Sabtu, 07 November 2020

3L3W TPB 1 - Chapter 1 Part 1

Three Lives Three Worlds, The Pillow Book 1

Chapter 1 Part 1


Tiba satu hari ketika ia berdiri di antara bunga bermekaran yang menggantung di atas tembok layaknya awan yang mengambang di dalam Bodhi-menyelimuti Istana Taichen, Donghua memikirkan saat pertama kali ia bertemu dengan Fengjiu. 

Pada saat itu, Donghua Dijun tidak memiliki kesan apa pun terhadap Fengjiu. Menjadi seorang dewa yang menyendiri di Istana Taichen artinya ia hanya tahu sedikit hal selain tentang perubahan musim, terbit dan tenggelamnya bulan serta matahari, atau tentang keberuntungan dan kesialan dunia.

Tianjun tak henti mengingatkannya untuk meninggalkan Istana Taichen demi penjemputan pengantin wanita Putra Mahkota Yehua, tapi Donghua Dijun sungguh tak tertarik dalam urusan ini.

Untuk alasan itulah, Donghua Dijun tidak benar-benar mengingat gadis yang tiba-tiba muncul bersamaan dengan gelombang Danau Wangsheng, atau suaranya yang terdengar sejelas dan seringan musim semi. 

Donghua Dijun juga tidak bisa mengingat suara indah itu yang memaksakan dirinya untuk tertawa ketika ia berbalik untuk bertanya pada Siming: "Apakah Lady Qin dari Gunung Zhonghu benar-benar menyukai paman kecilku?"

Kesan pertama Donghua pada Fengjiu adalah ketika berada di pesta pernikahan Yehua. Putra Mahkota dari Langit akan menikah. Terlebih lagi, Yehua menikahi Dewi Agung Bai Qian yang semua orang hormati bahkan dipanggil dengan julukan "Gugu(Lady)".

(T/N : Gugu berarti bibi yang dituakan atau sangat dihormati.)

Jadi wajar saja apabila pesta pernikahan mereka akan berbeda dari yang lainnya. 

Dewa-dewi di Langit dibagi menjadi sembilan peringkat. Di luar anggota keluarga Langit, mereka yang cukup beruntung untuk dapat masuk sebagai undangan merupakan dewa-dewi dengan peringkat lima ke atas, sepuluh Zhenhuang, Zhenren, dan sekitar tiga puluh Lingxian.

***

Istana Ziqing dibanjiri dengan cahaya. Perayaannya sekarang sudah sampai setengah jalan. Tianjun yang bertanggung jawab pada acara malah agak menjaga citranya. Tidak peduli di pesta manapun, ia akan selalu pamit setelah tiga kali minum, menjadikan toleransi alkohol yang rendah sebagai alasan; bahkan tidak terkecuali dengan pesta pernikahan cucunya sendiri.

Di sisi lain, pengantin pria Yehua yang memang selalu tak kuat minum alkohol; malam ini benar-benar rendah toleransi alkoholnya. Mereka bahkan belum sampai pada ronde ketiga ketika seorang pelayan muda harus memapahnya kembali ke Istana Xiwu.

Meskipun demikian, Donghua dapat melihat bahwa Putra Mahkota yang nyaris pingsan itu masih sanggup berjalan dengan keseimbangan yang mengagumkan.

Tak lama setelah keduanya meninggalkan Istana Ziqing, beberapa Zhenhuangjuga mencari alasan untuk berpamitan. Atmosfer kaku dalam ruangan itu menjadi rileks dalam sekejap.

Donghua Dijun membolak-balikkan cangkir anggur kosong di tangannya dan juga berniat untuk pergi agar para anak muda yang gugup itu bisa menikmati minum mereka.

Meletakkan cangkirnya kemudian bangkit dari duduknya, Donghua melihat dari arah pintu masuk aula, ada penampakan tiba-tiba dari sebuah pot bunga raksasa.

Seorang gadis berpakaian serba putih masih bisa terlihat samar-samar dari baliknya, kepalanya menunduk ketika ia berusaha mengangkat roknya dengan satu tangan sementara ia menahan pot bunga itu dengan tangan lainnya.

Gadis itu menemukan jalannya, agak goyah di sepanjang jalannya di sudut, mencoba yang terbaik untuk bermanuver antara meja perayaan tanpa menarik perhatian. 

Donghua bersandar di lengannya, mencari posisi yang nyaman, kemudian duduk kembali. 

