Three Lives Three Worlds, The Pillow Book 2
Chapter 8 Part 1
Langit mendung akibat hujan; gerimis ringan telah turun selama satu dan tiga perempat jam. Tepat pukul satu, sepucuk surat datang dari kediaman depan.
Mo Shao sedang berbaring bertumpu di jendela dan mendengarkan hujan turun selagi ia membuat teh. Dengan malas ia membentangkan surat itu untuk dibaca dan melihat beberapa perkataan setuju Fengjiu; sebuah senyuman penuh antisipasi pun menyebar di seluruh wajahnya.
Siapakah yang menciptakan dunia ini? Pernah satu kali ketika Su Moye mencurigai kalau Chen Ye lah orangnya; tetapi orang ini telah memperlakukan Fengjiu, yang sedang menyamar jadi Aranya, dengan hampir tidak ada bedanya dengan sebelumnya.
Jika benar Chen Ye yang menciptakannya, menurut bagaimana ia digambarkan setelah kematian Aranya, ia seharusnya menyayangi Aranya seolah ia adalah pusaka berharga sekarang karena Aranya telah kembali meski jika ia hanyalah palsu. Aura ketidakpedulian ini tentu saja jadi bahan makanan untuk dipikirkan.
Selain itu, sudah beberapa hari semenjak Dijun terakhir kali terlihat. Walaupun keberadaan Dijun tidak selalu terprediksi, benar-benar menghilang juga bukanlah hal yang biasa.
Apa pun yang mungkin sedang direncanakan oleh Dijun, secara sadar, Mo Shao tidak berani untuk melayangkan sebuah dugaan.
Belakangan ini, Dijun tampaknya menggunakan Mo Shao dengan seenaknya, sering memberikan serentetan tanggung jawab ke bahunya. Satu hari tanpa mengetahui rencana Dijun berarti beberapa hari tenang dan tanpa sakit kepala.
Mo Shao secara egois mengharapkan Dijun akan menghilang jauh, jauh lebih lama.
***
Di bangunan lainnya, Fengjiu jadi sedih semenjak ia mengirimkan pesannya.
Aranya yang berada dalam ingatan Mo Shao mencengkeram sebilah pedang dengan tangan kosong, terlihat santai dan keren. Ia merobek lengan jubahnya dengan aura yang sok. Fengjiu menemukan kujang pemotong kayu entah mengapa mirip dengan si pedang suci legendaris.
Tetapi selagi menimbang kujang itu ditangannya, Fengjiu kehilangan kesadarannya sebelum pedang itu bahkan menyentuh kulitnya. Ia malah berganti berlatih adegan merobek lengan jubah dan membebat tangannya. Tetap saja, tidak ada kerusakan apa pun di sudut lengan jubahnya, bahkan setelah tangannya jadi kemerahan.
Bagi Fengjiu, Aranya sedikit heroik, tetapi ia juga cukup merepotkan. Jika darahnya dilepaskan sebelumnya, ia bisa saja membawa sebungkus wadah dan sesampainya di Teras Lingshu, menusukkan pisaunya ke dalam kantong darah itu. Kalau begitu, haruskah ia melakukan itu? Apakah itu akan terlihat canggung?
Fengjiu merasa stres hingga tidak bisa tidur memikirkan soal ini siang dan malam. Hukuman mati Junuo dijadwalkan pada tanggal 7 April.
***
Pada tanggal 2 April, Fengjiu mengamati langit malam dan bernapas lega. Three Enclosures dan Twenty-eight Mansions bertebaran di angkasa.
(T/N : 三垣 Three Enclosures – tiga asterisme dalam astronomi Tiongkok, yang melingkupi Ziwei Enclosure, Taiwei Enclosure, dan Tianshi Enclosure.)
(T/N : 二十八宿 Twenty-eight Mansions – sistem rumah tanggalan Tiongkok dimana tiap segmen dari ekliptika bulan dibagi jadi 28 rumah relatif terhadap bintang yang tetap.)
Sebuah aureole bulan pun terlihat di Taiwei Enclosure. Meskipun pembelajaran astrologi Fengjiu kurang baik, ia paling tidak mengetahui kalau ini adalah pertanda pengampunan, dan ia jadi sedikit lebih tenang.
Setelah bersantai, Fengjiu mendadak menyadari kalau dalam skenario pertunjukan Mo Shao, Xize juga memainkan peranan penting. Di masa lalu, Aranya dapat dengan mudahnya mengarang kebohongannya di depan Shangjun karena Xize tidak turun gunung.
Namun, kali ini, Xize selalu berada di sekitar Shangjun. Haruskah Fengjiu memberitahu Xize sebelum ia mulai berbohong? Lagipula, dimana Xize beberapa hari ini?
