Ten Miles of Peach Blossoms
Chapter 11 Part 2
Aku memberi
isyarat kepada kasim muda yang telah kusuap sebelumnya dan meminta sekendi air darinya.
Yuan Zhen sudah berhasil menghindari ujian kehidupannya, tetapi Dong Hua dan si
wanita cantik itu benar-benar telah kehilangan kesempatan.
Aku mengetahui
posisi Dong Hua sebagai kepala para makhluk abadi dan segala urusan rumit yang
harus ditanganinya. Tidak mudah baginya untuk mencari waktu agar dilahirkan
sebagai seorang manusia, dan aku merasa bersalah karena telah sepenuhnya
menghancurkan ujian percintaan yang telah digariskan untuknya.
Aku mengelap
keringat dari keningku dan meminum seteguk air. Aku benar-benar telah
mengacaukan semuanya sementara menangani urusan Yuan Zhen ini, tetapi paling
tidak, aku telah mencapai apa yang kutargetkan. Aku menghitung dengan jemariku,
berapa hari yang telah kuhabiskan di dunia manusia, berpikir pada diri sendiri
kalau, dunia manusia tidak lagi semenarik sebelumnya.
Aku memutuskan
kalau besok aku akan pergi bersama Yuan Zhen ke kuil di belakang Istana
Kekaisaran dan mengucapkan salam perpisahan pada ibuya. Itu saja. Aku bebas
kembali ke Qing Qiu. Satu-satunya masalah adalah karena sihirku telah disegel,
dan aku tidak yakin bagaimana caranya aku akan kembali ke Qing Qiu.
Feng Jiu
memberitahuku, setelah hari Festival Vedic Dharma, saat Dong Hua bertemu dengan
gadis impiannya, ia akan bebas untuk pergi. Nasib Dong Hua telah diubah, tetapi
itu bukanlah kesalahan Feng Jiu.
Di samping itu,
ia telah mempertaruhkan nyawanya untuk menyelamatkan Dong Hua, dan dengan
melakukan itu, sudah sepenuhnya membayarkan utang budinya pada Dong Hua. Segera
setelah matahari terbenam di balik pegunungan, aku akan pergi mencari Feng Jiu,
dan besok, kami berdua bisa kembali ke Qing Qiu bersama-sama.
***
Aku kembali ke
Taman Bambu Ungu untuk beristirahat.
Di saat dayang
istanaku dengan lembut membangunkanku, sudah gelap gulita di luar sana. Aku
menelan makanan dengan santai dan memintanya membawakan sebuah lentera saat ia
menemaniku ke Aula Kuncup Teratai.
Cukup sulit
bagiku untuk mencari jalan di sekitar Istana Kekaisaran saat siang hari,
tetapi, di malam hari ketika semua lampu istana bersinar dan seluruh tempatnya
dipenuhi dengan cahaya kekuningan samar, seseorang sepertiku yang berada di
sana kurang dari dua bulan, merasa mustahil mengenali satu aula istana dengan
yang lainnya.
Dayang istanaku
membawa lentera, menyingkirkan bunga dan dedalu selagi kami berjalan,
benar-benar mengenali rutenya. Aku mengikutinya dalam diam, penuh kekaguman
untuk kemampuannya mengenali arah.
Di saat kami
melewati sebuah paviliun taman, tiba-tiba saja Yuan Zhen menghadang kami.
Dayang
istananya mengutarakan panggilan kaku dan sopannya, “Yang Mulia.”
Yuan Zhen
menarik tangannya hingga ke lengan bajunya dan menerima sapaannya dengan rendah
hati. Ia melirikku.
“Guru, aku
punya masalah yang ingin kudiskusikan dengan Anda,” katanya dengan suara
tercekat.
“Maukah Anda
bergabung denganku di paviliun ini untuk berbicara sejenak?”
Aku mengikuti,
menyadari kalau ia terlihat agak segan. Tanpa sengaja, aku mengigil. Aku
membiarkannya menjaga ayahnya sore itu. Tetapi penampilannya membuatku cemas.
Mungkinkah
nasib menemukan cara lainnya untuk mengaitkan takdirnya dengan si wanita
cantik? Kalau demikian, Si Ming Xing Jun
dan buku nasibnya benar-benar sebuah kekuatan yang perlu diperhitungkan.
Yuan Zhen
membawaku ke paviliun dan mendudukkan diri.
Angin
sepoi-sepoi di malam yang cerah bertiup di sepanjang danau. Aku melihat
ekspresi mendamba di wajahnya dan duduk di atas bangku batunya dalam diam.
