Three Lives Three Worlds, The Pillow Book 2
Chapter 7 Part 2
Aranya bersandar di kursinya dan berkata pada gurunya, “Dia mengatasi si monster kepala putih selagi memusatkan energinya di saat bersamaan untuk mencari mantra penyegelan. Agak sulit bagi Chen Ye untuk bertarung sendirian seperti ini.”
Su Moye memintal cangkir tehnya dan berkata pada Aranya, “Bukannya tidak ada penyegel. Si harimau berkepala putih itu haus darah. Jika Junuo bersedia mengambil inisiatif dan membiarkannya meminum separuh dari darahnya, maka Chen Ye dapat menyegel harimau itu dengan kekuatan penuh dan mereka mungkin dapat menyelamatkan sebagian nyawa Junuo. Tetapi karena Junuo sedang mengandung, akan sulit menyelamatkan nyawanya jika ia kehilangan separuh dari darahnya.”
Su Moye mengetuk tepi cangkirnya dengan ceroboh.
“Kau dan Junuo berasal dari rahim yang sama. Darah kalian, kurang lebih sama. Tetapi, jika kau merasa simpati dan ingin menolong mereka, aku rasa lebih baik tidak usah. Pertama, kau akan menyinggung ayahmu dan membuatnya marah. Kedua, Archmage yang sedang berdiri di atas panggung selalu mengutuk dirimu yang dibesarkan di dalam sarang ular. Ia sepertinya tidak akan menginginkan belas kasihanmu.”
Aranya tersenyum, mendadak meyadari sesuatu. “Ah, jadi melakukan ini dapat membuat ayahku marah? Kalau begitu, aku harus melakukannya.”
Su Moye dibuat tertinggal tanpa sempat mengulurkan tangan untuk mencegahnya. Sayap seputih salju langsung mengembang dan dalam sekejap mata, terbang memasuki Teras Lingshu yang mendung.
Su Moye membeku di kursinya. Ketika ia tersadar, Su Moye hanya ingin membenturkan kepalanya ke dalam tahu.
Aranya suka mengenakan warna merah. Itu, ia juga mengenakan warna merah di hari yang kurang beruntung ini, kontras dengan wajah dingin bawaannya.
Warna merah tampak gembira jika dikenakan orang lain, namun ketika Aranya mengenakan merah, ia hanya tampak kesepian. Tetapi, meskipun ia tampak kesepian, itu warna yang cukup mencolok ketika sayapnya melambung ke langit, bahkan Archmage yang sedang sibuk bertarung dengan harimau berkepala putih pun mendongak teralihkan.
Menurut permainan teater manusia, cinta kasih pasti terbentuk kapan saja si ksatria putih dan putrinya saling berpandangan satu sama lainnya di saat-saat kritis seperti ini. Tetapi sayangnya, pertunjukan ini tidak berlangsung selayaknya kisah biasanya.
Selagi si ksatria muda menatap sang putri, Aranya bangkit dan menarik busurnya. Mata Aranya yang seperti kaca sulit dipahami, terfokuskan pada si harimau yang mengamuk.
Aranya melepaskan panah kembar, langsung menusuk melalui angin menuju mata harimau tersebut. Si monster pun raungan kesakitan; dalam sekejap, harimau itu tidak dapat mengenali arah serangannya.
Meskipun begitu, ini adalah seekor harimau yang tidak dapat dibunuh dengan senjata. Gerakan ini tidak berarti banyak, hanya sebagai taktik mengulur waktu hingga menemukan mantra untuk menyegel.
Di tengah angin kencang dan raungan mengerikan, si wanita muda melayang di udara, beberapa kaki di atas tanah. Aranya mencondongkan diri ke arah si Archmage berjubah hitam, jarak mereka cukup dekat.
“Junuo telah mengkhianatimu, kenapa kau masih ingin menyelamatkannya?”
Pemuda dengan wajah angkuh bawaan itu pun mengernyit samar.
“Junuo adalah calon istriku dan adik yang tumbuh besar bersamaku. Bahkan jika ia melakukan kesalahan, bagaimana bisa aku tidak menyelamatkannya ketika masih tersisa sebuah kesempatan kecil untuknya bertahan hidup?”
Mata linglung wanita muda itu memunculkan sebuah senyuman.
“Perkataan bagus.”
Aranya melembutkan suaranya: “Lalu apakah kau juga ingat? Meskipun aku tidak tumbuh besar bersamamu seperti halnya Junuo, aku juga merupakan adikmu. Semenjak kita kanak-kanak, kau selalu mengatakan kalau aku kotor, bahwa karena aku dibesarkan oleh ular dan menggerogoti hal-hal busuk, tubuhku telah dipenuhi kekotoran tertentu. Ketika aku memberikanmu sebuah hadiah ulang tahun, kau membuangnya.”
