Minggu, 15 November 2020

3L3W TMOPB - Chapter 9 Part 1

Ten Miles of Peach Blossoms

Chapter 9 Part 1


Buntalan dan aku kembali ke Qing Qiu pagi itu, selagi pejabat resmi Ye Hua, Jia Yun, datang menjemputnya kembali ke Istana Langit. Rupanya, ada urusan penting yang perlu didiskusikan dengan mahkamahnya, yang membutuhkan waktu beberapa hari.

Selama masa itu, Buntalan dan aku bertahan hidup dengan memakan sekeranjang loquat dan mengasihani diri sendiri. Buntalan memakan begitu banyak buah itu hingga wajahnya berubah oranye.

Menarik-narik lengan jubahku dengan menyedihkan, ia berkata, “Ibu, kapan Ayahanda kembali? A Li ingin memakan jamur kukus dan semangkuk sup kol dan wortelnya.”

Mi Gu tidak sanggup menyaksikan wajah kecil menyedihkan itu lebih lama lagi. Hanya jamur kukus dan sup kol dan wortel yang diidamkan Buntalan, tidak akan sesulit itu untuk dibuat, pikirnya, dengan tenang menggulung lengan bajunya dan masuk ke dapur.

Jamur kukus Ye Hua dan sup kol wortelnya sangatlah beraneka ragam dan penuh cita rasa, tetapi mereka begitu rumit dan melelahkan untuk disiapkan hingga bunga-bunga pun layu, pepohonan menggugurkan dedaunan mereka, dan langitnya berubah warna selama prosesnya.

Mi Gu menjungkirbalikkan gua rubah demi mencoba mereplika kedua masakan ini, tetapi masih tetap gagal mendapatkan persetujuan si Buntalan.

Buntalan terus menarik lengan bajuku.

“Ibu, Ibu, kapankah Ayahanda kembali?” tanyanya penuh derita.

Feng Jiu kerap kali menceritakan padaku tentang pengalaman cintanya ketika ia sedang mabuk. Ia sampai pada kesimpulan bahwa kau tidak benar-benar tahu apa itu cinta sampai kau mencobanya. Setelah kau merasakan manisnya, kau tidak akan sanggup hidup tanpanya.Tak ada satu pun di semesta ini yang mampu memperdaya seperti itu.

Aku setuju bahwa tak ada yang lebih mempesona ketimbang cinta, tetapi merasa ada sesuatu yang sama menawannya, seperti masakan Ye Hua.

Sementara aku tidak sampai setaraf dengan Buntalan dengan keluhannya yang tiada henti itu, aku merasa aku pun sangat merindukan Ye Hua dan masakannya.

Aku teringat pertama kali bertemu Ye Hua, di Istana Kristal Air Laut Timur.

Aku hanya menyadari betapa mencengangkannya, kefamilieran wajahnya. Baru-baru ini saja, mulai kusadari bahwa ia adalah calon Tian Jun, dengan begitu banyaknya urusan untuk ditangani, dan apa yang harus dikerjakannya agar dapat kabur selama tiga bulan dan melakukan semua acara masakan itu untuk kami. Ye Hua begitu berpengetahuan, baik hati, dan penuh perhatian.

Buntalan dan aku harus menunggu sampai ia kembali dari langit sebelum kami bisa makan sesuatu yang pantas. Beruntung bagi Mi Gu, aku punya sebuah ide. Saat ia kemari untuk mengantarkan loquat di jam makan kami, aku memanggilnya untuk duduk dan makan bersama kami. Dengan gembira aku menjelaskan padanya ia tidak perlu lagi mengantarkan buah loquat.

***

Setelah merasakan masakan Mi Gu, aku menyadari sulitnya hidup tanpa Ye Hua. Aku keluar dari gua rubah di hari selanjutnya dan memasang sebuah pengumuman. Aku sedang mencari seorang dewa-dewi muda Qing Qiu untuk mendapatkan kursus memasak di bawah Ye Hua.

Para makhluk abadi muda setempat semuanya sangat bersemangat dan membentuk dua baris panjang di depan gua rubah.

“Aku belum pernah melihat pemandangan sehidup ini di Qing Qiu dalam waktu lama,” seru Mi Gu. “Dengan orang sebanyak ini, akan lebih baik untuk membangun sebuah panggung dan membiarkan para kandidatnya berkompetisi. Kita bisa memilih satu dengan fondasi terbaik untuk mempelajari kemampuan luar biasa Yang Mulia Ye Hua.”

