Ten Miles of Peach Blossoms
Chapter 9 Part 1
Buntalan dan
aku kembali ke Qing Qiu pagi itu, selagi pejabat resmi Ye Hua, Jia Yun, datang
menjemputnya kembali ke Istana Langit. Rupanya, ada urusan penting yang perlu
didiskusikan dengan mahkamahnya, yang membutuhkan waktu beberapa hari.
Selama masa
itu, Buntalan dan aku bertahan hidup dengan memakan sekeranjang loquat dan
mengasihani diri sendiri. Buntalan memakan begitu banyak buah itu hingga
wajahnya berubah oranye.
Menarik-narik
lengan jubahku dengan menyedihkan, ia berkata, “Ibu, kapan Ayahanda kembali? A
Li ingin memakan jamur kukus dan semangkuk sup kol dan wortelnya.”
Mi Gu tidak
sanggup menyaksikan wajah kecil menyedihkan itu lebih lama lagi. Hanya jamur
kukus dan sup kol dan wortel yang diidamkan Buntalan, tidak akan sesulit itu untuk
dibuat, pikirnya, dengan tenang menggulung lengan bajunya dan masuk ke dapur.
Jamur kukus Ye
Hua dan sup kol wortelnya sangatlah beraneka ragam dan penuh cita rasa, tetapi
mereka begitu rumit dan melelahkan untuk disiapkan hingga bunga-bunga pun layu,
pepohonan menggugurkan dedaunan mereka, dan langitnya berubah warna selama
prosesnya.
Mi Gu
menjungkirbalikkan gua rubah demi mencoba mereplika kedua masakan ini, tetapi
masih tetap gagal mendapatkan persetujuan si Buntalan.
Buntalan terus
menarik lengan bajuku.
“Ibu, Ibu,
kapankah Ayahanda kembali?” tanyanya penuh derita.
Feng Jiu kerap
kali menceritakan padaku tentang pengalaman cintanya ketika ia sedang mabuk. Ia
sampai pada kesimpulan bahwa kau tidak benar-benar tahu apa itu cinta sampai
kau mencobanya. Setelah kau merasakan manisnya, kau tidak akan sanggup hidup
tanpanya.Tak ada satu pun di semesta ini yang mampu memperdaya seperti itu.
Aku setuju
bahwa tak ada yang lebih mempesona ketimbang cinta, tetapi merasa ada sesuatu
yang sama menawannya, seperti masakan Ye Hua.
Sementara aku
tidak sampai setaraf dengan Buntalan dengan keluhannya yang tiada henti itu,
aku merasa aku pun sangat merindukan Ye Hua dan masakannya.
Aku teringat
pertama kali bertemu Ye Hua, di Istana Kristal Air Laut Timur.
Aku hanya
menyadari betapa mencengangkannya, kefamilieran wajahnya. Baru-baru ini saja,
mulai kusadari bahwa ia adalah calon Tian Jun, dengan begitu banyaknya urusan
untuk ditangani, dan apa yang harus dikerjakannya agar dapat kabur selama tiga
bulan dan melakukan semua acara masakan itu untuk kami. Ye Hua begitu
berpengetahuan, baik hati, dan penuh perhatian.
Buntalan dan
aku harus menunggu sampai ia kembali dari langit sebelum kami bisa makan
sesuatu yang pantas. Beruntung bagi Mi Gu, aku punya sebuah ide. Saat ia kemari
untuk mengantarkan loquat di jam makan kami, aku memanggilnya untuk duduk dan
makan bersama kami. Dengan gembira aku menjelaskan padanya ia tidak perlu lagi
mengantarkan buah loquat.
***
Setelah
merasakan masakan Mi Gu, aku menyadari sulitnya hidup tanpa Ye Hua. Aku keluar
dari gua rubah di hari selanjutnya dan memasang sebuah pengumuman. Aku sedang
mencari seorang dewa-dewi muda Qing Qiu untuk mendapatkan kursus memasak di
bawah Ye Hua.
Para makhluk
abadi muda setempat semuanya sangat bersemangat dan membentuk dua baris panjang
di depan gua rubah.
“Aku belum
pernah melihat pemandangan sehidup ini di Qing Qiu dalam waktu lama,” seru Mi Gu.
“Dengan orang sebanyak ini, akan lebih baik untuk membangun sebuah panggung dan
membiarkan para kandidatnya berkompetisi. Kita bisa memilih satu dengan fondasi
terbaik untuk mempelajari kemampuan luar biasa Yang Mulia Ye Hua.”
