Minggu, 15 November 2020

3L3W TMOPB - Chapter 8 Part 2

Ten Miles of Peach Blossoms

Chapter 8 Part 2


Mendadak aku teringat peraturan Gunung Kun Lun tentang penerimaan murid. Usia atau pun latar belakang keluarga tidaklah penting, tetapi dewi, dilarang.

Mo Yuan pastilah menghadapi masalah serupa dengan wanita yang jatuh hati padanya. Aku tidak menyadarinya pada waktu itu. Baru sekaranglah, setelah bertemu dengan Ye Hua, itu menjadi jelas.

Mereka terlahir dengan wajah yang membuat mereka mendapatkan perhatian besar dari para wanita.

Ye Hua meneguk tehnya. “Karma baik hanya akan berbuah ketika waktunya tiba,” katanya dengan suara datar yang sama. “Kau sudah tiba di masa menerima karma baik itu hari ini karena kau sudah membangun karma baik di masa lalu. Tidak ada hubungannya denganku. Jangan merepotkan dirimu untuk membalas budiku.”

Ia berbicara dengan logika yang menarik, dan Miao Yun mengigiti bibirnya, tidak mengatakan apa-apa. Buntalan dan aku baru selesai membereskan barang-barangnya dari meja. Aku mengangkat kepala untuk memberikannya sebuah senyuman, yang dibalas olehnya. Ia menatap Buntalan, yang sedang menanti makanannya resah.

“Sungguh anak dewa yang tampan dan berprilaku baik,” katanya lembut.

“Anak-anak selalu menggemaskan. Tidak bisa menjamin akan seperti apa dia nantinya,” kataku dalam usaha mengelakkan pujiannya. “Ada seorang makhluk abadi muda dari kampung halamanku yang luar biasa menggemaskan saat masih muda. Tiga ribu tahun kemudian, ia hanya sedikit saja miripnya dengan dirinya dulu, tetapi sama sekali tidak ada yang spesial dari wajahnya.”

Buntalan menarik lengan pakaianku dan menatapku dengan sedih. Oh, ya ampun, aku sudah kelewatan dengan kerendahan hatiku.

Ye Hua mengangkat cangkirnya dan menatapku sambil tersenyum samar.

“Tidak ada gunanya bagi seorang anak lelaki menjadi terlalu tampan, kan?” tanyanya. “Wajah menawan tidak akan membantumu dalam bertarung seperti kedua pasang tinjuan. Dan biar bagaimanapun juga,” ia melanjutkan, menyesap tehnya lagi, “Anak perempuan lebih mirip dengan ayahnya dan anak lelaki mirip ibu mereka, jadi, sejauh yang kuperhatikan, A Li akan tumbuh besar dengan wajah yang tampan.”

Buntalan, yang terlihat sudah hampir menangis, mendadak memancarkan semangat tingginya lagi. Ia menatap ayahnya penuh kasih sayang dan mulai mencari jalannya menuju Ye Hua.

Aku berdeham dan menatapnya penuh kasih sayang. “Tidak masalah akan seperti apa Buntalan nantinya. Ia akan selalu mempunyai sebuah tempat dalam hatiku, dan aku akan selalu ada di sana untuk menjaganya.”

Buntalan berbalik padaku, matanya dipenuhi dengan air mata kebahagiaan, dan ia mulai mencari jalan kembali padaku.

Ye Hua tertawa tanpa suara tetapi tidak mengatakan apa pun.

Anggurnya adalah yang pertama kali sampai di meja kami, tetapi segera diikuti dengan makanan. Pelayan muda itu ramah dan perhatian, dan seguci anggur osmanthus kami dihangatkan di suhu yang tepat.

Mao, si Dewa Matahari membanggakan dirinya, dan mataharinya kuat namun tidak terik. Langitnya dihiasi dengan beberapa gumpal awan keberuntungan, yang mana terlihat manis di antara deretan pepohonan rindang.

Meminum beberapa gelas anggur di kondisi penuh kebahagiaan ini membuatku merasa terinspirasi untuk membuat sebuah pusisi. Tetapi Miao Yun dan kusirnya tidak minum-minum, dan setelah dua atau tiga gelas anggur, Ye Hua mengecewakanku dengan meminta pelayannya membawa pergi gelas kami.

Rasanya, Ye Hua seperti jatuh dalam mantra sementara kami makan dan terus melakukan percobaan paksa untuk menyuapiku.

Sembari tersenyum lembut, ia menyodorkan makanan ke arahku, berkata seperti, “Kau menyukai ini, makanlah lebih banyak!” atau “Aku tahu ini bukan kesukaanmu, tetapi ini baik untukmu. Kurusnya tubuhmu mungkin tidak mengkhawatirkan dirimu, tapi aku mencemaskannya.”