Si Archmage muda terdiam sekian lama.
“Aku mengingatmu, Xiangli Aranya.”
Si wanita muda melengkungkan mulutnya membentuk sebuah senyuman dan mendadak mendekat ke telinganya: “Aku menduga, kau masih belum menemukan cara untuk menyegel si harimau berkepala putih kembali ke dalam wadahnya?”
Si harimau akhirnya tampak berhasil beradaptasi dengan rasa sakit akibat kebutaan dan menemukan cara bagaimana menentukan posisi melalui resonansi. Harimau itu meraung mengancam dan menyapukan cakarnya ke depan.
Pemuda itu menangkap tangan gadis itu di udara dengan genggaman erat dan mundur beberapa langkah. Di saat ini, dari tangan Aranya tiba-tiba terbentuk sebilah pedang rusak. Lengan jubahnya berkibar di udara.
Mengambil kesempatan dari jari-jari mereka yang saling bertautan, Aranya menusuk kedua telapak tangan mereka, darah pun mengalir deras.
Pemuda itu sempat kaget. Mereka terlihat nyaris menghindari serangan harimau itu hanya berdasarkan insting, kesepuluh jari mereka masih tertaut.
Di tengah manuver, wanita muda itu menatap lurus ke dalam mata Chen Ye dengan senyuman muncul di wajah tenangnya.
“Mereka semua memberitahuku kalau darah Archmage memiliki kemampuan untuk membersihkan kotoran ofensif. Setelah menerima berkah Yang Mulia hari ini, aku penasaran apakah darahku akan jadi lebih bersih sekarang.”
Darah mereka bercampur dan berakhir telapak tangan mereka cocok, aroma bernanah muncul di udara. Pemuda itu tidak menunjukkan banyak emosi; tidak pula menarik tangannya.
“Kenapa kau mencoba memprovokasiku? Kau bukan seseorang yang memikirkan hal-hal semacam ini, terlebih di saat begini.”
Si wanita muda menyapukan tatapannya ke sekitar dan menjawab kurang ajar, "Aku sudah hidup tanpa arti selama bertahun-tahun; aku tidak pernah tahu apakah aku tipe orang semacam itu atau bukan.”
Selama proses menghindar mereka, keduanya telah bergerak mendekati pedangnya. Ekspresi Aranya jadi tenang selagi ia memanfaatkan kekuatan angin dan mendorong Chen Ye pergi.
Kemudian dengan segala kekuatannya, Aranya mengepakkan sayapnya menuju pedang suci. Chen Ye pun melebarkan sayapnya, tergesa mengikuti Aranya, tetapi sebuah ledakan cahaya merah mendadak menyinari dari pedang suci dan menahannya tetap di luar.
Di dalam cahaya merah, si wanita muda dengan kuat mencengkeram pedang suci itu menggunakan telapak tangannya yang baru saja disayat. Sebuah luka baru pun muncul lagi di atas luka lamanya.
Aliran darah yang tetap pun terus menghujani pedang suci itu. Si harimau berkepala putih mendadak menghentikan serangannya dan menggeram puas.
Meskipun wajah Aranya memucat, humor timbul di raut wajahnya ketika ia menghadap ke arah harimau yang mendadak patuh itu dan berkata, “Anak baik, darah sebanyak ini harusnya cukup untuk kau minum. Harus ada batasan untuk bersenang-senang, cepat kembalilah.”
Harimau itu mengayunkan ekor dan kepalanya, dan benar-benar masuk ke dalam pedang suci. Karena pada darah yang diminum harimau itu juga mengandung darah pembersihan dari Archmage, pedang suci itu langsung tersegel tepat setelah si harimau masuk ke dalamnya.
Cahaya merah itu menghilang. Aura gelap yang mengelilingi sekitaran pedang suci selama serangan tajam harimau juga sekarang telah menghilang dari pandangan. Pedang suci itu tampaknya kehilangan pijakan dan terjatuh.
Junuo yang kelelahan bersembunyi di balik Chen Ye. Chen Ye menatap pedang suci yang tergeletak di atas tanah dan melihat Aranya muncul dari balik pedang.
Aranya berjalan dengan langkah terhuyung, menahan semuanya seolah tidak ada yang salah. Ia kemudian merobek ujung lengan jubahnya dan mengikat luka di tangan kanannya dengan simpul mati.
