Minggu, 15 November 2020

3L3W TMOPB - Chapter 9 Part 3

Ten Miles of Peach Blossoms

Chapter 9 Part 3


Masih tersisa satu bulan hingga tanggal satu Juni.

Setelah menghabiskan beberapa hari bersama Yuan Zhen, aku memikirkan apa yang perlu kulakukan. Yuan Zhen ternyata seorang murid yang rendah hati, penuh kehati-hatian, dan baik hati, tetapi ia memiliki pemikiran yang belum matang dan merasa semua hal itu baru dan menyenangkan.

Jika kau menyuruhnya mengarah ke timur, ia mungkin akan berangkat ke timur, tetapi segera setelah punggungmu berbalik, ia akan berbalik dan malahan mengarah ke barat. Itulah bagaimana sikap dirinya terhadap semua hal.

Jika aku akan berurusan dengan ujian kehidupanya menggunakan pendekatan langsung, aku cukup mendesaknya agar tidak ikut pergi ke Sungai Su Yu. Akan tetapi, ia pasti akan bertanya padaku mengapa, dan alasan apa pun yang kugunakan untuk melarangnya hanya akan berakhir meningkatkan rasa penasarannya dan mungkin juga membuatnya jadi diam-diam ikut bersama mereka tanpa sepengetahuanku, hanya untuk melihat apa yang akan terjadi.

Banyak sekali kebahagiaan dan kesedihan dalam hidup ini yang disebabkan oleh melihat apa yang akan terjadi. Pendekatan secara langsung tidak akan bekerja; aku harus memikirkan ulang semuanya. Situasi Yuan Zhen ini perlu ditangani dengan cara yang cerdik dan berhati-hati.

Bagaimana jika, saat waktunya tiba bagi nasib si wanita cantik yang telah dipilih untuk menyakiti Yuan Zhen itu jatuh ke dalam air, aku melompat untuk menyelamatkannya lebih dulu? Oh, tetapi bagaimana kalau terjadi pertukaran dalam nasib dan ia malah jadi jatuh cinta padaku? Bagaimana itu akan bekerja? Tidak, itu tidak bagus. Tidak bagus.

Bagaimana saat waktunya tiba, aku mengumpulkan beberapa wanita lain, dan saat wanita cantik itu muncul, aku mengatur agar mereka semua duduk bersama dengannya di atas perahu di Sungai Su Yu? Mereka akan melompat ke kiri, kanan, dan tengah, dan Yuan Zhen tidak akan bisa menyelamatkan si wanita cantik dari halaman buku nasib itu. Oh, tetapi bagaimana kalau Yuan Zhen menyelamatkan wanita lain, tetapi buku nasib memindahkan nasib wanita cantik ini kepada si wanita yang baru? Ini juga tidak baik.

Aku merenungi masalah ini siang dan malam. Aku menatap pantulanku di cermin dan melihat bahwa semua keresahanku mulai membuatku terlihat tua dan lesu. Aku masih tidak tahu apa yang harus kulakukan.

Akhirnya, sudah masuk bulan Mei.

Malam itu, aku duduk di bawah lenteraku, resah seperti biasanya. Aku merenungkan urusan ini sampai larut malam, saat aku memutuskan itu saatnya untuk tidur. Aku membuka mataku untuk memadamkan lilinnya, tetapi saat melakukannya, aku melihat Ye Hua, yang seharusnya berada di Qing Qiu, berjalan mendekat dengan secangkir teh di tangannya dan ekspresi serius di wajahnya.

Aku meragu sejenak, yakin bahwa aku pasti sudah tertidur dan mulai bermimpi. Ia menyesap tehnya dan tersenyum menggoda ke arahku.

“Sudah lama aku tidak bertemu denganmu, Qian Qian, dan aku sangat merindukanmu. Apakah kau juga merindukanku?”

Aku terlonjak dan melompat dari bangkuku. Ia menopang dagunya dengan tangannya dan menatapku kebingungan.

“Apakah kau jadi gila karena suka cita? Jangan tidur dulu,” katanya sembari tertawa. “Ada hal penting yang ingin kuberitahukan padamu. Bisakah kau menebak dewa mana yang terlahir sebagai ayah dunia manusia Yuan Zhen?”

Aku merasa sangat lelah.

“Dewa mana yang terlahir sebagai ayahnya? Yah, yang kutahu pasti, bukan kakekmu si tua Tian Jun itu,” ucapku sembrono.

Ia berbalik dan duduk di pinggir ranjangku untuk menghentikanku berbaring. Ia memberi tempat di sebelahnya tepukan yang biasa. Aku ragu sebelum mendudukkan diri.

Ia mengangkat secangkir teh dari meja.