Di tengah pikirannya, Fengjiu mendadak melihat dari horizon kejauhan sebuah aurora biru. Ia tahu ada batasan di dunia ini; batasan langitnya biasanya bukan batasan langit asli. Dari arahnya, tampaknya datang dari arah Rawa Shuiyue di Hutan Bailu.
Rawa Shuiyue di Lembah Fanyin yang asli sebelumnya merupakan wilayah mata air panas terbatas khusus dibuka hanya untuk Ratu. Rawa Shuiyue di lingkungan ini bahkan tertutup bagi keluarga kerajaan, membuatnya lebih misterius lagi.
Sepatah dua patah kata, Mo Shao pernah menyebutkan kalau Rawa Shuiyue bertindak sebagai jalur di antara dunia ini dan dunia lainnya. Entah apakah mengikuti peraturan dari dunia ini, ataukah itu terikat dengan hukum yang baru dibentuk. Sebuah tempat yang berbahaya dan sangat kacau.
Mengingat bahwa itu adalah tempat semacam itu, agak tidak biasa karena sekarang mendadak muncul sebuah aurora, bahkan jika itu hanyalah sebentar.
Ada satu hasil observasi Mo Shao terhadap Fengjiu yang sangat akurat, dan itu adalah bahwa Fengjiu punya rasa penasaran yang besar.
***
Satu mantra tanpa suara kemudian, si gadis yang penasaran ini sudah berdiri di atas sebongkah batu besar di tengah-tengah rawa di ujung Hutan Bailu.
Fengjiu baru saja meluruskan dirinya dan belum juga melirik sekitar ketika ia mendengarkan sebuah dengungan sekecil dengungan nyamuk dari belakangnya: “Nona, Nona, kau menghalangiku. Bisakah kau minggir sedikit?”
Fengjiu kaget dan berbalik. Beberapa langkah jauhnya terdapat sebuah payung besar terbuat dari daun-daun teratai yang disatukan. Pemandangan yang sangat norak sewarna hijau zamrud, mirip sebuah perisai yang didirikan di samping air. Suara pengingat kecil itu berasal dari arah sana.
Fengjiu beringsut beberapa langkah, kemudian sedikit membuka daun teratai. Seorang anak kecil muncul dari baliknya.
Anak itu menatap Fengjiu dengan terkejut selama sedetik, kemudian segera minggir untuk mengizinkan Fengjiu masuk selagi berkata malu-malu, “Aku tidak tahu kalau kau adalah kakak yang sangat cantik. Kemari, kemarilah, duduk di sampingku. Tempat terbaik di barisan ini sudah penuh. Beruntung, karena aku kecil, aku dapat berbagi tempat denganmu.”
Fengjiu tidak benar-benar tahu apa yang sedang mereka lakukan, tetapi melihat tempat duduk, ia nyaman dengan semangat menumpang dari orang lain. Melirik ke sekitar, tempat ini benar-benar penuh oleh anak kecil. Semuanya memegangi batang teratai untuk menyembunyikan diri mereka selagi mereka setia mendongak ke langit.
Fengjiu mengibaskan daun teratai di depannya.
“Untuk apa kalian menyusun ini semua?” tanyanya.
“Ini? Ini adalah kamuflase,” si bocah lelaki itu memberitahu Fengjiu dengan semangat.
“Tuan Ular yang hidup di danau ini sedang bertarung dengan seorang dewa yang hebat. Pertarungan itu mungkin akan sangat seru untuk ditonton, jadi kami semua, roh-roh ikan langsung keluar untuk menonton. Kami menggunakan daun teratai untuk menghindari sampai ketahuan oleh Tuan Ular, hehe.”
Bibir Fengjiu berkedut. Pastinya tidak mudah bagi Tuan Ular untuk mengabaikan dedauan norak ini sampai sekarang.
Tetapi juga bertanya-tanya mengapa ia melihat aurora, Fengjiu bertanya dengan rasa penasarannya yang sungguh-sungguh, “Siapa dewa yang mencoba untuk menangkap si ular? Ular air ini ... Tuan Ular, kesalahan apa yang telah diperbuatnya?”
Si anak lelaki kecil menyerahkan segenggam penuh kacang edamame pada Fengjiu, bergeser mendekatinya, kemudian menggesturkan jarinya ke depan ujung Rawa Shuiyue.
“Jadi begini,” ucapnya.
“Ada sebuah peti mati es di bawah danau ini yang memancarkan esensi abadi yang besar. Di dalamnya, ada seorang gadis cantik tertidur; aku melihatnya ketika sedang bermain di sekitar sini. Esensi abadi di dalam peti itu terkadang merembes keluar, yang kemudian menarik Tuan Ular yang berada di ujung lain danau ini.
