Three Lives Three Worlds, The Pillow Book 2
Chapter 18 Part 5
Dewa Agung Zheyan tidak mengatakan apa-apa sebagai jawaban. Keduanya meminum tehnya untuk menyegarkan tenggorokan mereka selagi mata mereka kembali ke awan di angkasa, tepat ketika mereka mendengar Nie Chuyin berkata:
“Kalau buku ritual Qingqiu tentang upacara Bingcang masih belum berubah, maka seharusnya ada sebuah duel hari ini. Aku sudah lama mendengar tentang kemampuan ilmu berpedang Yang Mulia Fengjiu yang luar biasa. Adu pedang juga merupakan kesukaanku. Aku penasaran apakah kami dapat bertukar beberapa gerakan.”
Wajah riang Bai Yi dengan cepat membeku.
“Bahkan jikalau memang ada sebuah duel, Yang Mulia dengan putriku bukan berasal dari generasi yang sama. Bagaimana bisa kau berbicara soal pertukaran rekan sejawat? Mohon perhatikan tingkah lakumu.”
Melihat bahwa Bai Yi menjadi marah karena perkataannya, Nie Chuyin tertawa sepenuh hati: “Yang Mulia Fengjiu adalah cucu Qingqiu, aku juga dari generasi ketiga Raja Iblis. Bicara dari sudut pandang ini, Yang Mulia Fengjiu dan diriku berasal dari generasi yang sama. Karena aku mencintai adu pedang, aku sungguh-sungguh ingin bertukar beberapa gerakan dengannya. Walaupun ini sebuah kontes, aku tetaplah seorang pewaris dari Klan Iblis, dan aku sudah pasti tidak takut akan kekalahan. Tidak mungkin, Yang Mulia Fengjiu, sebagai seorang pewaris dari Klan Dewa, sebenarnya takut akan kekalahan, kan?”
Nie Chuyin memanglah seorang Raja Iblis generasi ketiga, tetapi posisi Raja Iblis selalu tergantung oleh adu kekuatan ketimbang keturunan. Mengatakan bahwa ia dan Fengjiu adalah teman sejawat itu sesungguhnya terlalu tidak masuk akal, tetapi meski itu tidak masuk akal, pada akhirnya itu adalah penghalang yang buruk untuk menyanggah logikanya.
Terlebih lagi, apa yang sebenarnya sebuah kompetisi di dalam klan sekarang menjadi sebuah kontes di antara dua klan dari apa yang dikatakannya. Bahkan walaupun Klan Dewa dan Iblis telah menumbuhkan ketetanggaan dalam beberapa tahun belakangan ini, mereka masih saling menyikut kesalahan satu sama lain.
Sekarang karena Nie Chuyin telah menyebutkan provokasi semacam ini di hadapan seluruh dunia, Fengjiu tidak punya pilihan lain selain menerimanya.
Ada beberapa dari penonton yang benar-benar serius mencemaskan Fengjiu, dan adapula mereka yang hanya berada di sana untuk menonton.
Memimpin grup pertama adalah Cang’yi Shenjun yang memang selalu diam-diam mengagumi Fengjiu, bahkan hingga saat ini. Yang terakhir dipimpin oleh adik tiri Donghua Dijun, Putri Zhi’he.
Dewa Agung Zheyan menilik situasinya dan memberi tatapan tak berdayanya pada Bai Zhi Dijun.
“Kau lihat? Kau sudah meremehkan situasi ini. Kesuksesan tidak pernah tergantung pada muka sejak awal mulanya waktu. Benda yang disebut muka ini, tidak berguna. Nie Chuyin telah bertekad membuang mukanya untuk mengintimidasi gadis itu. Ia mungkin menginginkan sebuah janji dari Qingqiu agar dapat digunakannya nanti untuk ambisinya. Sayang sekali, kau selalu menyukai muka dan tampilan luar. Aku tahu kau hanya bisa menelan kekalahanmu. Kalau begitu biarkan gadis itu keluar dan hati-hati bermain dengannya.”
Bai Zhi Dijun meletakkan cangkir tehnya.
“Biarkan gadis itu memainkan beberapa gerakan dengannya,” ia berkata seraya mengangguk pada Bai Yi.
Mendapat respon ayahnya dan kegembiraan meningkat Nie Chuyin, Bai Yi menjadi dingin ketika ia memanggil Fengjiu turun dari atas anak tangga rerumputan itu.
Dibandingkan dengan kemarahan dalam diam milik ayahnya, sebaliknya, Fengjiu tampak sangat acuh tak acuh.
