Minggu, 15 November 2020

3L3W TMOPB - Chapter 11 Part 2

Ten Miles of Peach Blossoms

Chapter 11 Part 2


Aku memberi isyarat kepada kasim muda yang telah kusuap sebelumnya dan meminta sekendi air darinya. Yuan Zhen sudah berhasil menghindari ujian kehidupannya, tetapi Dong Hua dan si wanita cantik itu benar-benar telah kehilangan kesempatan.

Aku mengetahui posisi Dong Hua sebagai kepala para makhluk abadi dan segala urusan rumit yang harus ditanganinya. Tidak mudah baginya untuk mencari waktu agar dilahirkan sebagai seorang manusia, dan aku merasa bersalah karena telah sepenuhnya menghancurkan ujian percintaan yang telah digariskan untuknya.

Aku mengelap keringat dari keningku dan meminum seteguk air. Aku benar-benar telah mengacaukan semuanya sementara menangani urusan Yuan Zhen ini, tetapi paling tidak, aku telah mencapai apa yang kutargetkan. Aku menghitung dengan jemariku, berapa hari yang telah kuhabiskan di dunia manusia, berpikir pada diri sendiri kalau, dunia manusia tidak lagi semenarik sebelumnya.

Aku memutuskan kalau besok aku akan pergi bersama Yuan Zhen ke kuil di belakang Istana Kekaisaran dan mengucapkan salam perpisahan pada ibuya. Itu saja. Aku bebas kembali ke Qing Qiu. Satu-satunya masalah adalah karena sihirku telah disegel, dan aku tidak yakin bagaimana caranya aku akan kembali ke Qing Qiu.

Feng Jiu memberitahuku, setelah hari Festival Vedic Dharma, saat Dong Hua bertemu dengan gadis impiannya, ia akan bebas untuk pergi. Nasib Dong Hua telah diubah, tetapi itu bukanlah kesalahan Feng Jiu.

Di samping itu, ia telah mempertaruhkan nyawanya untuk menyelamatkan Dong Hua, dan dengan melakukan itu, sudah sepenuhnya membayarkan utang budinya pada Dong Hua. Segera setelah matahari terbenam di balik pegunungan, aku akan pergi mencari Feng Jiu, dan besok, kami berdua bisa kembali ke Qing Qiu bersama-sama.

***

Aku kembali ke Taman Bambu Ungu untuk beristirahat.

Di saat dayang istanaku dengan lembut membangunkanku, sudah gelap gulita di luar sana. Aku menelan makanan dengan santai dan memintanya membawakan sebuah lentera saat ia menemaniku ke Aula Kuncup Teratai.

Cukup sulit bagiku untuk mencari jalan di sekitar Istana Kekaisaran saat siang hari, tetapi, di malam hari ketika semua lampu istana bersinar dan seluruh tempatnya dipenuhi dengan cahaya kekuningan samar, seseorang sepertiku yang berada di sana kurang dari dua bulan, merasa mustahil mengenali satu aula istana dengan yang lainnya.

Dayang istanaku membawa lentera, menyingkirkan bunga dan dedalu selagi kami berjalan, benar-benar mengenali rutenya. Aku mengikutinya dalam diam, penuh kekaguman untuk kemampuannya mengenali arah.

Di saat kami melewati sebuah paviliun taman, tiba-tiba saja Yuan Zhen menghadang kami.

Dayang istananya mengutarakan panggilan kaku dan sopannya, “Yang Mulia.”

Yuan Zhen menarik tangannya hingga ke lengan bajunya dan menerima sapaannya dengan rendah hati. Ia melirikku.

“Guru, aku punya masalah yang ingin kudiskusikan dengan Anda,” katanya dengan suara tercekat.

“Maukah Anda bergabung denganku di paviliun ini untuk berbicara sejenak?”

Aku mengikuti, menyadari kalau ia terlihat agak segan. Tanpa sengaja, aku mengigil. Aku membiarkannya menjaga ayahnya sore itu. Tetapi penampilannya membuatku cemas.

Mungkinkah nasib menemukan cara lainnya untuk mengaitkan takdirnya dengan si wanita cantik? Kalau demikian, Si Ming Xing Jun dan buku nasibnya benar-benar sebuah kekuatan yang perlu diperhitungkan.

Yuan Zhen membawaku ke paviliun dan mendudukkan diri.

Angin sepoi-sepoi di malam yang cerah bertiup di sepanjang danau. Aku melihat ekspresi mendamba di wajahnya dan duduk di atas bangku batunya dalam diam.

