Three Lives Three Worlds, The Pillow Book 2
Chapter 14 Part 2
Kadang kala, Aranya akan meletakkan mereka di depan Chen Ye dan membiarkannya melihat apakah ia telah memangkas mereka dengan baik atau tidak, apakah mereka butuh lebih banyak dipangkas atau tidak.
Lagi dan lagi seperti itu, Chen Ye mengangkat matanya dari bukunya dan bertanya kosong pada Aranya, “Apakah kau duduk di sebelahku untuk sengaja mengganggu bacaanku?”
Aranya berpura-pura menyodok dagu Chen Ye dengan tangkai bunga di tangannya.
“Apa asyiknya membaca sendirian? Aku di sini untuk menemanimu.”
Aranya tertawa, “Bukankah itu karena kau yang tidak mau meninggalkanku barang sebentar saja, Yang Mulia?”
Chen Ye memiringkan kepalanya dan memungut beberapa dedaunan dengan jemarinya.
“Keterampilanmu dalam mengarang cerita semakin lama semakin hebat. Tangkainya agak panjang di sini; masih terlalu banyak daun juga.”
Aranya tersenyum dengan mudah.
“Yang Mulia, Anda terlalu menyanjungku. Hambamu ini hanya pandai dalam membaca pikiran Anda.”
Chen Ye mencegat gunting yang sedang memangkas itu dari tangan Aranya.
Tangannya sendiri mengguncang selagi ia berkata, “Jika kau memanggilku ‘Yang Mulia’ dan dirimu ‘hambamu’ sekali lagi, aku akan melemparmu keluar.”
Aranya tersenyum lembut.
“Yang Mulia, Anda selalu bilang akan melempar hambamu ini keluar, tetapi Anda tidak pernah melakukannya, kan?”
Saat Aranya memegangi tangkai bunga, kelopak bunganya menghalangi rambut di dekat telinganya. Mata Chen Ye tetap di sosok Aranya sekian lama. Aranya berpura-pura tidak menyadarinya dan meletakkan tangkai terakhir dari buket ke dalam vas.
Itu adalah saat ketika Aranya mendengar Chen Ye berkata dengan suara yang dalam: “Berbalik.”
Aranya berbalik melihat Chen Ye, matanya masih tersenyum.
“Itu hanya sebuah gurauan. Jangan marah dan melemparku keluar.”
Chen Ye tidak berbicara. Ia berdiri dan memetik setangkai bunga kecil dari vas, lalu sedikit mencondongkan diri dan menyelipkannya ke rambut Aranya.
Chen Ye mengelus kening Aranya lembut, lalu berhenti dan menarik diri. Ia pun mengambil kembali bukunya, matanya kembali ke atas halaman-halaman buku itu. Dalam keheningan, satu halaman telah dibalik.
Aranya membeku sesaat.
Ia menyentuh kelopak bunga di atas telinganya, pada akhirnya berkata pelan, “Terkadang, aku merasa itu tidak cukup. Lalu, terkadang, aku merasa ini sudah begitu luar biasa dengan dirimu yang seperti ini.”
Chen Ye menaikkan pandangannya lagi dari halaman bukunya.
“Apanya yang tidak cukup?” ia bertanya, tampak tak yakin.
Tetapi Aranya hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya.
Sinar fajar mewarnai paviliun kecil itu dengan warna yang hangat. Langit dan air meluncur tanpa henti. Kolam kebiruan berkilau lembut dalam cahaya pagi. Aroma teratai melayang memenuhi udara. Pasangan yang ada di paviliun dalam ingatan itu perlahan menghilang, meninggalkan hanya satu sosok pucat di pemandangan yang luas.
Siluet sosok ini tampak kacau dan bahkan entah bagaimana tampak menyedihkan bagi Fengjiu. Akan sangat luar biasa jika kisah mereka dapat selamanya dihentikan di masa ini.
Tetapi, apa yang datang pasti akan datang.
Mo Shao pernah memberitahu Fengjiu kalau catatan di buku sejarah mengenai apa yang terjadi selama dua tahun itu hanya terdiri dari beberapa kata langka; tak lebih dari sekadar hal tragis yang pendek.
