Ten Miles of Peach Blossoms
Chapter 9 Part 3
Masih tersisa
satu bulan hingga tanggal satu Juni.
Setelah
menghabiskan beberapa hari bersama Yuan Zhen, aku memikirkan apa yang perlu
kulakukan. Yuan Zhen ternyata seorang murid yang rendah hati, penuh
kehati-hatian, dan baik hati, tetapi ia memiliki pemikiran yang belum matang
dan merasa semua hal itu baru dan menyenangkan.
Jika kau
menyuruhnya mengarah ke timur, ia mungkin akan berangkat ke timur, tetapi
segera setelah punggungmu berbalik, ia akan berbalik dan malahan mengarah ke
barat. Itulah bagaimana sikap dirinya terhadap semua hal.
Jika aku akan
berurusan dengan ujian kehidupanya menggunakan pendekatan langsung, aku cukup
mendesaknya agar tidak ikut pergi ke Sungai Su Yu. Akan tetapi, ia pasti akan
bertanya padaku mengapa, dan alasan apa pun yang kugunakan untuk melarangnya
hanya akan berakhir meningkatkan rasa penasarannya dan mungkin juga membuatnya
jadi diam-diam ikut bersama mereka tanpa sepengetahuanku, hanya untuk melihat
apa yang akan terjadi.
Banyak sekali
kebahagiaan dan kesedihan dalam hidup ini yang disebabkan oleh melihat apa yang
akan terjadi. Pendekatan secara langsung tidak akan bekerja; aku harus memikirkan
ulang semuanya. Situasi Yuan Zhen ini perlu ditangani dengan cara yang cerdik
dan berhati-hati.
Bagaimana jika,
saat waktunya tiba bagi nasib si wanita cantik yang telah dipilih untuk
menyakiti Yuan Zhen itu jatuh ke dalam air, aku melompat untuk menyelamatkannya
lebih dulu? Oh, tetapi bagaimana kalau terjadi pertukaran dalam nasib dan ia
malah jadi jatuh cinta padaku? Bagaimana itu akan bekerja? Tidak, itu tidak
bagus. Tidak bagus.
Bagaimana saat
waktunya tiba, aku mengumpulkan beberapa wanita lain, dan saat wanita cantik
itu muncul, aku mengatur agar mereka semua duduk bersama dengannya di atas
perahu di Sungai Su Yu? Mereka akan melompat ke kiri, kanan, dan tengah, dan
Yuan Zhen tidak akan bisa menyelamatkan si wanita cantik dari halaman buku
nasib itu. Oh, tetapi bagaimana kalau Yuan Zhen menyelamatkan wanita lain,
tetapi buku nasib memindahkan nasib wanita cantik ini kepada si wanita yang
baru? Ini juga tidak baik.
Aku merenungi
masalah ini siang dan malam. Aku menatap pantulanku di cermin dan melihat bahwa
semua keresahanku mulai membuatku terlihat tua dan lesu. Aku masih tidak tahu
apa yang harus kulakukan.
Akhirnya, sudah
masuk bulan Mei.
Malam itu, aku
duduk di bawah lenteraku, resah seperti biasanya. Aku merenungkan urusan ini
sampai larut malam, saat aku memutuskan itu saatnya untuk tidur. Aku membuka
mataku untuk memadamkan lilinnya, tetapi saat melakukannya, aku melihat Ye Hua,
yang seharusnya berada di Qing Qiu, berjalan mendekat dengan secangkir teh di
tangannya dan ekspresi serius di wajahnya.
Aku meragu
sejenak, yakin bahwa aku pasti sudah tertidur dan mulai bermimpi. Ia menyesap
tehnya dan tersenyum menggoda ke arahku.
“Sudah lama aku
tidak bertemu denganmu, Qian Qian, dan aku sangat merindukanmu. Apakah kau juga
merindukanku?”
Aku terlonjak
dan melompat dari bangkuku. Ia menopang dagunya dengan tangannya dan menatapku
kebingungan.