“Sadarkan dirimu sedikit,” ucapnya, menyerahkannya kepadaku. “Bukan, bukan kakekku, tetapi tidak jauh juga. Seseorang yang kuyakin kau familier padanya.”

Ia mendapatkan perhatian penuhku sekarang.

“Dong Hua Di Jun,” ucapnya perlahan.

Aku menyemburkan teh melalui hidungku.

Mungkinkah ayah dunia manusia Yuan Zhen sebenarnya adalah Dong Hua Di Jun? Itu memang orang yang familier denganku.

Keponakan perempuanku, Feng Jiu, cintanya bertepuk sebelah tangan untuk Dong Hua Di Jun selama lebih dari dua ribu tahun. Kapanpun ia mabuk, ia akan membisikkan ini dan itu kepadaku tentang Dong Hua begini, Dong Hua begitu. Bahkan sekarang, aku bisa mengingat segala hal yang diceritakannya padaku tentang Dong Hua, seolah itu terjadi secara pribadi padaku sendiri.

***

Selama masa awal kekacauan, Dong Hua Di Jun menguasai langit dan bumi. Sekarang, ia adalah kepala dari para makhluk abadi, dan meskipun posisinya di Klan Langit berada di bawah Tian Jun, Tian Jun harus berkonsultasi dengannya sebelum membuat keputusannya.

Aku dengar, kalau Dong Hua Di Jun sudah tinggal di Istana Tai Chen belum lama ini, dimana ia bersembunyi, memeriksa buku catatan para makhluk abadi. Semua arwah dan manusia yang menempa cukup banyak energi spiritual untuk berubah menjadi makhluk abadi harus melapor padanya, dan semua makhluk abadi harus memberi hormat kepadanya sebelum mereka bisa naik tingkat menjadi dewa atau dewi.

Dong Hua Di Jun selalu sangat tenang dan memisahkan diri. Ia menyendiri dan tidak menginginkan apa pun dan tetap berwajah kosong dan acuh tak acuh terhadap orang lain.

Ayah jarang sekali memuji siapa pun, tetapi pernah aku mendengarnya berkata, “Ada begitu banyak dewa-dewi di Empat Lautan dan Delapan Dataran, tetapi tak seorang pun makhluk abadi yang bersikap seperti Dong Hua Di Jun.”

Ketika Feng Jiu masih seekor anak rubah, ia sudah terbiasa menjadi sangat pemberani, bahkan sebelum ia benar-benar meningkatkan kekuatan abadinya, ia sering melarikan diri dari gua Kakak Kedua dan berlarian kesana-kemari menyebabkan masalah.

Pernah, ia melakukan ini, seekor iblis macan mencoba membunuhnya. Tepat saat si iblis akan menerkam, Dong Hua Di Jun muncul dan menyelamatkan nyawanya.

Seiring Feng Jiu bertambah dewasa, ia memupuk rasa saying mendalam pada Dong Hua, yang membuatnya merendahkan martabatnya sendiri.

Selama beberapa ratus tahun, si gadis malang ini jatuh di bawah posisinya dan bertingkah sebagai dayang istana Dong Hua di Istana Tai Chen. Dong Hua memperlakukannya acuh tak acuh, yang membuatnya sangat jengkel. Baru setelah beberapa dekade yang lalu, ia akhirnya berhasil melepaskan perasaannya untuk Dong Hua.

Aku tercengang mengetahui Dong Hua Di Jun, seorang pria yang sangat kuat, keras hati, jujur, yang tak bisa digoyahkan oleh kekayaan atau pun nafsu dan terbebas dari segala macam skandal, entah bagaimana caranya, melakukan kesalahan fatal, hingga membuatnya diturunkan ke dunia manusia sebagai hukumannya.

Ye Hua bersandar di selusur ranjang.

“Dong Hua Di Jun bukan diturunkan ke dunia manusia sebagai bentuk hukuman dari Tian Jun. Ia pergi atas kemauannya sendiri!” katanya sambil tertawa.

“Ia ingin merasakan dengan pantas kehidupan manusia. Secara langsung memahami akan usia tua, sakit, kematian, penderitaan, dan pahitnya kehidupan hidup bersama orang-orang yang kau benci, kesakitan dari perpisahan dengan orang-orang yang kau cintai, merindukan tetapi tidak terbalaskan, kebingungan yang datang dari keserakahan dan hasrat juga beberapa penyakit manusia lainnya. Itulah mengapa, aku kemari untuk memperingatkanmu, sementara kau mengubah nasib Yuan Zhen, kau harus berhati-hati untuk tidak melakukan apa pun yang mungkin akan mengubah nasib Dong Hua juga.”

Perkataan Ye Hua membuatku merasakan kegembiraan, juga ketakutan.

