Sabtu, 07 November 2020

3L3W TPB 2 - Chapter 9 Part 2

Three Lives Three Worlds, The Pillow Book 2

Chapter 9 Part 2

Menurut Mo Shao, ia mengetahui Aranya meminjam nama Wen Tian untuk bertukar surat dengan Chen Ye memang sebuah kebetulan. Akan tetapi, disebutkannya soal hadiah anggur malam itu walaupun Su Moye tahu kalau Aranya ingin menyembunyikan masalah ini dari Chen Ye memang disengaja.

Saat itu, Su Moye tidak mengerti perasaannya sendiri kepada Aranya. Ia hanya berpikir, kalau Aranya ingin memiliki Chen Ye, ia akan membantu Aranya mendapatkannya.

Aranya telah membuat masalahnya lebih rumit dari yang seharusnya. Aranya hanya menyukai Chen Ye, tetapi ia terlalu bertele-tele hingga membuat Su Moye tak tahan hanya menonton saja.

Ketika Su Moye mengutarakan kata-kata ini, semua yang diinginkannya adalah menciptakan kesempatan bagi Wen Tian untuk bertemu dengan Chen Ye secepat mungkin.

Hanya dengan begitulah Aranya akan dapat menentukan sendiri keputusannya.

Entah apakah Aranya mengakui pada Chen Ye kalau ialah Wen Tian dalam surat itu dan mengungkapkan semuanya pada Chen Ye. Kemana arah romansa ini akan tergantung pada takdir mereka, tetapi setidaknya dengan begini, masih ada secercah harapan.

Ataukah Aranya dapat menjadi mak comblang bagi Wen Tian dan Chen Ye, menyerahkan hubungan ini kepada Wen Tian dan benar-benar memutuskan perasaan yang dimilikinya untuk Chen Ye. Tak peduli apa pun yang dipilih Aranya, akan lebih baik ketimbang keadaan tak jelasnya sekarang.

Dalam pikiran Mo Shao, meminjam identitas orang lain dan memerangkap dirinya sendiri dalam percintaan semacam ini selagi membiarkan dirinya terluka bukanlah sesuatu yang harus dilakukan oleh muridnya.

Fengjiu berpikir, kalau itu dirinya, ia akan memilih opsi pertama. Ini dikarenakan ia mendengar sebuah rumor mengatakan kalau seseorang menjadi seorang mak comblang dua kali, akan sulit baginya untuk menikah.

Fengjiu menghitung dengan jarinya, ia sudah pernah membantu Donghua dan Jiheng sekali. Jika ia membantu lagi kali ini, habislah sudah.

Walau demikian, Aranya sudah menikah, jadi mungkin saja Fengjiu dapat menghindari kecemasan di masa depan. Terlebih lagi, ia belum pernah benar-benar jadi makcomblang untuk siapa pun, jadi mungkin ia ingin merasakannya.

Pendeknya, setelah malam-malam kurang tidur, Aranya memilih opsi kedua. Saat fajar baru saja menyingsing, Aranya memanggil Wen Tian ke kediamannya.

Aranya mengejutkan Wen Tian, ia menyerahkan kedua puluh surat yang dikirimkan oleh Chen Ye. Selain mengenai apa perasaannya pada Chen Ye, Aranya menyambungkan semuanya dari awal hingga akhir pada Wen Tian.

Aranya mengarang bualan panjang lebar: “Ketika Junuo diusir dari Ibu kota, ia memohon padaku untuk menjaga Archmage. Kau tahu, aku berhati baik dan tentu saja menerima permintaannya. Tetapi Chen Ye dan aku tidak pernah akur. Jika surat-surat ini mengandung namaku, malah akan semakin menambah kebenciannya, jadi aku hanya dapat meminjam namamu.

"Namun, aku sibuk dengan urusan negara belakangan ini, jadi aku juga tidak dapat bertindak semauku. Aku hanya bisa memintamu untuk datang kemari. Aku bertanya-tanya apakah kau dapat mengambil alih tugas ini dan menggantikanku menjaga Archmage. Tidak perlu menuliskan tentang sesuatu yang spesial, cukup bermacam-macam hobi dan kegiatan sehari-hari saja.”