Aku merasa itu
adalah sebuah ide yang luar biasa dan memberikan izinku. Mi Gu adalah seorang
penyelenggara yang efisien, jadi aku menyerahkan semua padanya sementara aku
kembali masuk ke dalam untuk tidur. Di saat aku terbangun lagi, panggungnya
sudah siap.
Qing Qiu
dipenuhi dengan asap yang mengepul. Buntalan berdiri sembari berliur di pintu
masuk gua rubah. Ye Hua duduk di samping seorang diri, mengangkat matanya untuk
memandangiku begitu seringnya, ada ekspresi aneh di wajahnya. Melihat ada
sebuah bangku bambu kosong di sebelahnya, aku berjalan ke sana dan duduk.
Buntalan
langsung melemparkan dirinya ke atas pangkuanku.
“Mi Gu memberitahuku
kau sedang memilihkan seorang murid untukku?” kata Ye Hua, menguap ringan.
Aku mengangguk.
Ia menyapukan
matanya ke kerumunan makhluk abadi muda yang sedang sibuk di sekitar panggung
dan asap serta api yang membumbung ke angkasa.
Ia mencondongkan
diri ke arahku dan berkata, “Katakan pada mereka, mereka boleh pergi. Semuanya
kekurangan fondasi yang tepat.” Ia menatapku dari atas ke bawah dan tersenyum
berkata, “Kau saja cukup. Tetapi, kau tidak perlu benar-benar belajar. Selama
salah satu dari kita bisa memasak, kita akan baik-baik saja.”
Dengan
santainya ia bangkit dan kembali ke ruang bacanya. Aku tertinggal di sana
dengan tatapan kosong, tidak yakin dengan apa maksdunya.
“Yang mana yang
dipilih oleh Yang Mulia Ye Hua?” Mi Gu bertanya, melompat kemari.
Aku
menggelengkan kepalaku bingung. “Ia tidak menyukai satu pun dari mereka. Ia
bilang, suruh mereka semua pulang.”
***
Suatu pagi,
seminggu kemudian atau lebih, aku bersarang di ruang baca Ye Hua,
membolak-balikkan buku cerita dan mengunyah kuaci, selagi Ye Hua duduk dengan
beberapa dokumen di hadapannya, mengerjakan setumpuk dokumen.
Aku curiga
kalau si tua Tian Jun itu sudah mulai menikmati kenyamanan dari pensiun.
Kelihatannya, ia tidak lagi mengurusi urusannya, dan kesibukan sehari-hari
telah sepenuhnya jatuh ke pundak cucunya.
Bunga teratai
di danau di luar jendela mekar sepenuhnya dan tampak menawan. Angin sepoi-sepoi
bertiup di sepanjang danau, dan capung di dalam bunga-bunga pun terayun seiring
dengan kelopak bunganya, sementara aroma lembut menguar.
Mi Gu membawa
Buntalan keluar, menaiki perahu kecil di tengah danau, dan mereka memetik
dedaunan teratai untuk dikeringkan di bawah sinar matahari dan membuat teh
segar. Mi Gu bukan ahli di dapur, tetapi ia pandai membuat teh, pekerjaan
dengan keterampilan tinggi lainnya.
Ye Hua
meletakkan dokumennya dan berjalan ke arah jendela untuk membuka gordennya
sepenuhnya.
“Kau tidak
pernah memperhatikan bunga teratai di danaumu. Kau membiarkan mereka hidup atau
mati semau mereka, dan tetap saja mereka begitu indah, bahkan seindah teratai
yang ada di Kolam Giok Istana Langit,” katanya sambil tersenyum.
Aku tertawa
cepat dan mengulurkan tangan untuk menawarkannya segenggam kuaci. Ia tidak
pernah memakan kuaci, tetapi biarpun begitu, ia tetap mengambilnya dari
tanganku dan berdiri di depan jendela, membukakan kuaci-kuaci itu sebelum menyerahkan
kembali isinya padaku.
“Aku akan memberikan
ini pada A Li jika ia ada di sini, tetapi kerugiannya adalah keuntunganmu.”
Aku menerima
mereka dengan senang hati saat aku mendengar Buntalan memekik tiba-tiba dari
danau di luar sana. Aku menjulurkan kepalaku keluar jendela dan melihat Mi Gu
bergegas turun dari perahu.
Reaksinya
seolah-olah Qing Qiu mungkin sedang diserang!