Menurut Fengjiu, ada kalanya ketika buku sejarah tidak dapat dipercaya. Namun, ketika kenangan selanjutnya muncul dengan gembira, ia terkejut mengetahui kalau catatan sejarah mengenai kematian Raja Xiangli Que sebenarnya dapat dipercaya, jarang ada yang seperti itu.
Pada malam 16 Juli, dari istana muncullah kabar bahwa sang raja telah meninggal dunia akibat penyakit. Raja selalu hangat dan sehat. Tidak jelas penyakit langka macam apa itu; Aranya hanya tahu mereka bilang Raja meninggal, dan begitulah.
Aranya sedang bermain catur dengan Chen Ye ketika kabar itu tiba. Bidak catur batunya jatuh ke atas papan catur dengan bunyi clack, membuat permainan itu berantakan.
Chen Ye terdiam tanpa kata memegangi sebuah bidak catur putih di tangannya. Seorang pelayan tergesa-gesa mengeluarkan sebuah jubah malam dan menggantungkannya di sekitar pergelangan tangan Aranya.
Aranya dengan cepat berjalan keluar.
Selagi ia melewati ambang pintu, Aranya menolehkan kepalanya dan berkata, “Bidak catur barusan itu tidak dihitung. Biarkan permainannya seperti itu. Kita akan menentukan pemenangnya di hari lainnya.”
Chen Ye mengeluarkan suaranya: “Tunggu.”
Chen Ye bangkit dan memetik setangkai bunga putih dari vas, berjalan menghampiri Aranya, melepaksan tusuk rambut giok dekat telinganya dan menyelipkan bunga itu ke atas rambutnya.
Jemari Chen Ye menyentuh kening Aranya sepintas, sebelum ia terhenti dan menyuruh Aranya: “Pergilah.”
***
Tiga hari kemudian, Aranya dengan santai kembali ke rumah. Segalanya di kediaman tetap sama selain kenyataan bahwa Archmage yang telah bertamu di Kediaman Mengchun selama dua tahun terakhir, dikatakan telah diterima kembali di Istana Qinan belum lama ini.
Si pelayan tua mengelap peluh dari keningnya dan melaporkan pada Aranya kalau ia baru saja akan mengirim seseorang ke istana untuk mengabarkan hal ini, tidak mengetahui kalau Aranya akan kembali.
Si Archmage baru pergi belum lama ini dan mungkin saja belum terlalu jauh. Implikasinya adalah kalau sang putri ingin mengucapkan salam perpisahan pada Yang Mulia Chen Ye, masih ada waktu.
Tidak benar-benar tepat untuk mengejar Chen Ye dengan status Aranya. Pelayannya terbawa rasa cemas, tetapi Aranya begitu sadar. Hanya sekejap saja ketika ia tampak tersesat dalam lamunannya.
Aranya melepaskan jubahnya, kemudian melepaskan bunga yang telah layu dari rambutnya. Ia duduk sejenak dalam angin malam. Terpesona oleh arus, kelopak bunga terbaring layaknya noda di atas lantai.
Aranya menatap batang tanpa kelopak di tangannya dan tersenyum sedih.
“Apakah kau memberikan ini padaku malam itu sebagai ucapan perpisahan? Aku bahkan tidak pernah mengetahuinya.”
***
Setiap penguasa memiliki seperangkat pengikutnya. Raja berbeda yang berkuasa punya pengaturan yang berbeda pula.
Pengaruh Kuil selalu terpisah dari takhta. Bahkan Xiangli Que saja mengalami masa sulit menekan kuil yang tak ber-Archmage ketika ia masih berada di atas takhta, terlebih lagi seseorang yang tak memiliki fondasi kuat semacam Xiangli He. Inilah mengapa, Chen Ye diantarkan kembali ke Istana Qinan.
Meskipun ia juga seorang penguasa, Fengjiu tidak benar-benar mengerti pertimbangan ini mengenai Xiangli He. Semenjak yang dapat diingatnya, rumahnya, Qingqiu, hanya pernah berganti penguasa satu kali. Itu adalah ketika Fengjiu mengambil alih posisi bibinya.
