Sabtu, 07 November 2020

3L3W TPB 2 - Chapter 15 Part 5

Three Lives Three Worlds, The Pillow Book 2

Chapter 15 Part 5


Tanggal 22 Agustus merupakan hari yang baik. Matahari tidak begitu terik, bahkan sesekali ada angin sepoi-sepoi. Cuacanya paling cocok untuk mengunjungi keluarga dan sahabat. 

Seolah ia secara khusus memilih waktu seperti ini, Tuan Xize datang mengunjungi Chen Ye di kuil.

Pada saat itu, Chen Ye sedang membaca di taman empat musim. Xize datang melalui pintu masuk melengkung dan berdiri menghadap Chen Ye. 

Xize terlihat agak sedih dan pasrah. Ia tidak menegurnya dan duduk berseberangan dengan Chen Ye.

“Dunia di luar sana telah berubah lagi dan lagi, tetapi betapa santainya dirimu, bersembunyi di pengasingan di sini.”

Chen Ye mendongak dan melirik Xize. Kemudian ia membalikkan halaman berikutnya dan mengarahkan pandangannya kembali pada bukunya. 

“Aku ingat kau sering bilang kalau kuil adalah tempat yang jauh dari urusan duniawi. Karena seperti itu, apa hubungannya tentang hal-hal duniawi itu dengan sebuah tempat yang tidak mengurusi hal duniawi?”

Membalikkan halaman berikutnya, Chen Ye menambahkan, “Aranya, dia ....”

Xize mengerutkan dahi dan menyela Chen Ye.

“Aku tidak pernah merasakan cinta, jadi tentu saja aku tidak akan mengetahui bagaimana cara berpikirmu dan Aranya. Tetapi karena kau mengajukan pertanyaan ini, kau jelas mempedulikannya. Kalau memang begitu, kenapa mendorongnya hingga ke titik ini? 

"Tentu saja itu adalah urusan kalian berdua. Bukan tempatku untuk mengatakan apa pun sebagai orang luar. Jalan yang kau pilih, jalan yang Aranya pilih, mereka semua adalah takdir kalian masing-masing.”

Xize menghela napas. 

“Aku datang kemari hari ini, hanya karena aku mengingat keinginan Aranya. Ia punya dua puluh surat di tempatmu. Sebelum Aranya pergi, ia memintaku mengambilnya kembali.”

Seolah Xize tidak mengatakan apa pun. Satu kata yang masuk ke dalam telinga Chen Ye seperti sebatang jarum yang panjang adalah ‘pergi’.

Jari Chen Ye menegang di halaman bukunya selagi ia perlahan mengeluarkan suaranya. 

“Pergi? Kau menyelamatkannya, lalu membiarkannya pergi?”

Xize jadi sedikit bingung, seolah ia tidak mengerti mengapa Chen Ye mengajukan pertanyaan ini.

Suatu firasat buruk mendadak mengambil alih hatinya. Chen Ye mendadak bangkit dan menuju gerbang taman. 

“Karena kau di sini, kau harusnya punya sebuah cara untuk membantuku meninggalkan tempat ini. Tak peduli kemana Aranya pergi, jika kita meninggalkan gunung sekarang juga, kita masih bisa mengejar Aranya. Kau tidak tahu ini, tetapi Aranya adalah orang yang bertingkah. Meninggalkan Aranya sendirian membuatku sedikit cemas ....”

Chen Ye bukanlah seorang yang banyak bicara, tetapi ia takut diinterupsi. Tetapi pada akhirnya, Chen Ye tahu apa yang ditakutkannya. Ia dan Aranya hanya memiliki satu sama lain. Nasib akan melenceng lagi. 

Bagaimana kalau satu langkah ini salah, bagaimana ....?

Seolah ia mendadak mengerti, Xize berbicara dari belakang, “Apakah tak ada seorang pun yang memberitahumu? Chen Ye, Aranya pergi ke medan perang dan bertukar tempat dengan ....”

Tetapi Xize dipotong. 

“Jangan katakan.”

Jangan katakan.

Seolah-olah, jika Xize tidak mengatakannya, semua yang diharapkan Chen Ye akan tetap seperti harapannya.

Taman itu menjadi sunyi senyap. Hanya angin sepoi-sepoi sejuk dengan santai membalikkan halaman bukunya, menghasilkan suara gemerisik ringan.

Chen Ye mencengkeram pagar taman, keningnya berkeringat dingin. Ia masih berusaha keras untuk menjaga ketenangannya, seolah pretensi sudah cukup untuk mencegah ketakutan terdalam dan yang benar-benar menghancurkan dirinya itu, untuk terjadi.