Para penari di panggung akhirnya sampai pada masa istirahat mereka setelah tampil. Gadis bergaun putih itu terus saja menabrak satu orang ke orang lainnya hingga akhirnya ia menemukan sebuah kursi kosong. 

Gadis itu melihat ke sekitar dengan berhati-hati kemudian dengan cepat merangkak keluar dari belakang pot bunga itu. Mengambil keuntungan dari keramaian yang asyik bertepuk tangan, ia pun duduk di sana dengan santai kemudian ikut serta bertepuk tangan, di waktu yang bersamaan mengaitkan kakinya ke belakang pot besar itu untuk menyembunyikannya di bawah meja.

Ia tidak bisa menyembunyikannya, jadi ia menendangnya lagi.

Ia masih tidak bisa menyembunyikannya, jadi sekali lagi ia menendang pot itu.

Si gadis menendang terlalu kuat pada percobaan terakhir dan membuat pot bunga malang itu terbang menyeberangi para penari di panggung, lurus menuju Donghua Dijun yang masih belum jadi beranjak.

Para dewa-dewi berteriak ketika pot bunga itu berhenti tiga inci tepat di depan kening Donghua. Menyangga pipinya dengan satu telapak tangan, Donghua merentangkan telapak tangannya yang lain untuk menangkap pot yang terhenti di udara.

Donghua melirikkan matanya ke arah si pelaku. Secara bersamaan, semua tatapan mengikuti arah yang sama. 

Si pelaku penyebab keributan membeku selama beberapa saat, sebelum nyaris segera setelahnya berbalik pada seorang dewa berpakaian sewarna tanah yang berdiri di sampingnya.

Gadis ini bertanya dengan sungguh-sungguh dan bersuara serius: "Migu, mengapa dirimu menjadi pembuat masalah? Bagaimana bisa kau menendang sebuah pot ke kepala orang seperti itu?"

Ketika perayaannya berakhir, pelayan Donghua memberitahunya bahwa gadis yang mengenakan gaun putih dengan pita rambut itu bernama Fengjiu. Ia adalah ratu yang sama yang mewarisi takhta Qingqiu.

***

Pesta perayaan pernikahan Putra Mahkota Yehua berlangsung selama tujuh hari dari awal hingga akhir. Sebagai gantinya, tujuh hari kemudian merupakan Festival Bunga Liansong yang hanya dilangsungkan sekali setiap siklus jiazi.

(T/N : 甲子 Jiazi adalah sebutan untuk siklus selama enam puluh tahun. Terkadang digunakan merujuk pada satu siklus kehidupan.)

Karena alasan inilah, banyak yang naik ke Langit untuk menghadiri pesta pernikahan itu dengan nyaman menunda kepergian mereka dan tinggal lebih lama.

Sebelumnya Jiuchongtian dikenal karena kemurnian yang suci, tapi untuk sementara waktu Jiuchongtian hanya memiliki beberapa tempat yang tenang. Kolam Pundarika yang berada di langit ke tiga belas sepertinya adalah satu-satunya tempat tersisa.

Bisa dibayangkan karena kolam ini berada tepat di sebelah Istana Taichen, kediaman Donghua, tak banyak yang berani masuk tanpa diundang. 

Sayangnya, kumpulan dari 'tak banyak' tidak termasuk Dewi Agung Bai Qian yang baru saja menikah dan masuk ke keluarga Langit.

Pada tanggal tujuh belas April yang hangat dengan siliran angin, Bai Qian membantu keponakannya, Fengjiu mengatur dua piknik kecil, persis di tepi kolam Pundarika.

Bai Qian, di tahun yang terlambat, menikahi Yehua di usia 140.000 tahun. Ia selalu mempercayai pernikahannya akan datang di saat paling menguntungkan, dan tidak bisa menghindari untuk tidak menggunakannya sebagai standar untuk mengukur keberuntungan orang lain.  

Namun, setelah beberapa pertimbangan, Bai Qian menyesali ketika mengetahui bahwa keponakannya, Fengjiu, yang baru berusia 30.000 tahun; masih terlalu muda untuk membicarakan soal pernikahan.

Akan tetapi karena ayah Fengjiu, kakak lelakinya Bai Yi, yang meminta pertolongannya, Bai Qian tidak bisa menolak dengan mudah. 

Akhir-akhir ini, mustahil untuk menemukan tempat yang sepi di sela kemeriahan Jiuchongtian untuk pertemuan yang intim. Di waktu yang bersamaan, Bai Qian mendengar bahwa Donghua Dijun terus menerus tinggal di dalam Istana Taichen serta jarang sekali menginjakkan kakinya keluar dari pintu.