Aku merasa itu adalah sebuah ide yang luar biasa dan memberikan izinku. Mi Gu adalah seorang penyelenggara yang efisien, jadi aku menyerahkan semua padanya sementara aku kembali masuk ke dalam untuk tidur. Di saat aku terbangun lagi, panggungnya sudah siap.

Qing Qiu dipenuhi dengan asap yang mengepul. Buntalan berdiri sembari berliur di pintu masuk gua rubah. Ye Hua duduk di samping seorang diri, mengangkat matanya untuk memandangiku begitu seringnya, ada ekspresi aneh di wajahnya. Melihat ada sebuah bangku bambu kosong di sebelahnya, aku berjalan ke sana dan duduk.

Buntalan langsung melemparkan dirinya ke atas pangkuanku.

“Mi Gu memberitahuku kau sedang memilihkan seorang murid untukku?” kata Ye Hua, menguap ringan.

Aku mengangguk.

Ia menyapukan matanya ke kerumunan makhluk abadi muda yang sedang sibuk di sekitar panggung dan asap serta api yang membumbung ke angkasa.

Ia mencondongkan diri ke arahku dan berkata, “Katakan pada mereka, mereka boleh pergi. Semuanya kekurangan fondasi yang tepat.” Ia menatapku dari atas ke bawah dan tersenyum berkata, “Kau saja cukup. Tetapi, kau tidak perlu benar-benar belajar. Selama salah satu dari kita bisa memasak, kita akan baik-baik saja.”

Dengan santainya ia bangkit dan kembali ke ruang bacanya. Aku tertinggal di sana dengan tatapan kosong, tidak yakin dengan apa maksdunya.

“Yang mana yang dipilih oleh Yang Mulia Ye Hua?” Mi Gu bertanya, melompat kemari.

Aku menggelengkan kepalaku bingung. “Ia tidak menyukai satu pun dari mereka. Ia bilang, suruh mereka semua pulang.”

***

Suatu pagi, seminggu kemudian atau lebih, aku bersarang di ruang baca Ye Hua, membolak-balikkan buku cerita dan mengunyah kuaci, selagi Ye Hua duduk dengan beberapa dokumen di hadapannya, mengerjakan setumpuk dokumen.

Aku curiga kalau si tua Tian Jun itu sudah mulai menikmati kenyamanan dari pensiun. Kelihatannya, ia tidak lagi mengurusi urusannya, dan kesibukan sehari-hari telah sepenuhnya jatuh ke pundak cucunya.

Bunga teratai di danau di luar jendela mekar sepenuhnya dan tampak menawan. Angin sepoi-sepoi bertiup di sepanjang danau, dan capung di dalam bunga-bunga pun terayun seiring dengan kelopak bunganya, sementara aroma lembut menguar.

Mi Gu membawa Buntalan keluar, menaiki perahu kecil di tengah danau, dan mereka memetik dedaunan teratai untuk dikeringkan di bawah sinar matahari dan membuat teh segar. Mi Gu bukan ahli di dapur, tetapi ia pandai membuat teh, pekerjaan dengan keterampilan tinggi lainnya.

Ye Hua meletakkan dokumennya dan berjalan ke arah jendela untuk membuka gordennya sepenuhnya.

“Kau tidak pernah memperhatikan bunga teratai di danaumu. Kau membiarkan mereka hidup atau mati semau mereka, dan tetap saja mereka begitu indah, bahkan seindah teratai yang ada di Kolam Giok Istana Langit,” katanya sambil tersenyum.

Aku tertawa cepat dan mengulurkan tangan untuk menawarkannya segenggam kuaci. Ia tidak pernah memakan kuaci, tetapi biarpun begitu, ia tetap mengambilnya dari tanganku dan berdiri di depan jendela, membukakan kuaci-kuaci itu sebelum menyerahkan kembali isinya padaku.

“Aku akan memberikan ini pada A Li jika ia ada di sini, tetapi kerugiannya adalah keuntunganmu.”

Aku menerima mereka dengan senang hati saat aku mendengar Buntalan memekik tiba-tiba dari danau di luar sana. Aku menjulurkan kepalaku keluar jendela dan melihat Mi Gu bergegas turun dari perahu.

Reaksinya seolah-olah Qing Qiu mungkin sedang diserang!