Aku tahu ia hanya sedang memanfaatkanku sebagai alasan untuk menghindari Miao Yun, tetapi mendengarkannya berkata seperti ini masih tetap membuat kulitku bergidik.

Miao Yun jelas tidak menikmati mendengarkan ini juga, dan wajahnya berubah menjadi seputih kertas. Si kusir pun merasakan atmosfer aneh ini dan cepat-cepat menelan nasinya agar ia dan nyonyanya dapat pergi.

Ye Hua akhirnya berhenti menyodorkan makanan ke arahku, dan mengeluarkan desahan panjang.

“Kelihatannya, kau tidak nyaman dengan hal-hal yang menunjukkan rasa kasih sayang,” katanya perlahan. “Apa yang harus kita lakukan tentang itu?”

Aku menundukkan kepalaku dan menusukkan sumpitku ke dalam nasiku, mengabaikannya.

Kami masih makan saat pejabat resmi bawahan Ye Hua, Jia Yun mendadak muncul entah darimana. Beruntungnya, ia membuat dirinya tak terlihat; siapa yang tahu bagaimana manusia-manusia ini akan bereaksi ketika mendadak melihat seseorang melayang di udara di dalam restoran.

Ia menyebutkan sepucuk surat yang memerlukan perhatian mendesak, meskipun aku tidak mendengarkan ketika ia membicarakan rinciannya.

Ye Hua berpaling kepadaku dan berkata, “Baiklah, sepertinya aku harus kembali ke Istana Langit. Bisakah kau tetap di sini dengan A Li sore ini dan mengajaknya berjalan-jalan? Aku akan kembali dan bergabung dengan kalian berdua malam ini.”

Mulutku terlalu penuh dengan nasi untuk berbicara, jadi aku hanya mengangguk saja.

***

Aku keluar dari restoran dan melihat-lihat sekitar. Mataharinya berada tepat di atas kami. Begitu panasanya sampai para pedagang di pasar memindahkan barang-barang mereka di bawah tenda, sementara mereka yang tidak berhasil mendapatkan tempat yang bagus, mengemas barangnya untuk pulang ke rumah, terlihat tidak senang.

Saat aku sedang membayar di restoran, pelayannya dengan baik hati menunjukkan kalau aku sudah berlebihan memberikan uang kepadanya dan setelahnya menyarankanku pergi ke Kedai Teh Free Thought untuk mendengarkan dongeng mereka. Tehnya agak mahal, tetapi dongengnya luar biasa.

Aku yakin kalau tidak ada pendongeng di Istana Langit, dan Buntalan mungkin belum pernah membaca. Aku menggandeng tangannya dan membawanya ke sana agar ia bisa merasakannya.

Si pendongeng adalah seorang pria tua yang rambut juga janggutnya sudah berubah separuh keputihan. Saat kami duduk, ia sedang menceritakan kisah seekor bangau liar yang membalas budi.

Benar-benar pengalaman baru bagi Buntalan, yang matanya berbinar seraya mendengarkan. Kadang kala, ia akan menunjukkan senyum sok tahu; di saat lainnya, tinjunya akan mengepal erat atau ia akan mengeluarkan helaan napas dalam.

Di tempat Zhe Yan, aku sudah melarikan jariku pada buku-buku yang tak terhitung jumlahnya dan merasa kalau entah mengapa, cerita ini dibuat-buat dan tidak memberikan inspirasi. Aku meminta seteko teh hijau dan duduk di mejanya, membiarkan pikiranku berkelana.

Sudah menjelang sore hari dalam waktu singkat, dan pendongengnya memukuli sebalok kayu untuk mengagetkan penontonnya dengan kata-kata: “Dan jika kalian ingin tahu apa yang terjadi berikutnya, kalian harus datang ke sesi berikutnya.”

Aku dapat melihat lentera di luar jendela mulai dinyalakan.

Aku membuka mataku bengong dan melihat ke sekitar, mencari Buntalan, tetapi tempat dimana seharusnya ia berada sekarang sudah kosong. Aku mulai bergetar, langsung terbangun sepenuhnya.

Beruntungnya, aku membawa cermin air. Di dunia makhluk abadi, kegunaan cermin air sama seperti cermin rias, tetapi di dunia manusia, itu bisa digunakan untuk menemukan orang. Aku hanya berharap, Buntalan berada di lokasi yang mudah dicari. Jika ia berdiri di kamar yang tidak mencolok, cermin air ini pun sama sekali tidak berguna.