Pembunuhan ataupun kebakaran juga bisa terjadi di depan halaman rumputnya, tetap saja tak akan ada seorang pun yang berada di sana untuk mempedulikannya.  

Bai Qian merenung setengah hari, kemudian dengan pikiran yang yakin, akhirnya membuat persiapan piknik kecil di depan Kolam Pundarika di sebelah Istana Taichen.

Oleh karena itu dua kencan buta telah diatur, satu setelah yang lainnya. Sayang sekali, rencana semua orang jadi serba salah hari ini. Donghua Dijun tak hanya meninggalkan istananya, ia bahkan pergi ke tempat terdekat. 

Hanya lima puluh langkah jauhnya dari tempat piknik, tersembunyi dari pandangan berkat dedaunan menjuntai pohon willow, Donghua Dijun dengan santai berbaring dengan mata terpejam di sebuah kursi bambu sambil memancing dengan sebuah sutra (kitab) menutupi wajahnya, kakinya diistirahatkan pada sebuah tongkat bambu ungu.        

***

Fengjiu sudah sarapan, meminum teh, dan sedang berlengah-lengah sebelum berangkat ke langit tingkat tiga belas.

Teratai putih mengambang di air berwarna biru langit, membentang hingga tak terbatas di sana. Mirip dengan awan putih suci, mereka seperti dibuat dari sebuah pemandangan dari sulaman yang indah.

Sudah menanti di meja, seorang dewa berpakaian biru dengan kipas yang terayun. Ketika ia melihat Fengjiu mendekat, ia menutup kipasnya dengan mata yang membentuk sebuah senyuman.

Fengjiu tidak benar-benar mengenal dewa ini. Ia hanya tahu bahwa pria ini adalah seorang Tuan Muda dari cabang tertentu di Klan Langit, bahwa ia telah bertapa di gunung tertentu di dunia manusia, juga bahwa dia ramah dan sopan.

Satu-satunya kelemahan dewa ini adalah sifatnya yang terlalu teliti. Ia tidak bisa bertahan menghadapi orang-orang dengan tingkah laku buruk ataupun orang yang tidak tepat waktu. Karena alasan inilah, Fengjiu sengaja datang terlambat setengah jam.

Akan tetapi, sekarang Fengjiu bermonolog pada dirinya sendiri, seharusnya ia terlambat setengah jam lagi saja, karena dewa yang rewel ini ternyata masih menunggunya dengan sabar.

Hanya makanan kecil, mereka tidak terlalu melakukan sikap formal terhadap satu sama lain. Mereka pun duduk dan mulai berbincang.

***


Merasa terusik dengan basa-basi mereka, Donghua mengangkat buku sutra dari wajahnya dan melirik dari bawah bayangan pohon willow. Lima puluh langkah jauhnya, Fengjiu sedikit memiringkan kepalanya sementara ia mengernyit menatap nampan berpernis berbentuk kipas itu.

Pengaturan dari nampan saji itu cukup penuh. Di atasnya ada sebotol anggur terbuat dari giok Dongling bersama dengan beberapa makanan kecil mewah. 

Menurut tradisi, makanan di Langit biasanya dalam bentuk set, dan setiap orang mendapatkan nampannya sendiri. Meskipun makanan yang disajikan sama, anggur yang disediakan biasanya sesuai dengan cita rasa masing-masing orang.

Dewa berjubah biru itu menutup kipasnya dan memulai sebuah topik pembicaraan.

"Kebetulan sekali, keluargaku yang memegang kuasa atas ritual Klan Dewa sejak zaman dahulu kala. Ketika berbincang dengan Lady Bai Qian, ia menyebutkan bahwa pemahaman Yang Mulia tentang etika juga telah mencapai ..."

Kata 'puncak kesempurnaan' tidak sampai terucap dari lidahnya ketika ia melihat bahwa Fengjiu ternyata telah menghabiskan camilan trotters dengan kecepatan mengagumkan. 

Ia mengorek saus yang tersisa menggunakan sumpitnya dan bertanya pada dewa itu sambil cegukan, "Mencapai apa?"

Sudut bibirnya masih berlumur saus. Dewa berjubah biru dengan pemahaman sempurna perihal etika melihat Fengjiu tak percaya.

Fengjiu mengambil sebuah cermin kecil dari balik lengan pakaiannya. 

