Ten Miles of Peach Blossoms
Chapter 2 Part 2
Sepertinya,
perjamuannya belum akan dimulai selama beberapa jam lagi, meskipun sudah ada
cukup banyak dewa-dewi yang hadir. Mereka berkumpul di aula besar, berkerumun
dalam kelompok terdiri dari dua atau tiga orang.
Aku teringat
kembali perjamuan ulang tahun Ayah belum lama ini, yang mana semua tamunya
sudah muncul, tetapi tidak ada satu pun dari mereka yang tepat waktu. Semua
dewa-dewi, tua dan muda, semuanya menunjukkan entusiasme yang sama dengan
muncul lebih awal untuk perjamuan satu bulanan putra Raja Laut Timur. Cara kerja
dunia ini jelas sekali sudah berubah, memberi dewa-dewi zaman sekarang lebih
banyak waktu senggang.
Dua pelayan
istana membawa Putri Lu Xiu menemui Raja Laut Timur, yang kulihat mempunyai
pesona elegan yang mengingatkan akan leluhurnya. Aku jadi berada di bagian
belakang kelompok dan bercampur dengan keramaian dewa-dewi.
Aku berbalik
untuk mencari seorang pelayan supaya membawaku ke sebuah ruangan dimana aku
dapat beristirahat sejenak; ini merupakan perjalanan yang panjang, dan aku agak
lelah. Tetapi setiap makhluk yang ada di aula memandang penuh kekaguman pada
Putri Lu Xiu, dan tidak ada seorang pun yang memanduku.
Bicara secara objektif,
Putri Lu Xiu tidak bisa dibandingkan dengan leluhur prasejarah dalam hal
penampilan; kakak iparku semuanya jauh lebih menarik. Tetapi sepertinya
generasi dewa-dewi zaman sekarang kekurangan banyak wanita cantik.
Para pelayan
tercengang oleh kecantikannya. Ekspresi mabuk terpampang di wajah mereka saat
mereka menatap gadis cantik. Aku merasa tidak enak mengganggu dan menarik
mereka pergi, jadi aku malah berkeliaran ke atas dan bawah aula selama beberapa
waktu dan menemukan sebuah jalan sepi untuk menyelinap.
Aku
mempertimbangkan akan lebih baik untuk tidur sejenak sekarang atau menunggu
sampai perjamuannya, menyerahkan hadiahku, makan sesuatu, dan pulang lebih
awal. Aku teringat wajah putus asa Mi Gu saat ia mengantar kepergianku. Aku
tidak bertanya kepadanya tentang itu karena aku takut akan terjebak
mendengarkannya bercerita, tetapi sekarang karena aku punya waktu untuk
memikirkannya, aku mulai merasa terganggu dan bersemangat untuk pulang dan
menanyainya ada masalah apa.
Aku berbelok
kesana kemari, namun, bahkan dengan istana sebesar ini, aku tidak berhasil
menemukan sebuah tempat yang cocok untuk berbaring. Aku hanya akan kembali ke
aula besar, tetapi saat aku berbalik, aku menyadari kalau aku tidak tahu
jalannya. Aku merogoh ke dalam lengan jubahku, tetapi ranting Mi Gu-ku sudah
menghilang. Dengan suramnya aku terhadap arah, aku harus berdoa jika aku ingin
berharap menemukan jalan kembali ke perjamuannya sebelum berakhir.
Saat aku
berdiri di sana, tidak yakin arah mana untuk berjalan, aku teringat sebuah
filosofi yang Kakak Keempat ajarkan kepadaku, salah satu yang kuingat sejak
itu: Tidak ada jalan sempit atau jalan
raya saat dunia dimulai; jalan kita yang tak beraturanlah yang menciptakan
mereka. Kehilangan ranting Mi Gu di saat seperti ini memberikanku dua
pilihan: entah aku duduk diam dan menunggu ditemukan atau aku mengambil
kesempatan dengan memilih satu arah dan berjalan.
Jalan yang
kupilih membawaku langsung ke taman belakang Raja Laut Timur, yang mana didekorasi
dalam warna hijau yang berlebihan, tepat seperti bagian lainnya dari istana.
Terasa seperti sebuah labirin, dan aku berjalan selama lebih dari satu jam
tanpa menemukan sebuah jalan keluar.
Setelah
beberapa jam berputar-putar, aku memutuskan untuk meminta saran pada takdir.
Saat aku mendekati persimpangan jalan, aku membungkuk untuk memungut sebatang
ranting. Aku memeganginya di telapak tanganku, memejamkan mata, dan
melemparkannya. Rantingnya jatuh menunjuk ke arah jalan di kiri. Aku
mengibaskan dedaunan yang rontok dari jemariku dan mulai berjalan ke arah jalan
di kanan.