Fengjiu teringat bahwa semenjak bibinya turun dari takhtanya, ia mulai menjalani hidup dengan bahagia setiap harinya, dan selalu menatap Fengjiu dengan simpati dari seseorang yang pernah ada di posisi itu sebelumnya.
Terlebih lagi, para penduduk dari Wilayah Timur kebanyakan tidak berpendidikan. Hobi terbesar mereka adalah berpura-pura menjadi orang biasa dan membangun kios-kios di pasar.
Jika mereka pernah berselisih, itu dikarenakan seseorang mengambil kios orang lain. Menurut mereka, Qingqiu adalah sebuah kerajaan dewa. Walaupun mereka memiliki jabatan-jabatan pemerintahan dan memiliki kekuasaan, bagaimana bisa mereka bertingkah layaknya manusia dan membiarkan kekuatan membutakan mereka?
Meskipun dewa-dewi di Jiuchongtian juga memperebutkan posisi seperti ini, itu semua karena mereka tidak mempunyai tujuan apa pun dalam hidup. Mereka tidak merasakan kesenangan dari menjalankan sebuah kios dan hanya menyalahgunakan kekuasaan.
Dengan kata lain, mereka hanya tidak punya semangat dalam hidup. Menyingkirkan apakah para pengikutnya benar atau salah, suatu kenyataan kalau mereka telah banyak membantu Fengjiu lepas dari kesulitan.
Kenangan ini, mendatangi Fengjiu satu per satu seperti sebuah air terjun yang jatuh dari tebing, memercikkan percikan dingin ketika mereka menyentuh kerikil di dasar.
Semenjak awal mulanya waktu, yang disebut dengan tragedi selalu datang dalam histeria seperti ini, kejam dan tanpa perasaan.
Babak selanjutnya dari kenangan ini terkait erat dengan rumor dalam cerita Su Moye.
Ternyata, itu bukan pernyataan yang salah.
Tanggal 22 Juli.
Prosesi pemakaman Shangjun sudah hampir selesai. Ketika malam tiba, kediaman putri disergap. Aranya dibawa keluar rumahnya dengan kedua tangan dibelenggu dan dibawa masuk ke dalam istana. Ia dituduh atas pembunuhan raja.
Jaksa utama dari Biro Pidana yang bertugas untuk kasus ini adalah adik ibunya, paman Aranya.
Setelah Shangjun meninggal, cukup masuk akal bahwa putra mahkota akan mengambil alih takhta. Walau begitu, Putra Mahkota Xiangli He tidak pernah menjadi seorang pewaris yang disegani.
Pada titik waktu ini, Xiangli He adalah putra mahkota tak berkekuasaan yang hanya akan menjadi raja boneka, dan seluruh kekuasaaan akan jatuh ke tangan Lady Qinghua.
Semua orang di istana tahu dengan jelas bahwa jaksa di Biro Pidana hanyalah orang suruhan Lady Qinghua. Dengan kata lain, orang yang menuduhkan hal ini pada Aranya adalah ibunya sendiri, orang yang memerangkap Aranya adalah ibunya sendiri, dan orang yang sekarang dengan tegas mendorongnya ke jalan kematiannya juga, adalah ibunya sendiri.
Di hari ketujuh setelah Aranya ditangkap, Lady Qinghua sudi mengunjunginya di penjara. Sel tahanannya begitu sederhana.
Tumpukan jerami dibuat menjadi alas tidur. Di sebelah pintu sel tahanan terdapat sebuah meja lapuk, di atasnya terletak sebuah lampu minyak redup.
Dengan jubah biasa, Aranya menyandarkan diri di meja untuk melatih kaligrafinya. Di luar pintu sel tahanan ada seorang penjaga yang memperhatikan sebuah anglo. Setiap kali Aranya menyelesaikan satu helai kertas, ia akan menerimanya dari Aranya dan segera membakarnya.
Pakaian Lady Qinghua yang sepanjang lantai pun menyapu tangga batu di ruang bawah tanah gelap tersebut. Ketika Aranya mendengarkan bunyi gemerisik halus, ia mendongak untuk melihat pengunjungnya.