"Apa ada sesuatu di wajahku?" ia bergumam kemudian mengangkat cermin itu ke wajahnya. Jeda sejenak. "Oh, memang ada." 

Fengjiu mengelap bibirnya kuat menggunakan lengan pakaiannya, mengotori kain putih itu dengan sepetak bekas lemak makanan.

Wajah si dewa berjubah biru yang sangat menyukai kebersihan pun berubah menjadi sedikit kebiruan.

Fengjiu mengamati lagi dirinya sendiri di dalam cermin lalu lagi-lagi seolah tak terjadi apa-apa, memasukkan cermin itu kembali ke lengan pakaiannya. Gagang kayu cermin itu penuh dengan bekas sidik jari yang kotor.

Wajah si dewa berjubah biru berubah dari biru menjadi keunguan.

Di saat itulah, dua tetes saus jatuh dari sumpit Fengjiu ke atas meja marmer. Fengjiu menggigit sumpitnya kemudian menggunakan kukunya untuk menyingkirkan noda itu. Tidak dapat membersihkannya, ia lanjut mengelap noda itu menggunakan lengan pakaiannya; kali ini noda itu benar-benar hilang. 

Serbet sutra di tangan si dewa berjubah biru pun tergantung di udara. Mereka saling berpandangan, rasanya seperti nyaris setengah harian. Wajah si dewa berjubah biru telah berubah menghitam kali ini.

Ia pun bersuara serak mengatakan, "Yang Mulia, silakan lanjutkan makan Anda. Aku baru teringat kalau masih ada sesuatu yang harus dilakukan, aku permisi dulu. Kita akan melanjutkan perbincangan kita lain hari."

Dewa itu pergi tepat setelah ia selesai berbicara; ia berjalan sangat cepat hampir sama rasanya seperti berlari.

Donghua Dijun menyingkirkan sutra dari wajahnya. Ia melihat Fengjiu yang melambaikan tangannya sedih masih sambil memegangi sumpitnya. Mata cemerlangnya memancarkan emosi tanpa batas namun di belakang mereka terdapat sebuah senyum diam-diam.

Dengan suara lembut penuh penyesalan Fengjiu pun berkata, "Selamat tinggal, jangan membiarkanku menanti terlalu lama~~~" sampai akhirnya si dewa berjubah biru menghilang seutuhnya dari pandangannya.

Saat itulah Fengjiu langsung tertawa terbahak-bahak kemudian perlahan menciptakan sehelai saputangan yang kemudian digunakan dengan santainya untuk mengelap tangan juga lengan pakaiannya. 

Setelah latihan selama dua ratus tahun, kemampuan Fengjiu untuk menakuti orang lain benar-benar telah mencapai level mengalir dengan natural. Dewa kedua yang datang untuk bertemu dengannya juga datang penuh percaya diri tetapi kemudian pergi setelah kalah telak. Hanya tersisa seperangkat peralatan makan yang ada di meja itu sekarang.

***

Kurang dari sejam, Fengjiu akhirnya merasa kenyang setelah menghabiskan dua porsi trotters. Ia mengambil cangkir tehnya dan berbalik untuk menghadap ke Kolam Pundarika. Fengjiu duduk di sana untuk menikmati kemegahan Istana Taichen selagi menunggu makanannya tercerna.

Donghua menangkap dua ikan kecil. Pada saat ini, buku dengan 7788 halamannya pun telah sampai di halaman terakhir. Mendongak, sinar matahari semakin ganas tiap menitnya. Ia mengumpulkan barangnya dan bangkit untuk kembali ke kediamannya, tentu saja melewati tempat piknik yang berada di sisi lain dari Kolam Pundarika.

Fengjiu tetap memegangi cangkir tehnya tanpa sadar seperti seorang nenek tua. Ketika ia mendengar langkah santai datang mendekat, ia pikir itu adalah Migu, ia yang bahkan lebih lambat daripada seorang kakek yang menua. 

Fengjiu pun terpecah dari lamunannya dan berkata, "Kenapa kau datang begitu cepat? Apa kau khawatir kalau aku akan mengganggu mereka?"

Ia pun berpindah ke kursi lain dan bergumam, "Selera Bibi makin lama makin aneh saja beberapa hari ini. Aku tidak percaya ia memilihkan dua anak kecil memuakkan kali ini. Aku tidak sampai hati untuk memukuli mereka, jadi aku hanya sedikit berpura-pura untuk menakuti mereka. Tetapi sekarang aku kelelahan."