Wen Tian sudah berutang banyak dari Aranya di masa lalu. Menjadi seseorang yang juga memahami sopan santun, tentu saja ia berjanji untuk membantu di tengah kesibukannya. Wen Tian sama sekali tidak mencurigai omong kosong Aranya.

Aranya melihat Wen Tian membuka setiap surat Chen Ye yang kemudian memberikan pujiannya dari waktu ke waktu: “Aku tidak menyadari ini sebelumnya, tetapi Yang Mulia Archmage sebenarnya seorang yang sangat menarik. Formasi catur ini juga cukup menarik.”

“Kau jago dalam bermain catur,” Aranya menjawab dengan sebuah senyuman. 

“Aku jarang bisa melampauimu ketika kau masih tinggal di rumahku. Bagus sekali, kau bisa mendiskusikan sedikit dengan Archmage kali ini.”

Aranya berhenti sejenak lalu melanjutkan, “Tetapi saat kau membalas suratnya, kau harus meniru tulisan tanganku. Aku tidak terlalu memikirkan soal ini sebelumnya. Walaupun aku menandatanganinya dengan menggunakan namamu, aku masih menulis dengan tulisan tanganku.”

Wen Tian menekankan bibirnya dan berkata, “Ini tidak sulit.”

***

Dalam acara pertemuan keesokan harinya, Chen Ye memang muncul.

Aranya tidak begitu memperhatikannya, tetapi Mo Shao adalah seorang yang sangat perhatian sampai ke tulangnya. Tempat pertemuannya diadakan di dalam sebuah paviliun di tengah-tengah danau.

Paviliun ini merupakan salah satu desain kebanggaan Mo Shao. Hanya dengan sebuah jembatan kecil yang menyambungkannya dengan danau, paviliun ini didirikan di tengah-tengah air, dikelilingi oleh bunga teratai di keempat sisinya.

Dari kejauhan, tampak seperti sebuah tunas tumbuh dari lapisan padat daun teratai. Di tiap sudut atap yang terbalik digantungkan sebuah lonceng angin. Setiap kali angin bertiup, lonceng-lonceng itu akan berbunyi jernih layaknya zen. Dapat pula digambarkan sebagai puncak keeleganan duniawi, dimana tak satu pun detailnya terlewatkan.

Sayang sekali, paviliun ini dinamai oleh Aranya. Sengaja mengabaikan segala perhatian soal detailnya, asal saja Aranya menyebutnya dengan Paviliun Danau. Mo Shao termenung sesaat, berpikir bahwa nama ini dapat dianggap menarik, tanpa basa-basi, lalu menyetujuinnya tanpa bantahan.

Aranya mengambil papan merah tak bertulisan, dan tinta anti air, kemudian menuliskan di atas papan kayu itu ‘Paviliun Danau’ dan menggantungnya. Mo Shao terengah, berpikir papan ini juga dapat dianggap natural dalam kesederhanaannya, dan lagi-lagi menyetujui tanpa bantahan.

Ketika Chen Ye melangkah masuk ke dalam paviliun, matanya terhenti pada karakter flamboyan di atas papan merah yang menggantung di atas kepalanya. Di dalam paviliun, gadis dengan gaun putih sederhana melihat ke arah Aranya.

Memahami situasi, ia menghadap ke depan dan berkata, “Tulisanku di sana kurang memadai. Terima kasih pada kebaikan Putri, masih bisa tergantung di sini hingga sekarang. Aku pasti sudah membuatmu tertawa, Yang Mulia.”

Mata Chen Ye berpindah ke arahnya. Penampilan Wen Tian hanya bisa dikatakan lembut, tetapi dengan pemandangan air danau luar biasa di belakangnya, ia sebenarnya terlihat cukup lembut dan elegan berdiri di dalam paviliun itu dengan gaun sederhananya.

Mata Chen Ye tampak melembut. 

Ia menurunkan suranya, “Wen Tian?”

Gadis itu tersenyum saat ia bangkit, “Benar, memang aku.”

Setelahnya, Su Moye bertanya pada Aranya apa yang ada dalam pikirannya selagi ia menyaksikan adegan ini. Tetapi, ‘setelahnya’ ini tidak lama kemudian.