Aranya menaikkan sebelah alisnya: “Karena kau di sini untuk menemuiku, aku menduga kau sudah mengurus segala sesuatunya di dalam istana.”
Nada suara Aranya begitu halus, menyampaikan sapaan seolah mereka sedang bertemu di taman kerajaan, bukannya di sel tahanan ini.
Dalam balutan busana mewahnya, Qinghua berhenti dua langkah di depan pintu sel. Si penjaga membukakan pintu, kemudian beranjak pergi.
Aranya memegangi sehelai perkamen yang sudah selesai di tangannya seraya melanjutkan: “Tidak ada masalah di sini. Mulanya, aku sungguh tidak mengerti kenapa kau memfitnahku dengan tuduhan semacam itu, tetapi setelah merenunginya sejenak, entah bagaimana aku rasanya mengetahui alasannya.”
“Kau selalu pintar,” Qinghua menjawab enteng.
Ia menurunkan matanya dan memandang wajah Aranya sejenak, lalu mengeluarkan sebuah dokumen bercap dan sebuah botol porselen kecil dari lengan jubahnya.
Qinghua meragu sejenak, lalu mencondongkan diri dan meletakkan mereka di atas meja tua itu.
“Lihatlah ini.”
Tiada emosi yang dapat terdengar dari suaranya. Sama halnya seperti tanggapan asal-asalan tanpa perasaan yang diberikan Qinghua kapan saja Aranya datang menyampaikan salamnya.
Diterangi oleh cahaya lilin yang kabur, goresan tinta redup muncul dari dalam dokumen yang terlipat. Aranya membentangkannya di depannya dan membaca sepintas lalu tulisan tangan penuh semangat di atas perkamen. Bayangannya berubah sedikit suram.
Setiap kali Aranya memandang ke bawah pada lembaran kertas itu, wajahnya berubah jadi sedikit lebih pucat. Lama kemudian, ia mendongak menatap ibunya. Selain terlihat sedikit pucat dan kelingking yang bergetar, ekspresinya tetap tenang.
Bibir Aranya masih mampu membentuk sebuah lengkung senyuman selagi ia berkata, “Yang Mulia Chen Ye telah menulis laporan ini secara metodis. Sangat berbeda dengan gaya biasanya yang bebas.”
Saat Qinghua menanggapinya, sedikit rasa kasihan hampir muncul di matanya.
“Apakah kau nyaman berada di sini?” akhirnya Qinghua bertanya.
Aranya menundukkan kepalanya sambil berpikir keras.
Setelah sekian lama, Aranya berdecak pelan dan memberikan jawaban yang tak ada hubungannya: “Ayahku adalah seorang pria yang tegas semasa hidupnya. Aku tidak mengira suatu hari ia akan kalah dari kata ‘cinta’. Aku menduga, ia tidak pernah berpikir kalau kau masih tidak bisa melupakan ayah Junuo, bahkan sampai hari ini. Tak diragukan lagi, Junuo adalah duri di mata Ayah. Saat Ayah mengusir Junuo dari ibu kota dan menghancurkan masa depannya, ia melakukan itu demi kepuasannya sendiri.
"Sekalipun begitu, Ayah telah menanamkan benih kematiannya dengan melakukan hal itu. Namun, Ibu, kau tidak hanya menahan diri selama bertahun-tahun hanya untuk berhenti sampai di sini. Akhirnya, tujuanmu adalah untuk menjadikan Junuo sebagai ratu dan mengambil kembali kepunyaan ayahnya, aku benar kan?”
Aranya menatap api lilin dan berkata, “Pangeran Mahkota, Aku, dan juga Changdi, kami semua menghalangi jalan Junuo. Karena Putra Mahkota bukanlah putramu, tentu saja kau tidak akan memberi ampun padanya. Changdi hanya orang bodoh; ia tidak punya apa pun selain kecongkakannya. Mungkin yang terbaik adalah merusak kejiwaannya.
"Keluarga kerajaan tidak akan pernah membiarkan seorang gadis gila menjadi penguasa mereka. Tetapi memiliki dua putri pewaris yang jelas terlihat menjadi gila, tentunya akan mengundang gosip orang-orang. Salah satu dari kami harus mati. Karena kau sudah melindungi Changdi, akulah satu-satunya yang harus mati.”