Takdir selalu
agak menipu, dan kapan saja aku butuh saran darinya, aku merasa bijaksana untuk
bertindak berlawanan dengan apa yang dikatakannya.
Aku sudah
berkeliaran di taman belakang ini sekian lama dan tidak melihat banyak seperti
seekor ular air, tetapi baru beberapa ratus langkah setelah menjatuhkan
rantingku dan melawan saran Takdir, aku bertemu seorang bocah lelaki yang
begitu gemuk dan pucat, ia terlihat seperti gumpalan ketan yang bernapas.
Si anak
gumpalan ketan yang putih dan empuk ini rambutnya digelung jadi dua, satu di
tiap sisi kepalanya, dan mengenakan jubah hijau tua bersulam. Ia bertengger di
atas sekelompok koral hijau, dan kalau aku tidak melihat dengan saksama, aku
mungkin akan mengira ia adalah bagian dari koralnya dan benar-benar tidak
melihatnya.
Sepertinya, ia
adalah putra dewa.
Kepalanya
tertunduk, asyik menarik-narik rumput lili air dari koralnya. Aku
memperhatikannya selama beberapa saat sebelum berjalan menghampiri untuk
menyapanya.
“Buntalan Ketan
Kecil, apa yang sedang kau lakukan di atas sana?”
“Aku sedang
menarik rerumputan ini,” ia berkata tanpa mengangkat kepalanya. “Ayahandaku
bilang kalau koral yang tersembunyi di bawah rerumputan ini adalah benda yang
paling indah di seluruh Laut Timur. Aku belum pernah melihatnya, jadi aku
menyingkirkan rerumputan ini untuk melihatnya.”
Ayahanda?
Jadi ia adalah Pangeran Kecil Klan Langit.
Aku merasa
kasihan padanya, menghabiskan semua tenaganya menarik rerumputan itu dan ingin
membantunya. Aku mengeluarkan kipas dari lengan jubahku dan meletakkannya di
depannya.
“Kau bisa
menggunakan kipas ini dan mengayunkannya perlahan,” aku menjelaskan
bersemangat. “Rerumputannya akan menghilang tanpa jejak, membiarkan koralnya
menunjukkan wajahnya.”
Ia menarik
segenggam rumput dengan tangan kirinya dan mengambil kipasnya dariku dengan
tangan kanannya, dan mulai sedikit mengayunkannya. Angin liar mendadak muncul
dari tanah, dan seluruh istananya berguncang tiga kali. Ombak dari air laut
yang gelap berjatuhan dari sepuluh kaki di atas kami dengan deruan yang keras
dan seperti energi dari sebilah pedang yang dihunuskan dari sarungnya atau
seperti seekor kuda liar yang lepas kendali dari tali kekangnya.
Hanya dalam
beberapa menit, Istana Kristal Air Raja Laut Timur sudah mengalami perubahan
sepenuhnya dan sekarang telah berkilau dengan cerahnya.
Aku kehabisan
kata-kata.
Kekuatan yang
dihasilkan Kipas Bo Yun-ku sepenuhnya tergantung pada kekuatan abadi dari
pemegangnya. Aku tidak menyangka si buntalan ketan kecil muda ini memiliki
kekuatan yang begitu luar biasa.
Aku ingin
menepuk tanganku dan memujinya, tetapi aku menahan diri.
Si Buntalan
Ketan Kecil terguling di lantai dan mendarat dengan bokongnya. Ia menatapku,
sangat terkejut.
“Oh, tidak,
apakah aku sudah menyebabkan malapetaka?” ia menjerit cemas.
“Tenang saja,”
aku memberitahunya. “Kau tidak menyebabkan malapetaka. Akulah yang memberikanmu
ki—“
Sebelum aku
menyelesaikan kalimatku, aku melihat mata si Buntalan Ketan Kecil terbuka lebar.
Aku menduga, melihat kain sutra putih menutupi hampir seluruh wajahku pastinya
membuat si bocah kecil ini ketakutan dan baru saja akan meletakkan tanganku
untuk menutupinya, tetapi ia bergegas mendekat dan memegangi kakiku, berteriak,
“Ibu!”
Aku tercengang
dan terdiam.
Ia terus
memeluk kakiku dan menangis menyayat hati.
“Ibu, Ibu!” ia
meratap. “Mengapa kau meninggalkanku? Mengapa kau meninggalkan A Li dan
Ayahanda?” Ia berhenti untuk mengelap mata berairnya dan hidung beringusnya
dengan ujung gaunku.
