Three Lives Three Worlds, The Pillow Book 2
Chapter 12 Part 2
Mencoba untuk melembutkan, Wen Tian menawarkan, “Bisakah aku ikut juga? Orang luar biasanya tidak boleh memasuki Gunung Qinan tanpa izin dari Yang Mulia Raja, tetapi aku sungguh ingin mengunjunginya kali ini.”
Dua orang lainnya masih saling bertatap mata tanpa ada satu pun yang menyerah bahkan satu inci.
“Tentu saja Wen Tian akan ikut dengan kita,” Chen Ye menjawab.
Aranya sedikit terkejut.
Ia tersenyum dan berkata, “Tidak masalah bagiku. Dengan adanya Wen Tian akan mencegah kita berdua dari memulai pertarungan di sepanjang perjalanan.”
***
Dua hari setelahnya. Di belakang Gunung Qinan, pepohonan parasol Cina menampakkan bayangan mereka di bawah sinar matahari; bambu-bambu bergemerisik terkena angin sepoi-sepoi.
Aranya membawa sekeranjang dipenuhi dengan berbagai macam kue buatan rumah. Ia duduk tenang di tempat terbuka di luar pondok bambu dan menunggu Xize menyelesaikan pranayamanya dan membukakan pintu untuk menyambut tamu-tamunya.
Chen Ye melirik dingin ke arah keranjang di sebelah Aranya, kemudian, tanpa kata, pergi menuju tambang dengan Wen Tian.
Pranayama Xize berlanjut hingga tengah hari.
Ketika ia membukakan pintunya, ia menguap dan bersandar di pagar dengan jubah putihnya yang melambai dan berkata pada Aranya, “Kau kemari begitu awal. Oh, dan kau membawakan kue juga untukku?”
Aranya membawakan keranjangnya dan menyapa Xize.
“Kau menuliskan kalau kau telah menangkap seekor monster Quanyin untuk membantuku berlatih panahan. Kau tahu aku akan datang mengunjungimu paling telat dua hari, tetapi kau menutup pintu itu sepanjang pagi. Aku mulai berpikir kalau kau tidak ingin bertemu denganku.”
(T/N : 犬因兽Monster Quanyin: juga dikenal dengan 獓狠 aoyin, monster pemakan manusia dari Gunung Sanwei, menyerupai seekor kerbau dengan empat tanduk.)
Ini merupakan perkataan Aranya, tetapi wajahnya menyala penuh minat: “Dimana monster Quanyin-nya sekarang?”
Xize menerima keranjang itu dan berbalik, berjalan selagi memberitahu Aranya, “Kau menakutiku dengan tampang mayat hidupmu ketika baru tiba tadi. Sudah pasti, aku tidak akan mengizinkanmu masuk, jangan sampai kau memberiku nasib sial. Akhirnya kau terlihat hidup kembali. Walaupun, akan lebih baik jika kau terlihat lebih hidup lebih cepat. Jarang sekali kau kemari menemuiku, tak bisakah kau terlihat ceria?”
Aranya menghela napas, “Semangatku tidak begitu baik belakangan ini, tetapi tentu saja, aku belum sampai mirip dengan mayat hidup. Apakah kau membuatku berdiri di luar terebus setengah harian di dalam sinar matahari untuk membantuku mendapatkan vitalitas?”
Xize menjejalkan sepotong kue ke dalam mulutnya.
“Memangnya untuk apalagi?”
Ia mendongakkan kepalanya, sebuah hutan batu muncul dari balik kabut yang menipis. Dipenuhi dengan puncak batu yang tak menentu. Di langit di atas sana terdapat selingkaran cahaya keunguan.
Mereka dapat mendengar samar-samar auman dari makhluk aneh. Tampaknya Xize menganggap suara ini menyenangkan di telinga.
Setelah mendengarkannya selama beberapa saat, ia berkata, “Karena monster Quanyin ini terus menyebabkan masalah tahun demi tahun, aku jadi direpotkan untuk menangkapnya. Monster ini paling tangkas dibanding dengan binatang eksotik lainnya, juga paling tidak peka terhadap rasa sakit, jadi paling cocok untukmu berlatih panahanmu. Jika kau bisa memanahnya, kau pasti bisa memanah apa pun di Lembah Fanyin.”
Aranya memunculkan sebuah busur dari lengan jubahnya dan berkata sembari tersenyum, “Biarkan aku menemuinya.”
Monster Quanyin merupakan seekor binatang prasejarah bertanduk empat. Temperamennya seganas penampilannya; hanya dapat dideskripsikan sebagai buas.