Untuk sesaat,
ia hanya duduk di sana dengan seringaian bodoh di wajahnya. Kemudian, ia
merogoh sesuatu dari lengan jubahnya dan dengan hati-hati menyingkirkan
seseuatu dan mengulurkannya untuk diperlihatkan kepadaku.
“Lihat, Guru,
bukankah ini menggemaskan?”
Aku melirik ke
arah tangannya dan memperhatikan dengan saksama.
Aku menghela
napas sedih.
Yuan
Zhen, oh, Yuan Zhen, dasar orang yang merepotkan. Apakah kau tahu apa yang ada
di tanganmu?
Tentu saja
tidak.
Bersinar
dipenuhi kebahagiaan, ia berkata, “Siang hari, ketika perahunya mendekat ke
tepian, aku mengambil alih prosesi untuk memerintah para pejabat. Dan itulah
saat si Kecil Sayang ini terjatuh dari atas langit. Oh, waktu itu tidak kecil.
Ketika ia melebarkan sayapnya, ukurannya setengah dari sebuah rumah, dan sangat
kuat.
“Tadinya akan
mendarat padaku, tetapi ini adalah seekor hewan kecil yang takut menyakitiku,
jadi ia menarik kembali sayapnya sampai ukurannya begini sebelum meluncur ke
dalam tanganku.”
Si Kecil Sayang
yang sedang bersarang di tangan Yuan Zhen adalah burung Peng raksasa dari Buddha
di Surga Barat, hanya sekarang tak lebih besar dari seekor burung murai.
Mungkin ia berhasil mengecilkan dirinya, tetapi tidak berhasil menyembunyikan
cahaya keemasan yang terpancar dari tubuhnya.
Di dalam cahaya
keemasan ini, burung itu menggantungkan kepalanya, terlihat putus asa. Ketika
mendengar dirinya disebut dengan si Kecil Sayang, burung itu memejamkan matanya
dan gemetaran.
Aku mendekat
dan melihat kalau kedua kakinya diikat dengan lonceng pengunci abadi. Mereka
digunakan di Jiu Chong Tian untuk menangkap roh burung juga hewan lainnya.
Tidak heran, si burung Peng bersayap emas ini tidak bisa kembali ke bentuk
aslinya. Di ukurannya ini, sama rentannya seperti daging di atas talenan dan
sepenuhnya berada dalam belas kasihan orang lain.
Aku sudah
prihatin ketika aku melihat burung Peng raksasa bersayap emas melayang di
angkasa siang tadi. Burung itu terbang dengan pengekangan sedemikian rupa
sampai aku cemas burung itu mungkin menyakiti uratnya. Ketakutanku pun jadi
nyata. Kalau tidak, kenapa burung itu terhempas ke dalam tangan Yuan Zhen
seperti itu?
Selagi melihat
ke arah lonceng di kaki burung Peng raksasanya, aku pastilah jadi melamun.
“Guruku yang
sebelumnya memberikan ini kepadaku,” jelas Yuan Zhen, menarik perhatianku
kembali.
“Saat aku
berusia dua belas atau tiga belas tahun, ada seekor roh singa betina yang
tinggal di belakang kuil kami, dan ia terus-menerus mengatakan ingin menjadi
tunggangan kami. Tak lama setelahnya, ia diculik oleh roh singa jantan dari
gunung sebelah, dan loncengnya sudah ada di sini sejak saat itu. Namun, si
Kecil Sayang bisa menggunakannya.”
Si Kecil Sayang
gemetaran lagi.
“Ah,” kataku,
mengangguk.
“Jelas sekali
kau memikirkan banyak tentang ini, tetapi apakah kau pernah mempertimbangkan
kalau hewan di tanganmu ... punya majikan? Jika kau memutuskan untuk
memeliharanya, kau mungkin akan terkena masalah jika pemilik aslinya datang
mencarinya.”
Ia mengerutkan
dahinya.
“Itulah mengapa
aku ingin mendiskusikannya dengan Anda, Guru,” katanya, dengan sejejak
penyesalan dalam suaranya.
“Aku tahu kalau
Anda adalah makhluk yang mulia, jadi aku berharap Anda bersedia membantuku. Si
Kecil Sayang adalah roh burung, dan pemiliknya sudah jelas bukanlah seorang
manusia. Aku hanyalah manusia biasa dengan masa hidup yang terbatas. Ketika aku
mati dan tubuhku kembali ke tanah, si Kecil Sayang secara alami akan kembali ke
pemilik aslinya.”