Chen Ye tidak bergabung bersama mereka cukup lama sebelum ia diundang oleh Wen Tian untuk sebuah permainan catur di pinggir danau.

Hanya Su Moye dan Aranya yang tetap berada di dalam paviliun. Satunya menyibukkan diri dengan menyeduh teh dengan sebuah tungku lumpur merah kecil; yang lainnya mengupas jeruk selagi berusaha meneruskan percakapan dengan kacau. Tak dapat dilihat apa yang sedang dipikirkan Aranya melalui mata ambigunya.

Apa yang Mo Shao lakukan sesungguhnya sedikit kasar, sangat kasar hingga melukai hati Aranya.

Pria berjubah hitam dengan wanita berjubah putih di pinggir danau layaknya pahatan sepasang kekasih. Aranya melemparkan sebuah jeruk yang telah dikupas kepada Mo Shao; di wajahnya masih tersisa sebuah senyuman, meskipun entah bagaimana terlihat enggan.

“Wen Tian adalah wanita yang baik. Pengetahuannya setara dengan Chen Ye. Meskipun keluarganya tidak kaya, Chen Ye juga sudah jatuh. Jika Wen Tian menerima Chen Ye sekarang, itu menunjukkan bahwa ia tidak mencari kemegahan dan kemuliaan. Jika mereka berakhir bersama-sama, maka apa yang kulakukan hari ini dapat dianggap sebagai perbuatan baik.”

Su Moye mengerutkan keningnya, “Perkataan yang kau ucapkan pada Junuo di Teras Lingshu hari itu tidak sama dengan tindakanmu hari ini.”

Aranya menautkan alisnya, “Perkataan itu hanya digunakan untuk menggoda Junuo.”

Aranya menatap ke kejauhan dimana sosok hitam dan putih tengah bermain catur di pinggir danau dan melembutkan suaranya, “Chen Ye adalah seorang pria yang dingin dan sombong. Tetapi, apa yang bisa kulakukan saat ia berwajah tampan, berkemampuan luar biasa, punya teknik berpedang yang hebat, tulisan kaligrafi yang indah, kemampuan bermain catur yang baik, bahkan memiliki selera serta pengetahuan yang luar biasa. Chen Ye tampak dingin dan sombong, tetapi sebenarnya ia cukup menarik.”

Aranya kemudian tertawa, “Pernahkah kau berpikir? Bahwa kebenciannya padaku sebenarnya bukan salahnya? Setelah Ibu menikah lagi dan melahirkan aku juga Changdi, ia telah melakukan tindakan ketidaksetiaan. Jadi, darahku dan Changdi sama-sama tidak bersih. Ini sebenarnya hanya masalah sudut pandang.

"Setiap orang memiliki opininya masing-masing mengenai hal-hal seperti ini, jadi aku tidak bisa benar-benar mengatakan siapa yang benar atau salah. Tetapi, semenjak Chen Ye memiliki cara berpikir seperti ini, ia dan diriku sudah tidak mungkin. Sebenarnya aku sedikit iri dengan caranya menatap Wen Tian.”

Tak lama kemudian, Aranya menambahkan, “Namun, aku juga berharap Chen Ye dapat berbahagia.”

Su Moye menyerahkan secangkir teh untuk Aranya. 

“Tidak ada gunanya menarik cinta ini. Beruntungnya, kau masih dapat memandang masalah ini dengan jernih. Sekarang karena kita sudah sampai di titik ini, kau harus segera menyingkirkan perasaanmu.”

Aranya menerima teh itu dan mengucapkan terima kasih padanya.

Masalah ini tampaknya sudah dapat dikesampingkan; tidak perlu dibicarakan lagi. Mereka berbincang tentang urusan rumah tangga dan menunggu pasangan di pinggir danau untuk menyelesaikan permainan mereka.

Dari apa yang dikatakan oleh si pelayan, Chen Ye dan Wen Tian bertukar empat surat satu sama lain setelah pertemuan mereka di Paviliun Danau. Bersama dengan surat dari pelajar Wen Tian, terdapat dua hadiah kecil, burung gereja berkepala putih terbuat dari jerami dan liontin kipas bordir bermotif Jixiang; Chen Ye membalasnya dengan dua buah buku.

