Ten Miles of Peach Blossoms
Chapter 8 Part 3
Aku berbalik
dan menabrakkan kepalaku pada dada kuat seseorang yang berbau alkohol. Aku
mengusap hidungku dan mundur beberapa langkah untuk melihat lebih jelas.
Di hadapanku,
berdiri seorang pria dengan kipas di tangannya. Mata sipitnya menyala saat ia
memandangiku. Ia punya wajah yang menyenangkan, tetapi dengan terlalu banyaknya
api dalam organnya, sudah membuat kulitnya kusam. Sudah jelas, ia terlalu rajin
mengharmonisasi, dan nafsu itu
melelahkan ginjalnya.
Mengayunkan
kipasnya di depan wajahku, ia berkata, “Aku terpana dengan betapa menariknya
dirimu, Tuan.”
Sepertinya, ia
adalah bajingan dari keluarga kaya. Aku menghela napas. Aroma alkohol yang
menguar dari kipasnya mengalahkanku dan mulai membuatku merasa pusing.
Aku menyatukan
kedua tanganku untuk membungkuk enggan dan mengucapkan kata-kata, “Kau terlalu memuji.”
Aku menarik
tangan Buntalan untuk membawanya keluar dari bangunan itu, tetapi pria itu
mencondongkan dirinya, menghadang langkahku. Ia menarik satu tanganku.
“Betapa cantik,
pucat, dan lembutnya tanganmu ini,” katanya sembari terkekeh.
Aku tercengang
sampai terdiam.
Pengalaman
awalku di dunia manusia mengajariku bahwa wanita yang keluar di tempat umum
sering kali menjadikan mereka sebagai bahan nafsu dan ditempeli seperti ini,
tetapi belakangan ini, pria pun tidak aman. Buntalan menjaga jarak dengan pria
berkipas itu, sepotong kue kacang hijau di mulutnya.
Aku menjaga
jarakku dengannya juga. Pria berkipas ini beruntung hari ini: ia berhasil
menyentuh seorang Dewi Agung. Ini pertama kalinya aku didekati oleh seorang
manusia. Aku tidak berencana untuk bertengkar dengannya lebih lama dari yang
diperlukan. Dengan anggun kutarik tanganku kembali untuk menyampaikan maksudku
dengan jelas. Tetapi pria bodoh ini langsung mendekat.
“Aku jatuh
cinta pada pandangan pertama. Maukah kau ...?” Babi nakal ini mengulurkan lengannya
untuk diletakkan di sekeliling pinggangku.
Seringnya, aku
adalah seorang Dewi Agung yang pemaaf, tetapi mengahadapi yang begini,
mengeringkan rasa pengampunanku. Aku memutuskan aku akan melemparkan satu
mantra untuk membekukannya. Aku bisa mengikatnya di pohon di hutan terdekat
selama beberapa hari dan memberikannya pelajaran yang tak akan terlupakan
olehnya untuk beberapa waktu.
Saat aku sedang
memikirkan hal ini, aku merasakan pergerakan dari belakang. Seseorang bergegas
dan menarikku ke dalam pelukannya. Aku mengangkat kepalaku dan menyapa si
pemilik lengan yang familier ini.
“Ye Hua, kau
datang tepat pada waktunya!”
Ye Hua
menggenggamku dengan satu tangan. Cahaya dingin berkilauan dari lentera yang
terang, mengenai jubah hitamnya. Ia teresenyum seram pada si pria bertampang
kebingungan dengan kipasnya dan berkata, “Kau mendekati istriku dan
kelihatannya sangat menikmatinya.”
Sebagai calon
Tian Hou, teknisnya, kurasa aku memang
istrinya. Dan fakta bahwa aku didekati seperti ini sudah jelas memalukan bagi
Ye Hua. Masih memelukku, ia menarik si pengecut bejat itu dan mencercanya,
seperti yang seharusnya dilakukan seorang suami. Aku membiarkan diriku
dipeluknya sementara ia mendekati si bejat gasang ini, seperti yang seharusnya
dilakukan seorang istri.
Buntalan sudah
menghabiskan setengah kue kacang hijau itu sekarang dan sedang menjilati
sudut-sudut bibirnya.
“Kau sudah
membuat Ayah benar-benar, sangat marah,” ia memberitahu si pria berkipas dengan
suara yang tulus. “Ayah jarang sekali marah, tetapi kau pastinya sangatlah
berbakat. Sudah waktunya untuk mengucapkan salam perpisahan untukmu sekarang.
Selamat tinggal!”
Buntalan
mengambil posisi di sebelahku. Pria dengan kipas itu marah.
