Minggu, 15 November 2020

3L3W TMOPB - Chapter 8 Part 3

Ten Miles of Peach Blossoms

Chapter 8 Part 3


Aku berbalik dan menabrakkan kepalaku pada dada kuat seseorang yang berbau alkohol. Aku mengusap hidungku dan mundur beberapa langkah untuk melihat lebih jelas.

Di hadapanku, berdiri seorang pria dengan kipas di tangannya. Mata sipitnya menyala saat ia memandangiku. Ia punya wajah yang menyenangkan, tetapi dengan terlalu banyaknya api dalam organnya, sudah membuat kulitnya kusam. Sudah jelas, ia terlalu rajin mengharmonisasi, dan nafsu itu melelahkan ginjalnya.

Mengayunkan kipasnya di depan wajahku, ia berkata, “Aku terpana dengan betapa menariknya dirimu, Tuan.”

Sepertinya, ia adalah bajingan dari keluarga kaya. Aku menghela napas. Aroma alkohol yang menguar dari kipasnya mengalahkanku dan mulai membuatku merasa pusing.

Aku menyatukan kedua tanganku untuk membungkuk enggan dan mengucapkan kata-kata, “Kau terlalu memuji.”

Aku menarik tangan Buntalan untuk membawanya keluar dari bangunan itu, tetapi pria itu mencondongkan dirinya, menghadang langkahku. Ia menarik satu tanganku.

“Betapa cantik, pucat, dan lembutnya tanganmu ini,” katanya sembari terkekeh.

Aku tercengang sampai terdiam.

Pengalaman awalku di dunia manusia mengajariku bahwa wanita yang keluar di tempat umum sering kali menjadikan mereka sebagai bahan nafsu dan ditempeli seperti ini, tetapi belakangan ini, pria pun tidak aman. Buntalan menjaga jarak dengan pria berkipas itu, sepotong kue kacang hijau di mulutnya.

Aku menjaga jarakku dengannya juga. Pria berkipas ini beruntung hari ini: ia berhasil menyentuh seorang Dewi Agung. Ini pertama kalinya aku didekati oleh seorang manusia. Aku tidak berencana untuk bertengkar dengannya lebih lama dari yang diperlukan. Dengan anggun kutarik tanganku kembali untuk menyampaikan maksudku dengan jelas. Tetapi pria bodoh ini langsung mendekat.

“Aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Maukah kau ...?” Babi nakal ini mengulurkan lengannya untuk diletakkan di sekeliling pinggangku.

Seringnya, aku adalah seorang Dewi Agung yang pemaaf, tetapi mengahadapi yang begini, mengeringkan rasa pengampunanku. Aku memutuskan aku akan melemparkan satu mantra untuk membekukannya. Aku bisa mengikatnya di pohon di hutan terdekat selama beberapa hari dan memberikannya pelajaran yang tak akan terlupakan olehnya untuk beberapa waktu.

Saat aku sedang memikirkan hal ini, aku merasakan pergerakan dari belakang. Seseorang bergegas dan menarikku ke dalam pelukannya. Aku mengangkat kepalaku dan menyapa si pemilik lengan yang familier ini.

“Ye Hua, kau datang tepat pada waktunya!”

Ye Hua menggenggamku dengan satu tangan. Cahaya dingin berkilauan dari lentera yang terang, mengenai jubah hitamnya. Ia teresenyum seram pada si pria bertampang kebingungan dengan kipasnya dan berkata, “Kau mendekati istriku dan kelihatannya sangat menikmatinya.”

Sebagai calon Tian  Hou, teknisnya, kurasa aku memang istrinya. Dan fakta bahwa aku didekati seperti ini sudah jelas memalukan bagi Ye Hua. Masih memelukku, ia menarik si pengecut bejat itu dan mencercanya, seperti yang seharusnya dilakukan seorang suami. Aku membiarkan diriku dipeluknya sementara ia mendekati si bejat gasang ini, seperti yang seharusnya dilakukan seorang istri.

Buntalan sudah menghabiskan setengah kue kacang hijau itu sekarang dan sedang menjilati sudut-sudut bibirnya.

“Kau sudah membuat Ayah benar-benar, sangat marah,” ia memberitahu si pria berkipas dengan suara yang tulus. “Ayah jarang sekali marah, tetapi kau pastinya sangatlah berbakat. Sudah waktunya untuk mengucapkan salam perpisahan untukmu sekarang. Selamat tinggal!”

Buntalan mengambil posisi di sebelahku. Pria dengan kipas itu marah.