Namun, perkataan ragu Xize menghentikan langkah Chen Ye. 

“Aranya, dia ....”

Ada jeda sejenak. 

“Qinghua menunjukkan dokumenmu padanya. Sebelum berangkat menuju medan perang di Si’xing, Aranya bilang ia mungkin tidak ditakdirkan untuk merasakan cinta dalam kehidupan ini. Kau adalah apa yang selama ini Aranya perjuangkan. Bahkan jika apa yang dimilikinya denganmu hanyalah sebuah ilusi, ia tidak masalah. 

"Aranya hanya tidak menyangka kalau kau akan begitu membencinya. Tak peduli sebaik apa pun Aranya, ia tetap tidak akan sanggup menahannya. Aranya bilang kalau ia akan kembali. Aku tidak tahu kalau ia pergi ke Si’xing untuk menemui ajalnya sendiri.”

Xize berbicara dengan sangat tenang. Setiap patah katanya, menancap dalam di hati Chen Ye, seperti belati yang tajam. Chen Ye tahu Xize tidak bermaksud demikian, tetapi ia ingin tusukan itu lebih dalam dan lebih menyakitkan lagi. Dengan begitu, Chen Ye akan merasa ia masih hidup, ia akan punya kekuatan untuk menyangkal Xize.

“Aranya tidak akan mati. Aku tidak akan mempercayai sepatah kata pun.”

Xize mengamati Chen Ye sesaat, kemudian memelankan suaranya. 

“Kau boleh memilih untuk percaya atau tidak.”

Xize mendesah, “Qinghua dan Junuo baru mengetahuinya setelah Aranya meninggal. Karena itu terkait dengan perebutan kekuasaan di dalam keluarga kerajaan, mereka menyembunyikannya dari para pejabat. Tetapi, aku tidak mengerti kenapa mereka harus menyembunyikannya darimu.”

Chen Ye tidak tahu bagaimana ia bisa mengeluarkan suara: “Beritahu aku, dimana dia?”

Xize terdiam membisu. Dalam keheningan tanpa akhir, akhirnya ia paham. Si penyihir muda ini tidak ingin percaya, tetapi ia tak punya pilihan lain. Namun, ketimbang mempercayai dirinya, Chen Ye lebih memilih mempercayai mata kepalanya sendiri.

Pada akhirnya, Xize berkata, “Merasa tidak ada apa pun yang tersisa, Aranya melepaskan formasi Kebangkitan Jiwa. Sihir kuno mengerikan ini melahap jiwa Aranya, mengubahnya jadi abu dan terlupakan di Si’xing.”

Sosok Chen Ye gemetar hebat. Kakinya terhuyung. Langkah kakinya jadi lebih tergesa.

Hari itu, si Archmage yang tak berdaya, yang dianggap mata-mata istana terlalu ketat dijaga, sebenarnya bermain di bawah hidung mereka dan berjalan keluar dari pintu depan dengan sendirinya.

Lebih buruknya lagi, mereka bermunculan satu per satu untuk menghentikan Chen Ye. Dengan wajah yang mirip asura, sang Archmage bersenjatakan  sebilah pedang.

(T/N : asura – seorang manusia setengah dewa dari leganda Buddha yang memiliki tiga kepala, tiga wajah, dan empat hingga enam lengan, terlihat begitu mengerikan.)

Dalam sekejap, setiap mata-mata dipenggal di jalannya. Dari hampir seratus mata-mata, hanya satu yang tersisa. Ia selamat karena ia adalah mata-mata kecil yang selalu terlambat dalam segala hal, termasuk kali ini.

Setelah sang Archmage pergi jauh, si mata-mata kecil dengan gemetaran memunculkan seekor merpati pos dan mengikatkan kabar di kaki burung itu, bahwa Archmage telah meninggalkan kuil, untuk diantarkan pada Qinghua dan putrinya yang sedang berada jauh di Sungai Si’xing.

***

Qinghua dan putrinya berada di Si’xing menurut tradisi Biyiniao, adalah untuk mendoakan para pasukan yang gugur.

Pada tanggal 26 Agustus, tulang belulang para pasukan ditumpuk menggunung di sebelah panggung tinggi di sepanjang pinggir sungai Si’xing Selatan. Beberapa bintik awan tertarik ke arah panggung, dimana sang ratu sedang mengatur sebuah upacara doa yang sangat besar.

Setelah mempercepat lajunya selama beberapa hari terakhir, Chen Ye tiba di sana tepat di hari itu.

Sungainya mirip seutas ikat pinggang giok berkelok-kelok di sekeliling Gunung Pingyun.