Aranya memaksakan seulas senyuman.
“Aku tidak mengira kau akan sampai begini. Ibu, rencanamu sungguh tidak memberiku jalan keluar.”
Penjara itu sunyi senyap. Aranya meletakkan dokumen itu di samping, melebarkan sehelai kertas dan mencelupkan kuasnya pada tinta. Setetes tinta jatuh mengenai kertas yang terbuka itu.
Aranya memelankan suaranya, “Kau bertanya apakah aku nyaman di sini. Dulu, aku juga bertahan hidup setelah kau membuangku di dalam sarang ular. Kali ini, paling tidak kau ingat kalau aku menyukai kaligrafi meskipun kau memenjarakanku di sini, dan membuat pengecualian dengan menyiapkan kertas dan tinta untukku menghabiskan waktu. Kalau begitu, bagaimana mungkin aku tidak nyaman?”
Lama waktu berlalu sebelum akhirnya Qinghua berkata, “Kau tahu kalau aku bukan satu-satunya di balik semua ini.”
Kuas di tangan Aranya bergetar.
Di atas kertas tertulis, ‘Banyaknya perubahan dalam keberadaan yang fana ini, tak lain hanyalah permainan takdir yang telah ditentukan.’
Tulisan Aranya sebenarnya sangat bagus, tetapi karena getaran di akhir katanya, tulisan itu jadi kehilangan keeleganannya.
Meskipun begitu, Aranya berpegang kuat pada kuasnya.
Mata Qinghua terhenti di atas tulisan Aranya selagi ia berbicara dengan suara dalam, “Posisi Chen Ye selalu bergengsi semenjak hari ia dilahirkan. Bahkan sang raja pun mengingatnya. Chen Ye selalu menjadi orang yang keras kepala, bahkan semenjak masih anak-anak. Ia bahkan merusak masa depannya demi menyelamatkan Junuo.
"Akan tetapi, ahli strategi terbaik dalam urusan duniawi ini jangan pernah menuju prospek masa depannya sendiri. Niat awal Chen Ye adalah untuk menyusun rencana jangka panjang selagi berada dalam pengasingan, tetapi kau menginginkannya hanya untuk dirimu sendiri. Apakah kau tahu kalau itulah yang paling dibenci oleh Chen Ye?”
Qinghua melirik Aranya dan melanjutkan: “Apakah kau baru saja menyesali sentimentalnya ayahmu dan kekalahan terbesarnya oleh kata ‘cinta’? Ayahmu adalah orang licik yang sangat berbahaya. Aku lebih baik mati ketimbang hidup, tetapi satu-satunya hal yang dapat kulakukan adalah tetap menempel di sisinya.
"Tetapi, bagaimana denganmu? Sementara dirimu cerdas, kau jauh lebih inferior ketimbang ayahmu dalam masalah ini. Chen Ye hanya menggodamu, tetapi ia membuatmu mengira bahwa itu adalah cinta sejati dan membuatmu celaka seperti ini. Bukankah ini juga kalah dari kata ‘cinta’?”
Cahaya lilin menyebar jarang-jarang di sepanjang dokumen. Dulu, tulisan tangan ini juga berada di atas alat tulis putih, berkata ia telah menemukan beberapa botol anggurnya di halaman, menanyakan padanya apakah itu terbuat dari metode penyeduhan yang disebutkan dalam suratnya atau bukan.
Hari ini, masih tulisan tangan yang sama, tetapi kata-kata yang tertulis semuanya tidak masuk akal: “Xiangli Aranya bersalah, baik atas pembunuhan raja sekaligus ayahnya. Hatinya lebih kejam dari serigala dan harimau, perbuatannya lebih jahat daripada serigala dan macan tutul ....”
Pada baris ‘nasib yang ditentukan sebelumnya sedang bermain’, tertulis di bagian atas kertas nasi, Aranya menambahkan baris lainnya: ‘Penyesalan dan kesedihan ini, kecemasan dan rasa takut ini, semuanya akan berlalu, pergi di jalan mereka.’
0 comments:
Posting Komentar