Selain beberapa penonton yang tidak menyadari yang menatap ke arahnya penuh harap, yang sedikit lebih berakal pun semuanya memahami bahwa Fengjiu tidak akan pernah bisa mengalahkan Nie Chuyin. Fengjiu tidak berpikir ia perlu mengalahkannya, jadi ia sangat tenang.
Fengjiu dengan tenang membuka sarungnya, dengan tenang pula mengeluarkan pedang Hexu, kemudian dengan tenang menyatukan kedua tangannya dan menyapa Nie Chuyin yang juga sedang membawa sebilah pedang: “Tuan, suatu kehormatan.”
Nie Chuyin bukanlah seorang lawan yang dapat dikalahkan seenak Fengjiu. Walaupun tidak mungkin ia bisa menang, bertarung melawan Nie Chuyin mungkin akan membawakannya pengalaman yang baik.
Pedang berputar di atas panggung. Terkadang mereka menyapu layaknya seekor naga terbang. Kadang kala mereka memicu kerlip api. Di serangan kesepuluh, pedang besi Nie Chuyin sudah mengarah tepat ke leher Fengjiu. Setetes peluh mengalir ke pipi Fengjiu dari pelipisnya.
Akhirnya, kekuatan mereka terlalu jauh berbeda.
Nie Chuyin menarik pedangnya dan menyarungkannya kembali ke sarung pedangnya seraya berpura-pura menyesal: "Ini semua karena aku yang sudah memandang terlalu tinggi akan permainan pedang Yang Mulia. Ternyata, kemampuan berpedang Klan Dewa hanya sebatas ini saja.”
Bai Yi dengan cemberut menatap ayahnya.
Ia mengutarakan perkataannya pada Bai Zhi, “Apakah kita akan membiarkannya menghina Qingqiu juga setelah kita membiarkannya mengambil keuntungan dari kita?”
Di atas panggung, Fengjiu berkata rendah hati, “Bahkan jikalaupun Yang Mulia berusia delapan puluh ribu tahun lebuh tua, atau tiga kali lipat dari usiaku, bagaimanapun juga, kita tetaplah rekan sejawat. Hanya dibutuhkan sepuluh serangan darimu untuk mengalahkanku. Kau mendapatkan kekagumanku.”
Sudut mata Nie Chuyin melengkung membentuk senyuman sinis.
“Betapa fasihnya kau berbicara. Tetapi aku sudah memenangkan babak ini. Kemanangan adalah kemenangan. Sebagai seseorang yang menepati janji, aku menduga Yang Mulia tidak akan mengingkari ....”
Kata ‘janji’ masih belum menyentuh tanah ketika mereka mendadak mendengar suara datang dari arah tribun penonton: “Tunggu.”
Semua mata berpaling ke arah suara itu. Pemiliknya adalah seorang dewa berjubah biru dengan wajah yang menyenangkan. Ia adalah Hanshan Zhenren di bawah Nuwa.
Hanshan Zhenren telah bekerja di bawah Dewi Nuwa selama puluhan ribu tahun. Walaupun peringkatnya tidak dapat dianggap tinggi, tetapi karena ia bertanggung jawab atas penerbitan surat nikah untuk Klan Dewa, rekan sejawatnya selalu membungkuk penuh hormat ketika mereka bertemu dengannya dan menghindari memanggil namanya, hanya dengan sopan memanggilnya ‘Zhenren’.
Hanya sampai zhenren ini mencatat pernikahan pasangan dalam registrinya barulah mereka dapat dianggap telah menikah.
Bicara secara wajar, zhenren ini tidak ada sangkut pautnya dengan upacara Bingcang. Pada saat ini, si Hanshan Zhenren yang benar-benar tidak ada hubungannya tengah berdiri di salah satu posisi paling terpencil di sebelah kanan tribun penonton.
Ia menyatukan kedua telapak tangannya dan mengarahkannya ke panggung: “Walaupun hamba hanyalah seorang pria yang tak berwawasan, hamba yakin bahwa tantangan berpedang di upacara Bingcang ini harus dilakukan bersama oleh penguasa baru dengan pasangannya. Meskipun Yang Mulia Nie Chuyin telah mengalahkan Yang Mulia Fengjiu, Anda masih belum mengalahkan suami Yang Mulia Fengjiu. Agaknya sedikit terlalu cepat untuk meminta Yang Mulia Fengjiu sebuah janji dari Qingqiu.”
Ada keheningan dari penonton, diikuti oleh ledakan gumaman.
Tangan Bai Zhi Dijun terpaku di atas meja teh, wajah Dewa Agung Zheyan membeku dalam keterkejutannya, mulut Dewi Tetua Fumi menganga, Dewa Agung Bai Yi nyaris terjatuh dari kursinya, dan Dewi Agung Bai Qian bengong, bertanya pada Pangeran Yehua, “Fengjiu menikah? Dengan siapa? Sejak kapan?”