“Apakah kau
jadi gila karena suka cita? Jangan tidur dulu,” katanya sembari tertawa. “Ada
hal penting yang ingin kuberitahukan padamu. Bisakah kau menebak dewa mana yang
terlahir sebagai ayah dunia manusia Yuan Zhen?”
Aku merasa
sangat lelah.
“Dewa mana yang
terlahir sebagai ayahnya? Yah, yang kutahu pasti, bukan kakekmu si tua Tian Jun
itu,” ucapku sembrono.
Ia berbalik dan
duduk di pinggir ranjangku untuk menghentikanku berbaring. Ia memberi tempat di
sebelahnya tepukan yang biasa. Aku ragu sebelum mendudukkan diri.
Ia mengangkat
secangkir teh dari meja.
“Sadarkan
dirimu sedikit,” ucapnya, menyerahkannya kepadaku. “Bukan, bukan kakekku,
tetapi tidak jauh juga. Seseorang yang kuyakin kau familier padanya.”
Ia mendapatkan
perhatian penuhku sekarang.
“Dong Hua Di Jun,”
ucapnya perlahan.
Aku
menyemburkan teh melalui hidungku.
Mungkinkah ayah
dunia manusia Yuan Zhen sebenarnya adalah Dong Hua Di Jun? Itu memang orang
yang familier denganku.
Keponakan
perempuanku, Feng Jiu, cintanya bertepuk sebelah tangan untuk Dong Hua Di Jun
selama lebih dari dua ribu tahun. Kapanpun ia mabuk, ia akan membisikkan ini
dan itu kepadaku tentang Dong Hua begini, Dong Hua begitu. Bahkan sekarang, aku
bisa mengingat segala hal yang diceritakannya padaku tentang Dong Hua, seolah
itu terjadi secara pribadi padaku sendiri.
***
Selama masa
awal kekacauan, Dong Hua Di Jun menguasai langit dan bumi. Sekarang, ia adalah
kepala dari para makhluk abadi, dan meskipun posisinya di Klan Langit berada di
bawah Tian Jun, Tian Jun harus berkonsultasi dengannya sebelum membuat
keputusannya.
Aku dengar,
kalau Dong Hua Di Jun sudah tinggal di Istana Tai Chen belum lama ini, dimana
ia bersembunyi, memeriksa buku catatan para makhluk abadi. Semua arwah dan
manusia yang menempa cukup banyak energi spiritual untuk berubah menjadi
makhluk abadi harus melapor padanya, dan semua makhluk abadi harus memberi
hormat kepadanya sebelum mereka bisa naik tingkat menjadi dewa atau dewi.
Dong Hua Di Jun
selalu sangat tenang dan memisahkan diri. Ia menyendiri dan tidak menginginkan
apa pun dan tetap berwajah kosong dan acuh tak acuh terhadap orang lain.
Ayah jarang
sekali memuji siapa pun, tetapi pernah aku mendengarnya berkata, “Ada begitu
banyak dewa-dewi di Empat Lautan dan Delapan Dataran, tetapi tak seorang pun
makhluk abadi yang bersikap seperti Dong Hua Di Jun.”
Ketika Feng Jiu
masih seekor anak rubah, ia sudah terbiasa menjadi sangat pemberani, bahkan
sebelum ia benar-benar meningkatkan kekuatan abadinya, ia sering melarikan diri
dari gua Kakak Kedua dan berlarian kesana-kemari menyebabkan masalah.
Pernah, ia
melakukan ini, seekor iblis macan mencoba membunuhnya. Tepat saat si iblis akan
menerkam, Dong Hua Di Jun muncul dan menyelamatkan nyawanya.
Seiring Feng
Jiu bertambah dewasa, ia memupuk rasa saying mendalam pada Dong Hua, yang
membuatnya merendahkan martabatnya sendiri.