Untuk sesaat, ia hanya duduk di sana dengan seringaian bodoh di wajahnya. Kemudian, ia merogoh sesuatu dari lengan jubahnya dan dengan hati-hati menyingkirkan seseuatu dan mengulurkannya untuk diperlihatkan kepadaku.

“Lihat, Guru, bukankah ini menggemaskan?”

Aku melirik ke arah tangannya dan memperhatikan dengan saksama.

Aku menghela napas sedih.

Yuan Zhen, oh, Yuan Zhen, dasar orang yang merepotkan. Apakah kau tahu apa yang ada di tanganmu?

Tentu saja tidak.

Bersinar dipenuhi kebahagiaan, ia berkata, “Siang hari, ketika perahunya mendekat ke tepian, aku mengambil alih prosesi untuk memerintah para pejabat. Dan itulah saat si Kecil Sayang ini terjatuh dari atas langit. Oh, waktu itu tidak kecil. Ketika ia melebarkan sayapnya, ukurannya setengah dari sebuah rumah, dan sangat kuat.

“Tadinya akan mendarat padaku, tetapi ini adalah seekor hewan kecil yang takut menyakitiku, jadi ia menarik kembali sayapnya sampai ukurannya begini sebelum meluncur ke dalam tanganku.”

Si Kecil Sayang yang sedang bersarang di tangan Yuan Zhen adalah burung Peng raksasa dari Buddha di Surga Barat, hanya sekarang tak lebih besar dari seekor burung murai. Mungkin ia berhasil mengecilkan dirinya, tetapi tidak berhasil menyembunyikan cahaya keemasan yang terpancar dari tubuhnya.

Di dalam cahaya keemasan ini, burung itu menggantungkan kepalanya, terlihat putus asa. Ketika mendengar dirinya disebut dengan si Kecil Sayang, burung itu memejamkan matanya dan gemetaran.

Aku mendekat dan melihat kalau kedua kakinya diikat dengan lonceng pengunci abadi. Mereka digunakan di Jiu Chong Tian untuk menangkap roh burung juga hewan lainnya. Tidak heran, si burung Peng bersayap emas ini tidak bisa kembali ke bentuk aslinya. Di ukurannya ini, sama rentannya seperti daging di atas talenan dan sepenuhnya berada dalam belas kasihan orang lain.

Aku sudah prihatin ketika aku melihat burung Peng raksasa bersayap emas melayang di angkasa siang tadi. Burung itu terbang dengan pengekangan sedemikian rupa sampai aku cemas burung itu mungkin menyakiti uratnya. Ketakutanku pun jadi nyata. Kalau tidak, kenapa burung itu terhempas ke dalam tangan Yuan Zhen seperti itu?

Selagi melihat ke arah lonceng di kaki burung Peng raksasanya, aku pastilah jadi melamun.

“Guruku yang sebelumnya memberikan ini kepadaku,” jelas Yuan Zhen, menarik perhatianku kembali.

“Saat aku berusia dua belas atau tiga belas tahun, ada seekor roh singa betina yang tinggal di belakang kuil kami, dan ia terus-menerus mengatakan ingin menjadi tunggangan kami. Tak lama setelahnya, ia diculik oleh roh singa jantan dari gunung sebelah, dan loncengnya sudah ada di sini sejak saat itu. Namun, si Kecil Sayang bisa menggunakannya.”

Si Kecil Sayang gemetaran lagi.

“Ah,” kataku, mengangguk.

“Jelas sekali kau memikirkan banyak tentang ini, tetapi apakah kau pernah mempertimbangkan kalau hewan di tanganmu ... punya majikan? Jika kau memutuskan untuk memeliharanya, kau mungkin akan terkena masalah jika pemilik aslinya datang mencarinya.”

Ia mengerutkan dahinya.

“Itulah mengapa aku ingin mendiskusikannya dengan Anda, Guru,” katanya, dengan sejejak penyesalan dalam suaranya.

“Aku tahu kalau Anda adalah makhluk yang mulia, jadi aku berharap Anda bersedia membantuku. Si Kecil Sayang adalah roh burung, dan pemiliknya sudah jelas bukanlah seorang manusia. Aku hanyalah manusia biasa dengan masa hidup yang terbatas. Ketika aku mati dan tubuhku kembali ke tanah, si Kecil Sayang secara alami akan kembali ke pemilik aslinya.”

