Ten Miles of Peach Blossoms
Chapter 8 Part 2
Mendadak aku
teringat peraturan Gunung Kun Lun tentang penerimaan murid. Usia atau pun latar
belakang keluarga tidaklah penting, tetapi dewi, dilarang.
Mo Yuan pastilah
menghadapi masalah serupa dengan wanita yang jatuh hati padanya. Aku tidak
menyadarinya pada waktu itu. Baru sekaranglah, setelah bertemu dengan Ye Hua,
itu menjadi jelas.
Mereka terlahir
dengan wajah yang membuat mereka mendapatkan perhatian besar dari para wanita.
Ye Hua meneguk
tehnya. “Karma baik hanya akan berbuah ketika waktunya tiba,” katanya dengan
suara datar yang sama. “Kau sudah tiba di masa menerima karma baik itu hari ini
karena kau sudah membangun karma baik di masa lalu. Tidak ada hubungannya
denganku. Jangan merepotkan dirimu untuk membalas budiku.”
Ia berbicara
dengan logika yang menarik, dan Miao Yun mengigiti bibirnya, tidak mengatakan
apa-apa. Buntalan dan aku baru selesai membereskan barang-barangnya dari meja.
Aku mengangkat kepala untuk memberikannya sebuah senyuman, yang dibalas
olehnya. Ia menatap Buntalan, yang sedang menanti makanannya resah.
“Sungguh anak
dewa yang tampan dan berprilaku baik,” katanya lembut.
“Anak-anak
selalu menggemaskan. Tidak bisa menjamin akan seperti apa dia nantinya,” kataku
dalam usaha mengelakkan pujiannya. “Ada seorang makhluk abadi muda dari kampung
halamanku yang luar biasa menggemaskan saat masih muda. Tiga ribu tahun
kemudian, ia hanya sedikit saja miripnya dengan dirinya dulu, tetapi sama
sekali tidak ada yang spesial dari wajahnya.”
Buntalan
menarik lengan pakaianku dan menatapku dengan sedih. Oh, ya ampun, aku sudah
kelewatan dengan kerendahan hatiku.
Ye Hua
mengangkat cangkirnya dan menatapku sambil tersenyum samar.
“Tidak ada
gunanya bagi seorang anak lelaki menjadi terlalu tampan, kan?” tanyanya. “Wajah
menawan tidak akan membantumu dalam bertarung seperti kedua pasang tinjuan. Dan
biar bagaimanapun juga,” ia melanjutkan, menyesap tehnya lagi, “Anak perempuan
lebih mirip dengan ayahnya dan anak lelaki mirip ibu mereka, jadi, sejauh yang
kuperhatikan, A Li akan tumbuh besar dengan wajah yang tampan.”
Buntalan, yang
terlihat sudah hampir menangis, mendadak memancarkan semangat tingginya lagi.
Ia menatap ayahnya penuh kasih sayang dan mulai mencari jalannya menuju Ye Hua.
Aku berdeham
dan menatapnya penuh kasih sayang. “Tidak masalah akan seperti apa Buntalan
nantinya. Ia akan selalu mempunyai sebuah tempat dalam hatiku, dan aku akan
selalu ada di sana untuk menjaganya.”
Buntalan
berbalik padaku, matanya dipenuhi dengan air mata kebahagiaan, dan ia mulai
mencari jalan kembali padaku.
Ye Hua tertawa
tanpa suara tetapi tidak mengatakan apa pun.
Anggurnya
adalah yang pertama kali sampai di meja kami, tetapi segera diikuti dengan
makanan. Pelayan muda itu ramah dan perhatian, dan seguci anggur osmanthus kami
dihangatkan di suhu yang tepat.
Mao, si Dewa
Matahari membanggakan dirinya, dan mataharinya kuat namun tidak terik.
Langitnya dihiasi dengan beberapa gumpal awan keberuntungan, yang mana terlihat
manis di antara deretan pepohonan rindang.
Meminum
beberapa gelas anggur di kondisi penuh kebahagiaan ini membuatku merasa
terinspirasi untuk membuat sebuah pusisi. Tetapi Miao Yun dan kusirnya tidak
minum-minum, dan setelah dua atau tiga gelas anggur, Ye Hua mengecewakanku
dengan meminta pelayannya membawa pergi gelas kami.
Rasanya, Ye Hua
seperti jatuh dalam mantra sementara kami makan dan terus melakukan percobaan
paksa untuk menyuapiku.
Sembari
tersenyum lembut, ia menyodorkan makanan ke arahku, berkata seperti, “Kau
menyukai ini, makanlah lebih banyak!” atau “Aku tahu ini bukan kesukaanmu,
tetapi ini baik untukmu. Kurusnya tubuhmu mungkin tidak mengkhawatirkan dirimu,
tapi aku mencemaskannya.”