“Apakah kau
tahu siapa aku, huh?” cibirnya. “Huh—“
Tetapi, ia
menghilang sebelum ia sempat menyelesaikan ucapannya.
“Apa yang kau
lakukan padanya?” aku berbalik bertanya pada Ye Hua.
Ye Hua melihat
ke arah cahaya temaram dimana lampu-lampu berkedap-kedip di kota menghilang.
“Sebuah hutan
berhantu di dekat sini,” katanya tenang.
Aku tercengang.
Pikiran yang hebat.
Ye Hua menatap
ke kejauhan dan setelahnya menatapku dengan cermat.
“Mengapa kau
tidak menyembunyikan dirimu saat ia mulai mengambil keuntungan?” tanyanya.
“Bukan apa-apa,
hanya tangan yang menjelajah,” kataku tanpa perlawanan.
Ia merendahkan
kepalanya, wajahnya tanpa ekspresi, dan mencium bibirku.
Aku terlalu
tertegun untuk berekasi.
Ia menatapku,
wajahnya masih tenang, dan berkata, “Dan itu tidak lebih dari bibir yang
menjelajah!”
Sesuatu tentang
hari ini membuatku merasa lebih ringan daripada saat aku masih seorang remaja
berusia 90.000 tahun. Buntalan kecil berdiri di samping dan menutup mulutnya
untuk terkikik. Ia mulai tersedak kue kacang hijaunya sampai tidak dapat
bernapas.
***
Malam itu, kami
membawa Buntalan untuk mengapungkan lentara di danau. Lentera-lentera ini
tampak seperti bunga teratai dengan lilin kecil yang menyala di bagian
tengahnya. Manusia meletakkan mereka di atas air untuk meminta sesuatu atau
berdoa.
Buntalan
memegangi lenteranya dan mulai menggumamkan doanya. Ia berdoa agar panen
berasnya penuh, ternak domestiknya berkembang, dan kedamaian serta harmoni
untuk seluruh makhluk di bawah langit. Akhirnya, ia puas dengan doa-doanya dan
melepaskan lenteranya di air.
Lentera kecilnya
berhasil tetap mengapung terlepas dari beratnya semua doa yang dibawanya.
Berputar-putar membentuk lingkaran, dan saat anginnya bertiup, lentera itu
terayun dari satu sisi ke sisi lainnya sebelum mengapung menjauh. Ye Hua
menyerahkanku sebuah lentera juga. Saat manusia berdoa, mereka meminta perlindungan
kepada para dewa-dewi, tetapi, kepada siapakah para dewa-dewi ini berdoa
meminta perlindungan?
Ye Hua
tersenyum samar.
“Ucapkan saja
keinginan apa pun. Kau tidak sungguh berpikir kalau mengucapkan doa dan
meletakkan sebuah lentera di danau akan membuat semuanya berjalan lancar, kan?”
katanya, terdengar sangat logis.
Canggung,
kuterima lentera kecil itu dan berjalan menghampiri Buntalan untuk
melepaskannya bersamanya.
Itu adalah hari
yang sempurna.
Di saat kami
selesai dengan lentera danau kami, Buntalan begitu kelelahan sampai ia tidak
sanggup lagi menjaga matanya tetap terbuka. Ia masih punya cukup tenaga untuk
mengucapkan.
“Tidak usah
kembali ke Qing Qiu malam ini. Aku ingin menghabiskan malam di dunia manusia,
melihat seperti apa ranjang manusia dan seperti apa selimutnya terasa.”
Bunyi lonceng
penjaga pun terdengar, menandakan malam hari. Kami berkeliaran di sekitar
jalanan dan gang, tetapi semua pintu dengan dua lentera tergantung dan
kata-kata penginapan tertulis di atas mereka, semuanya tutup.
Pusat kotanya
kecil, tetapi itu adalah tempat yang terkenal dengan pengunjung. Kami mengetuk
pintu dari dua penginapan sebelum menemukan satu yang masih punya kamar kosong.
Buntalan kecil sudah jauh tertidur dalam dekapan Ye Hua saat itu.
Penjaga penginapannya
sendiri setengah tertidur.
“Kalian, dua
pria tidak keberatan berbagi ranjang bersama untuk semalam, kan?” tanyanya
sembari menguap. “Hanya ada tiga penginapan di kota ini, dan penginapan milik
Wang dan Li keduanya sudah penuh. Beruntungnya kalian, seseorang baru saja
keluar dari sini, jadi kami punya satu kamar kosong.”
Ye Hua
mengangguk kecil, dan penjaga penginapannya meneriaki seseorang di dalam.
