Minggu, 15 November 2020

3L3W TMOPB - Chapter 2 Part 2

Ten Miles of Peach Blossoms 

Chapter 2 Part 2


Sepertinya, perjamuannya belum akan dimulai selama beberapa jam lagi, meskipun sudah ada cukup banyak dewa-dewi yang hadir. Mereka berkumpul di aula besar, berkerumun dalam kelompok terdiri dari dua atau tiga orang.

Aku teringat kembali perjamuan ulang tahun Ayah belum lama ini, yang mana semua tamunya sudah muncul, tetapi tidak ada satu pun dari mereka yang tepat waktu. Semua dewa-dewi, tua dan muda, semuanya menunjukkan entusiasme yang sama dengan muncul lebih awal untuk perjamuan satu bulanan putra Raja Laut Timur. Cara kerja dunia ini jelas sekali sudah berubah, memberi dewa-dewi zaman sekarang lebih banyak waktu senggang.

Dua pelayan istana membawa Putri Lu Xiu menemui Raja Laut Timur, yang kulihat mempunyai pesona elegan yang mengingatkan akan leluhurnya. Aku jadi berada di bagian belakang kelompok dan bercampur dengan keramaian dewa-dewi.

Aku berbalik untuk mencari seorang pelayan supaya membawaku ke sebuah ruangan dimana aku dapat beristirahat sejenak; ini merupakan perjalanan yang panjang, dan aku agak lelah. Tetapi setiap makhluk yang ada di aula memandang penuh kekaguman pada Putri Lu Xiu, dan tidak ada seorang pun yang memanduku.

Bicara secara objektif, Putri Lu Xiu tidak bisa dibandingkan dengan leluhur prasejarah dalam hal penampilan; kakak iparku semuanya jauh lebih menarik. Tetapi sepertinya generasi dewa-dewi zaman sekarang kekurangan banyak wanita cantik.

Para pelayan tercengang oleh kecantikannya. Ekspresi mabuk terpampang di wajah mereka saat mereka menatap gadis cantik. Aku merasa tidak enak mengganggu dan menarik mereka pergi, jadi aku malah berkeliaran ke atas dan bawah aula selama beberapa waktu dan menemukan sebuah jalan sepi untuk menyelinap.

Aku mempertimbangkan akan lebih baik untuk tidur sejenak sekarang atau menunggu sampai perjamuannya, menyerahkan hadiahku, makan sesuatu, dan pulang lebih awal. Aku teringat wajah putus asa Mi Gu saat ia mengantar kepergianku. Aku tidak bertanya kepadanya tentang itu karena aku takut akan terjebak mendengarkannya bercerita, tetapi sekarang karena aku punya waktu untuk memikirkannya, aku mulai merasa terganggu dan bersemangat untuk pulang dan menanyainya ada masalah apa.

Aku berbelok kesana kemari, namun, bahkan dengan istana sebesar ini, aku tidak berhasil menemukan sebuah tempat yang cocok untuk berbaring. Aku hanya akan kembali ke aula besar, tetapi saat aku berbalik, aku menyadari kalau aku tidak tahu jalannya. Aku merogoh ke dalam lengan jubahku, tetapi ranting Mi Gu-ku sudah menghilang. Dengan suramnya aku terhadap arah, aku harus berdoa jika aku ingin berharap menemukan jalan kembali ke perjamuannya sebelum berakhir.

Saat aku berdiri di sana, tidak yakin arah mana untuk berjalan, aku teringat sebuah filosofi yang Kakak Keempat ajarkan kepadaku, salah satu yang kuingat sejak itu: Tidak ada jalan sempit atau jalan raya saat dunia dimulai; jalan kita yang tak beraturanlah yang menciptakan mereka. Kehilangan ranting Mi Gu di saat seperti ini memberikanku dua pilihan: entah aku duduk diam dan menunggu ditemukan atau aku mengambil kesempatan dengan memilih satu arah dan berjalan.

Jalan yang kupilih membawaku langsung ke taman belakang Raja Laut Timur, yang mana didekorasi dalam warna hijau yang berlebihan, tepat seperti bagian lainnya dari istana. Terasa seperti sebuah labirin, dan aku berjalan selama lebih dari satu jam tanpa menemukan sebuah jalan keluar.

Setelah beberapa jam berputar-putar, aku memutuskan untuk meminta saran pada takdir. Saat aku mendekati persimpangan jalan, aku membungkuk untuk memungut sebatang ranting. Aku memeganginya di telapak tanganku, memejamkan mata, dan melemparkannya. Rantingnya jatuh menunjuk ke arah jalan di kiri. Aku mengibaskan dedaunan yang rontok dari jemariku dan mulai berjalan ke arah jalan di kanan.