Aku tahu ia
hanya sedang memanfaatkanku sebagai alasan untuk menghindari Miao Yun, tetapi
mendengarkannya berkata seperti ini masih tetap membuat kulitku bergidik.
Miao Yun jelas
tidak menikmati mendengarkan ini juga, dan wajahnya berubah menjadi seputih
kertas. Si kusir pun merasakan atmosfer aneh ini dan cepat-cepat menelan
nasinya agar ia dan nyonyanya dapat pergi.
Ye Hua akhirnya
berhenti menyodorkan makanan ke arahku, dan mengeluarkan desahan panjang.
“Kelihatannya,
kau tidak nyaman dengan hal-hal yang menunjukkan rasa kasih sayang,” katanya
perlahan. “Apa yang harus kita lakukan tentang itu?”
Aku menundukkan
kepalaku dan menusukkan sumpitku ke dalam nasiku, mengabaikannya.
Kami masih
makan saat pejabat resmi bawahan Ye Hua, Jia Yun mendadak muncul entah
darimana. Beruntungnya, ia membuat dirinya tak terlihat; siapa yang tahu
bagaimana manusia-manusia ini akan bereaksi ketika mendadak melihat seseorang
melayang di udara di dalam restoran.
Ia menyebutkan
sepucuk surat yang memerlukan perhatian mendesak, meskipun aku tidak
mendengarkan ketika ia membicarakan rinciannya.
Ye Hua
berpaling kepadaku dan berkata, “Baiklah, sepertinya aku harus kembali ke
Istana Langit. Bisakah kau tetap di sini dengan A Li sore ini dan mengajaknya
berjalan-jalan? Aku akan kembali dan bergabung dengan kalian berdua malam ini.”
Mulutku terlalu
penuh dengan nasi untuk berbicara, jadi aku hanya mengangguk saja.
***
Aku keluar dari
restoran dan melihat-lihat sekitar. Mataharinya berada tepat di atas kami.
Begitu panasanya sampai para pedagang di pasar memindahkan barang-barang mereka
di bawah tenda, sementara mereka yang tidak berhasil mendapatkan tempat yang
bagus, mengemas barangnya untuk pulang ke rumah, terlihat tidak senang.
Saat aku sedang
membayar di restoran, pelayannya dengan baik hati menunjukkan kalau aku sudah
berlebihan memberikan uang kepadanya dan setelahnya menyarankanku pergi ke
Kedai Teh Free Thought untuk mendengarkan dongeng mereka. Tehnya agak mahal,
tetapi dongengnya luar biasa.
Aku yakin kalau
tidak ada pendongeng di Istana Langit, dan Buntalan mungkin belum pernah
membaca. Aku menggandeng tangannya dan membawanya ke sana agar ia bisa
merasakannya.
Si pendongeng
adalah seorang pria tua yang rambut juga janggutnya sudah berubah separuh
keputihan. Saat kami duduk, ia sedang menceritakan kisah seekor bangau liar
yang membalas budi.
Benar-benar
pengalaman baru bagi Buntalan, yang matanya berbinar seraya mendengarkan.
Kadang kala, ia akan menunjukkan senyum sok tahu; di saat lainnya, tinjunya
akan mengepal erat atau ia akan mengeluarkan helaan napas dalam.
Di tempat Zhe
Yan, aku sudah melarikan jariku pada buku-buku yang tak terhitung jumlahnya dan
merasa kalau entah mengapa, cerita ini dibuat-buat dan tidak memberikan
inspirasi. Aku meminta seteko teh hijau dan duduk di mejanya, membiarkan
pikiranku berkelana.
Sudah menjelang
sore hari dalam waktu singkat, dan pendongengnya memukuli sebalok kayu untuk
mengagetkan penontonnya dengan kata-kata: “Dan jika kalian ingin tahu apa yang
terjadi berikutnya, kalian harus datang ke sesi berikutnya.”
Aku dapat
melihat lentera di luar jendela mulai dinyalakan.
Aku membuka
mataku bengong dan melihat ke sekitar, mencari Buntalan, tetapi tempat dimana
seharusnya ia berada sekarang sudah kosong. Aku mulai bergetar, langsung
terbangun sepenuhnya.
Beruntungnya,
aku membawa cermin air. Di dunia makhluk abadi, kegunaan cermin air sama
seperti cermin rias, tetapi di dunia manusia, itu bisa digunakan untuk
menemukan orang. Aku hanya berharap, Buntalan berada di lokasi yang mudah
dicari. Jika ia berdiri di kamar yang tidak mencolok, cermin air ini pun sama
sekali tidak berguna.