Aku menemukan sebuah tempat terpencil dan menuliskan nama Buntalan ke dalam permukaan cerminnya. Cahaya putih langsung bersinar sebagai respon cepatnya. Aku mengikuti cahaya putih itu dengan mataku dan tersandung, hampir menjatuhkan cerminnya.

Astaga! Kamar tempat Buntalan berada sudah pasti tidak bisa dibilang tidak mencolok. Terdapat ranjang dari rosewood yang di atasnya berbaringlah pasangan yang berpakaian minim. Prianya setengah telanjang, sementara wanita di bawahnya tidak mengenakan apa pun selain baju dalam warna merah terang. Wanita baik-baik di dunia manusia biasanya tidak mengenakan warna mencolok mata seperti ini.

Aku mulai merasa pusing, tetapi aku memaksakan diriku untuk berdiri tegak dan menarik seorang pejalan kaki.

“Permisi. Apakah kau tahu kemana arah rumah bordil di kota ini?” tanyaku.

Ia menatapku dengan saksama, menilaiku sebelum akhirnya menunjukkan bangunan yang bersilangan di depan Kedai Teh Free Thought. Aku mengucapkan terima kasih padanya dan bergegas ke sana.

Aku mendengarkannya menghela napas samar di belakangku dan berkata, “Dan ia terlihat seperti seorang anak lelaki yang dibesarkan dengan baik. Siapa sangka ia sebobrok itu? Sungguh zaman yang tidak bermoral tempat kita hidup ini.”

Aku tahu kalau Buntalan ada di dalam rumah bordil, tetapi aku tidak tahu di kamar yang mana. Aku membuat diriku tak terlihat agar tidak mengganggu bisnis si ibu germo dan mulai mencari dari satu kamar ke kamar lainnya.

Aku mencari ke tiga belas ruangan sebelum akhirnya menemukannya melayang di udara, juga tak terlihat, dagu di atas tangannya, terlihat termenung. Aku meraih dan menyeretnya keluar melalui dinding, menjauhi pasangan yang sedang berciuman mesra di atas ranjang.

Wajahku merah padam.

Beruntungnya, aktivitas kamar tidur mereka belum berlanjut lewat dari ciuman.

Pertama kali aku mengunjungi dunia manusia adalah selama masa belajarku di Gunung Kun Lun. Haus akan pengetahuan, aku membaca sebanyak mungkin fiksi erotis yang bisa kutemukan. Ada buku-buku tidak terpelajar yang dapat ditemukan di pasar mana pun dengan harga tiga sen per bukunya, dan buku yang begitu langkanya sampai-sampai hanya dapat ditemukan di bawah bantal tidur Kaisar.

Beberapa buku ini menggambarkan pertemuan antara pria dan wanita, dan yang lainnya pria dengan pria, semuanya kucoba. Aku membaca mereka, terlihat setenang sebalok kayu, wajahku pun tidak memerah atau pun jantungku melompat dengan liarnya.

Tetapi tidak hari ini. Situasinya berbeda: aku bersama seorang anak kecil dan menyaksikan tindakan langsungnya. Apabila itu tidak cukup untuk membuat wajahku merona, aku sungguh tidak pantas mendapatkan panggilan Ibu dari si Buntalan.

Ada beberapa gadis di luar ruangan rumah bordilnya, berbicara dengan calon pelanggan dengan nada yang manis dan halus. Mereka masih melakukan bisnis kotor mereka, tetapi paling tidak, yang ini masih berpakaian lengkap.

Tidak ada satu titik pun yang tenang di seluruh bangunan ini.

Seorang pelayan berjalan dengan anggunnya melewati kami, berpakaian merah dan membawa sebuah nampan berisi kue kacang hijau. Buntalan mengendusnya dan berubah terlihat untuk mengejarnya, meminta satu kue. Aku mengikutinya dan tidak punya pilihan lain selain menjadi terlihat juga. Segera setelah si pelayan ini melihat Buntalan, ia terpana. Ia mengelus wajah kecilnya, berpaling untuk tersenyum padaku dengan pipi bersemu, dan kemudian menyerahkan seluruh nampan berisi kue itu pada Buntalan.

Aku menarik Buntalan menuju koridor buntu dan berpikir hati-hati bagaimana ceramah yang akan kusampaikan. Aku ingin membuatnya menyadari bahwa apa yang dilakukannya itu salah, tetapi aku tidak ingin membuatnya kecewa. Bagaimana pun juga, hari ini adalah hari ulang tahunnya, dan Ye Hua sudah memintaku untuk memastikannya menjadi ulang tahun yang membahagiakan.