Takdir selalu agak menipu, dan kapan saja aku butuh saran darinya, aku merasa bijaksana untuk bertindak berlawanan dengan apa yang dikatakannya.

Aku sudah berkeliaran di taman belakang ini sekian lama dan tidak melihat banyak seperti seekor ular air, tetapi baru beberapa ratus langkah setelah menjatuhkan rantingku dan melawan saran Takdir, aku bertemu seorang bocah lelaki yang begitu gemuk dan pucat, ia terlihat seperti gumpalan ketan yang bernapas.

Si anak gumpalan ketan yang putih dan empuk ini rambutnya digelung jadi dua, satu di tiap sisi kepalanya, dan mengenakan jubah hijau tua bersulam. Ia bertengger di atas sekelompok koral hijau, dan kalau aku tidak melihat dengan saksama, aku mungkin akan mengira ia adalah bagian dari koralnya dan benar-benar tidak melihatnya.

Sepertinya, ia adalah putra dewa.

Kepalanya tertunduk, asyik menarik-narik rumput lili air dari koralnya. Aku memperhatikannya selama beberapa saat sebelum berjalan menghampiri untuk menyapanya.

“Buntalan Ketan Kecil, apa yang sedang kau lakukan di atas sana?”

“Aku sedang menarik rerumputan ini,” ia berkata tanpa mengangkat kepalanya. “Ayahandaku bilang kalau koral yang tersembunyi di bawah rerumputan ini adalah benda yang paling indah di seluruh Laut Timur. Aku belum pernah melihatnya, jadi aku menyingkirkan rerumputan ini untuk melihatnya.”

Ayahanda? Jadi ia adalah Pangeran Kecil Klan Langit.

Aku merasa kasihan padanya, menghabiskan semua tenaganya menarik rerumputan itu dan ingin membantunya. Aku mengeluarkan kipas dari lengan jubahku dan meletakkannya di depannya.

“Kau bisa menggunakan kipas ini dan mengayunkannya perlahan,” aku menjelaskan bersemangat. “Rerumputannya akan menghilang tanpa jejak, membiarkan koralnya menunjukkan wajahnya.”

Ia menarik segenggam rumput dengan tangan kirinya dan mengambil kipasnya dariku dengan tangan kanannya, dan mulai sedikit mengayunkannya. Angin liar mendadak muncul dari tanah, dan seluruh istananya berguncang tiga kali. Ombak dari air laut yang gelap berjatuhan dari sepuluh kaki di atas kami dengan deruan yang keras dan seperti energi dari sebilah pedang yang dihunuskan dari sarungnya atau seperti seekor kuda liar yang lepas kendali dari tali kekangnya.

Hanya dalam beberapa menit, Istana Kristal Air Raja Laut Timur sudah mengalami perubahan sepenuhnya dan sekarang telah berkilau dengan cerahnya.

Aku kehabisan kata-kata.

Kekuatan yang dihasilkan Kipas Bo Yun-ku sepenuhnya tergantung pada kekuatan abadi dari pemegangnya. Aku tidak menyangka si buntalan ketan kecil muda ini memiliki kekuatan yang begitu luar biasa.

Aku ingin menepuk tanganku dan memujinya, tetapi aku menahan diri.

Si Buntalan Ketan Kecil terguling di lantai dan mendarat dengan bokongnya. Ia menatapku, sangat terkejut.

“Oh, tidak, apakah aku sudah menyebabkan malapetaka?” ia menjerit cemas.

“Tenang saja,” aku memberitahunya. “Kau tidak menyebabkan malapetaka. Akulah yang memberikanmu ki—“

Sebelum aku menyelesaikan kalimatku, aku melihat mata si Buntalan Ketan Kecil terbuka lebar. Aku menduga, melihat kain sutra putih menutupi hampir seluruh wajahku pastinya membuat si bocah kecil ini ketakutan dan baru saja akan meletakkan tanganku untuk menutupinya, tetapi ia bergegas mendekat dan memegangi kakiku, berteriak, “Ibu!”

Aku tercengang dan terdiam.

Ia terus memeluk kakiku dan menangis menyayat hati.

“Ibu, Ibu!” ia meratap. “Mengapa kau meninggalkanku? Mengapa kau meninggalkan A Li dan Ayahanda?” Ia berhenti untuk mengelap mata berairnya dan hidung beringusnya dengan ujung gaunku.