Selama beberapa
ratus tahun, si gadis malang ini jatuh di bawah posisinya dan bertingkah
sebagai dayang istana Dong Hua di Istana Tai Chen. Dong Hua memperlakukannya
acuh tak acuh, yang membuatnya sangat jengkel. Baru setelah beberapa dekade
yang lalu, ia akhirnya berhasil melepaskan perasaannya untuk Dong Hua.
Aku tercengang
mengetahui Dong Hua Di Jun, seorang pria yang sangat kuat, keras hati, jujur,
yang tak bisa digoyahkan oleh kekayaan atau pun nafsu dan terbebas dari segala
macam skandal, entah bagaimana caranya, melakukan kesalahan fatal, hingga
membuatnya diturunkan ke dunia manusia sebagai hukumannya.
Ye Hua
bersandar di selusur ranjang.
“Dong Hua Di Jun
bukan diturunkan ke dunia manusia sebagai bentuk hukuman dari Tian Jun. Ia
pergi atas kemauannya sendiri!” katanya sambil tertawa.
“Ia ingin
merasakan dengan pantas kehidupan manusia. Secara langsung memahami akan usia
tua, sakit, kematian, penderitaan, dan pahitnya kehidupan hidup bersama
orang-orang yang kau benci, kesakitan dari perpisahan dengan orang-orang yang
kau cintai, merindukan tetapi tidak terbalaskan, kebingungan yang datang dari
keserakahan dan hasrat juga beberapa penyakit manusia lainnya. Itulah mengapa,
aku kemari untuk memperingatkanmu, sementara kau mengubah nasib Yuan Zhen, kau
harus berhati-hati untuk tidak melakukan apa pun yang mungkin akan mengubah
nasib Dong Hua juga.”
Perkataan
Ye Hua membuatku merasakan kegembiraan, juga ketakutan.
Kegembiraannya
adalah karena fakta, sebegitu banyaknya waktu berlalu, dan sebegitu banyaknya
kesempatan yang tersisa, dan kebanyakan hal di dunia ini sudah berubah jauh tak
dikenali lagi, tetapi Dong Hua Di Jun masih tetap seorang dewa yang agung,
tegak, dan luar biasa.
Ketakutannya
adalah apakah memungkinkan untuk berhasil melindungi Yuan Zhen dari ujiannya
terkait dengan si wanita cantik, tanpa mempengaruhi nasib dari pihak lainnya
dalam cinta segitiga yang menghancurkan ini. Akan jadi sangat rumit.
Sepertinya,
angin berhembus kencang di luar, menggertak kuat sampai kusen jendelanya
berderak. Merasa kedinginan, aku bangkit untuk menutup jendelanya dan kembali
ke ranjangku dan melihat kalau Ye Hua sudah melepaskan jubahnya dan tengah
mengibaskan selimutnya.
Aku menatapnya
terkejut. Dengan terampil ia menyiapkan ranjangnya sebelum berbalik ke arahku
dan bertanya, “Biasanya kau tidur di sisi ranjang bagian mana, di dalam atau di
luar?”
Pertama, aku
melihat ke arah ranjangnya, lalu ke lantai.
“Aku akan tidur
di lantai saja,” kataku tulus.
“Kalau aku
memiliki niat jahat terhadapmu, tidak masalah kau tidur di lantai atau di
ranjang. Aku tetap bisa melakukannya,” selorohnya ringan. “Apabila dirimu masih
memiliki sihir di ujung jarimu, kita bisa bertarung dan berakhir kelelahan.
Tetapi, oh, bukankah aku sudah menyegel ilmu sihirmu? Dari caramu bertingkah,
Qian Qian, dugaanku adalah kau tidak mempercayai dirimu sendiri …”
Aku mengelap
keringat dari keningku dan dengan murah hati menyibakkan selimutnya.