Pangeran Yehua membalas bijaksana, “Pasti benar kalau Hanshan Zhenren yang mengatakannya.”
Ia menatap curiga ke sebelahnya pada Pangeran Ketiga.
Pangeran Ketiga berlagak seperti pria terhormat seraya berteriak, “Aku bukan penggosip, tahu!”
Fengjiu menjulurkan lehernya untuk melihat ke arah tempat duduk tertinggi di tribun penonton. Si dewa berjubah ungu berambut perak sudah tak ada dimana-mana.
Nie Chuyin menghadap ke arah Hanshan Zhenren yang merepotkan ini dalam keheningan sesaat dan mencibir, “Aku belum pernah mendengar kalau Yang Mulia Fengjiu telah memiliki seorang suami. Meskipun begitu, masih belum tentu juga kalau aku tidak akan mampu mengalahkannya. Siapa dia? Silakan naik kemari.”
Aku sungguh tidak yakin kalau kau bisa mengalahkannya, Fengjiu berpikir pada dirinya sendiri.
Semua orang menatap ke atas selagi mereka menanti suami sang putri yang disebutkan oleh Hanshan Zhenren untuk muncul dari angkasa.
Tetapi di saat ini, mereka melihat seorang dewa berjubah ungu, tanpa tergesa menaiki panggung seremonial dari sisi kanan.
Ia dengan santai membenahi lengan jubahnya: “Haruskah kita mulai? Aku barusan pergi untuk mengasah pedangku.”
Ia memiliki rambut perak panjang, ikat kepala indigo, dan roman wajah yang tampan dan bangsawan. Ketika ia memegang sutra Buddha, ia begitu khidmat dan tenang melampaui segala keberadaan.
Saat ia mengayunkan pedang, ia seganas angin topan yang merusak. Ia adalah orang yang baru saja duduk di kursi tertinggi di tribun penonton, Donghua Dijun—mantan penguasa alam semesta.
Nie Chuyin menegang. Para penonton benar-benar terdiam. Dalam sekejap mata, mereka semua sudah berlutut. Di atas tribun, para Zhenhuang dan Shangxian juga bangkit dari duduk mereka dan segera berdiri. Kalau Dijun saja sedang berdiri, mana mungkin yang lainnya berani duduk?
Samar-samar, Fengjiu mengingat sesuatu seperti ini juga pernah terjadi di Lembah Fanyin. Sekalinya orang ini muncul di Lembah Prem, para makhluk abadi semuanya langsung berlutut.
Akhirnya Fengjiu mengerti kenapa Dijun tidak suka meninggalkan rumahnya. Kemanapun ia pergi, orang-orang akan terus berlutut. Melihatnya saja sudah melelahkan.
Dijun memerhatikan baris demi baris para makhluk abadi yang sedang bersujud seolah ia tengah melihat pohon muda yang wangi yang ditanamnya di langit ketiga belas.
Ia sedikit melambaikan tangannya untuk menghentikan kerumunan yang bersujud, berbalik, dan menghibur Fengjiu yang berdiri di sampingnya, “Aku tahu kau akan kalah. Jangan merasa bahwa kau telah mempermalukanku.”
Ia menyerahkan sehelai saputangan pada Fengjiu.
“Berapa banyak serangan yang kau tangkis?”
Fengjiu mengelap peluhnya dengan saputangan saat ia tergagap, “Sepuluh.”
Donghua menganggukkan kepalanya.
“Tidak buruk.”
Kemudian ia berpaling untuk menatap Nie Chuyin dan berkata, “Bagaimana menurutmu kalau bertukar beberapa serangan denganku?”
Raja Iblis Hitam Nie Chuyin adalah seorang pria dengan sebuah impian. Semenjak Maharaja Iblis Shaowan mangkat, Klan Iblis telah terbagi menjadi tujuh fraksi dan terdiri dari tujuh Raja Iblis.
Setelah memperoleh posisi Raja Hitamnya, Nie Chuyin telah berjuang keras menyatukan Klan Iblis dimana nantinya akan ada seorang Maharaja yang berdiri di atas semuanya. Aliansi pernikahan dengan Klan Dewa akan menjadi cara terbaik untuk mencapai impian ini.
Sayang sekali, semua Dewa Agung berpengaruh dari Klan Dewa semuanya adalah pria, tetapi ia hanya seorang anak yatim piatu.
Tidak seperti Raja Xuyang, ia tidak memiliki seorang adik perempuan untuk dinikahkan. Ia mundur selangkah untuk berpikir. Jika ada seorang dewa gay di antara pada Dewa Agung ini, demi ambisinya, ia bahkan akan mengorbankan dirinya sendiri. Itu pun tidak berhasil.