Aku melihat ke arah si Kecil Sayang, yang menggelengkan kepalanya putus asa. Karena ia dalam wujud burungnya, lehernya tidak sefleksibel leher manusia, dan ketika kepalanya bergerak, seluruh tubuhnya pun bergerak.

Yuan Zhen memegangi si Kecil Sayang di hadapanku, berkata, “Guru, lihatlah betapa gembiranya si Kecil Sayang saat ia mendengar aku ingin memeliharanya!”

Si Kecil Sayang pingsan, berpura-pura mati. Yuan Zhen menatapku dengan campuran antara harapan dan kesedihan. Hatiku terasa panas. Aku mempertimbangkan apa yang barusan dikatakannya dan menyadari ini adalah sebuah permintaan yang masuk akal.

Aku menghancurkan ujian percintaan Yuan Zhen yang telah ditakdirkan, yang mana membuat separuh kehidupannya berikutnya cukup membosankan. Memelihara seekor roh burung dan membiarkannya berada di sisinya pasti akan membawakan penghiburan dan membantunya selagi menghabiskan tahun. Dan meski kenyataannya ia memanggilku Guru, aku tidak pernah memberikannya sebuah upacara pengangkatan murid, yang mana bukanlah hal baik dariku.

Aku yakin, apabila aku pergi menemui Buddha di Surga Barat untuk menjelaskan situasinya dan bertanya apakah beliau tidak keberatan meminjamkan burung Peng bersayap emasnya sedikit lebih lama, beliau pastinya akan menyetujuinya.

Aku mengangguk dan berkata, “Setuju.”

Si Kecil Sayang menggoak tak senang. Yuan Zhen menarik si Kecil Sayang kembali ke dalam lengan jubahnya dan menggenggam tanganku riang gembira.

“Apakah Anda sungguh mengiyakannya, Guru? Aku tidak sedang bermimpi, kan? Aku kira aku sedang delusi menanyakannya. Aku tidak pernah menduga kalau Anda akan benar-benar menyetujuinya ...”

Ia akan terus berbicara, tetapi di saat itu, ada suara familier yang terdengar di angkasa.

“Apa yang sedang kalian berdua lakukan?” tanyanya.

Aku mendongak, terkejut mendapati Ye Hua, yang tidak kujumpai selama hampir sebulan, berdiri di udara, disinari dari belakang oleh cahaya bulan yang terang dan dingin, wajahnya tenang dan matanya bersinar saat ia memperhatikan Yuan Zhen dan diriku. Di belakangnya berdiri seorang dewa yang mengenakan tunik biru safir, setengah tersenyum di wajahnya yang tampak ramah itu.

Selama lebih dari sebulan, selain Feng Jiu, satu-satunya wajah yang kulihat adalah orang-orang asing itu. Melihat wajah yang familier, dan yang kutahu juga bisa membuka segel sihirku, aku jadi sangat senang.

Di naskah lakon yang kubaca di waktu senggangku, teman lama yang bertemu kembali biasanya saling menggenggam tangan dan menarik satu sama lainnya ke sebuah kedai untuk berbagi minuman dan mengobrolkan tentang sudah berapa lama waktu berlalu. Itulah bagaimana seharusnya pertemuan kembali antara kawan lama.

Ye Hua dan aku belum berpisah terlalu lama, tetapi tetap saja berpisah. Namun, di sinilah ia, berdiri di tengah udara, bahkan tanpa adanya sapaan kepadaku. Aku sangat tidak terkesan.

Yuan Zhen memegangi tanganku, agak gemetaran. Aku menatapnya dengan ekspresi menenangkan dan berbalik ke arah dua dewa yang berdiri di udara dikelilingi oleh asap-asap keberuntungan yang terus menguar.

“Kalian berdua, turunlah dari atas langit,” tegurku.

“Bulannya bersinar malam ini, dan anginnya pun kencang. Kalian berada di hadapan seorang manusia yang tidak mampu mengatasi aura keabadian serta keeleganan kalian. Tidak adil untuk menakutinya seperti ini.”

Aku berbicara dengan otoritas, dan dewa yang mengenakan tunik biru safir menyatukan kedua tangannya dan membungkuk padaku sebelum turun dari awannya. Ye Hua melihat Yuan Zhen dan turun dari awannya juga.

Ternyata Yuan Zhen benar-benar salah satu dari orang-orang yang tidak mampu mengatasi kehadiran makhluk abadi. Ia sudah mengalami ketakutan besar hari ini.