"Karena peti ini dilindungi dengan mantra hebat, tadinya, Tuan Ular hanya berani mengintai dari dekat dan memakan esensi yang merembes itu. Tuan Ular kemudian tak puas dan ingin menghancurkan peti mati es itu untuk melepaskan seluruh esensi abadinya.
"Tetapi, Tuan Ular tidak beruntung hari itu; tepat di saat ia menyerang peti mati es, si dewa yang hebat ini lewat dan langsung bertarung melawannya. Mereka sudah bertarung selama dua hari. Sekarang ini mereka tampaknya sedang berada di bagian jauh lainnya dari danau, jadi kita tidak akan bisa melihat apa pun. Mereka akan segera kembali. Mari istirahat dan makan kacang rebus.”
Anak lelaki itu kemudian menyerahkan lebih banyak kacang edamame.
Selagi ia mengupas kacangnya, Fengjiu berpikir pada dirinya sendiri kalau masalah gadis cantik tertidur di bawah danau ini cukup menarik. Tetapi saat ini tidaklah aman. Setelah kedua petarung kembali dari air, ia akan turun melihatnya.
Mengunyah kacang kedelai tanpa rasa dimulutnya, Fengjiu mendesah, karena roh-roh ikan ini cukup memahami bagaimana caranya menikmati hidup. Menduduki tempat orang lain, memakan kacang orang lain, ia tidak dapat menahan dirinya dari memberikan mereka beberapa saran kuliner.
“Apakah klan kalian punya rempah tujuh rasa? Kalian harus menggiling beberapa rempah yang telah dijemur dan menyimpannya di sebuah toples kecil. Ketika kalian merebus kacang-kacangan, atau memanggang kuaci dan kacang kastanye, kalian bisa menambahkan sesendok rempah itu. Akan terasa jauh lebih baik.”
Si bocah lelaki mengedipkan mata berkabutnya beberapa kali. Penuh kekaguman, ia pun dengan tulus menerima saran Fengjiu.
Segera setelahnya, ombak melonjak ke atas sesuai yang diperkirakan. Daun teratai di depan mata mereka juga bergoncang sedikit, pergerakan itu menyebabkan sebuah jarak. Fengjiu mengambil kesempatan ini untuk melemparkan tumpukan kulit kacang edamamenya keluar.
Si anak kecil memegangi batang teratainya dan berkata penuh semangat, “Lihat, mereka kembali!”
Ia pun menyerahkan segenggam penuh edamame lagi pada Fengjiu.
Fengjiu terkesiap ketika ia mengangkat kepalanya.
Pancaran dari pepohonan menjulang tinggi di dalam rawa menyebabkan hutannya seterang siang hari. Lapisan demi lapisan kabut menyelimuti kanopi pirus. Di kejauhan, tampak seperti teras giok di Jiuchongtian.
Saat ini, panggung ini tengah disibukkan oleh seekor ular air perak. Dan di sana, di bawah cahaya bulan, terdapat sesosok berkibar sedang memegangi sebilah pedang. Bukankah itu adalah Xize yang sudah tidak dilihat Fengjiu selama beberapa hari?
Si dewa berjubah ungu itu sangat tenang. Ia mengambang di atas kanopi Bailu terbesar, bulan sabit baru menggantung di belakangnya, lengan jubahnya yang besar melambai tertiup angin.
Ini adalah kali pertama Fengjiu melihat Xize Shenjun mengayunkan sebilah pedang. Kebanyakan saat ia melihat Xize, ia sedang bermain-main dengan herbal, jadi Fengjiu secara egois beranggapan kalau Xize lemah dan rapuh.
Sekarang, melihat Xize menghadapi ular itu dengan gagah dan penuh kuasa, Fengjiu berpikir kalau aura semacam ini sebenarnya jauh lebih cocok untuk Xize.
Ada sebuah rasa familier dalam tampilan Xize ketika sedang mengayunkan pedangnya.
Si ular perak sudah lama berdiam di dalam rawa, jadi karena itulah ia sangat mahir di dalam air. Ular itu mengeluarkan gemuruh tangisan. Nyaris separuh dari air di dalam danau itu tersembur ke atas. Di udara, air itu berubah menjadi peluru es kristal, meledak langsung mengarah ke si dewa berjubah ungu.
Selagi Fengjiu menonton, ia berpikir betapa beruntungnya Xize merupakan seorang penghuni asli dunia ini dan dapat menciptakan sebuah perisai pelindung. Orang luar seperti dirinya akan terkena larangan penggunaan sihir.