Aranya mengangkat busur Jianshi dan terbang memasuki labirin batu.
Karena monster Quanyin telah dibuat kelaparan oleh Xize selama berhari-hari, aroma manusia membuat monster ini kegirangan. Meskipun monster itu tidak memiliki cukup tenaga karena kelaparan, cakarnya lebih tajam dari biasanya, dan tubuhnya pun lebih waspada. Sulit menyalahkan si monster yang mempertaruhkan nyawanya demi mencari makan.
Aranya menggunakan bebatuan besar sebagai tamengnya dan menahan napasnya selagi ia menjaga jarak dari monster Quanyin. Panah tak bersayap menembus udara, namun sebelum mereka dapat mencapai tubuh monster itu, ia sudah melarikan diri dengan cerdasnya.
Dari luar, Xize pada akhirnya memanggil: “Kau tidak akan bisa mengenainya jika kau mengarahkannya. Tak ada satu pun benda yang kau gunakan lebih cepat dari panahmu, tetapi monster Quanyin akan selalu lebih cepat. Akan lebih baik bagimu untuk memperhitungkan kecepatan panahmu, lalu memperhitungkan kecepatan dari pergerakan monster itu dan menembakkan panahmu agak miring.”
Xize memang benar, tetapi mudah bicara ketimbang melakukannya. Apa yang dimaksud olehnya adalah bahwa Aranya perlu melakukan tiga hal.
Pertama, Aranya harus bersembunyi dari monster Quanyin tersebut, menghindar agar tidak tertangkap dan dimakan olehnya.
Kedua, Aranya harus segera membuat perkiraan akurat ketika mengangkat busurnya.
Ketiga, Aranya harus mengamati dan menangkap kebiasaan serta pergerakan monster itu.
Mereka telah berada dalam labirin batu selama setengah jam tetapi belum ada yang memenangkannya. Seseorang dapat membayangkan betapa marahnya si monster Quanyin itu, tidak bisa menikmati makanan yang berada tepat di depan matanya.
Xize berdiri di samping hutan batu dan berkata selagi menyesap tehnya, “Jangan coba-coba keluar terlalu cepat. Hal yang cukup wajar, tidak dapat menembaknya dalam jangka waktu satu jam. Jika kau termakan karena kau kelelahan, apa yang harus kukatakan pada gurumu?”
Suara Xize baru saja mendarat ketika raungan penuh amarah dari monster Quanyin terdengar bergemuruh dari dalam formasi batu.
Si gadis berjubah merah telah mendorong dirinya dari pilar batu melayang di udara dan melepaskan panah yang telah diperhitungkan dengan baik. Diarahkan pada perut bagian bawah si monster bertanduk empat, sasarannya hebat dan sangat akurat.
Mata Aranya yang tenang mengkhianati jejak kegembiraannya. Ia berencana untuk mendarat dan dengan cepat mundur dari formasi; akan tetapi, tragedi, terjadi tepat di saat ini.
Di detik Aranya mendarat, tidak menyadari sekumpulan lubang loquat di atas tanah, ia kehilangan keseimbangan dan langsung terjatuh ke bawah, kemudian menumburkan keningnya pada sebuah stalagmit terdekat.
Segalanya terjadi dalam sekejap. Monster Quanyin sudah siap untuk menerkam.
Kepakan sayap mendadak terdengar di langit yang kosong. Seperti awan mendung, bulu hitam menghalangi cahaya matahari. Sebilah pedang menusuk ke dalam dada bergelombang monster itu dan mendorongnya hingga memasuki sisi sebuah pilar batu.
Semuanya terjadi dalam hitungan detik. Mata si pria berjubah hitam itu tak terukur selayaknya lubang yang dalam. Ia membentuk sebuah segel dari telapak tangannya. Di belakang cahaya keperakan, bebatuan yang tak menentu di dalam hutan bergemuruh dan mulai bergerak.
Merasa nyaman sekarang karena telah terbebas dari tusukan pedang, monster Quanyin meraung penuh hasrat untuk melewati susunan formasi batu tersebut.
Karena formasi itu dikerahkan oleh Chen Ye, formasi itu tidak seceroboh dan selonggar yang terlihat. Monster Quanyin terjepit di tempat. Walaupun begitu, tidak akan mudah bagi mereka berdua untuk meninggalkan labirin tersebut. Hanya terdapat sebuah celah kecil di antara mereka dan monster Quanyin di sudut barat daya.