Aku menemukan
sebuah tempat terpencil dan menuliskan nama Buntalan ke dalam permukaan
cerminnya. Cahaya putih langsung bersinar sebagai respon cepatnya. Aku
mengikuti cahaya putih itu dengan mataku dan tersandung, hampir menjatuhkan
cerminnya.
Astaga! Kamar
tempat Buntalan berada sudah pasti tidak bisa dibilang tidak mencolok. Terdapat
ranjang dari rosewood yang di atasnya
berbaringlah pasangan yang berpakaian minim. Prianya setengah telanjang,
sementara wanita di bawahnya tidak mengenakan apa pun selain baju dalam warna
merah terang. Wanita baik-baik di dunia manusia biasanya tidak mengenakan warna
mencolok mata seperti ini.
Aku mulai
merasa pusing, tetapi aku memaksakan diriku untuk berdiri tegak dan menarik
seorang pejalan kaki.
“Permisi.
Apakah kau tahu kemana arah rumah bordil di kota ini?” tanyaku.
Ia menatapku
dengan saksama, menilaiku sebelum akhirnya menunjukkan bangunan yang
bersilangan di depan Kedai Teh Free Thought. Aku mengucapkan terima kasih
padanya dan bergegas ke sana.
Aku
mendengarkannya menghela napas samar di belakangku dan berkata, “Dan ia
terlihat seperti seorang anak lelaki yang dibesarkan dengan baik. Siapa sangka
ia sebobrok itu? Sungguh zaman yang tidak bermoral tempat kita hidup ini.”
Aku tahu kalau
Buntalan ada di dalam rumah bordil, tetapi aku tidak tahu di kamar yang mana.
Aku membuat diriku tak terlihat agar tidak mengganggu bisnis si ibu germo dan
mulai mencari dari satu kamar ke kamar lainnya.
Aku mencari ke
tiga belas ruangan sebelum akhirnya menemukannya melayang di udara, juga tak
terlihat, dagu di atas tangannya, terlihat termenung. Aku meraih dan
menyeretnya keluar melalui dinding, menjauhi pasangan yang sedang berciuman
mesra di atas ranjang.
Wajahku merah
padam.
Beruntungnya,
aktivitas kamar tidur mereka belum berlanjut lewat dari ciuman.
Pertama kali
aku mengunjungi dunia manusia adalah selama masa belajarku di Gunung Kun Lun.
Haus akan pengetahuan, aku membaca sebanyak mungkin fiksi erotis yang bisa
kutemukan. Ada buku-buku tidak terpelajar yang dapat ditemukan di pasar mana pun
dengan harga tiga sen per bukunya, dan buku yang begitu langkanya sampai-sampai
hanya dapat ditemukan di bawah bantal tidur Kaisar.
Beberapa buku
ini menggambarkan pertemuan antara pria dan wanita, dan yang lainnya pria
dengan pria, semuanya kucoba. Aku membaca mereka, terlihat setenang sebalok
kayu, wajahku pun tidak memerah atau pun jantungku melompat dengan liarnya.
Tetapi tidak
hari ini. Situasinya berbeda: aku bersama seorang anak kecil dan menyaksikan
tindakan langsungnya. Apabila itu tidak cukup untuk membuat wajahku merona, aku
sungguh tidak pantas mendapatkan panggilan Ibu dari si Buntalan.
Ada beberapa
gadis di luar ruangan rumah bordilnya, berbicara dengan calon pelanggan dengan
nada yang manis dan halus. Mereka masih melakukan bisnis kotor mereka, tetapi
paling tidak, yang ini masih berpakaian lengkap.
Tidak ada satu
titik pun yang tenang di seluruh bangunan ini.
Seorang pelayan
berjalan dengan anggunnya melewati kami, berpakaian merah dan membawa sebuah
nampan berisi kue kacang hijau. Buntalan mengendusnya dan berubah terlihat
untuk mengejarnya, meminta satu kue. Aku mengikutinya dan tidak punya pilihan
lain selain menjadi terlihat juga. Segera setelah si pelayan ini melihat
Buntalan, ia terpana. Ia mengelus wajah kecilnya, berpaling untuk tersenyum
padaku dengan pipi bersemu, dan kemudian menyerahkan seluruh nampan berisi kue
itu pada Buntalan.
Aku menarik Buntalan
menuju koridor buntu dan berpikir hati-hati bagaimana ceramah yang akan
kusampaikan. Aku ingin membuatnya menyadari bahwa apa yang dilakukannya itu
salah, tetapi aku tidak ingin membuatnya kecewa. Bagaimana pun juga, hari ini
adalah hari ulang tahunnya, dan Ye Hua sudah memintaku untuk memastikannya menjadi
ulang tahun yang membahagiakan.