Para penonton mengangkat kembali dagu mereka dari lantai. Tampaknya mereka punya begitu banyak hal untuk dikatakan mengenai kejadian luar biasa yang tak terduga ini.
Tetapi para bangsawan ini mencoba menjadi pejabat yang berbakti. Mereka harus mempertimbangkan mengenai kemurkaan Shangjun, dan jadinya menahan antusiasme mereka.
Suasana hati Shangjun di permukaan tidak dapat diperkirakan, tetapi sesorang dapat menduga bahwa ia sedang meletus di dalamnya. Keinginannya untuk membunuh Junuo bukan hanya terbentuk sehari dua hari.
Lalu pada saat Shangjun akhirnya berhasil mencicipi mimpinya, kesialan justru mengirimkan Chen Ye datang dan merampok tanah eksekusi.
Shangjun tampaknya berharap banyak pada si harimau berkepala putih, mempercayakan kemampuannya akan mampu mengalahkan, bahkan Chen Ye.
Archmage merupakan seseorang yang memonitori takhta atas nama Langit. Menjadi penuh kebanggaan dan sesorang yang jujur, Chen Ye juga adalah duri dalam matanya.
Tetapi Shangjun tidak menduga kalau Aranya juga akan muncul di tengah jalannya pertunjukan. Keberuntungan macam apa ini?
Sekarang, karena sudah sampai pada titik ini, bagaimana semuanya tentu saja akan tergantung pada penilaian Raja.
Kaku, dan dengan aura Rajanya, Shangjun menyapukan pandangannya ke seluruh teras. Ia membuka mulutnya dan memberikan sebuah titah yang telah diperhitungkan.
Walaupun Putri Junuo telah berhasil lepas dari hukuman matinya, ia tetap tidak dapat lepas dari hukuman hidupnya. Junuo akan diturunkan statusnya menjadi rakyat biasa, selamanya diusir dari Ibu kota.
Sementara, Chen Ye yang datang menyelamatkan Junuo juga bukan merupakan hal terlarang oleh hukum leluhur, itu dilakukan karena perasaan pribadi. Tugas Chen Ye adalah mengawasi takhta kerajaan, tetapi ia mengizinkan rasa pilih kasihnya bermain dalam masalah ini, dan karena itulah telah mencemarkan gelar Archmage.
Masalah ini akan dilaporkan ke Jiuchongtian di hari yang sama, dan Chen Ye akan diusir dari Istana Qinan. Ia juga akan diturunkan statusnya menjadi seorang rakyat jelata, tidak pernah diizinkan untuk memasuki Ibu kota lagi.
Sementara untuk Aranya, sebagai seorang Putri, ia telah bertindak kurang bijaksana ketika ia menyebabkan keributan di lahan eksekusi di siang bolong. Sebagai hukumannya, ia akan kehilangan kediamannya dan mengoreksi diri akan prilakunya.
Shangjun telah memberikan pertimbangan yang matang. Akan jadi hal yang signifikan jika suatu hari seorang putri mati di dalam istana atau seorang Archmage mati di dalam Kuil Suci. Tetapi, dua orang rakyat jelata sekarat entah mengapa, tidak akan membuahkan begitu banyak omongan orang.
Berhasil lepas dari kematian sudah merupakan suatu keberuntungan. Junuo menyatukan kedua telapak tangannya dan memperlihatkan penyembahan seorang putri untuk yang terakhir kalinya, sementara Chen Ye menurunkan pandangannya ke lantai, tidak ada ekspresi yang dapat dideteksi dari wajahnya.
Meski demikian, Aranya berbalik menghadap Shangjun, sambil tersenyum gembira, ia berkata, “Aku sudah begitu berani dengan mengatasnamakan cinta antar saudari hari ini, bahkan aku sesungguhnya mengharapkan pujian dari Yang Mulia. Bagiku, kelihatannya, hukuman ini tidak begitu adil.”
Sebelum Shangjun dapat menyebut Aranya kurang ajar, Aranya melanjutkan: “Terlebih lagi, ini berhubungan dengan Yang Mulia Archmage. Beberapa hari yang lalu, Xize mengirimiku sepucuk surat. Ia ingin mengundang Archmage Chen Ye untuk membuat sebuah cermin lapis. Cermin itu akan diberikan pada utusan Langit ketika utusan itu datang ke lembah kita kali berikutnya, untuk dibawa pulang pada Yang Mulia Putra Mahkota di Langit sebagai hadiah ulang tahun.
"Bicara soal itu, ini semua disebabkan perkataan berlebihan Xize. Saat Xize terakhir kali pergi ke Jiuchongtian untuk menemui Tianjun, ia memamerkan pada Putra Mahkota mengenai kemampuan membuat cermin milik Chen Ye. Xize tidak menduga Yang Mulia Putra Mahkota akan mengingat hal semacam ini.”