Aranya memegangi luka berdarah di atas keningnya dan samar-samar melihat Chen Ye seolah ia masih belum memahami mengapa ia mendadak muncul. Pikiran lain apa lagi yang akan dimiliki Aranya di saat kritis seperti ini?
Chen Ye memegangi Aranya dan menekan kepalanya yang terluka ke dadanya; sayap hitam dengan erat menutupi mereka berdua. Mereka berjuang keras menuju bebatuan terdekat di depan monster itu, tubuh mereka yang saling menekan, berguling menuju titik paling rentan di medan pelindung itu.
Sekalinya mereka keluar dari formasi, Xize langsung memperkuat medan pelindungnya.
Tatapan Xize jatuh pada Chen Ye selagi ia memuji Chen Ye, “Sudah cukup lama. Kau semakin tenang di medan pertempuran dibanding sebelumnya.”
Xize lalu menambahkan, “Kau selalu suka memasang wajah dingin itu dan mengabaikan orang lain ketika masih muda. Bagaimana bisa kau tidak berubah sama sekali setelah dewasa?”
“Bagaimana bisa kau membiarkan Aranya melawan monster Quanyin, mengetahui kalau monster itu begitu berbahaya?” Chen Ye menjawab, agak tenang.
“Bukankah Aranya berhasil mengenainya? Kalau bukan karena mendadak jatuh tadi ...”
Dengan perasaan bersalah, Xize menggaruk kepalanya.
“Ah, itu semua salahku. Aku berjalan-jalan di labirin kemarin dan mengupas beberapa loquat ...”
Kemudian Xize segera berkata keras, “Namun, medan pertempuran semuanya seperti ini. Tidak ada seorang pun yang akan membantu Aranya membersihkan lubang loquat. Aranya hanya harus berhati-hati. Itulah tepatnya pelajaranku untuknya.”
Aranya berbaring di lengan Chen Ye.
Setelah beberapa lama, Aranya menginterupsi, “Aku rasa, tidak akan ada seorang pun yang akan memakan loquat di medan petempuran, jadi tidak perlu mengkhawatirkan soal ini.”
Chen Ye menatap Xize; tidak ada jejak kehangatan di dalam matanya.
“Ketika Aranya berada dalam bahaya, apa yang sedang kau lakukan? Aranya adalah istrimu.”
Xize tampaknya segera dipenuhi rasa bersalah.
“Aku sedang memakan kue-kue yang dibawakannya untukku, jadi aku tidak memperhatikan ...”
Namun, Xize langsung berubah galak: “Apa, hanya karena kami melakukan upacara pernikahan, kami diharuskan menjadi suami dan istri? Itu mungkin pandangan semua orang berpikiran sempit, tetapi Aranya dan diriku tidak merasakan hal yang sama. Selain itu, bukankah kau lebih cepat dariku dalam menyelamatkan Aranya? Bukankah apa pun yang mungkin kulakukan hanya akan sia-sia?”
Ekspresi Chen Ye membeku seperti sebalok es.
“Jika aku tidak cukup cepat, lengan Aranya pasti telah putus digigit monster itu.”
Xize berkata kebingungan, “Aranyalah yang tangannya akan putus tergigit. Jika Aranya saja tidak mempertanyakan diriku, kenapa kau malah mempertanyakanku?”
Tangan Chen Ye masih menutupi kening Aranya yang berdarah.
Tampang penasaran di wajah Aranya menyebar selagi ia mengikuti permainan Xize: “Itu adalah sebuah pertanyaan yang bagus. Aku juga ingin mengetahuinya.”
Chen Ye melihat ke bawah pada Aranya untuk pertama kalinya. Darah di kening Aranya telah mengotori tangannya. Dengan penghinaan, Chen Ye pernah mengatakan darah ini tidak bersih, tetapi kali ini ia membiarkan darah itu mengotori tangannya. Chen Ye tidak menarik tangannya. Dalam matanya terdapat suatu kilatan dari sesuatu yang mirip dengan pergumulan.
Aranya bertanya lembut padanya, “Chen Ye, apakah kau menyukaiku?”
“Berani sekali kau ...”
Aranya menyingkirkan jemari Chen Ye yang menekan keningnya.
Terdapat sejejak amarah dalam suara Chen Ye: “Bisakah kau diam?”
Aranya tertawa, “Kau memang menyukaiku, Chen Ye.”
Jemari Chen Ye lagi-lagi menyelimuti kening Aranya. Ia menekankan bibirnya bersamaan dan tidak mengatakan apa pun, tetapi Aranya adalah satu-satunya bayangan yang ada dalam mata Chen Ye.