Ia pun mundur selangkah lagi untuk berpikir. Jika ia tidak berelasi dengan mereka, yang terbaik adalah dengan tidak menyinggung mereka. Tetapi jika ia harus menyinggung mereka, maka paling tidak ia harus bisa bernegosiasi untuk mendapatkan sebuah permintaan dari mereka.
Kedatangannya hari ini benar-benar telah diperhitungkan dengan baik. Ia tahu tindakan ini pasti akan menyinggung keluarga Bai dari Qingqiu, tetapi demi sebuah janji dari mereka, menyinggung mereka akan jadi sepadan.
Akan tetapi, Nie Chuyin tidak pernah mengira kalau ia akan menyinggung Donghua Dijun juga. Jika urusannya sudah sampai begini dan ia menyinggung semua orang, bukan hanya keluarga Bai namun juga Dijun, maka akan lebih penting lagi untuk mengamankan janji itu dari Qingqiu.
Ia sudah jelas bukan lawan Dijun. Ia tidak akan pernah melawannya.
Dengan senyum yang sangat dipaksakan di wajahnya, Nie Chuyin berkata, “Yang Mulia, Anda terlalu menyanjungku. Duel ini tadinya adalah pertukaran untuk saling belajar antar rekan sejawat. Yang Mulia Fengjiu denganku dapat dianggap sebagai teman sejawat, tetapi Yang Mulia dan aku terpisahkah oleh seluruh masa prasejarah. Bagaimana bisa aku menjadi lawanmu? Walaupun aku termasuk menantang Dijun dengan menantang Yang Mulia Fengjiu, kau begitu agung, lagipula, aku takut kita tidak sebanding sama sekali. Takutnya, dengan dirimu melawanku, akan bertentangan dengan aturan upacara.”
Baru saja menerima keterkejutan, Dewi Agung Bai Qian mengerutkan keningnya pada Yehua dan Liansong.
“Ia punya alasan mengapa ia harus bertarung dengan Fengjiu, lalu ia punya alasan mengapa Donghua tidak boleh bertarung dengannya. Pria ini sangat pandai bicara omong kosong, ia punya semua alasan. Apabila Donghua dengan gegabah memutuskan sesuatu saat ini, memang akan tampak seolah ia sedang mengintimidasi juniornya.”
Saat Bai Qian selesai berbicara, ia dengan melankolis menggumamkan umpatan, merasa sedikit cemas.
Pangeran Liansong dengan santai mengetukkan kipasnya dan tertawa: “Aku rasa Nie Chuyin sudah memandang terlalu tinggi soal kulit Donghua.”
Ada berbagai macam obrolan di antara para penonton saat ini, tetapi Dijun sangat tenang dan kalem. Dalam ketenangan dan keheningannya juga terdapat sebuah kebingunan tertentu.
Diikuti dengan komentar Nie Chuyin, ia merenung, “Kau bilang kalau ... kita tidak sebanding?”
Donghua mengerutkan alisnya.
“Bagaimana bisa kita tidak sebanding?”
Nie Chuyin kehabisan kata-kata. Para penonton pun kehilangan kata-kata.
Dijun melirik ke arah Nie Chuyin, kemudian melirik ke sisinya ke arah Fengjiu dan tanpa tergesa berkata, “Karena ia adalah ratuku, ia secara alami setara denganku. Kau baru saja bilang bahwa kau adalah rekan sejawatnya, maka sudah pasti kau juga rekan sejawatku. Pertarungan antara kita berdua sudah pasti pertukaran antara rekan sejawat. Aturan mana dari buku ritual Qingqiu yang akan kita langgar?”
Nie Chuyin menegang.
“Ini ....”
Dijun perlahan menimbang pedangnya dan berkata, “Jadi, aku dengar ilmu berpedang adalah kesukaanmu. Kebetulan sekali, aku juga menyukai adu pedang. Dapat dilihat bahwa pertemuan kita adalah sebuah kebetulan yang ditakdirkan. Mari kita berduel!”
Para dewa pun semuanya ternganga. Dewi Agung Bai Qian menyemburkan teh dalam mulutnya, sementara Pangeran Liansong bersandar di sandaran lengan kursinya untuk menghindari dirinya terkena semburan.
Ketika ia melepaskannya, Liansong berkata pada Bai Qian, “Lihat? Apa yang barusan kukatakan? Perkataan menyesatkan Nie Chuyin tidak akan bekerja padanya. Bagi Dijun, kulit dan muka selalu jadi hal yang tidak penting.”
0 comments:
Posting Komentar