Chen Ye memilih sendiri buku-bukunya dan meminta pelayan untuk membeli mereka di pasar; mereka adalah dua volume jurnal perjalanan milik Canglangzi.

Aranya sedang memegangi cangkir teh selagi memberi makan ikan di kolam saat itu. Ia tanpa sadar membuat lidahnya terbakar kepanasan akibat cairan panas itu. Saat Aranya telah pulih, ia memberitahu si pelayan tua kalau pria tua itu tidak perlu lagi melaporkan padanya mengenai urusan mereka berdua mulai sekarang.

Lagipula, Chen Ye tidak datang ke kediamannya sebagai seorang tahanan. Aranya kemudian menyuruh pelayan itu membelikan dua buku yang sama dengan yang Chen Ye berikan untuk Wen Tian baca.

Dalam beberapa hal, Fengjiu menganggap Aranya sangat mengagumkan. Terkadang ia sendiri ingin menangis atau minum untuk menghilangkan kesedihannya ketika ia memikirkan sakit hatinya, tetapi Aranya mengirim orang yang dicintainya kepada orang lain.

Aranya tidak menangis atau minum-minum, apalagi mendesah menyesalinya. Ia hanya melakukan apa yang perlu dilakukannya tiap hari. Jika Fengjiu membandingkan dirinya dengan Aranya, Fengjiu pikir ia sebenarnya lebih banyak kurang. Ia mendadak merasa malu.

Namun, Langit tidak bekerja seusai dengan kesukaan seseorang. Langit suka sekali membuat badai di tengah ketenangan.

***

Beberapa hari setelahnya, Chen Ye keluar menuju Paviliun Boxin di malam hari. Secara tidak sengaja, ia menemukan dua baris kalimat terpahat di pohon ormosia di sebelah paviliun.

Kata-kata itu terpahat dalam di dahannya. Tulisan tangan yang berani namun lembut, cukup mendalam. 

Tulisan tangan yang sangat mirip dengan tulisan tangan yang ada di tumpukan surat yang disimpan Chen Ye dalam kotak suratnya:

“Cahaya bulan berpencar di sepanjang sana penuh bintang, tenun angin melalui dahan hijau. Mari minum seperti tiada hari esok, dan lupakanlah segala kesulitan serta keraguan.”

Di bawah sinar bulan, wajah Chen Ye mendadak memucat ketika ia membaca tulisan itu. Tulisan yang tidak mengandung kondisi panen ataupun musim. Sebaliknya, ukiran yang agak miring ditemukan di bawah dua baris kalimat itu. 

Satu nama berdiri sendiri. 

Xiangli Aranya.

Fengjiu memasang telinganya, bersemangat untuk mendengarkan sisa ceritanya. Tetapi Su Moye hanya mengetuk lubang di seruling jaspernya.

“Semuanya ketahuan saat itu, tetapi jika dirimu adalah Chen Ye dan kau mengetahui bahwa orang yang menulis padamu bukanlah Wen Tian melainkan Aranya, bagaimana perasaanmu?”

Fengjiu merenung sejenak dan memberanikan diri, “Sangat, sangat bahagia?”

Mo Shao tersenyum dan berkata, “Kalau itu adalah aku, aku juga akan sangat bagagia jika ada seorang wanita muda yang memperlakukanku dengan baik, terlebih lagi ia seorang gadis yang cantik. Itu adalah hal yang menguntungkan tak peduli bagaimana orang melihatnya.”

Fengjiu segera mendekat seolah ia bertemu dengan tipe yang sama. 

Yah, bukannya memang begitu?!”

Su Moye menjeda kemudian berkata, “Sayangnya, orang yang ditemui Aranya adalah Chen Ye, dan Chen Ye bukan diriku ataupun dirimu.”

Aranya duduk di ruang belajar untuk menunggu kemarahan Chen Ye. Ia sedang bermalas-malasan di atas dipan rendah, mengupas kuaci selagi membaca jurnal perjalanan Canglangzi yang baru saja terbit ketika ia mendadak melihat kulit pohon dengan kata-kata terpahat di atasnya melayang ke arahnya. Mengikuti arah terbangnya, Aranya mendeteksi sebuah jubah hitam, diikuti dengan wajah tenang Chen Ye dan amarahnya yang tersembunyi.