Aku melihat ke
arah si Kecil Sayang, yang menggelengkan kepalanya putus asa. Karena ia dalam
wujud burungnya, lehernya tidak sefleksibel leher manusia, dan ketika kepalanya
bergerak, seluruh tubuhnya pun bergerak.
Yuan Zhen
memegangi si Kecil Sayang di hadapanku, berkata, “Guru, lihatlah betapa
gembiranya si Kecil Sayang saat ia mendengar aku ingin memeliharanya!”
Si Kecil Sayang
pingsan, berpura-pura mati. Yuan Zhen menatapku dengan campuran antara harapan
dan kesedihan. Hatiku terasa panas. Aku mempertimbangkan apa yang barusan
dikatakannya dan menyadari ini adalah sebuah permintaan yang masuk akal.
Aku
menghancurkan ujian percintaan Yuan Zhen yang telah ditakdirkan, yang mana
membuat separuh kehidupannya berikutnya cukup membosankan. Memelihara seekor
roh burung dan membiarkannya berada di sisinya pasti akan membawakan
penghiburan dan membantunya selagi menghabiskan tahun. Dan meski kenyataannya
ia memanggilku Guru, aku tidak pernah memberikannya sebuah upacara pengangkatan
murid, yang mana bukanlah hal baik dariku.
Aku yakin, apabila
aku pergi menemui Buddha di Surga Barat untuk menjelaskan situasinya dan
bertanya apakah beliau tidak keberatan meminjamkan burung Peng bersayap emasnya
sedikit lebih lama, beliau pastinya akan menyetujuinya.
Aku mengangguk
dan berkata, “Setuju.”
Si Kecil Sayang
menggoak tak senang. Yuan Zhen menarik si Kecil Sayang kembali ke dalam lengan
jubahnya dan menggenggam tanganku riang gembira.
“Apakah Anda
sungguh mengiyakannya, Guru? Aku tidak sedang bermimpi, kan? Aku kira aku
sedang delusi menanyakannya. Aku tidak pernah menduga kalau Anda akan
benar-benar menyetujuinya ...”
Ia akan terus
berbicara, tetapi di saat itu, ada suara familier yang terdengar di angkasa.
“Apa yang
sedang kalian berdua lakukan?” tanyanya.
Aku mendongak,
terkejut mendapati Ye Hua, yang tidak kujumpai selama hampir sebulan, berdiri
di udara, disinari dari belakang oleh cahaya bulan yang terang dan dingin,
wajahnya tenang dan matanya bersinar saat ia memperhatikan Yuan Zhen dan
diriku. Di belakangnya berdiri seorang dewa yang mengenakan tunik biru safir,
setengah tersenyum di wajahnya yang tampak ramah itu.
Selama lebih
dari sebulan, selain Feng Jiu, satu-satunya wajah yang kulihat adalah
orang-orang asing itu. Melihat wajah yang familier, dan yang kutahu juga bisa
membuka segel sihirku, aku jadi sangat senang.
Di naskah lakon
yang kubaca di waktu senggangku, teman lama yang bertemu kembali biasanya
saling menggenggam tangan dan menarik satu sama lainnya ke sebuah kedai untuk
berbagi minuman dan mengobrolkan tentang sudah berapa lama waktu berlalu.
Itulah bagaimana seharusnya pertemuan kembali antara kawan lama.
Ye Hua dan aku
belum berpisah terlalu lama, tetapi tetap saja berpisah. Namun, di sinilah ia,
berdiri di tengah udara, bahkan tanpa adanya sapaan kepadaku. Aku sangat tidak
terkesan.
Yuan Zhen
memegangi tanganku, agak gemetaran. Aku menatapnya dengan ekspresi menenangkan
dan berbalik ke arah dua dewa yang berdiri di udara dikelilingi oleh asap-asap
keberuntungan yang terus menguar.
“Kalian berdua,
turunlah dari atas langit,” tegurku.
“Bulannya
bersinar malam ini, dan anginnya pun kencang. Kalian berada di hadapan seorang
manusia yang tidak mampu mengatasi aura keabadian serta keeleganan kalian.
Tidak adil untuk menakutinya seperti ini.”
Aku berbicara
dengan otoritas, dan dewa yang mengenakan tunik biru safir menyatukan kedua
tangannya dan membungkuk padaku sebelum turun dari awannya. Ye Hua melihat Yuan
Zhen dan turun dari awannya juga.
Ternyata Yuan
Zhen benar-benar salah satu dari orang-orang yang tidak mampu mengatasi
kehadiran makhluk abadi. Ia sudah mengalami ketakutan besar hari ini.