Terancam oleh
tangisannya, aku memutar otakku, mencoba mengingat apakah aku pernah, dalam
ribuan tahunku, melakukan sesuatu yang dapat ditafsirkan sebagai meninggalkan
seorang suami dan anak. Saat aku sedang mempertimbangkan ini, mendadak aku
mendengar sebuah suara dalam di belakangku.
“Su Su ...?”
Si Buntalan
Ketan Kecil mengangkat kepalanya dan memanggil, “Ayahanda,” dengan suara pelan.
Ia masih menempel erat di kakiku sampai mustahil bagiku untuk berbalik. Karena
aku jauh lebih tua, aku merasa tidak tepat untuk membungkuk dan melepaskan
jarinya dariku secara paksa, jadi aku hanya berdiri di sana, dengan dirinya
menempeliku seperti itu.
Ayahanda datang
dan berdiri di hadapanku. Ia begitu dekat, dengan kepalaku yang tertunduk, yang
dapat kulihat adalah sepatu awan bersol hitamnya dan ujung dari jubah hitam
bersulam dengan motif awan samarnya.
“Su Su,” ia
mendesah.
Aku menyadari
ia memanggilku sebelumnya. Kakak Keempat sering mengeluh tentang betapa
pelupanya diriku, tetapi aku masih ingat semua namaku yang dipanggil oleh
orang-orang selama puluhan ribu tahun terakhir—Xiao Wu, Si Yin, Xiao Shi Qi,
dan yang terbaru adalah Gu Gu—tetapi
tak seorang pun pernah memanggilku Su Su.
(catatan : Xiao
Wu : Anak kelima, Xiao Shi Qi : Murid ke-17)
Beruntungnya,
Buntalan Ketan Kecil melepaskan kakiku di saat ia mengusap matanya, dan aku
berhasil mundur dengan cepat.
“Matamu
tampaknya bermasalah, teman dewa,” kataku sembari mengangkat kepalaku untuk
memberikannya sebuah senyuman. “Kau pasti salah mengenaliku dengan orang lain.”
Ia tidak
mengatakan apa pun, tetapi melihat dengan benar wajahnya membuatku tersentak.
Ayah si Buntalan Ketan Kecil mirip sekali dengan guru yang kuhormati, Mo Yuan.
Aku tersesat
dalam lamunan. Ia tampak begitu mirip dengan Mo Yuan, tetapi ia bukanlah Mo
Yuan. Tidak mungkin ia adalah Mo Yuan. Ia jauh lebih muda.
***
Selama
pemberontakan Klan Hantu 70.000 tahun yang lalu, Sungai Langit mengalir dengan
air yang bergejolak semantara udaranya menari bersamaan dengan api merah
membara. Mo Yuan menyegel Qing Cang, Raja Hantu di dalam Lonceng Dong Huang di
pinggir sungai Ruo, dan demi melakukannya, ia menggunakan seluruh penempaan energi
spiritualnya, dan jiwanya tercerai-berai.
Aku melakukan
semua hal yang kubisa untuk melindungi tubuhnya, mencurinya, dan membawanya
kembali ke Qing Qiu. Aku meletakkannya di dalam Gua Yan Hua, dimana aku meminumkannya
secangkir darah dari jantungku setiap bulannya. Tubuhnya masih terbaring di
sana, di dalam Gua Yan Hua.
Mo Yuan
merupakan putra tertua Ayah Alam Semesta, dan Dewa Perang dari Empat Lautan dan
Delapan Dataran. Aku tidak pernah membayangkan kalau suatu hari ia akan mati.
Bahkan sekarang, aku masih terbangun di tengah malam dari waktu ke waktu dan
mengingatkan diriku sendiri kalau ia sebenarnya telah tiada.
Aku masih
meminumkannya semangkuk darah dari jantungku tiap bulannya dengan keyakinan,
suatu hari nanti ia akan terbangun lagi, tersenyum samar, dan memanggilku
dengan nama yang dulu, Xiao Shi Qi. Aku menghabiskan hari demi hari menantinya
terbangun. Sudah 70.000 tahun sekarang.
Aku tersesat
dalam kenangan menyakitkan hingga tidak menyadari ayah Buntalan Ketan Kecil
mengulurkan satu tangannya ke arahku sampai lengan jubah lebarnya berkibar
mengenai wajahku. Secara naluriah aku memejamkan mataku. Ia melepaskan sutra
putihku dengan paksa, membelai keningku dengan jemari dinginnya, dan kemudian
mendadak berhenti.
“Ahhh! Ahhh!