Pengangkut barangnya keluar, lengannya menggapai-gapai selagi ia berusaha
mengikatkan lengan bajunya. Ia berlari ke depan untuk membawa kami ke kamar
kami.
Ia membawa kami
ke lantai dua, di sudut dan membuka pintu. Ye Hua meletakkan Buntalan di atas
ranjang dan meminta si pengangkut barang untuk membawakan kami air agar kami
dapat membersihkan diri. Pada saat itu, perutku berbunyi.
Ye Hua melirik
penuh makna dan berkata, “Dan bisakah kau sekalian membuatkan kami sedikit
makanan untuk dimakan?”
Si pengangkut
barang terlihat kelelahan dan jelas sekali ingin menyelesaikan menunggui kami
agar ia bisa kembali tidur. Dengan cepat ia muncul dengan air dan makanannya.
Mereka adalah makanan yang sederhana: daging sapi dimasak asin, iga merica dan
garam, juga tahu daun bawang.
Aku mengangkat
sumpitku dan memakan beberapa suap, tetapi sudah cukup. Biasanya aku bukanlah
seorang pemilih makanan, tetapi masakan Ye Hua jelas sekali membuatku berselera
lebih tinggi.
Ye Hua duduk di
bawah lenteranya, membaca. Ia mengangkat kepalanya untuk menatapku, dan
setelahnya ke arah tiga makanan di atas meja.
“Jangan dimakan
kalau kau tidak mau. Bersihkan diri saja dan pergi tidur.”
Itu adalah
kamar biasa dengan satu ranjang. Aku menatap ranjangnya dan meragu sejenak
sebelum berbaring di atasnya dengan pakaian lengkap.
Ye Hua tidak
menyebutkan soal pengaturan tidurnya. Ia sangat sopan sampai mungkin saja tidak
tampak jadi masalah baginya. Apabila aku menyinggungnya, takutnya aku malah
dianggap terlalu tegang.
Aku memindahkan
si Buntalan yang tertidur lelap ke bagian tengah ranjang, meletakkan selimut
besarnya di samping, dan berbaring di sisi dinding ranjangnya. Ye Hua masih
duduk di bawah lentera dengan dokumennya.
Di tengan
malam, berkabut karena tertidur, aku merasa seolah ada sepasang lengan yang membungkus
diriku. Aku bisa merasakan seseorang memelukku dan menghela napasnya di
telingaku.
“Aku selalu
tahu tentang watakmu, tetapi aku tidak tahu seberapa keras kepalanya dirimu.
Jika kau sudah melupakan masa lalu dan hal-hal yang pernah terjadi, maka kau
melupakannya. Aku berharap, kau akan mengingatnya, juga berharap kau akan melupakan
mereka ...”
Mengira itu
hanyalah potongan dari mimpi, aku berbalik dan merengkuh Buntalan dalam
pelukanku, dan mengelusnya, aku kembali tertidur dengan damai.
***
Sudah
sepenuhnya terang di luar sana ketika aku merangkak keluar dari ranjang di pagi
berikutnya. Ye Hua duduk dengan posisi yang sama, membaca dokumennya.
Perbedaannya adalah, lilinya sudah tak lagi menyala.
Aku bingung.
Apakah ia membaca sepanjang malam? Atau, ia sudah tidur, bangun sebelum diriku,
dan duduk kembali untuk meneruskan membaca?
Buntalan
memberi isyarat agar aku ke mejanya.
“Ibu, Ibu,
bubur nasi ini lezat dan kental. A Li sudah menyendokkannya untukmu.”
Aku mengelus
kepalanya dan menyebutnya anak yang sangat baik. Aku membersihkan diri dan
memakan buburku. Rasa dan konsistensinya persis dengan bubur yang dibuatkan Ye
Hua di rumah.
Aku mengangkat
kepalaku dan menatapnya. Dengan kepala yang masih ditundukkan, ia berkata, “Kau
terlihat tidak antusias dengan makanan di sini semalam, dan aku cemas A Li juga
tidak akan menyukainya, jadi aku menggunakan dapur mereka untuk membuatkan kita
bubur.”
“Aku pun tidak
menyukai makanan yang dimasakkan si Putri Laut Timur itu saat kita berada di
Gunung Jun Ji, tetapi Ayahanda tidak pernah membuatkan makanan hanya untukku,”
Buntalan menggerutu.
Ye Hua
berdeham.
Aku sudah
diperlakukan dengan sangat baik dan tidak ingin menyebabkan masalah apa pun,
jadi aku menundukkan kepalaku dan fokus pada bubur yang lezat ini.
0 comments:
Posting Komentar