Terancam oleh tangisannya, aku memutar otakku, mencoba mengingat apakah aku pernah, dalam ribuan tahunku, melakukan sesuatu yang dapat ditafsirkan sebagai meninggalkan seorang suami dan anak. Saat aku sedang mempertimbangkan ini, mendadak aku mendengar sebuah suara dalam di belakangku.

“Su Su ...?”

Si Buntalan Ketan Kecil mengangkat kepalanya dan memanggil, “Ayahanda,” dengan suara pelan. Ia masih menempel erat di kakiku sampai mustahil bagiku untuk berbalik. Karena aku jauh lebih tua, aku merasa tidak tepat untuk membungkuk dan melepaskan jarinya dariku secara paksa, jadi aku hanya berdiri di sana, dengan dirinya menempeliku seperti itu.

Ayahanda datang dan berdiri di hadapanku. Ia begitu dekat, dengan kepalaku yang tertunduk, yang dapat kulihat adalah sepatu awan bersol hitamnya dan ujung dari jubah hitam bersulam dengan motif awan samarnya.

“Su Su,” ia mendesah.

Aku menyadari ia memanggilku sebelumnya. Kakak Keempat sering mengeluh tentang betapa pelupanya diriku, tetapi aku masih ingat semua namaku yang dipanggil oleh orang-orang selama puluhan ribu tahun terakhir—Xiao Wu, Si Yin, Xiao Shi Qi, dan yang terbaru adalah Gu Gu—tetapi tak seorang pun pernah memanggilku Su Su.

(catatan : Xiao Wu : Anak kelima, Xiao Shi Qi : Murid ke-17)

Beruntungnya, Buntalan Ketan Kecil melepaskan kakiku di saat ia mengusap matanya, dan aku berhasil mundur dengan cepat.

“Matamu tampaknya bermasalah, teman dewa,” kataku sembari mengangkat kepalaku untuk memberikannya sebuah senyuman. “Kau pasti salah mengenaliku dengan orang lain.”

Ia tidak mengatakan apa pun, tetapi melihat dengan benar wajahnya membuatku tersentak. Ayah si Buntalan Ketan Kecil mirip sekali dengan guru yang kuhormati, Mo Yuan.

Aku tersesat dalam lamunan. Ia tampak begitu mirip dengan Mo Yuan, tetapi ia bukanlah Mo Yuan. Tidak mungkin ia adalah Mo Yuan. Ia jauh lebih muda.

***

Selama pemberontakan Klan Hantu 70.000 tahun yang lalu, Sungai Langit mengalir dengan air yang bergejolak semantara udaranya menari bersamaan dengan api merah membara. Mo Yuan menyegel Qing Cang, Raja Hantu di dalam Lonceng Dong Huang di pinggir sungai Ruo, dan demi melakukannya, ia menggunakan seluruh penempaan energi spiritualnya, dan jiwanya tercerai-berai.

Aku melakukan semua hal yang kubisa untuk melindungi tubuhnya, mencurinya, dan membawanya kembali ke Qing Qiu. Aku meletakkannya di dalam Gua Yan Hua, dimana aku meminumkannya secangkir darah dari jantungku setiap bulannya. Tubuhnya masih terbaring di sana, di dalam Gua Yan Hua.

Mo Yuan merupakan putra tertua Ayah Alam Semesta, dan Dewa Perang dari Empat Lautan dan Delapan Dataran. Aku tidak pernah membayangkan kalau suatu hari ia akan mati. Bahkan sekarang, aku masih terbangun di tengah malam dari waktu ke waktu dan mengingatkan diriku sendiri kalau ia sebenarnya telah tiada.

Aku masih meminumkannya semangkuk darah dari jantungku tiap bulannya dengan keyakinan, suatu hari nanti ia akan terbangun lagi, tersenyum samar, dan memanggilku dengan nama yang dulu, Xiao Shi Qi. Aku menghabiskan hari demi hari menantinya terbangun. Sudah 70.000 tahun sekarang.

Aku tersesat dalam kenangan menyakitkan hingga tidak menyadari ayah Buntalan Ketan Kecil mengulurkan satu tangannya ke arahku sampai lengan jubah lebarnya berkibar mengenai wajahku. Secara naluriah aku memejamkan mataku. Ia melepaskan sutra putihku dengan paksa, membelai keningku dengan jemari dinginnya, dan kemudian mendadak berhenti.