“Apakah kau tahu siapa aku, huh?” cibirnya. “Huh—“

Tetapi, ia menghilang sebelum ia sempat menyelesaikan ucapannya.

“Apa yang kau lakukan padanya?” aku berbalik bertanya pada Ye Hua.

Ye Hua melihat ke arah cahaya temaram dimana lampu-lampu berkedap-kedip di kota menghilang.

“Sebuah hutan berhantu di dekat sini,” katanya tenang.

Aku tercengang. Pikiran yang hebat.

Ye Hua menatap ke kejauhan dan setelahnya menatapku dengan cermat.

“Mengapa kau tidak menyembunyikan dirimu saat ia mulai mengambil keuntungan?” tanyanya.

“Bukan apa-apa, hanya tangan yang menjelajah,” kataku tanpa perlawanan.

Ia merendahkan kepalanya, wajahnya tanpa ekspresi, dan mencium bibirku.

Aku terlalu tertegun untuk berekasi.

Ia menatapku, wajahnya masih tenang, dan berkata, “Dan itu tidak lebih dari bibir yang menjelajah!”

Sesuatu tentang hari ini membuatku merasa lebih ringan daripada saat aku masih seorang remaja berusia 90.000 tahun. Buntalan kecil berdiri di samping dan menutup mulutnya untuk terkikik. Ia mulai tersedak kue kacang hijaunya sampai tidak dapat bernapas.

***

Malam itu, kami membawa Buntalan untuk mengapungkan lentara di danau. Lentera-lentera ini tampak seperti bunga teratai dengan lilin kecil yang menyala di bagian tengahnya. Manusia meletakkan mereka di atas air untuk meminta sesuatu atau berdoa.

Buntalan memegangi lenteranya dan mulai menggumamkan doanya. Ia berdoa agar panen berasnya penuh, ternak domestiknya berkembang, dan kedamaian serta harmoni untuk seluruh makhluk di bawah langit. Akhirnya, ia puas dengan doa-doanya dan melepaskan lenteranya di air.

Lentera kecilnya berhasil tetap mengapung terlepas dari beratnya semua doa yang dibawanya. Berputar-putar membentuk lingkaran, dan saat anginnya bertiup, lentera itu terayun dari satu sisi ke sisi lainnya sebelum mengapung menjauh. Ye Hua menyerahkanku sebuah lentera juga. Saat manusia berdoa, mereka meminta perlindungan kepada para dewa-dewi, tetapi, kepada siapakah para dewa-dewi ini berdoa meminta perlindungan?

Ye Hua tersenyum samar.

“Ucapkan saja keinginan apa pun. Kau tidak sungguh berpikir kalau mengucapkan doa dan meletakkan sebuah lentera di danau akan membuat semuanya berjalan lancar, kan?” katanya, terdengar sangat logis.

Canggung, kuterima lentera kecil itu dan berjalan menghampiri Buntalan untuk melepaskannya bersamanya.

Itu adalah hari yang sempurna.

Di saat kami selesai dengan lentera danau kami, Buntalan begitu kelelahan sampai ia tidak sanggup lagi menjaga matanya tetap terbuka. Ia masih punya cukup tenaga untuk mengucapkan.

“Tidak usah kembali ke Qing Qiu malam ini. Aku ingin menghabiskan malam di dunia manusia, melihat seperti apa ranjang manusia dan seperti apa selimutnya terasa.”

Bunyi lonceng penjaga pun terdengar, menandakan malam hari. Kami berkeliaran di sekitar jalanan dan gang, tetapi semua pintu dengan dua lentera tergantung dan kata-kata penginapan tertulis di atas mereka, semuanya tutup.

Pusat kotanya kecil, tetapi itu adalah tempat yang terkenal dengan pengunjung. Kami mengetuk pintu dari dua penginapan sebelum menemukan satu yang masih punya kamar kosong. Buntalan kecil sudah jauh tertidur dalam dekapan Ye Hua saat itu.

Penjaga penginapannya sendiri setengah tertidur.

“Kalian, dua pria tidak keberatan berbagi ranjang bersama untuk semalam, kan?” tanyanya sembari menguap. “Hanya ada tiga penginapan di kota ini, dan penginapan milik Wang dan Li keduanya sudah penuh. Beruntungnya kalian, seseorang baru saja keluar dari sini, jadi kami punya satu kamar kosong.”