Chen Ye menatap ke bawah ke arah Aranya dari atas, di matanya terlihat dingin. 

“Kaulah yang menulis surat-surat itu, orang yang membuat angggur, dan juga orang yang memecahkan permainan catur. Apakah menyenangkan? Apakah kau menikmatinya, membodohiku?”

Chen Ye melangkah mendekat; kilat di matanya meningkat. 

“Saat kau melihatku tertipu dan mengikuti alurmu, tetapi masih dengan tulus membalas semua suratmu satu per satu, kau pasti berpikir, ‘Hah, sebenarnya ada juga harinya ketika ia begini.’ Hatimu pasti dipenuhi kepuasan?”

Aranya menatap kata-kata bertinta di dalam bukunya sekian lama, kemudian mendadak berbicara, “Guruku memberitahuku, aku harus memperjuangkan atau memutuskan perasaan dalam hatiku. Aku sudah memutuskan perasaan itu, kau tidak seharusnya datang kemari.”

Aranya berpikir lagi sejenak. 

“Bahkan jikalau kau sudah mengetahui hal-hal tertentu, kau seharusnya tetap berpura-pura tidak mengetahuinya. Tidakkah seharusnya kita berdua tetap seperti orang asing seperti sebelumnya?”

Chen Ye menatap Aranya dan menjawab dingin, “Apakah kita hanya orang asing? Aku pikir kita saling membenci satu sama lain?”

Jemari Aranya yang sedang mengelus buku pun bergetar, suaranya seperti bisikan: “Pernahkah kau berpikir kalau mungkin saja aku berbeda darimu, bahwa kau mungkin membenciku, tetapi aku tidak membencimu? Mungkin aku bahkan sungguh-sungguh menyukaimu, dan semua yang kulakukan adalah untuk membuatmu bahagia.”

Aranya menengadah. 

“Sebelum kau tahu kalau akulah yang menuliskan surat-surat itu, bukankah kau sangat senang?”

Chen Ye melangkah mundur. 

“Kau sedang mempermainkanku.”

Aranya tampak sedikit putus asa. 

“Bagaimana kalau tidak?”

“Ada begitu banyak kemungkinan di antara kita,” Chen Ye berkata, ekspresinya kaku, “Orang asing, musuh, musuh bebuyutan, dan masih banyak lagi, tetapi ini adalah satu-satunya yang tidak akan pernah mungkin.”

Aranya menatap Chen Ye sekian lama kemudian tersenyum menjawab, “Aku bisa saja mengatakan yang sejujurnya, atau aku mungkin saja berbohong. Mungkin aku memang sungguh menyukaimu, mungkin juga aku hanya ingin menggodamu.”

Dilaporkan, Chen Ye dan Wen Tian berhenti surat-menyurat setelahnya. Pernah Wen Tian mengirimi sepucuk surat untuk bertanya pada Aranya. Ia hanya bilang kalau Chen Ye mengetahui kebenarannya, dan meminta maaf karena telah membuat Wen Tian terlibat di dalamnya.

Wen Tian tidak mengatakan apa pun, ia hanya membalas dan menghibur Aranya dengan sebaris dua baris kalimat.

Sampai di titik cerita ini, Su Moye memandang ke langit dan kembali ke kamarnya untuk beristirahat sementara waktu.

Fengjiu sudah berkali-kali memikirkan soal akhir Aranya dan Chen Ye, tetapi ia tidak pernah mengira cerita mereka akan dimulai dengan sebegitu sedihnya.

Ini membuat hati Fengjiu terbebani juga cukup sedih. Karena ia memakan terlalu banyak bakpao sebelum tidur, ia jadi tidak bisa tidur. Ia berjalan-jalan di sekitar taman, mengingat kembali cerita Su Moye di siang hari, menarik napas panjang, kemudian akhirnya kembali ke kamar tidurnya setelah embun malam hari mulai singgah.

0 comments:

Posting Komentar