbeda dengan kesan baik, pria manis yang berdiri di dapurku dengan sebatang spatula di tangannya, menumis sayuran.

Aku membantu Buntalan menyingkirkan barang-barang barunya. Biarawati itu meminum seteguk tehnya lagi, terlihat sangat gugup. Akhirnya ia mendapatkan keberanian untuk berbicara.

“Aku begitu beruntung ada Anda di pasar barusan ini, Pangeran Dewa, dan bahwa Anda di sana untuk menyelamatkanku,” katanya, ada getaran dalam suaranya. “Anda menolong Miao Yun terlepas dari bencana.”

Aku menoleh padanya, tercengang, bahkan Ye Hua pun berbalik menghadapnya.

Miao Yun si biarawati menurunkan kepalanya, begitu meronanya sampai-sampai telinganya pun berubah memerah. Dapat melihat penyamaran Ye Hua dalam satu pandangan dan mengetahui ia adalah makhluk abadi dan menggunakan sihirnya untuk menyelamatkan mereka, artinya, ia bukanlah biarawati biasa. Dalam kurang dari sepuluh hari, mungkin ia akan terbang menuju matahari dan mengunjungi kami di Istana Langit.

Ye Hua menyapukan matanya pada biarawati itu.

“Tidak perlu terlalu sungkan. Bukan apa-apa. Siapa pun akan melakukan hal yang sama,” katanya dengan nada datar.

Telinga Miao Yun sekarang begitu merahnya sampai mereka terlihat seolah darah mungkin akan mulai mengalir keluar dari sana. Ia mengigiti bibirnya.

“Hanya satu jari terangkat oleh pangeran dewa, sudah sepatutnya dianggap sebagai kebaikan yang besar,” katanya dengan suara pelan. “Pangeran Dewa, apa—apakah Anda bisa bermurah hati memberitahuku gelar dewa Anda, agar di masa yang akan datang saat aku belajar untuk terbang, aku bisa mengunjungi kediaman dewa Anda dan membalaskan budi Anda karena telah menyelamatkan nyawaku?”

Tentunya tidak. Terdengar seperti si biarawati ini mungkin sedang ... menggoda Ye Hua?

Related Posts:

0 comments:

Posting Komentar