Fengjiu menahan pegangannya pada cangkir tehnya sejenak. 

"Kemari dan duduklah bersamaku sebentar. Sudah sangat lama semenjak aku terakhir kali menyaksikan matahari terbit dan tenggelam di sini, aku jadi agak merindukan pemandangannya."

Donghua berhenti ketika mendengar ucapannya, lalu kemudian tanpa tergesa duduk di belakang Fengjiu. Ia memilih satu di antara dua teko teh di atas meja lalu menuangkan secangkir teh untuk dirinya sendiri guna meredakan dahaganya.

Fengjiu pun terdiam sesaat. Teratai-teratai putih itu tampaknya telah memicu sesuatu di pikirannya. 

Ia memainkan cangkir teh di telapak tangannya dan berkata lugu, "Katanya setiap bunga teratai putih di Kolam Pundarika ini terbuat dari hati seseorang; meskipun kita tidak mengenal begitu banyak manusia, Migu, katakan padaku ... apakah kau pikir Qingti mungkin punya teratai putihnya sendiri di sini?"

Fengjiu terdiam kemudian melanjutkan skeptis, "Jika iya, lalu menurutmu yang mana dia?" 

Kemudian ia terengah menjadi seperti seorang nenek yang belum waktunya, "Satu yang mirip sekali dengannya ..." 

Perkataanya dibumbui dengan helaan napas sambil ia menyesap tehnya.

Donghua mengisi ulang cangkir tehnya tanpa menjawab. Samar-samar, Migu itu seingatnya, mungkin adalah dewa yang bersama dengan Fengjiu hari itu. Tampaknya Fengjiu telah salah mengira di antara keduanya. Sementara Qingti, Donghua belum pernah mendengar nama ini.

Pohon itu telah menjatuhkan bayangannya ke tanah. 

Suara Fengjiu terdengar tak jelas: "Setengah bulan yang lalu, Su Moye dari Laut Timur mengundang paman keempatku untuk keluar minum-minum. Aku membujuk pamanku untuk membawa serta diriku. Ketika kami melewati tempat itu di dunia manusia ..." ia menjeda sejenak, "Ternyata Kerajaan Jin telah runtuh tujuh tahun setelah kematian Qingti." 

Fengjiu ragu-ragu kemudian menambahkan, "Aku tahu itu tak akan bertahan terlalu lama."

Ia menghela napas lagi dan berbalik untuk menuangkan teh lagi, bibirnya terus saja bergumam: "Aku dengar Su Moye baru saja menemukan jenis teh baru. Apa itu namanya? Ah, Floating Blue Spring. Itu cukup enak. Bantu aku menganyam sebuah keranjang bambu. Lain kali saat aku pergi ke Laut Timur, aku akan ..."

Ketika Fengjiu mendongakkan kepalanya, perkataan berikutnya tertahan di tenggorokannya. Suara batuk yang memecah bumi pun tercipta. Setelah ia selesai dengan batuknya, ia mempertahankan postur tubuhnya kemudian lanjut menuangkan tehnya. Rasanya sudah setengah hari berlalu tapi Fengjiu masih belum mengutarakan sepatah kata pun.

Donghua meletakkan jemari panjang lentiknya di atas cangkir teh porselen biru itu. Mereka terlihat berkilauan terkena refleksi cahaya matahari dari tutup cangkirnya. Tatapan mata acuhnya menatap lama ke lengan pakaian Fengjiu yang ternoda. Kemudian mereka naik ke atas, ke wajah merona Fengjiu yang memerah akibat batuk tersedaknya. Wajahnya nyaris sewarna dengan daun maple.

Seiring waktu, Fengjiu mendapat kembali kendali dirinya, sebuah senyuman pun terpampang di wajahnya. Tidak natural, akan tetapi itu masih bisa dikatakan sebagai sebuah senyuman. 

Ia berkata dengan kesopanan yang kosong, "Aku tidak tahu bahwa Anda di sini, Yang Mulia. Aku sangat ceroboh. Aku adalah Fengjiu dari Qingqiu, mohon terimalah salamku."

Donghua mendengarkan sapaannya dan menatap ke atas untuk melihatnya sejenak. 

Ia menunggu hingga Fengjiu selesai menundukkan kepalanya kemudian duduk kembali sebelum ia akhirnya bertanya dengan santai, "Apakah kau seterekejut itu melihatku?"

Related Posts:

0 comments:

Posting Komentar