Kondisi Aranya tampak begitu serius bagi Chen Ye. Seperti makhluk dunia lain yang telah menembus benteng bersalju, disamping dari senyuman Aranya, di belakang Chen Ye adalah langit abadi dipenuhi salju yang berserakan.
Tetapi itupun cukup sulit.
Aranya jadi bersemangat dan mengangkat tangannya untuk menusuk dagu Chen Ye.
“Tidak masalah jika kau tidak mau mengakuinya. Aku sakit kepala, tunjukkan sebuah senyuman untukku.”
Chen Ye terus memeluknya.
Ia membiarkan Aranya bermain dengan dagunya tetapi sedikit menurunkan pandangannya pada Aranya: “Kau mau mati?”
Aranya tersenyum samar pada Chen Ye.
“Apakah ada yang pernah mencubiti dagumu sepertiku?”
Chen Ye masih menatap Aranya dengan cara yang sama, menanti Aranya menarik tangannya pergi.
“Menurutmu?”
Chen Ye seharusnya marah, tetapi paling tidak ia tak terdengar marah.
Ketika Wen Tian bergegas menawarkan sehelai saputangan sutra, tangannya membeku di tengah udara saat wajahnya berubah memucat.
Xize menjejalkan sepotong kue ke dalam mulutnya, menatap langit, terbatuk dan menyimpulkan, “Mereka yang harus mencari sebuah tempat tidur bagi yang terluka, pergilah mencari ranjang, bagi yang perlu untuk memasak, pergilah memasak. Kenapa semua orang berdiri di sekitar sini?”
***
Mengenai pertanyaan apakah Chen Ye menyukai Aranya atau tidak, Fengjiu sudah mengeluarkan keringat dingin ketika ia mendengarkan separuh bagian masa lalu itu dari Mo Shao.
Pada saat ini, seolah ada sebongkah batu yang mendadak tenggelam di kedalaman neraka dan meninggalkan bunyi boom besar di belakang Fengjiu. Apa yang naik, adalah kepercayaan Fengjiu yang melayang.
Fengjiu merasa senang sekaligus lega.
Tetapi selagi mendengarkan Mo Shao membicarakan soal monster Quanyin, Fengjiu bertanya-tanya apakah, demi melakukan nyanyian pertunjukkan ini dengan memuaskan bersama Chen Ye, haruskah ia juga bertemu dengan si monster legendaris Quanyin yang tinggal di belakang Gunung Qinan?
Kulit kepala Fengjiu mendadak gatal memikirkan ini.
Tetapi bagi Aranya dan Chen Ye, itu pastinya menjadi insiden mengharukan yang membawa keduanya bersama. Kecemasan Fengjiu sebelumnya perlahan tenggelam.
Fengjiu ditakdirkan memiliki kisah cinta yang terkutuk; jalannya tidak dipenuhi dengan bunga mawar. Karena ia sungguh bersimpati terhadap Aranya, ia berharap agar takdir Aranya akan jadi sedikit lebih lancar. Hasil ini memuaskannya.
Fengjiu bertanya apakah Mo Shao ingin secangkir teh lagi. Su Moye melirik Fengjiu, senyuman samar muncul di atas wajah sedihnya. Senyuman sekilas itu membuat Fengjiu merinding hingga ke tulang.
Fengjiu mengigil dan teringat bahwa pria yang sedang duduk di seberangnya memiliki julukan Dewa Seribu Wajah.
Jemari si Dewa Seribu Wajah ini dengan ringan mengetuk meja.
“Aku tahu apa yang sedang kau pikirkan. Kau merasa kalau ini merupakan akhir yang bahagia, kan?”
Su Moye menatap danau di kejauhan.
“Itu bukanlah akhirnya sama sekali. Masih ada begitu banyak hal yang terjadi setelahnya, tetapi hanya satu yang bisa dianggap dengan hal baik.”
Su Moye menjeda, kemudian melanjutkan: “Xize sebenarnya cukup terhormat. Meskipun pernikahan ini tidak ada arti baginya, ia tidak pernah sekali pun selama bertahun-tahun itu mengajukan surat perceraian. Xize mengasihani Aranya karena menjadi putri kedua yang dipandang rendah.