“Kau salah
sangka, Pangeran Ye Hua,” kataku sembari tertawa. “Aku hanya cemas, kau akan
merasa tidak nyaman tidur di ranjang sekecil ini. Pilihlah sisi yang kau
inginkan. Biasanya, aku tidur di bagian luar.”
Ia menatapku
dan tersenyum samar. “Kalau begitu, bisakah aku merepotkanmu untuk memadamkan
lilinnya?”
Dengan Ye Hua
yang tidur di bagian dalam ranjang, dan aku di bagian luarnya, akhirnya kami
tertidur.
Kediaman
tempatku menetap disebut Taman Bambu Ungu, yang terdapat sebuah hutan bambu
tebal, sesuai dengan namanya. Saat ini sedang sejuk, terlebih lagi malam ini.
Yang kami miliki hanyalah satu selimut tipis di antara kami, yang Ye Hua dan
aku paksakan untuk saling berbagi bersamaan dengan ranjang juga bantalnya. Aku
berbaring di pinggir ranjang dengan punggungku menghadap ke arahnya, lengan dan
kakiku berada di luar selimutnya, kedinginan, dan tanpa adanya energi abadi
untuk melindungi diriku, segera saja aku mengigil.
Napas Ye Hua
menjadi panjang dan dalam, dan terdengar seolah ia sudah tertidur. Tubuhnya
menguarkan aroma bunga persik samar, yang membuatku agak sinting. Aku
bertanya-tanya, kapankah malam panjang ini akan berakhir.
Ye Hua
berbalik. Aku bergerak menuju pinggiran ranjang.
“Apakah kau
ingin tidur dengan aku yang memelukmu?” Ye Hua bertanya dari belakangku. Aku
terlalu kaget untuk menjawab. Ia berbalik tanpa kata, dan secara refleks aku
terus bergerak menjauhinya sampai aku terjatuh dari pinggir dan mendarat di tanah
dengan bunyi gedebuk.
Ia tertawa
kecil. “Aku hanya sedang berpikir sendiri, jika aku tidak memelukmu, kau
mungkin akan terguling jatuh dari ranjang, dan sudah pasti itulah yang terjadi
tepatnya!”
“Ranjangnya
sempit,” kataku frustasi.
Ia mengulurkan
tangan untuk membangunkanku dari lantai dan mendorongku ke bagian dalam
ranjangnya.
“Kau benar.
Ranjangnya memang sangat sempit,” ucapnya sarkas. “Walaupun saat kita berbaring
terlentang dengan punggung kita, masih ada cukup tempat di antara kita untuk
ditiduri oleh tiga-empat orang, memang benar-benar sangat sempit.”
Aku tertawa
kecil.
Bagian dalam
ranjangnya memberi area yang mudah untuk diserang daripada bertahan, dan aku
semakin sulit untuk tertidur. Ye Hua berbaring sangat dekat denganku, dan aroma
persiknya menguar, menambah parah penyiksaan daripada 18 lapis Neraka.
Tepat saat aku
mendesah pada diri sendiri, Ye Hua mencondongkan diri dan menatap tepat di
mataku. Aku menatapnya balik keheranan.
“Aku baru saja
teringat sesuatu yang ingin kutanyakan padamu,” katanya tenang.
Aku menahan
napasku.
“Qian Qian,
apakah kau mengenal Dewa Si Yin?”
Aku terkejut
dan menarik selimutnya lebih jauh.
“Oh, Murid
ke-17 Mo Yuan dari Gunung Kun Lun. Aku pernah mendengar tentang dirinya, ya,
tapi aku belum pernah bertemu dengannya. Setelah Pemberontakan Klan Hantu
70.000 tahun yang lalu, kabarnya, ia dan Mo Yuan pergi menyendiri
bersama-sama.”
Ye Hua menghela
napas. “Aku kira, kau mungkin tahu lebih banyak tentang dirinya.”
“Apakah kau
ingin mengatakan kalau aku punya rahasia tersembunyi?” tanyaku sembari menguap.