Aranya berpura-pura tak berdaya.
“Xixe menginstruksikanku untuk mengundang Yang Mulia Chen Ye ke kediaman kami untuk memfokuskan diri membuat cermin itu, tapi sekarang, Yang Mulia Raja memerintahkan pengusiran permanennya dari Ibu kota.
"Tentu saja, aku tidak dapat melawan titah kerajaan Ayah, namun aku juga tidak bisa menentang instruksi suamiku. Jadinya aku memiliki beberapa pertanyaan. Akankah lebih baik memindahkan kediamanku keluar Ibu kota? Dan juga, darimana uang pindahannya berasal?”
Shangjun mengusap keningnya dan bertanya, “Xize benar-benar mengirimkan sepucuk surat? Dimana suratnya?”
Tanpa mengedipkan mata, Aranya membalas, “Xize sungguh mengirimkan sepucuk surat, tetapi aku tidak membawanya bersamaku kali ini. Meskipun begitu, guruku juga ada di sana ketika suratnya disampaikan.”
Aranya melirik ke tempat duduk di sebelah Shangjun.
“Ibu datang berkunjung dan juga melihat sekilas; mereka semua melihatnya. Surat itu menyebutkan beberapa bahan yang perlu kusiapkan untuk cermin lapis itu, tetapi karena aku tidak begitu mengerti itu semua, aku menyerahkan surat itu pada guruku dan meminta nasihat darinya.”
Shangjun menyapukan mata tajamnya pada Su Moye. Mo Shao yang meminum cetakan berdarah, mengedutkan bibirnya dan mengangguk.
“Itu memang benar, tetapi karena aku bukanlah bagian dari klan Biyiniao, ada beberapa bahan yang tidak kuketahui, jadi aku menyerahkan suratnya pada sang Ratu, memintanya untuk melihatnya.”
Bersemangat untuk menyelamatkan keponakannya, sang Ratu juga menganggukkan kepalanya.
Shangjun merenunginya sekian lama dan menitahkan bahwa demi harta berharga kerajaan, Aranya tidak perlu memindahkan rumahnya. Chen Ye yang dinyatakan bersalah pun akan ditahan di kediaman Aranya untuk membuat cermin itu.
Chen Ye dilarang meninggalkannya sebelum selesai. Setelah cermin itu selesai dibuat, ia harus segera meninggakan Ibu kota.
Seperti ini, masalahnya pun selesai.
Babak akhir pun akan selesai. Para pengawal yang toleran itu tidak langsung membawa Junuo untuk ditahan. Mereka membiarkan Junuo berlutut di tanah untuk membersihkan luka Chen Ye.
Teras Lingshu kini kosong. Gadis berjubah merah itu tidak menunjukkan pertanda akan pergi. Raut wajahnya pucat pasi dikarenakan pendarahan yang berlebihan, tetapi ia tetap berjalan dengan langkah santai.
Ketika Aranya mencapai pasangan tidak beruntung itu, ia berjongkok di sebelah mereka dan mengunci pandangannya pada Junuo.
Akhirnya, Aranya menggerakkan bibirnya membentuk sebuah tawa sarkas yang dingin.
“Sayang sekali bagi pasangan mengagumkan yang telah dijodohkan ini. Akan tetapi, mulai hari ini kalian berdua tidak punya hubungan apa pun. Ingatlah untuk menjaga jarakmu dengannya.”
Aranya meletakkan tangan kanannya di bahu Chen Ye.
“Akulah yang menyelamatkannya; dia milikku.”
Junuo menjawab sambil berlinang air mata dan penuh kebencian, “Chen Ye bukan milikmu. Aku tahu aku tidak pantas mendapatkannya, tetapi kau juga tidak pantas.”
Teras Lingshu melayang di langit dengan megahnya. Setelah angin topan, beberapa awan yang berpencar pun mulai melayang menjauh. Seolah sedang berada dalam suasana hati yang baik, si wanita yang berjubah merah melangkah sepanjang panggung dan mengulurkan tangannya ke arah awan.
“Dunia ini penuh dengan ketidakpastian. Semuanya tergantung dari hati seseorang, jika bukan hati seseorang maka takdir seseorang, jika bukan karena takdir seseorang maka waktulah yang berlaku. Lihatlah sekelilingmu, apa keadaannya sekarang, dimana kita sekarang?”
Mata tanpa warna milik sang Archmage pun perlahan membeku bukan kepalang, tampak seolah telah membeku jadi es.