“Kemarilah dan makan kuaci,” aku memanggil Buntalan, yang duduk seorang diri di perahu.

Ia duduk di sana di tengah-tengah danau teratai sejenak, dengan malu-malu memilin tangannya, sebelum wajahnya berubah memerah dan berkata, “A Li ... A Li tidak tahu bagaimana caranya mendayung.”

Aku kembali menekuni bukuku. Baru saja sampai di bagian terseru saat Mi Gu memasuki ruang baca Ye Hua dan mempersembahkan padaku Kipas Po Yun.

“Ah, tampaknya, istri paman keduaku sudah memutuskan untuk muncul,” Ye Hua berkata dengan tenang.

Keluarganya mempunyai garis keturunan yang panjang dan misterius hingga butuh waktu untuk mengetahui paman yang mana yang dibicarakannya. Itulah ketika aku melihat ke bawah, ke Kipas Po Yun, aku menggabungkan keduanya. Paman keduanya adalah Sang Ji, pria yang membatalkan pertunangan kami. Dan istrinya adalah Shao Xin.

Selagi berada di Laut Timur, aku berjanji untuk menghormati hubungan majikan-pelayan yang dulu, dengan mengabulkan satu permintaannya. Aku menyuruhnya kalau saat ia sudah memutuskan apa yang diinginkannya, ia harus datang dan menemuiku di Qing Qiu, membawa kipas ini. Sudah jelas, ia tahu apa yang diinginkannya.

Wajah Mi Gu memucat dan setelahnya menggelap saat ia membawa Shao Xin masuk ke dalam. Aku memberi petunjuk, mengingatkannya kalau Buntalan masih berada di tengah danau di dalam perahunya.

“Ah!” seru Mi Gu, melompat keluar jendela.

Ye Hua melanjutkan membaca dokumennya dalam diam. Aku terus membaca buku ceritaku dalam diam. Shao Xin berlutut di atas lantai dalam diam.

Aku menyelesaikan ceritanya dan sadar aku sudah kehabisan teh. Aku bangun dan pergi keluar untuk menyeduh seteko yang baru, mengambil cangkir Ye Hua dari mejanya agar aku dapat mengantikannya juga. Saat aku kembali dengan tehnya, Shao Xin masih berlutut di sana dalam diam.

Aku menyesap tehku dan memperhatikannya, merasa terhibur.

“Kau datang menemuiku, jadi aku menduga kau sudah memutuskan apa yang ingin kau minta. Kenapa tidak langsung katakan saja?”

Ia mengangkat kepalanya, melirik Ye Hua, dan mengigiti bibirnya.

Ye Hua duduk di sana, dengan tenang meminum tehnya dan membaca dokumennya. Aku meletakkan cangkirku.

“Pangeran Ye Hua bukanlah orang luar,” aku melanjutkan dengan tenang. “Beranikan dirimu dan katakan apa yang harus kau katakan di depannya.”

Ye Hua mengangkat kepalanya dan memandangiku sambil tersenyum samar.

Shao Xin sempat ragu sebelum akhirnya mulai berbicara.

Gu Gu, Yang Mulia, bisakah kalian menolong putraku, Yuan Zhen?” tanyanya dengan suara takut-takut.

Aku menunggu sampai Shao Xin berhenti terisak dan menangis tersedu-sedu sebelum aku memahami apa yang telah terjadi dan mengapa ia tampak sangat enggan berbicara dengan adanya kehadiran Ye Hua.

Yuan Zhen adalah putra pertama Shao Xin dan Sang Ji. Meskipun Sang Ji tak lagi disayangi oleh Tian Jun, Tian Jun masih menyayangi cucunya ini dan mengundangnya tiap kali ia mengadakan sebuah perjamuan.

Tian Jun baru saja merayakan ulang tahunnya belum lama ini. Sang Ji membawa Yuan Zhen bersama dengan hadiah, mereka menginap semalam di Istana Langit. Yuan Zhen minum terlalu banyak di perjamuan itu, dan ia sampai di Istana Xi Wu dalam keadaan mabuk ini dan mencoba melecehkan Selir Utama Su Jin.

Aku melemparkan lirikan ke arah Ye Hua, sangat mengetahui kalau Su Jin adalah selirnya. Ia menatapku saat memilah kertas-kertasnya, ada sejejak kegelian di matanya. Betapa uniknya Pangeran Ye Hua ini: ia tetap berhati ringan meskipun istrinya dilecehkan.