Ye Hua mengangguk kecil, dan penjaga penginapannya meneriaki seseorang di dalam. Pengangkut barangnya keluar, lengannya menggapai-gapai selagi ia berusaha mengikatkan lengan bajunya. Ia berlari ke depan untuk membawa kami ke kamar kami.

Ia membawa kami ke lantai dua, di sudut dan membuka pintu. Ye Hua meletakkan Buntalan di atas ranjang dan meminta si pengangkut barang untuk membawakan kami air agar kami dapat membersihkan diri. Pada saat itu, perutku berbunyi.

Ye Hua melirik penuh makna dan berkata, “Dan bisakah kau sekalian membuatkan kami sedikit makanan untuk dimakan?”

Si pengangkut barang terlihat kelelahan dan jelas sekali ingin menyelesaikan menunggui kami agar ia bisa kembali tidur. Dengan cepat ia muncul dengan air dan makanannya. Mereka adalah makanan yang sederhana: daging sapi dimasak asin, iga merica dan garam, juga tahu daun bawang.

Aku mengangkat sumpitku dan memakan beberapa suap, tetapi sudah cukup. Biasanya aku bukanlah seorang pemilih makanan, tetapi masakan Ye Hua jelas sekali membuatku berselera lebih tinggi.

Ye Hua duduk di bawah lenteranya, membaca. Ia mengangkat kepalanya untuk menatapku, dan setelahnya ke arah tiga makanan di atas meja.

“Jangan dimakan kalau kau tidak mau. Bersihkan diri saja dan pergi tidur.”

Itu adalah kamar biasa dengan satu ranjang. Aku menatap ranjangnya dan meragu sejenak sebelum berbaring di atasnya dengan pakaian lengkap.

Ye Hua tidak menyebutkan soal pengaturan tidurnya. Ia sangat sopan sampai mungkin saja tidak tampak jadi masalah baginya. Apabila aku menyinggungnya, takutnya aku malah dianggap terlalu tegang.

Aku memindahkan si Buntalan yang tertidur lelap ke bagian tengah ranjang, meletakkan selimut besarnya di samping, dan berbaring di sisi dinding ranjangnya. Ye Hua masih duduk di bawah lentera dengan dokumennya.

Di tengan malam, berkabut karena tertidur, aku merasa seolah ada sepasang lengan yang membungkus diriku. Aku bisa merasakan seseorang memelukku dan menghela napasnya di telingaku.

“Aku selalu tahu tentang watakmu, tetapi aku tidak tahu seberapa keras kepalanya dirimu. Jika kau sudah melupakan masa lalu dan hal-hal yang pernah terjadi, maka kau melupakannya. Aku berharap, kau akan mengingatnya, juga berharap kau akan melupakan mereka ...”

Mengira itu hanyalah potongan dari mimpi, aku berbalik dan merengkuh Buntalan dalam pelukanku, dan mengelusnya, aku kembali tertidur dengan damai.

***

Sudah sepenuhnya terang di luar sana ketika aku merangkak keluar dari ranjang di pagi berikutnya. Ye Hua duduk dengan posisi yang sama, membaca dokumennya. Perbedaannya adalah, lilinya sudah tak lagi menyala.

Aku bingung. Apakah ia membaca sepanjang malam? Atau, ia sudah tidur, bangun sebelum diriku, dan duduk kembali untuk meneruskan membaca?

Buntalan memberi isyarat agar aku ke mejanya.

“Ibu, Ibu, bubur nasi ini lezat dan kental. A Li sudah menyendokkannya untukmu.”

Aku mengelus kepalanya dan menyebutnya anak yang sangat baik. Aku membersihkan diri dan memakan buburku. Rasa dan konsistensinya persis dengan bubur yang dibuatkan Ye Hua di rumah.

Aku mengangkat kepalaku dan menatapnya. Dengan kepala yang masih ditundukkan, ia berkata, “Kau terlihat tidak antusias dengan makanan di sini semalam, dan aku cemas A Li juga tidak akan menyukainya, jadi aku menggunakan dapur mereka untuk membuatkan kita bubur.”

“Aku pun tidak menyukai makanan yang dimasakkan si Putri Laut Timur itu saat kita berada di Gunung Jun Ji, tetapi Ayahanda tidak pernah membuatkan makanan hanya untukku,” Buntalan menggerutu.

Ye Hua berdeham.

Aku sudah diperlakukan dengan sangat baik dan tidak ingin menyebabkan masalah apa pun, jadi aku menundukkan kepalaku dan fokus pada bubur yang lezat ini.

Related Posts:

0 comments:

Posting Komentar