“Ahhh! Ahhh! Tidak pantas! Tidak pantas!” Buntalan Ketan Kecil mulai berteriak dengan suara bergetar. Tidak pantas itu tepat sekali, dan urat di keningku mencuat penuh amarah.

“Belajarlah untuk menahan diri!” Aku meneriakinya. Sudah lama aku tidak menggunakan kalimat ini, dan terdengar aneh.

Aku mencoba mengingat kapan terakhir kalinya seseorang berani memperlakukanku dengan rasa tidak hormat yang mencolok.

Aku pasti menakuti Buntalan Ketan Kecil, saat ia menarik ujung gaunku, mengembik, “Ibu ... Ibu, mengapa kau marah?”

Ayahnya masih terdiam untuk waktu yang lama.

Buntalan Ketan Kecil awalnya menatap Ayahnya, lalu diriku, sebelum tanpa kata melekatkan dirinya ke kakiku, yang mana terasa seperti sebuah pangsit goreng tersangkut padaku.

Ayah Buntalan Ketan Kecil terdiam selama beberapa saat sebelum mengikatkan kembali kain sutra putihku. Ia mengambil beberapa langkah mundur.

“Kau benar,” katanya datar. “Aku salah mengenalimu. Gadis yang kukenal tidak semengagumkan ataupun sekuat dirimu. Tidak pula memikat. Aku meminta maaf atas segala kesalahan yang kusebabkan.”

Sekarang, karena sudah ada jarak di antara kami, aku bisa melihat kerah serta lengan dari jubah hitam brokat yang dikenakan oleh Ayah si Buntalan, disulam dengan motif naga hitam.

Tidak ada satu tempat pun selain keluarga Tian Jun yang punya waktu ataupun kesabaran untuk menyulam naga rumit di jubah mereka. Ayahanda ini pastinya seseorang yang sangat berpengaruh, pakaiannya saja sudah mengatakannya.

Aku melihat ke bawah lagi, pada si Buntalan Kecil, yang Ayahandanya mencoba untuk menarikku, dan mendadak semuanya jadi jelas. Si pria berjubah hitam ini tak lain tak bukan adalah kebanggaan serta kebahagiaan Tian Jun, cucunya, Putra Mahkota Ye Hua.

Setengah dari amarahku langsung menghilang.

Putra Mahkota Ye Hua. Tentu saja. Calon menantu lelaki ideal Ayahku. Sangat amat muda. Kemungkinan calon suamiku.

Aku merasa sangat kasihan terhadapnya, dan tak peduli seberapa kurang ajarnya ia barusan ini terhadapku, aku merasa seharusnya dirikulah yang meminta maaf. Ia adalah pemuda sempurna di usia 50.000 tahunannya dan ia berada di jurang terikat pernikahan denganku, seorang wanita berusia 140.000 tahun. Itu adalah kesepakatan yang patut disesalkan baginya.

Aku berhasil menyerap sisa setengah amarahku kembali ke perutku. Aku khawatir cara berdiriku tidak cukup tenang dan senyumanku tidak semenyenangkan yang terlihat.

“Mari lupakan diskusi tentang siapa yang menyinggung siapa,” balasku. “Hal-hal di antara sesama makhluk abadi harus tetap berbudi.”

Ia memandangku dengan mata tenang dan dingin.

Aku berpindah ke samping dan membiarkan mereka berdua lewat.

Si Buntalan Ketan Kecil masih terisak dan memanggil, “Ibu.”

Menyadari bahwa aku mungkin menjadi ibu tirinya di masa yang akan datang, aku tersenyum dan menerima panggilan ini. Mata Buntalan Ketan Kecil bersinar, dan ia mengangkat sebelah kakinya, bersiap untuk melompat, tetapi ayahnya menahannya.

Putra Mahkota Ye Hua memberikanku ekspresi aneh, yang kutanggapi dengan senyuman.

Buntalan masih berusaha keras untuk membebaskan diri. Ye Hua mengangkatnya, dan mereka berdua berjalan ke sudut.

Dalam sekejap, mereka sudah benar-benar menghilang, bahkan tidak ada lapisan pakaiannya yang terlihat.

Tiba-tiba saja aku teringat akan perjamuan besarnya. Aku masih tersesat dan aku membiarkan keduanya pergi. Siapa yang akan membawaku keluar dari tamannya sekarang?

Cepat-cepat aku mengejar ke arah yang dituju mereka, tetapi aku tidak bisa melihat tanda-tanda mereka.

Related Posts:

0 comments:

Posting Komentar