"Sebagai istrinya, hari-hari Aranya akhirnya menjadi lebih baik. Semenjak hari itu di belakang Gunung Qinan, Chen Ye dan Aranya tinggal bersama selama dua tahun lagi. Aku tidak yakin apa yang terjadi di antara mereka berdua. Pada saat itu, aku telah kembali ke Laut Barat. Yang kutahu adalah Chen Ye masih tinggal dalam penahanan di kediaman Aranya selama masa dua tahun itu.”
Fengjiu bertanya-tanya sendiri dalam hatinya. Mo Shao bilang ia punya urusan dan dipanggil kembali ke Laut Barat, sebuah alasan yang tak dapat ditolak. Tetapi, mungkinkah, ketika Mo Shao akhirnya menyadari apa arti Aranya baginya, sayang sekali, orang yang dicintainya telah menemukan orang lain?
Karena sakit hatinya, Mo Shao kembali ke Laut Barat.
Sekarang setelah ia tahu, Fengjiu berusaha memilah katanya sebaik mungkin: “Kurasa bukan salahmu juga kalau kau tidak mengetahui semua hal yang terjadi. Tetapi, barusan kau bilang masih ada banyak hal buruk yang terjadi; apakah itu?”
Su Moye melamun sekian lama.
Pada akhirnya, ia berkata, “Menurut catatan sejarah, Raja Xiangli Que meninggal karena sakit dua tahun kemudian. Putra Mahkota Xiangli He mewarisi takhta; penobatannya terjadi tanggal 24 Juli, tepat di hari lahir Nagarjuna Bodhisattva. Ia hanya menduduki takhta selama tujuh hari ketika Klan tetangga, Klan Burung Hantu menuduh Klan Biyiniao melanggar batasan perburuan dan mengirimkan pasukan untuk memulai perang.
"Xiangli He sendiri memimpin ekspedisi itu dan mengusir Klan Burung Hantu di luar Sungai Perak. Pada tanggal 17, Xiangli He gugur dalam pertempuran. Xiangli He tidak memiliki keturunan, dan, seusai dengan urutan pewaris takhta, jika Junuo tidak diturunkan statusnya menjadi rakyat jelata, ia lah yang berada di barisan depan, diikuti dengan Aranya dan Changdi. Tanggal 19, Junuo disambut kembali masuk Ibu kota untuk mewarisi takhta. Hari berikutnya, Aranya gantung diri.”
Fengjiu tercengang.
Su Moye menambahkan, “Mungkin karena Aranya telah berubah menjadi debu, dan menurut para Biyiniao, gantung diri merupakan cara yang baik untuk menghilangkan jiwa seseorang, karena itulah mereka bernyali menggunakannya untuk menipuku.”
Fengjiu merasa tenang sementara waktu.
Ia bertanya sembari mengernyit, “Aku pernah mendengar setelah Aranya meninggal, Ratu berikutnya langsung memerintahkan agar namanya dimasukkan dalam kata terlarang. Aku punya beberapa pertanyaan. Apakah klan sebenarnya mengizinkan Junou untuk menyalip Aranya mewarisi takhta? Mereka juga tetap bersikeras mengatakan kalau Aranya gantung diri, tetapi mereka tidak memberikanmu alasan gantung dirinya itu? Dan mengapa pula Junuo melarang nama Aranya untuk disebutkan?”
“Beredar rumor,” kata Mo Shao tanpa ekspresi, “bahwa daripada meninggal karena penyakit, Shangjun sebenarnya diracuni oleh Aranya.”
Su Moye membawa kembali pandangannya pada Fengjiu.
“Tentu saja, jika ini kasusnya, pertanyaan yang kau ajukan tidak akan begitu membingungkan. Tetapi, apakah kau mempercayai rumor ini?”
Fengjiu refleks menggelengkan kepalanya.
Fengjiu bertanya ketika mendadak teringat, “Bagaimana dengan Chen Ye?”
Su Moye mencibir, “Chen Ye? Dirumorkan bahwa setelah Shangjun meninggal dunia, ia diterima kembali di Istana Qinan. Aranya dipenjara karena kematian Raja. Chen Ye mengajukan sebuah surat ...”
Hati Fengjiu mendadak tenggelam.
“Apa yang tertulis di dalamnya?”
Sebuah sungai es tampaknya telah terbentuk di senyuman sedingin es dalam mata Mo Shao.
“Dalam surat itu tertulis permintaan agar kasus Aranya dipindahkan ke Istana Suci, berkata bahwa, semenjak Aranya bersalah atas kejahatan besar, ia harus dieksekusi di kuil.”
Terdapat jeda panjang.
“Hari berikutnya, Aranya bunuh diri.”
0 comments:
Posting Komentar