Mantra biasa tidak masalah, tetapi sihir yang kuat dilarang. Di saat seperti ini, Fengjiu sudah pasti akan berubah jadi layar penuh bopeng jika terkena hujan peluru es itu.
Hujan peluru es itu menyerang secara bergelombang, tetapi Xize tidak menggunakan perisai pelindung apa pun. Malahan, Xize berputar-putar dan menarik pedangnya.
Peluru-peluru es itu meledak di tengah-tengah kilatan seputih salju dari pedang Xize. Ketika pancaran dari tangan Xize berkurang, Fengjiu melihat Xize menggunakan pedang itu dengan mudahnya menangkis beberapa peluru es, balik menembakkanya kepada si ular perak yang marah.
Si ular perak pun melingkar menghindarinya. Dewa berjubah ungu dengan tenang menyadari jaraknya dan segera melancarkan serangannya. Hempasan dari pedang itu menyerempet si ular, mengiris ekornya dengan bersih.
Ular perak pun memekik kesakitan. Ekornya yang terpotong meronta-ronta di dalam Hutan Bailu di bawah, meratakan pepohonan dan mewarnai bagian atas pohon dengan hujan darah. Segera, menyebar ke dalam air, bau darah luar biasa.
Para roh ikan itu begitu terpaku hingga mata mereka bersinar terang. Si kecil yang berada di sebelah Fengjiu lupa mengupas edamamenya saking senangnya.
Ia berpegangan erat pada ujung pakaian Fengjiu dan berkata, “Tuan Ular adalah seekor ular berekor banyak. Ekornya dapat tumbuh lagi hingga 49 kali. Selalu tumbuh kembali 49 kali ketika ekornya terpotong. Tetapi lihat, sekarang tidak tumbuh lagi kali ini!”
Fengjiu tertegun.
Takut kalau dirinya salah, Fengjiu berkata ragu, “Beberapa saat yang lalu, aku sepertinya melihat kalau dewa itu tidak menggunakan sihir apa pun. Apakah ia menghindari badai panah dan juga memotong ekor Tuan Ular kalian hanya menggunakan kemampuan berpedangnya?”
Si anak kecil pun mengepalkan tangannya dan mengangguk.
“Pertarungan ini sudah seperti itu sejak dua hari yang lalu. Jika saja si dewa yang hebat ini menggunakan sihir, pertarungan ini tidak akan bertahan selama ini. Ibuku bilang, hal yang paling merugikan dari sebuah pertarungan adalah memiliki perbedaan terlalu besar antara lawannya. Apanya yang bisa ditonton jika hasilnya ditentukan dalam dua atau tiga gerakan?
"Apa yang membuat pertarungan menyenangkan adalah ketidakpastian kesempatan memenangkannya, hidup para pejuang tergantung seimbang, hati para penonton pun bergantung seimbang. Membuat para penonton enggan mengalihkan mata mereka merupakan tanggung jawab dari seorang petarung brilian. Si dewa yang hebat ini begitu bertanggung jawab, kan?”
Membunuh seekor ular air hanya dengan sebilah pedang dapat dibandingkan dengan menangkap seekor harimau hanya dengan tangan kosong. Seberapa hebatnya permainan pedang pria ini, sebenarnya?
Setelah terdiam cukup lama, Fengjiu menimbang berhati-hati, “Yang Mulia itu memang memiliki tanggung jawab luar biasa. Ibumu sangat cerdik.”
Sebuah ekspresi puas merembet di wajah bocah kecil itu.
Kemudian, mendadak, ia berteriak kaget, “Yah, Tuan Ular sudah kabur ke dalam air.”
Dengan cemas ia menambahkan, “Tidakkah ia tahu kalau lukanya akan berdarah semakin parah di bawah air?”
Fengjiu meratapi dirinya sendiri karena si roh ikan kecil ini begitu berpengetahuan. Ia memutar lehernya ke arah medan pertempuran darimana datangnya asal suara.
Selagi Fengjiu mencari ke sekeliling, sebuah ombak besar mendadak meledak dari dalam rawa. Ular yang tenggelam di dasar air pun tanpa diduga melonjak keluar. Di atas kepalanya terdapat pancaran cahaya putih besar. Di dalam pancaran itu adalah sebuah peti mati yang terlihat halus.
Raut wajah Xize, yang sebelumnya tenang, sebenarnya terlihat mengalami sedikit perubahan. Fengjiu bertanya-tanya apakah benda yang berada di atas kepala si ular perak itu adalah peti mati es yang terdapat gadis cantik di dalamnya seperti yang disebutkan oleh roh ikan. Tertarik sejenak, ia pun menjulurkan kepalanya, ingin melihat lebih jelas.
0 comments:
Posting Komentar