Di fajar yang cerah, suara lembut berdering keluar dari pepohonan musikal. Tanpa makanan atau pun minuman, Chen Ye telah bergegas selama beberapa hari, Aranya tetap tertingal dalam pikiran kosongnya.

Setiap kali Chen Ye memejamkan matanya, pikirannya terisi dengan bayangan Aranya. Aranya begitu hidup, sampai-sampai ia tidak memperbolehkan Chen Ye untuk mempercayai kalau ia telah meninggalkan Chen Ye.

Namun, bagaimana mungkin Chen Ye tidak mempercayainya? Ia bukanlah seseorang yang akan membohongi dirinya sendiri.

Chen Ye telah berada di atas awan selama beberapa hari terakhir. Pikiran bersama dengan rasa sakit, semua telah meninggalkannya. Ia hanya ingin datang ke Si’xing. Ia datang mencari Aranya agar Aranya dapat memberikannya sebuah jawaban, sebuah akhir.

Chen Ye tidak pernah berpikir untuk melarikan diri dari upacara ratu. Ia hanya berjalan-jalan di sekitar tepi sungai, membayangkan perjalanan panjang yang dialami Aranya pada saat-saat terakhirnya, jalan terakhir yang dilalui dalam kehidupannya.

Apa yang sedang dipikirkan Aranya ketika ia melewati jalan ini? 

Apakah Aranya masih membencinya? 

Chen Ye berjalan hingga ke ujung air dimana terdapat sebuah menara menjulang tinggi. Panji dan bendera-bendera bergelora seperti bunga-bunga liar.

Wajah Qinghua muncul dalam pandangan Chen Ye di bawah kanopi ungu. Ada rasa takut dengan kepanikan yang langka di dalam mata Qinghua. Chen Ye tidak tahu apakah penampilannya menyeramkan atau tidak. Ia hanya tahu wajah Qinghua menegang dan mengirimkan beberapa perintah.

Selanjutnya, hujan panah diarahkan padanya. Chen Ye secara naluriah menarik pedangnya. Pedang itu tetap berada di pinggir sungai, medan pelindungnya yang begitu kuat, berdiri dengan kokoh. Akan tetapi, hujan panah itu tiada hentinya. Alhasil, ia terdorong tanpa ada tempat untuk berbalik.

Semburan angin mendadak bertiup di pinggir sungai. Terdengar seakan seseorang tengah memainkan elegi dari dalam hutan musikal. Kelopak bunga putih berjatuhan dari dahan mereka, melewati hujan panah tajam dan mendarat di dalam sihir pedang Chen Ye.

Satu bunga kecil tetap di hulu pedang Chen Ye seperti seekor kupu-kupu putih suci. Bunga itu berkibar turun, dan seperti itulah, Aranya muncul dalam pandangan Chen Ye. 

Rambut hitam, gaun merah, dengan sejejak senyuman.

Aranya menyingkirkan kelopak bunga putih itu dari hulu pedang Chen Ye dan memainkannya di tangannya. Kemudian, Aranya perlahan menyelipkannya ke rambutnya, jemarinya membelai pelipisnya sebelum berhenti.

Hati Chen Ye begitu sakit. Ia ingin meraih dan menggenggam Aranya, tetapi ia hanya menggenggam kehampaan. Itu tidak lebih dari bayangan yang selamat dari pepohonan musikal. Sementara benaknya dipenuhi keraguan, satu panah besi menembus sihir pedang dan menancap di bahunya.

Kekuatan itu mendorong Chen Ye mundur beberapa langkah. Darah dari mulutnya mewarnai hulu pedangnya dengan warna merah.

“Mendengar kalau belum lama ini Kediaman Mengchun sedang menjamu seorang tamu baru, aku ingin menyampaikan salamku.”

“Aku bisa saja mengatakan yang sebenarnya, atau aku bisa saja berbohong. Mungkin, aku memang menyukaimu, mungkin aku hanya ingin menggodamu.”

“Kau memang menyukaiku, Chen Ye.”

“Terkadang aku merasa ini tidaklah cukup, tetapi kadang kala aku merasa kalau dirimu yang begini saja, sudah cukup bagus.”

Chen Ye telah kehilangan Aranya berkali-kali, tetapi sekarang ia memahami untuk pertama kalinya, apa itu kehilangan yang sebenarnya selagi ia memperhatikan bayangan Aranya yang lagi-lagi menghilang dari pandangannya.

Orang itu. 

Kau tidak akan pernah melihatnya lagi. 

Kau tidak akan pernah bisa mendengarnya berbicara lagi. 

Kau tidak akan pernah bisa menyentuhnya lagi.