Tidak pantas! Tidak pantas!” Buntalan Ketan Kecil mulai berteriak dengan suara
bergetar. Tidak pantas itu tepat sekali, dan urat di keningku mencuat penuh
amarah.
“Belajarlah
untuk menahan diri!” Aku meneriakinya. Sudah lama aku tidak menggunakan kalimat
ini, dan terdengar aneh.
Aku mencoba
mengingat kapan terakhir kalinya seseorang berani memperlakukanku dengan rasa
tidak hormat yang mencolok.
Aku pasti
menakuti Buntalan Ketan Kecil, saat ia menarik ujung gaunku, mengembik, “Ibu
... Ibu, mengapa kau marah?”
Ayahnya masih
terdiam untuk waktu yang lama.
Buntalan Ketan
Kecil awalnya menatap Ayahnya, lalu diriku, sebelum tanpa kata melekatkan
dirinya ke kakiku, yang mana terasa seperti sebuah pangsit goreng tersangkut
padaku.
Ayah Buntalan
Ketan Kecil terdiam selama beberapa saat sebelum mengikatkan kembali kain sutra
putihku. Ia mengambil beberapa langkah mundur.
“Kau benar,”
katanya datar. “Aku salah mengenalimu. Gadis yang kukenal tidak semengagumkan
ataupun sekuat dirimu. Tidak pula memikat. Aku meminta maaf atas segala kesalahan
yang kusebabkan.”
Sekarang,
karena sudah ada jarak di antara kami, aku bisa melihat kerah serta lengan dari
jubah hitam brokat yang dikenakan oleh Ayah si Buntalan, disulam dengan motif
naga hitam.
Tidak ada satu
tempat pun selain keluarga Tian Jun yang punya waktu ataupun kesabaran untuk
menyulam naga rumit di jubah mereka. Ayahanda ini pastinya seseorang yang
sangat berpengaruh, pakaiannya saja sudah mengatakannya.
Aku melihat ke
bawah lagi, pada si Buntalan Kecil, yang Ayahandanya mencoba untuk menarikku,
dan mendadak semuanya jadi jelas. Si pria berjubah hitam ini tak lain tak bukan
adalah kebanggaan serta kebahagiaan Tian Jun, cucunya, Putra Mahkota Ye Hua.
Setengah dari
amarahku langsung menghilang.
Putra
Mahkota Ye Hua. Tentu saja. Calon menantu lelaki ideal Ayahku. Sangat amat
muda. Kemungkinan calon suamiku.
Aku merasa
sangat kasihan terhadapnya, dan tak peduli seberapa kurang ajarnya ia barusan
ini terhadapku, aku merasa seharusnya dirikulah yang meminta maaf. Ia adalah
pemuda sempurna di usia 50.000 tahunannya dan ia berada di jurang terikat
pernikahan denganku, seorang wanita berusia 140.000 tahun. Itu adalah
kesepakatan yang patut disesalkan baginya.
Aku berhasil
menyerap sisa setengah amarahku kembali ke perutku. Aku khawatir cara berdiriku
tidak cukup tenang dan senyumanku tidak semenyenangkan yang terlihat.
“Mari lupakan
diskusi tentang siapa yang menyinggung siapa,” balasku. “Hal-hal di antara
sesama makhluk abadi harus tetap berbudi.”
Ia memandangku
dengan mata tenang dan dingin.
Aku berpindah
ke samping dan membiarkan mereka berdua lewat.
Si Buntalan
Ketan Kecil masih terisak dan memanggil, “Ibu.”
Menyadari bahwa
aku mungkin menjadi ibu tirinya di masa yang akan datang, aku tersenyum dan
menerima panggilan ini. Mata Buntalan Ketan Kecil bersinar, dan ia mengangkat
sebelah kakinya, bersiap untuk melompat, tetapi ayahnya menahannya.
Putra Mahkota
Ye Hua memberikanku ekspresi aneh, yang kutanggapi dengan senyuman.
Buntalan masih
berusaha keras untuk membebaskan diri. Ye Hua mengangkatnya, dan mereka berdua
berjalan ke sudut.
Dalam sekejap,
mereka sudah benar-benar menghilang, bahkan tidak ada lapisan pakaiannya yang
terlihat.
Tiba-tiba saja
aku teringat akan perjamuan besarnya. Aku masih tersesat dan aku membiarkan
keduanya pergi. Siapa yang akan membawaku keluar dari tamannya sekarang?
Cepat-cepat aku
mengejar ke arah yang dituju mereka, tetapi aku tidak bisa melihat tanda-tanda
mereka.
0 comments:
Posting Komentar