“Tian Jun masih
pewaris dari takhta selama masa Pemberontakan Klan Hantu. Saat aku masih kecil,
ia sering kali memberitahuku aku mirip sekali dengan Mo Yuan.”
Aku pun
menggangguk sendiri, menyetujuinya. Bukan hanya wajah, tetapi fisiknya juga.
“Tidak ada apa pun
yang tertulis dalam buku sejarah mengenai hal ini, tetapi menurut Tian Jun, Mo
Yuan lenyap selama Pemberontakan Klan Hantu, berubah menjadi debu yang
berterbangan dan api yang meredup,” lanjut Ye Hua. “Itu artinya, tidak mungkin
ia pergi menyendiri bersama dengan Si Yin. Tian Jun yang sebelumnya mengirimkan
18 dewa berperingkat tinggi ke Gunung Kun Lun untuk mengatur pemakaman Mo Yuan,
tetapi Si Yin mengusir mereka dengan kipasnya. Segera setelahnya, Murid Pertama
Gunung Kun Lun melaporkan menghilangnya, baik Si Yin dan tubuh abadi Mo Yuan.”
Aku terkesiap.
“Oh, benarkah?”
kataku, berpura-pura terkejut.
Aku merasakan
sakit dalam hatiku.
Ia mengangguk.
“Tidak ada tanda-tanda dari Si Yin selama 70.000 tahun. Tetapi, aku dengar
kalau Raja Klan Hantu, Li Jing sudah
jungkir balik mencari Si Yin ini. Kemarin, salah satu bawahannya
memberikanku sebuah lukisan Si Yin, yang katanya dilukis sendiri oleh Li Jing
si Raja Klan Hantu.”
Jantungku mulai
berdegup kencang.
“Qian Qian,
saat aku melihatnya, aku kira itu adalah dirimu yang berpakaian seperti seorang
pria.”
“Baiklah, itu
adalah hal terbodoh yang pernah kudengar!” kataku, berusaha terdengar kaget.
“Kalaupun itu benar, itu artinya ada dua orang berjalan di Empat Lautan dan
Delapan Penjuru ini yang mirip denganku. Aku tidak familier dengan Si Yin ini,
tetapi istri Raja Hantu Li Jing berhubungan dengan klanku. Ia adalah adik
bungsu kakak iparku, dan ia bisa menjadi kembaranku.”
Ia merenunginya
sesaat.
“Benarkah?”
akhirnya ia berbicara. “Kalau begitu, aku akan mengunjungi mereka secara resmi
jikalau aku punya kesempatan.”
“Ah, sekarang?”
Ia tersenyum.
“Aku bisa nyaris mendengar kau menggertakkan gigimu! Meskipun jika adik bungsu
kakak iparmu mirip denganmu, sudah jelas ia tidak akan memiliki pesonamu.”
Aku mendongak
melihat bagian atas gorden ranjang dan menanggapi asal saja. Kemampuannya untuk
menggunakan sanjungan jelasnya bahkan tanpa bersemu, artinya ia pastilah
seringkali melatihnya. Benar-benar sangat mengagumkan.
Ye Hua tidak
mengatakan apa-apa lagi, dan segera setelahnya ia tertidur. Ia punya kebiasaan
tidur yang menyenangkan, tidak mendengkur, menggertakkan giginya, ataupun melontarkan
anggota tubuhnya kemana-mana.
Aku tetap
terjaga untuk waktu yang lama, dan tiba tengah malam barulah akhirnya aku jadi
cukup mengantuk untuk tertidur. Dalam keadaan kabur, entah dimana di antara
tertidur dan terbangun, mendadak, aku teringat akan satu fakta penting. Tepat
saat aku akan memikirkannya lebih jauh, hal itu melintas keluar dari pikiran
berkabutku dan melayang pergi.
Selama malam
itu, aku merasakan sepasang tangan sedingin es yang mengusap mataku dengan
lembut.
0 comments:
Posting Komentar