Kegembiraannya adalah karena fakta, sebegitu banyaknya waktu berlalu, dan sebegitu banyaknya kesempatan yang tersisa, dan kebanyakan hal di dunia ini sudah berubah jauh tak dikenali lagi, tetapi Dong Hua Di Jun masih tetap seorang dewa yang agung, tegak, dan luar biasa.

Ketakutannya adalah apakah memungkinkan untuk berhasil melindungi Yuan Zhen dari ujiannya terkait dengan si wanita cantik, tanpa mempengaruhi nasib dari pihak lainnya dalam cinta segitiga yang menghancurkan ini. Akan jadi sangat rumit.

Sepertinya, angin berhembus kencang di luar, menggertak kuat sampai kusen jendelanya berderak. Merasa kedinginan, aku bangkit untuk menutup jendelanya dan kembali ke ranjangku dan melihat kalau Ye Hua sudah melepaskan jubahnya dan tengah mengibaskan selimutnya.

Aku menatapnya terkejut. Dengan terampil ia menyiapkan ranjangnya sebelum berbalik ke arahku dan bertanya, “Biasanya kau tidur di sisi ranjang bagian mana, di dalam atau di luar?”

Pertama, aku melihat ke arah ranjangnya, lalu ke lantai.

“Aku akan tidur di lantai saja,” kataku tulus.

“Kalau aku memiliki niat jahat terhadapmu, tidak masalah kau tidur di lantai atau di ranjang. Aku tetap bisa melakukannya,” selorohnya ringan. “Apabila dirimu masih memiliki sihir di ujung jarimu, kita bisa bertarung dan berakhir kelelahan. Tetapi, oh, bukankah aku sudah menyegel ilmu sihirmu? Dari caramu bertingkah, Qian Qian, dugaanku adalah kau tidak mempercayai dirimu sendiri …”

Aku mengelap keringat dari keningku dan dengan murah hati menyibakkan selimutnya.

“Kau salah sangka, Pangeran Ye Hua,” kataku sembari tertawa. “Aku hanya cemas, kau akan merasa tidak nyaman tidur di ranjang sekecil ini. Pilihlah sisi yang kau inginkan. Biasanya, aku tidur di bagian luar.”

Ia menatapku dan tersenyum samar. “Kalau begitu, bisakah aku merepotkanmu untuk memadamkan lilinnya?”

Dengan Ye Hua yang tidur di bagian dalam ranjang, dan aku di bagian luarnya, akhirnya kami tertidur.

Kediaman tempatku menetap disebut Taman Bambu Ungu, yang terdapat sebuah hutan bambu tebal, sesuai dengan namanya. Saat ini sedang sejuk, terlebih lagi malam ini. Yang kami miliki hanyalah satu selimut tipis di antara kami, yang Ye Hua dan aku paksakan untuk saling berbagi bersamaan dengan ranjang juga bantalnya. Aku berbaring di pinggir ranjang dengan punggungku menghadap ke arahnya, lengan dan kakiku berada di luar selimutnya, kedinginan, dan tanpa adanya energi abadi untuk melindungi diriku, segera saja aku mengigil.

Napas Ye Hua menjadi panjang dan dalam, dan terdengar seolah ia sudah tertidur. Tubuhnya menguarkan aroma bunga persik samar, yang membuatku agak sinting. Aku bertanya-tanya, kapankah malam panjang ini akan berakhir.

Ye Hua berbalik. Aku bergerak menuju pinggiran ranjang.

“Apakah kau ingin tidur dengan aku yang memelukmu?” Ye Hua bertanya dari belakangku. Aku terlalu kaget untuk menjawab. Ia berbalik tanpa kata, dan secara refleks aku terus bergerak menjauhinya sampai aku terjatuh dari pinggir dan mendarat di tanah dengan bunyi gedebuk.

Ia tertawa kecil. “Aku hanya sedang berpikir sendiri, jika aku tidak memelukmu, kau mungkin akan terguling jatuh dari ranjang, dan sudah pasti itulah yang terjadi tepatnya!”

“Ranjangnya sempit,” kataku frustasi.

Ia mengulurkan tangan untuk membangunkanku dari lantai dan mendorongku ke bagian dalam ranjangnya.

“Kau benar. Ranjangnya memang sangat sempit,” ucapnya sarkas. “Walaupun saat kita berbaring terlentang dengan punggung kita, masih ada cukup tempat di antara kita untuk ditiduri oleh tiga-empat orang, memang benar-benar sangat sempit.”

Aku tertawa kecil.

Bagian dalam ranjangnya memberi area yang mudah untuk diserang daripada bertahan, dan aku semakin sulit untuk tertidur. Ye Hua berbaring sangat dekat denganku, dan aroma persiknya menguar, menambah parah penyiksaan daripada 18 lapis Neraka.