“Kemarilah dan
makan kuaci,” aku memanggil Buntalan, yang duduk seorang diri di perahu.
Ia duduk di
sana di tengah-tengah danau teratai sejenak, dengan malu-malu memilin tangannya,
sebelum wajahnya berubah memerah dan berkata, “A Li ... A Li tidak tahu
bagaimana caranya mendayung.”
Aku kembali
menekuni bukuku. Baru saja sampai di bagian terseru saat Mi Gu memasuki ruang
baca Ye Hua dan mempersembahkan padaku Kipas Po Yun.
“Ah, tampaknya,
istri paman keduaku sudah memutuskan untuk muncul,” Ye Hua berkata dengan
tenang.
Keluarganya
mempunyai garis keturunan yang panjang dan misterius hingga butuh waktu untuk
mengetahui paman yang mana yang dibicarakannya. Itulah ketika aku melihat ke
bawah, ke Kipas Po Yun, aku menggabungkan keduanya. Paman keduanya adalah Sang
Ji, pria yang membatalkan pertunangan kami. Dan istrinya adalah Shao Xin.
Selagi berada
di Laut Timur, aku berjanji untuk menghormati hubungan majikan-pelayan yang
dulu, dengan mengabulkan satu permintaannya. Aku menyuruhnya kalau saat ia
sudah memutuskan apa yang diinginkannya, ia harus datang dan menemuiku di Qing
Qiu, membawa kipas ini. Sudah jelas, ia tahu apa yang diinginkannya.
Wajah Mi Gu
memucat dan setelahnya menggelap saat ia membawa Shao Xin masuk ke dalam. Aku
memberi petunjuk, mengingatkannya kalau Buntalan masih berada di tengah danau
di dalam perahunya.
“Ah!” seru Mi Gu,
melompat keluar jendela.
Ye Hua
melanjutkan membaca dokumennya dalam diam. Aku terus membaca buku ceritaku
dalam diam. Shao Xin berlutut di atas lantai dalam diam.
Aku
menyelesaikan ceritanya dan sadar aku sudah kehabisan teh. Aku bangun dan pergi
keluar untuk menyeduh seteko yang baru, mengambil cangkir Ye Hua dari mejanya
agar aku dapat mengantikannya juga. Saat aku kembali dengan tehnya, Shao Xin
masih berlutut di sana dalam diam.
Aku menyesap
tehku dan memperhatikannya, merasa terhibur.
“Kau datang
menemuiku, jadi aku menduga kau sudah memutuskan apa yang ingin kau minta.
Kenapa tidak langsung katakan saja?”
Ia mengangkat
kepalanya, melirik Ye Hua, dan mengigiti bibirnya.
Ye Hua duduk di
sana, dengan tenang meminum tehnya dan membaca dokumennya. Aku meletakkan
cangkirku.
“Pangeran Ye
Hua bukanlah orang luar,” aku melanjutkan dengan tenang. “Beranikan dirimu dan
katakan apa yang harus kau katakan di depannya.”
Ye Hua
mengangkat kepalanya dan memandangiku sambil tersenyum samar.
Shao Xin sempat
ragu sebelum akhirnya mulai berbicara.
“Gu Gu, Yang Mulia, bisakah kalian
menolong putraku, Yuan Zhen?” tanyanya dengan suara takut-takut.
Aku menunggu
sampai Shao Xin berhenti terisak dan menangis tersedu-sedu sebelum aku memahami
apa yang telah terjadi dan mengapa ia tampak sangat enggan berbicara dengan
adanya kehadiran Ye Hua.
Yuan Zhen adalah
putra pertama Shao Xin dan Sang Ji. Meskipun Sang Ji tak lagi disayangi oleh
Tian Jun, Tian Jun masih menyayangi cucunya ini dan mengundangnya tiap kali ia
mengadakan sebuah perjamuan.
Tian Jun baru
saja merayakan ulang tahunnya belum lama ini. Sang Ji membawa Yuan Zhen bersama
dengan hadiah, mereka menginap semalam di Istana Langit. Yuan Zhen minum
terlalu banyak di perjamuan itu, dan ia sampai di Istana Xi Wu dalam keadaan
mabuk ini dan mencoba melecehkan Selir Utama Su Jin.
Aku melemparkan
lirikan ke arah Ye Hua, sangat mengetahui kalau Su Jin adalah selirnya. Ia
menatapku saat memilah kertas-kertasnya, ada sejejak kegelian di matanya.