Beruntungnya, Ye Hua tidak benar-benar jadi suami yang istrinya tidak setia. Yuan Zhen mengekang dirinya sendiri di saat-saat terakhir dan tidak benar-benar melecehkan si selir. Tetapi Su Jin begitu teguh dan jujur hingga ia mengambil sehelai sutra putih dan mengikatkannya di atas balok atap.

Percobaan bunuh dirinya sudah membuat Tian Jun mengetahui apa yang terjadi. Aku dengar kalau tadinya Tian Jun menikahi Su Jin sebagai selirnya, dan ketika cucunya menyukainya, si kakek penyayang ini mengirimkan selir barunya pada Ye Hua.

Ketika Tian Jun mendengar kalau Yuan Zhen mengambil keuntungan dari Su Jin, ia merasa sangat bersalah pada mantan selirnya itu dan marah besar pada Yuan Zhen. Ia mengikat Yuan Zhen dengan tali abadi dan menurunkan titah langit yang menyatakan bahwa si pemuda ini akan terlahir sebagai seorang manusia. Hanya setelah ia menjalankan siklus kehidupan manusia selama enam puluh tahun barulah ia bisa dikembalikan sebagai seorang dewa.

“Yuan Zhen adalah seorang anak yang baik hati dan berprilaku baik,” Shao Xin -mengulang terus-menerus di sela air matanya. “Ia begitu perhatian dan berhati-hati ketika ia berjalan keluar, ia akan memastikan tidak menginjak seekor semut pun. Ia tidak akan pernah melakukan tindakan semacam ini.”

Aku tidak merasa yakin dengan logikanya; menurut pengalamanku, tidak ada hubungannya antara kebaikan dengan nafsu.

Yuan Zhen sudah dikirim ke dunia manusia. Aku mengelus cangkir tehku.

“Kalau ia hanya mencoba melecehkannya, hukuman ini memang tampaknya agak berlebihan,” kataku. “Akan tetapi, fakta bahwa itu adalah selir utama Ye Hua yang putramu coba untuk ambil keuntungannya, dan Pangeran Ye Hua berada di gua rubah, mengurusku dan memasakkanku makanan selama berbulan-bulan sekarang, membuatku berada di posisi yang sulit untuk menolong ...”

Ye Hua mengambil dokumen baru. “Kau tidak perlu mencemaskan soal perasaanku,” katanya datar. “Aku setuju kalau hukuman Yuan Zhen terlalu keras.”

Aku terkejut. “Tetapi itu adalah selir utamamu yang dilecehkannya ...”

“Aku tidak punya selir utama,” cemoohnya. Ia berdiri, menuangkan teh, mengambil cangkir tehku untuk diisi ulang juga.

Aku lebih dari terkejut. Rumor yang tersebar di Empat Lautan dan Delapan Dataran adalah bahwa Ye Hua mencintai dan sangat memanjakan Selir Utama Su Jin. Mungkinkah ini semua hanyalah kabar angin?

Bukanlah permintaan sulit yang diajukan oleh Shao Xin kepadaku. Ia sudah mengetahui kalau Yuan Zhen akan menghadapi malapetaka besarnya saat ia berusia delapan belas tahun di wujud manusianya, dan itu akan menjadi penyebab penderitaan seumur hidupnya. Ia memohon padaku untuk membantunya melewati malapetaka ini dan menolongnya mengubah takdirnya agar ia dapat menjalani kehidupan manusianya dengan damai.

Ia bijaksana dengan datang menemuiku, karena aku berada dalam posisi yang kuat untuk menolongnya. Semua dewa-dewi mempunyai kemampuan untuk mengubah takdir seorang manusia, tetapi etika kedewaan melarang kami melakukannya, yang berarti, meskipun para makhluk abadi mampu menolong dengan cara ini, tangan mereka terikat.

Tetapi, Tian Jun punya utang kepada keluarga Bai yang masih belum terbayarkan. Apabila aku pergi menghadapnya dan memintanya mengabulkan permintaan kecilku ini, Tian Jun sudah pasti akan menutup sebelah mata pada kenyataan kalau aku akan melanggar etika kedewaan, yang mana artinya setengah masalahnya sudah terpecahkan.

Related Posts:

0 comments:

Posting Komentar