Aku tersenyum padanya. “Pendongeng di Kedai Teh Free Thought lumayan bagus, kurasa,” aku memulai baik-baik. “Kau tampak sangat tenggelam di awalnya, jadi mengapa kau memutuskan untuk kabur? Dan dari semua tempat, kenapa kemari?”

Buntalan mengerutkan keningnya.

“Aku melihat seorang pria gemuk sedang mencium seorang gadis muda di jalanan. Gadis itu kelihatanya tidak ingin si pria gemuk menciumnya, tetapi saat ia mencoba menghentikannya, pria gemuk itu jadi marah dan memanggil sekelompok pria-pria jelek yang mengelilingi gadis itu. Gadis itu tampak ketakutan jadi aku harus melakukan sesuatu. Jadi, aku pergi menyelamatkannya.

“Aku berlari menuruni tangganya, tetapi tidak bisa melihat tanda-tanda mereka. Seorang pria di luar sana memberitahuku kalau si pria gemuk sudah membawa gadis itu masuk ke rumah bunga. Aku cemas kalau mereka akan menyakitinya, jadi aku memutuskan untuk masuk ke dalam dan menyelamatkannya.

“Si wanita tua di pintu tidak membiarkanku masuk, jadi aku membuat diriku tak terlihat dan menyelinap melewatinya. Oh, aku benar-benar tidak tahu mengapa pria itu menyebutnya rumah bunga. Aku pergi mengelilingi seluruh tempat itu tetapi tidak melihat satu bunga pun.”

Mendengarkan kalimat terakhirnya, hatiku mulai berdentum. Kumohon, Buntalan, jangan sampai melihat sesuatu yang buruk, aku memohon dalam diam.

Usia Buntalan setara dengan usia tiga tahun anak manusia. Usia dimana akar keabadiannya sangat tidak stabil, dan ia memerlukan banyak sekali perhatian dan bimbingan. Ayahnya sudah menjaganya begitu baik selama tiga ratus tahun ini. Jika di bawah pengawasanku ia melihat sesuatu yang tidak seharusnya, ia mungkin bisa menelurkan sesuatu yang tidak diinginkan, yang mana akan menyihir kesadaran keabadiannya, dan Ye Hua akan membunuhku.

Aku meneguk ludah dan mendengarkan sisa ceritanya.

“Saat aku menemukan si pria gemuk, ia sedang berbaring terlentang di atas lantai, dan ada seorang pria berbaju putih di sebelah si gadis muda, memeluknya. Melihat ia sudah selamat, aku memutuskan untuk kembali dan mendengarkan akhir ceritanya, tetapi aku salah masuk dan berakhir di dalam kamar itu.”

Saudara Seperguruan Ke-10 dan aku sangat buruk dalam kelas deduksi sihir kami hingga Mo Yuan mengirimkan kami ke dunia manusia sebagai hukuman dan membuat kami bekerja di sana sebagai peramal.

Kami membangun sebuah kios di pasar untuk meramal dan membaca tulang. Setiap beberapa hari, kami akan melihat seorang wanita baik-baik yang disiksa atau dilecehkan. Jika ia belum menikah, seorang ksatria akan menarik pedangnya dan meraung seraya bergegas menghampiri untuk membela si gadis, dan jika ia sudah menikah, suaminya akan muncul dan menghunuskan pedangnya. Si ksatria dan suaminya selalu akan berpakaian putih saat mereka muncul.

Buntalan mengusap hidungnya dan mengerutkan keningnya lagi.

“Ada dua orang sedang berguling-guling di atas ranjang bersama-sama di dalam kamar itu. Mereka saling membelit. Aku ingin tahu mengapa mereka saling menjerat seperti itu, jadi aku tetap di sana selama beberapa lama untuk menonton mereka.”

Jantungku berdebar. “Dan apa yang kau lihat?” tanyaku, suaraku bergetar.

Ia tampaknya berpikir hati-hati. “Mereka saling mencium satu sama lain, benar, berciuman ... dan saling menyentuh satu sama lain, benar, menyentuh.” Ia menjeda. “Ibu, apa yang sedang mereka lakukan?” gagapnya.

Aku menatap ke langit dan memikirkan bagaimana cara menjawabnya. Aku memasang sebuah ekspresi serius dan berkata, “Manusia yang mempelajari Taoisme punya satu latihan yang dikenal sebagai harmonisasi dan mempelajari satu sama lainnya. Itu adalah apa yang sedang dilakukan oleh pasangan yang kau lihat. Harmonisasi dan mempelajari satu sama lain.”

“Manusia begitu mengabdikan dirinya sepenuh hati pada Taoisme,” Buntalan berkata bijak dengan suara kecilnya.

Aku tertawa terbahak-bahak.

Related Posts:

0 comments:

Posting Komentar