Aku tersenyum
padanya. “Pendongeng di Kedai Teh Free Thought lumayan bagus, kurasa,” aku
memulai baik-baik. “Kau tampak sangat tenggelam di awalnya, jadi mengapa kau
memutuskan untuk kabur? Dan dari semua tempat, kenapa kemari?”
Buntalan
mengerutkan keningnya.
“Aku melihat
seorang pria gemuk sedang mencium seorang gadis muda di jalanan. Gadis itu
kelihatanya tidak ingin si pria gemuk menciumnya, tetapi saat ia mencoba
menghentikannya, pria gemuk itu jadi marah dan memanggil sekelompok pria-pria
jelek yang mengelilingi gadis itu. Gadis itu tampak ketakutan jadi aku harus
melakukan sesuatu. Jadi, aku pergi menyelamatkannya.
“Aku berlari
menuruni tangganya, tetapi tidak bisa melihat tanda-tanda mereka. Seorang pria
di luar sana memberitahuku kalau si pria gemuk sudah membawa gadis itu masuk ke
rumah bunga. Aku cemas kalau mereka
akan menyakitinya, jadi aku memutuskan untuk masuk ke dalam dan
menyelamatkannya.
“Si wanita tua
di pintu tidak membiarkanku masuk, jadi aku membuat diriku tak terlihat dan
menyelinap melewatinya. Oh, aku benar-benar tidak tahu mengapa pria itu
menyebutnya rumah bunga. Aku pergi mengelilingi seluruh tempat itu tetapi tidak
melihat satu bunga pun.”
Mendengarkan
kalimat terakhirnya, hatiku mulai berdentum. Kumohon, Buntalan, jangan sampai
melihat sesuatu yang buruk, aku memohon dalam diam.
Usia Buntalan
setara dengan usia tiga tahun anak manusia. Usia dimana akar keabadiannya
sangat tidak stabil, dan ia memerlukan banyak sekali perhatian dan bimbingan.
Ayahnya sudah menjaganya begitu baik selama tiga ratus tahun ini. Jika di bawah
pengawasanku ia melihat sesuatu yang tidak seharusnya, ia mungkin bisa
menelurkan sesuatu yang tidak diinginkan, yang mana akan menyihir kesadaran
keabadiannya, dan Ye Hua akan membunuhku.
Aku meneguk
ludah dan mendengarkan sisa ceritanya.
“Saat aku
menemukan si pria gemuk, ia sedang berbaring terlentang di atas lantai, dan ada
seorang pria berbaju putih di sebelah si gadis muda, memeluknya. Melihat ia
sudah selamat, aku memutuskan untuk kembali dan mendengarkan akhir ceritanya,
tetapi aku salah masuk dan berakhir di dalam kamar itu.”
Saudara Seperguruan
Ke-10 dan aku sangat buruk dalam kelas deduksi sihir kami hingga Mo Yuan
mengirimkan kami ke dunia manusia sebagai hukuman dan membuat kami bekerja di
sana sebagai peramal.
Kami membangun
sebuah kios di pasar untuk meramal dan membaca tulang. Setiap beberapa hari,
kami akan melihat seorang wanita baik-baik yang disiksa atau dilecehkan. Jika
ia belum menikah, seorang ksatria akan menarik pedangnya dan meraung seraya
bergegas menghampiri untuk membela si gadis, dan jika ia sudah menikah,
suaminya akan muncul dan menghunuskan pedangnya. Si ksatria dan suaminya selalu
akan berpakaian putih saat mereka muncul.
Buntalan
mengusap hidungnya dan mengerutkan keningnya lagi.
“Ada dua orang
sedang berguling-guling di atas ranjang bersama-sama di dalam kamar itu. Mereka
saling membelit. Aku ingin tahu mengapa mereka saling menjerat seperti itu,
jadi aku tetap di sana selama beberapa lama untuk menonton mereka.”
Jantungku
berdebar. “Dan apa yang kau lihat?” tanyaku, suaraku bergetar.
Ia tampaknya
berpikir hati-hati. “Mereka saling mencium satu sama lain, benar, berciuman ...
dan saling menyentuh satu sama lain, benar, menyentuh.” Ia menjeda. “Ibu, apa
yang sedang mereka lakukan?” gagapnya.
Aku menatap ke
langit dan memikirkan bagaimana cara menjawabnya. Aku memasang sebuah ekspresi
serius dan berkata, “Manusia yang mempelajari Taoisme punya satu latihan yang
dikenal sebagai harmonisasi dan mempelajari satu sama lainnya. Itu adalah apa
yang sedang dilakukan oleh pasangan yang kau lihat. Harmonisasi dan mempelajari
satu sama lain.”
“Manusia begitu
mengabdikan dirinya sepenuh hati pada Taoisme,” Buntalan berkata bijak dengan
suara kecilnya.
Aku tertawa
terbahak-bahak.
0 comments:
Posting Komentar