Sabtu, 07 November 2020

3L3W TPB 1 - Chapter 1 Part 2


Three Lives Three Worlds, The Pillow Book 1

Chapter 1 Part 2


Setiap langkahnya telah diperhitungkan dengan sempurna. Fengjiu tampak benar-benar terkejut ketika ia menggerakkan bibirnya untuk memberikan Donghua senyum sopan namun dinginnya lagi. 

"Aku tidak bisa percaya kalau aku bisa bertemu dengan Anda lagi. Kata-kata tak akan sanggup menggambarkan seberapa gembiranya diriku. Tapi Anda tampaknya kurang setuju denganku."

Donghua mengangguk dan berpikir sendiri kalau perkataannya terlalu kentara. Sangat sulit untuk mendeteksi rasa 'gembira'nya dengan senyuman kaku itu. Donghua mengangkat tangannya dan menuangkan Fengjiu secangkir teh lagi.

Keduanya terus duduk di sana dengan situasi hening yang canggung. Secepatnya, Fengjiu menghabiskan minumannya dan mengambil teko teh yang kelihatan sekali sengaja menuangnya dengan posisi yang aneh.

Donghua mendongak dan melihat bahwa cangkir itu semakin penuh. Lalu ketika cangkir itu benar-benar kepenuhan, teh panas itu tumpah dan membasahi seluruh rok putihnya. Bisa dikatakan mirip seperti sebuah pangsit goreng.

Donghua menopangkan tangannya di atas meja batu marmer itu, memperhatikan Fengjiu intens. Awalnya, ia hanya penasaran ketika melihat Fengjiu memperhatikan matahari tenggelam dengan sebegitu khusyuknya.

Donghua pikir, mungkin saja pemandangannya berbeda jika dilihat dari tempat ini. Dan karena Fengjiu memintanya untuk duduk, maka ia pun duduk. Sekarang ia tiba-tiba merasa terhibur ketika ia menyadari bahwa Fengjiu mungkin saja masih berakting. 

Fengjiu mungkin mengira kalau ia juga salah satu dari pasangan kencan butanya, namun karena Fengjiu memikirkan latar belakang Donghua, ia tidak bisa mengusir Donghua begitu saja seperti yang ia lakukan pada dua dewa sebelumnya.

Itulah mengapa Fengjiu dengan cerdiknya menggunakan taktik putus asa ini, tak ragu untuk membasahi pakaiannya sendiri agar ia bisa berpamitan pulang. Teh yang ditumpahkannya masih mengeluarkan uap dari roknya, menunjukkan bahwa itu memang masih panas dan Fengjiu sungguh melakukan hal yang melelahkan.

Donghua menyandarkan pipinya di telapak tangan dan bertanya-tanya apakah Fengjiu akan mencoba melarikan diri. Tentu saja, Fengjiu memberikan ekspresi khas miliknya yang merupakan campuran dari penyesalan, hormat, dan kesopanan, sembari menyembunyikan rasa gembiranya dalam mengucapkan selamat tinggal.

"Oh, ya ampun, betapa cerobohnya diriku hingga menumpahkan tehnya. Sekarang aku berantakan sekali. Aku mohon pamit lebih dulu. Aku akan datang dan mendiskusikan perihal agama dengan Anda lain hari."

Embusan angin membawa aroma dari teratai putih. 

Donghua menaikkan matanya dan memberi Fengjiu teko teh yang lebih besar, dengan santai berkata, "Satu cangkir teh bukan apa-apa; kau bisa menggunakan ini. Tehnya sudah dingin ketika terakhir aku menyentuhnya. Tumpahkan lagi semuanya pada dirimu, itu baru namanya berantakan sungguhan."

" ... "

***

Donghua Dijun telah lama pensiun dan menyendiri di Istana Taichen. Dewa-dewi muda tidak pernah kebagian mencicipi lidah berbisanya, akan tetapi, generasi lebih tua tidak akan pernah melupakannya. Ia memang tidak banyak bicara. Namun ketika ia berbicara, perkataannya menancap setajam pedang di tangannya.

Menurut legenda, pernah ada seorang Tuan Muda bodoh dari Klan Iblis yang mendengar ketenaran Donghua Dijun.

Dengan gagah berani ia menerobos masuk ke dalam Jiuchongtian di satu tahun, ingin bertarung dengan Donghua.

Tapi tepat setelah ia sampai di pintu Istana Taichen, ia dihentikan oleh para pengawal. Donghua sedang bermain catur seorang diri di kolam teratai kala itu.