Betapa uniknya Pangeran Ye Hua ini: ia tetap berhati ringan meskipun istrinya
dilecehkan.
Beruntungnya,
Ye Hua tidak benar-benar jadi suami yang istrinya tidak setia. Yuan Zhen
mengekang dirinya sendiri di saat-saat terakhir dan tidak benar-benar
melecehkan si selir. Tetapi Su Jin begitu teguh dan jujur hingga ia mengambil
sehelai sutra putih dan mengikatkannya di atas balok atap.
Percobaan bunuh
dirinya sudah membuat Tian Jun mengetahui apa yang terjadi. Aku dengar kalau
tadinya Tian Jun menikahi Su Jin sebagai selirnya, dan ketika cucunya
menyukainya, si kakek penyayang ini mengirimkan selir barunya pada Ye Hua.
Ketika Tian Jun
mendengar kalau Yuan Zhen mengambil keuntungan dari Su Jin, ia merasa sangat
bersalah pada mantan selirnya itu dan marah besar pada Yuan Zhen. Ia mengikat
Yuan Zhen dengan tali abadi dan menurunkan titah langit yang menyatakan bahwa
si pemuda ini akan terlahir sebagai seorang manusia. Hanya setelah ia
menjalankan siklus kehidupan manusia selama enam puluh tahun barulah ia bisa
dikembalikan sebagai seorang dewa.
“Yuan Zhen
adalah seorang anak yang baik hati dan berprilaku baik,” Shao Xin -mengulang terus-menerus
di sela air matanya. “Ia begitu perhatian dan berhati-hati ketika ia berjalan
keluar, ia akan memastikan tidak menginjak seekor semut pun. Ia tidak akan
pernah melakukan tindakan semacam ini.”
Aku tidak
merasa yakin dengan logikanya; menurut pengalamanku, tidak ada hubungannya
antara kebaikan dengan nafsu.
Yuan Zhen sudah
dikirim ke dunia manusia. Aku mengelus cangkir tehku.
“Kalau ia hanya
mencoba melecehkannya, hukuman ini memang tampaknya agak berlebihan,” kataku.
“Akan tetapi, fakta bahwa itu adalah selir utama Ye Hua yang putramu coba untuk
ambil keuntungannya, dan Pangeran Ye Hua berada di gua rubah, mengurusku dan
memasakkanku makanan selama berbulan-bulan sekarang, membuatku berada di posisi
yang sulit untuk menolong ...”
Ye Hua mengambil
dokumen baru. “Kau tidak perlu mencemaskan soal perasaanku,” katanya datar.
“Aku setuju kalau hukuman Yuan Zhen terlalu keras.”
Aku terkejut.
“Tetapi itu adalah selir utamamu yang dilecehkannya ...”
“Aku tidak
punya selir utama,” cemoohnya. Ia berdiri, menuangkan teh, mengambil cangkir
tehku untuk diisi ulang juga.
Aku lebih dari
terkejut. Rumor yang tersebar di Empat Lautan dan Delapan Dataran adalah bahwa
Ye Hua mencintai dan sangat memanjakan Selir Utama Su Jin. Mungkinkah ini semua
hanyalah kabar angin?
Bukanlah
permintaan sulit yang diajukan oleh Shao Xin kepadaku. Ia sudah mengetahui
kalau Yuan Zhen akan menghadapi malapetaka besarnya saat ia berusia delapan
belas tahun di wujud manusianya, dan itu akan menjadi penyebab penderitaan
seumur hidupnya. Ia memohon padaku untuk membantunya melewati malapetaka ini
dan menolongnya mengubah takdirnya agar ia dapat menjalani kehidupan manusianya
dengan damai.
Ia bijaksana
dengan datang menemuiku, karena aku berada dalam posisi yang kuat untuk
menolongnya. Semua dewa-dewi mempunyai kemampuan untuk mengubah takdir seorang
manusia, tetapi etika kedewaan melarang kami melakukannya, yang berarti,
meskipun para makhluk abadi mampu menolong dengan cara ini, tangan mereka
terikat.
Tetapi, Tian Jun
punya utang kepada keluarga Bai yang masih belum terbayarkan. Apabila aku pergi
menghadapnya dan memintanya mengabulkan permintaan kecilku ini, Tian Jun sudah
pasti akan menutup sebelah mata pada kenyataan kalau aku akan melanggar etika
kedewaan, yang mana artinya setengah masalahnya sudah terpecahkan.
0 comments:
Posting Komentar