Aranya bahkan memutuskan untuk menyerah pada reinkarnasi. Tak peduli berapa banyak kehidupan yang ada, tak peduli akan menjadi siapa dirimu, kau tidak akan pernah bisa bertemu lagi dengannya.

Aranya hilang, benar-benar menghilang.

Rasa sakit luar biasa dari dalam pun mengiris Chen Ye, menyebar inci demi inci. 

Keputusasaan yang terlambat. 

Chen Ye belum pernah merasakan keputusasaan dalam kehidupannya. Jika saja ia mengetahui ini lebih cepat ... untuk apa ia menahan diri? 

Untuk apa semua ketakutan duniawinya? 

Untuk apa ia tetap hidup?

Angin kencang melonjak masuk, langit timur siang hari langsung diselimuti awan tebal. Pedang yang sedang menghadang hujan panah tiba-tiba saja menyemburkan sebuah sinar yang misterius.

Panah-panah yang berterbangan meleleh, melebur menjadi kehampaan ketika mereka bertumburan dengan sinar ini. Sinar itu menyebar sedikit demi sedikit, layaknya tungku yang terbakar dengan mengerikan, jalur apinya menghancurkan semua yang ada dalam jarak pandangnya.

Ini merupakan kekuatan pemusnahan. Chen Ye tidak tahu sejak kapan ia memiliki kekuatan semacam ini, ia hanya tahu ia berhasrat untuk mengubur semuanya bersama-sama.

Dan sekalinya hasrat ini bangkit, sangat sulit ditarik kembali. Chen Ye pun tak berniat untuk menariknya kembali.

Di atas panggung yang tinggi, mata Qinghua dan Junuo mengandung bayangan ketakutan. Itu membuat Chen Ye bahagia, melihat mereka begitu tak berdaya.

Di sini, Aranya berbaring dalam istirahat abadinya. Ada pegunungan, sungai, ada bunga-bunga juga burung. Karena Aranya tidak dapat kembali lagi, terkubur di sini bersamanya akan menjadi akhir bagi Chen Ye, juga akhir bagi semua orang.

Cahaya samar misterius itu menyebar menyelimuti Si’xing. Air sungai melonjak naik secara diam-diam, bangkit menguap hingga hanya tersisa sedimen di palung sungai.

Junuo sudah pingsan di panggung tinggi seremonial beberapa meter jauhnya. Hanya Qinghua yang masih berjuang keras untuk bertahan.

Di saat kritis ini, dari awan tebal di atas panggung tinggi mendadak muncullah satu sosok. 

Xize Shenjun.

Ini akhirnya merupakan sebuah musibah yang dapat menyebabkan kemusnahan. Mantan Archmage yang selalu riang tak lagi bisa berdiri diam dan santai.

Si mantan Archmage yang berpakaian serba putih, lengan jubahnya berkibar dipenuhi energi abadi yang kuat. 

Ia melakukan segala yang ia bisa untuk memenjarakan penyebaran cahaya misterius itu selagi ia menghadap Chen Ye dan berkata, “Bukannya tidak ada cara untuk menyelamatkan Aranya. Menurut legenda, Jiuchongtian memiliki sebuah objek suci yang disebut dengan lentera Jiebo yang dapat menciptakan jiwa untuk manusia. 

"Meskipun lentera Jiebo tidak dapat digunakan untuk kita, para dewa di bumi, semua punya mekanismenya. Sesuai dengan cara kerja lentera Jiepo, kau dapat menciptakan jiwa yang tertahan untuk menciptakan kembali jiwa bagi Aranya. Dan kenapa tidak? Chen Ye, apakah kau ingin terkubur di sini bersama Aranya dalam penyesalan ataukah kau ingin bertemu lagi dengannya?”

Cahaya misterius yang mengambang itu mendadak diam. Perkataan Xize telah sedikit menyadarkannya. 

Chen Ye menatap lurus ke arah penyihir berjubah putih di hadapannya dan bertanya parau, “Apa yang harus kulakukan?”

Xize berkata dalam suara rendah: “Apakah kau bersedia menggunakan seluruh penempaan diri seumur hidupmu untuk menciptakan sebuah dunia lain untuk Aranya? Mulanya, Aranya hanya akan menjadi cangkang buatan sampai kau menunggu dengan sabar hakmu untuk membangun kembali jiwanya demi membuat Aranya benar-benar bangkit kembali. Untuk ini, apakah kau bersedia membayar dengan seluruh kehidupanmu?”

Chen Ye menatap si penyihir yang berdiri di hadapannya, wajahnya terlihat sangat tenang. 

"Sekarang karena aku telah kehilangan Aranya, beritahu aku, apa yang tak bisa kulakukan untuk membayarnya?”

0 comments:

Posting Komentar