Tepat saat aku mendesah pada diri sendiri, Ye Hua mencondongkan diri dan menatap tepat di mataku. Aku menatapnya balik keheranan.

“Aku baru saja teringat sesuatu yang ingin kutanyakan padamu,” katanya tenang.

Aku menahan napasku.

“Qian Qian, apakah kau mengenal Dewa Si Yin?”

Aku terkejut dan menarik selimutnya lebih jauh.

“Oh, Murid ke-17 Mo Yuan dari Gunung Kun Lun. Aku pernah mendengar tentang dirinya, ya, tapi aku belum pernah bertemu dengannya. Setelah Pemberontakan Klan Hantu 70.000 tahun yang lalu, kabarnya, ia dan Mo Yuan pergi menyendiri bersama-sama.”

Ye Hua menghela napas. “Aku kira, kau mungkin tahu lebih banyak tentang dirinya.”

“Apakah kau ingin mengatakan kalau aku punya rahasia tersembunyi?” tanyaku sembari menguap.

“Tian Jun masih pewaris dari takhta selama masa Pemberontakan Klan Hantu. Saat aku masih kecil, ia sering kali memberitahuku aku mirip sekali dengan Mo Yuan.”

Aku pun menggangguk sendiri, menyetujuinya. Bukan hanya wajah, tetapi fisiknya juga.

“Tidak ada apa pun yang tertulis dalam buku sejarah mengenai hal ini, tetapi menurut Tian Jun, Mo Yuan lenyap selama Pemberontakan Klan Hantu, berubah menjadi debu yang berterbangan dan api yang meredup,” lanjut Ye Hua. “Itu artinya, tidak mungkin ia pergi menyendiri bersama dengan Si Yin. Tian Jun yang sebelumnya mengirimkan 18 dewa berperingkat tinggi ke Gunung Kun Lun untuk mengatur pemakaman Mo Yuan, tetapi Si Yin mengusir mereka dengan kipasnya. Segera setelahnya, Murid Pertama Gunung Kun Lun melaporkan menghilangnya, baik Si Yin dan tubuh abadi Mo Yuan.”

Aku terkesiap.

“Oh, benarkah?” kataku, berpura-pura terkejut.

Aku merasakan sakit dalam hatiku.

Ia mengangguk. “Tidak ada tanda-tanda dari Si Yin selama 70.000 tahun. Tetapi, aku dengar kalau Raja Klan Hantu, Li Jing sudah  jungkir balik mencari Si Yin ini. Kemarin, salah satu bawahannya memberikanku sebuah lukisan Si Yin, yang katanya dilukis sendiri oleh Li Jing si Raja Klan Hantu.”

Jantungku mulai berdegup kencang.

“Qian Qian, saat aku melihatnya, aku kira itu adalah dirimu yang berpakaian seperti seorang pria.”

“Baiklah, itu adalah hal terbodoh yang pernah kudengar!” kataku, berusaha terdengar kaget. “Kalaupun itu benar, itu artinya ada dua orang berjalan di Empat Lautan dan Delapan Penjuru ini yang mirip denganku. Aku tidak familier dengan Si Yin ini, tetapi istri Raja Hantu Li Jing berhubungan dengan klanku. Ia adalah adik bungsu kakak iparku, dan ia bisa menjadi kembaranku.”

Ia merenunginya sesaat.

“Benarkah?” akhirnya ia berbicara. “Kalau begitu, aku akan mengunjungi mereka secara resmi jikalau aku punya kesempatan.”

“Ah, sekarang?”

Ia tersenyum. “Aku bisa nyaris mendengar kau menggertakkan gigimu! Meskipun jika adik bungsu kakak iparmu mirip denganmu, sudah jelas ia tidak akan memiliki pesonamu.”

Aku mendongak melihat bagian atas gorden ranjang dan menanggapi asal saja. Kemampuannya untuk menggunakan sanjungan jelasnya bahkan tanpa bersemu, artinya ia pastilah seringkali melatihnya. Benar-benar sangat mengagumkan.

Ye Hua tidak mengatakan apa-apa lagi, dan segera setelahnya ia tertidur. Ia punya kebiasaan tidur yang menyenangkan, tidak mendengkur, menggertakkan giginya, ataupun melontarkan anggota tubuhnya kemana-mana.

Aku tetap terjaga untuk waktu yang lama, dan tiba tengah malam barulah akhirnya aku jadi cukup mengantuk untuk tertidur. Dalam keadaan kabur, entah dimana di antara tertidur dan terbangun, mendadak, aku teringat akan satu fakta penting. Tepat saat aku akan memikirkannya lebih jauh, hal itu melintas keluar dari pikiran berkabutku dan melayang pergi.

Selama malam itu, aku merasakan sepasang tangan sedingin es yang mengusap mataku dengan lembut.

Related Posts:

0 comments:

Posting Komentar