Aku baru saja akan memanggil dayang yang memegangi lenteranya, yang masih menunggu di jalan, dan memintanya untuk mendudukkan Yuan Zhen, tetapi saat aku menatap ke atas, aku melihat ia sudah terbaring di atas tanah, lenteranya terguling di sisinya. Rupanya, bukan hanya dirinya yang tak mampu menghadapi kehadiran Ye Hua dan temannya ini.

Tangan Yuan Zhen bergetar lebih kuat lagi sekarang. Aku mendesah. Murid pertamaku dan ia jadi lemah hanya karena melihat seorang dewa. Aku kira, elusan lembut di rambutnya akan menghiburnya.

Aku baru saja akan mengulurkan tanganku tetapi terkejut ketika aku melihat betapa merah dan bersinarnya wajah Yuan Zhen. Pipinya semerah kuning telur asin.

Memandangiku dengan mata berbinarnya, ia berkata, “Gu-gu-gu-Guru, aku melihat seorang de-de-dewa. A-a-aku melihat dewa pertamaku ...”

Diam-diam aku menarik kembali tanganku.

Ia melesat dengan gembira menuju ke arah Ye Hua, membungkuk sopan, dan berkata, “Di masa lampau, Xuan Yuan, Kaisar Huang mempraktikkan penempaan energi spiritual dan membangun karma yang baik. Ia membentuk militer, penelitian metereorologi, menanam jagung dan padi, menenangkan rakyat, dan membagi lahan menjadi sebidang-sebidang, dan dengan melakukan demikian, ia menarik perhatian dari seekor phoenix yang terbang di sekitar kasau.

“Apakah kabar tentang ayahku, kebajikan sang Kaisar dan tingkah laku sempurnanya mencapai langit dan para dewa juga? Apakah itulah mengapa Anda berdua, dewa-dewa tiba di sini, di tengah malam?”

Diam-diam aku menghela napas, lagi dan lagi.

Oh, tidak anak kecil, tidak, bukan kabar tentang kebajikan dan prilaku sempurna ayahmu yang mencapai langit dan bumi. Kabar mengenai ujian percintaan dirimu dan ayahmulah yang membuat mereka datang.

Ye Hua melihat Yuan Zhen, senyum samar di bibirnya.

Ia memandangku dan berkata, “Maaf karena mengecewakanmu, tetapi perjalanan ke dunia manusia ini adalah karena urusan pribadi. Aku kemari untuk mengunjungi istriku.”

Yuan Zhen menatap Ye Hua dan mengikuti garis pandangannya ke arahku. Ia menggaruk kepalanya kebingungan. Aku tersenyum malu-malu pada Yuan Zhen.

“Ia kemari untuk menemuiku,” jelasku.

Yuan Zhen tercengang menatapku. Ye Hua memiringkan kepalanya, mengagumi permukaan gelap danau di luar paviliun. Takdirku dengan Yuan Zhen sudah berakhir, aku menyadarinya. Besok, aku bisa pergi.

Ye Hua tiba tepat pada waktunya. Takdir keabadian mengizinkan mereka untuk bertemu hari ini dan juga memberikanku sebuah kesempatan untuk pamit dan mengucapkan salam perpisahan.

Sebelum aku punya kesempatan untuk memikirkan alasan yang bagus untuk pergi, si dewa dengan tunik biru safir yang berdiri diam di samping, menggunakan sebuah cahaya emas untuk menyerang Yuan Zhen di keningnya, menjatuhkannya dengan posisi wajah yang lebih dulu menghantam tanah.

Dewa dengan tunik biru safir itu tersenyum sopan.

“Jangan cemas, Gu Gu. Yang kulakukan hanyalah menghapus ingatan Yuan Zhen yang melihat Yang Mulia Pangeran Ye Hua dan diriku malam ini. Berkat tangan lembut Anda, Yang Mulia Yuan Zhen memiliki masa depan yang menjanjikan di masa mendatang. Satu-satunya ketakutanku adalah melihat dua dewa mungkin akan menyusahkan dan menyihirnya.

“Yuan Zhen telah membuat perubahan kecil pada takdir Di Jun, oleh karenanyalah aku datang kemari, untuk memperbaikinya. Aku akan sangat berterima kasih apabila Anda, Gu Gu, dapat menunjukkan padaku arah dimana aku dapat menemukan Feng Jiu. Aku perlu meminta bantuannya.”

Related Posts:

0 comments:

Posting Komentar