Aku baru saja
akan memanggil dayang yang memegangi lenteranya, yang masih menunggu di jalan,
dan memintanya untuk mendudukkan Yuan Zhen, tetapi saat aku menatap ke atas,
aku melihat ia sudah terbaring di atas tanah, lenteranya terguling di sisinya.
Rupanya, bukan hanya dirinya yang tak mampu menghadapi kehadiran Ye Hua dan
temannya ini.
Tangan Yuan
Zhen bergetar lebih kuat lagi sekarang. Aku mendesah. Murid pertamaku dan ia
jadi lemah hanya karena melihat seorang dewa. Aku kira, elusan lembut di
rambutnya akan menghiburnya.
Aku baru saja
akan mengulurkan tanganku tetapi terkejut ketika aku melihat betapa merah dan
bersinarnya wajah Yuan Zhen. Pipinya semerah kuning telur asin.
Memandangiku
dengan mata berbinarnya, ia berkata, “Gu-gu-gu-Guru, aku melihat seorang de-de-dewa.
A-a-aku melihat dewa pertamaku ...”
Diam-diam aku
menarik kembali tanganku.
Ia melesat
dengan gembira menuju ke arah Ye Hua, membungkuk sopan, dan berkata, “Di masa
lampau, Xuan Yuan, Kaisar Huang mempraktikkan penempaan energi spiritual dan
membangun karma yang baik. Ia membentuk militer, penelitian metereorologi,
menanam jagung dan padi, menenangkan rakyat, dan membagi lahan menjadi
sebidang-sebidang, dan dengan melakukan demikian, ia menarik perhatian dari
seekor phoenix yang terbang di
sekitar kasau.
“Apakah kabar
tentang ayahku, kebajikan sang Kaisar dan tingkah laku sempurnanya mencapai
langit dan para dewa juga? Apakah itulah mengapa Anda berdua, dewa-dewa tiba di
sini, di tengah malam?”
Diam-diam aku
menghela napas, lagi dan lagi.
Oh,
tidak anak kecil, tidak, bukan kabar tentang kebajikan dan prilaku sempurna
ayahmu yang mencapai langit dan bumi. Kabar mengenai ujian percintaan dirimu
dan ayahmulah yang membuat mereka datang.
Ye Hua melihat
Yuan Zhen, senyum samar di bibirnya.
Ia memandangku
dan berkata, “Maaf karena mengecewakanmu, tetapi perjalanan ke dunia manusia
ini adalah karena urusan pribadi. Aku kemari untuk mengunjungi istriku.”
Yuan Zhen
menatap Ye Hua dan mengikuti garis pandangannya ke arahku. Ia menggaruk
kepalanya kebingungan. Aku tersenyum malu-malu pada Yuan Zhen.
“Ia kemari
untuk menemuiku,” jelasku.
Yuan Zhen
tercengang menatapku. Ye Hua memiringkan kepalanya, mengagumi permukaan gelap
danau di luar paviliun. Takdirku dengan Yuan Zhen sudah berakhir, aku
menyadarinya. Besok, aku bisa pergi.
Ye Hua tiba
tepat pada waktunya. Takdir keabadian mengizinkan mereka untuk bertemu hari ini
dan juga memberikanku sebuah kesempatan untuk pamit dan mengucapkan salam
perpisahan.
Sebelum aku
punya kesempatan untuk memikirkan alasan yang bagus untuk pergi, si dewa dengan
tunik biru safir yang berdiri diam di samping, menggunakan sebuah cahaya emas
untuk menyerang Yuan Zhen di keningnya, menjatuhkannya dengan posisi wajah yang
lebih dulu menghantam tanah.
Dewa dengan
tunik biru safir itu tersenyum sopan.
“Jangan cemas, Gu Gu. Yang kulakukan hanyalah menghapus
ingatan Yuan Zhen yang melihat Yang Mulia Pangeran Ye Hua dan diriku malam ini.
Berkat tangan lembut Anda, Yang Mulia Yuan Zhen memiliki masa depan yang
menjanjikan di masa mendatang. Satu-satunya ketakutanku adalah melihat dua dewa
mungkin akan menyusahkan dan menyihirnya.
“Yuan Zhen
telah membuat perubahan kecil pada takdir Di Jun, oleh karenanyalah aku datang
kemari, untuk memperbaikinya. Aku akan sangat berterima kasih apabila Anda, Gu Gu, dapat menunjukkan padaku arah
dimana aku dapat menemukan Feng Jiu. Aku perlu meminta bantuannya.”
0 comments:
Posting Komentar