***
Tehnya sudah dingin; mengenang masa lalu terhenti di sini. Setiap kali ia mengingat memori soal Aranya, menimbulkan rasa sakit pada Mo Shao.
Fengjiu dengan serius menggantikan Mo Shao secangkir teh yang baru.
Ia menanti sejenak kemudian dengan bijaksana mengeluarkan sebuah pertanyaan dalam pikiran: “Hal yang disebut cinta ini mirip dengan pohon Ibu-dan-Anak di Langit. Ada ratusan buah di atas satu pohon, dan jadinya aku tahu pasti ada berbagai jenis cinta. Tetapi Aranya sudah menikah dengan Xize. Bukankah tidak pantas baginya untuk memiliki perasaan pada Chen Ye?”
Fengjiu telah menghabiskan banyak waktu dengan Xize belakangan ini, dan tanpa sadar menganggapnya sebagai seorang teman. Mau tidak mau, ia merasa marah untuk Xize.
“Aranya dan Xize memang dikatakan sebagai pasangan suami istri,” Mo Shao mulai memberitahu Fengjiu, “tetapi mereka lebih mirip sepasang kawan lama. Dibandingkan dengan kita, para Biyiniao ini jauh lebih lemah. Dengan jangka waktu hidup mereka yang lebih pendek, mereka tampaknya lebih tenggelam dalam rasa bersenang-senang ketimbang kita. Namun, dikatakan demikian, Xize sesungguhnya lebih bijak dibandingkan dengan beberapa dewa di luar lembah ini. Ia menjaga Aranya bahkan jauh lebih baik daripada aku yang merupakan gurunya.”
Setelah tak berkata selama setengah harian, Fengjiu bertanya, “Orang yang sedang kau bicarakan ini ... ia orang yang dekat dengan Junuo dan Changdi, orang yang, entah mengapa, jadi cukup baik padaku belakangan ini ... Tuan Xize?”
Mo Shao terbatuk, “Yah, tempat ini dibuat secara paksa jadi mungkin terjadilah beberapa kesalahan. Sangat mungkin kalau temperamen Xize jadi sedikit berubah. Erm, di masa lalu, Tuan Xize merupakan orang yang tidak memperhatikan masalah duniawi.”
Fengjiu menahan dirinya untuk bertanya pada Mo Shao bagaimana caranya mengembalikan temperamen Xize seperti dulu, malahan berbalik pada topik yang jauh lebih membuat penasaran: “Karena Aranya dan Chen Ye akan menghabiskan waktu lebih banyak bersama, dan Aranya telah menyelamatkannya waktu itu, apakah Chen Ye akhirnya menyukai Aranya?”
Su Moye memandang ke kejauhan di luar jendela.
“Klan Biyiniao memegang teguh soal ‘kesucian’. Chen Ye tidak setuju Lady Qinghua yang menikahi dua suami. Di antara ketiga saudari itu, hanya Junuo yang agak bisa diterima di matanya. Chen Ye tidak menyukai Aranya dan Changdi yang dilahirkan Qinghua setelah pernikahannya dengan Shangjun. Secara khusus, Aranya, menempati urutan pertama dalam daftar hitam Chen Ye dari orang-orang yang dibencinya.”
“Tetapi Aranya telah menyelamatkannya,” Fengjiu berkomentar dengan sedikit terkejut.
“Bukankah ini merupakan suatu utang budi yang perlu dibalas dengan nyawanya sendiri?”
Mo Shao menjawab dingin, “Chen Ye itu arogan dan dingin. Menurut pandangannya, karena ia pernah memandang rendah Aranya dan meremehkannya, Aranya membawanya masuk ke kediamannya berarti Aranya memperlakukannya sebagai mainan dan memenjarakannya sebagai balas dendam. Lebih tepat dikatakan bahwa Chen Ye membenci Aranya ketimbang dikatakan kalau ia berterima kasih dan menyukai Aranya.”
Akhirnya Mo Shao berkata, “Terkadang aku mengingat perkataan Aranya: entah itu pria atau dewa, seseorang harus mengikuti hatinya, takdirnya, dan waktu yang berlaku. Aranya memahami perkataan ini terlalu baik, tetapi mungkin selagi hatinya bersama Chen Ye, takdirnya tidak bersama Chen Ye.”
Fengjiu cukup bersedih mendengarkan perkataan ini.
“Coba pikirkan baik-baik,” Su Moye berkata setelah menyesap tehnya.
“Jika kau bersedia membantu, suruh Chacha mengirimiku sepucuk surat.”
0 comments:
Posting Komentar