Anak muda kurang ajar itu berteriak sekencang badai meskipun tubuhnya tengah ditahan di bawah demi memancing Donghua untuk keluar.

Ketika Donghua memanggil mundur pengawalnya, pemuda itu berteriak lebih kencang, mengatakan sesuatu tentang Langit yang seharusnya terkenal dengan cara terhormat mereka, jika Donghua masih punya kehormatan tersisa, maka ia harus keluar dan bertarung satu lawan satu dengannya ketimbang mengeroyok satu orang.

Saat Donghua lewat dengan kotak catur di tangannya, ia berjalan mundur dua langkah dan bertanya pada pemuda yang masih berada di tahan di atas tanah itu, "Apa ... apa yang kau katakan?"

Pemuda itu menggertakkan giginya. 

"Kehormatan! Aku bilang kehormatan!"

Donghua mulai mengangkat kakinya dan lanjut berjalan. 

"Apa itu? Tidak pernah dengar."

Pemuda itu langsung kesulitan bernapas; ia pingsan di tempat.

***

Fengjiu baru bisa mengingat anekdot ini tiga hari kemudian, ketika ia sedang berada di Istana Qing'yun, memperhatikan bibinya mendisiplinkan putranya.

Istana Qing'yun adalah tempat di mana putra kesayangan Bai Qian dan Yehua tinggal. Ia juga dikenal dengan sebutan si buntalan kecilYang Mulia Pangeran Muda A Li.

Mengenakan pakaian berwarna kuning terang, si pangeran muda duduk menghadap ibunya. Ia duduk di atas kursi orang dewasa, kakinya menggantung di atas tanah.

A Li mencoba sebisanya untuk menyentuh tanah dengan kakinya tetapi kursinya terlalu tinggi sementara ia terlalu pendek. Ia mencoba selama setengah harian dan masih belum berhasil juga menyentuhkan kakinya ke tanah. Dengan pahit akhirnya A Li menyerah dan menundukkan kepala kecilnya untuk mendengarkan ceramah ibunya.

Bai Qian dengan tegas menegur putranya: "Aku dengar ketika ayahmu masih kecil, ia sudah bisa menjabarkan Kitab Suci Great Sattva, Doktrin Kemenangan Para Raja Langit, dan Sutra Utusan Aryacalanatha. Sepertinya kami terlalu memanjakanmu. Sekarang kau sudah berusia 500 tahun, tapi kau bahkan belum mampu menjabarkan Naskah Ideophone Huelin. Memang, itu bukan berarti dunia kiamat, tapi bisakah paling tidak kau memberi muka pada kedua orang tuamu?"

Si buntalan kecil pun bersungut-sungut kemudian dengan logis menyerang balik, "Aku juga tidak mau begini. Akan tetapi, otak brilianku ini diturunkan darimu, bukan dari Ayah!"

Fengjiu menyemburkan teh dari mulutnya. Bai Qian menatapnya tajam dengan mata yang disipitkan.

Fengjiu menahan tawanya dan melambaikan tangan guna menjelaskan. 

"Tidak, hanya saja perutku suka berulah belakangan ini. Kalian lanjutkan saja, silakan lanjutkan~~"

Setelah mata Bai Qian kembali pada si buntalan kecil, untuk beberapa alasan, Fengjiu tiba-tiba teringat sebuah cerita di mana Donghua Dijun membuat seorang tuan muda dari Klan Iblis marah.

Fengjiu menyesap tehnya sekali lagi dan tanpa sadar tersenyum pada dirinya sendiri. Namun, ketika ia menunduk melihat pakaian berkabungnya, senyumnya menguap begitu saja. Ia mengangkat tangan untuk menyingkirkan sehelai rambutnya yang terjatuh.

Masalah dalam kehidupan ini tak terhitung jumlahnya, setara dengan jumlah rambut di kepalanya. Fengjiu tenggelam dalam ingatannya selama dua ratus tujuh puluh tahun belakangan ini.

Begitu banyak hal terjadi. Ada beberapa hal yang dapat diingat Fengjiu, lalu ada beberapa hal yang pura-pura dilupakannya. Selagi ia berpura-pura, beberapa di antaranya tampaknya benar-benar telah menghilang dari ingatannya seiring berjalannya waktu.

Qingqiu tidak terlalu damai selama dua ratus tahun terakhir ini, karena itulah tak banyak kesempatan baginya untuk memikirkan tentang Donghua. Tapi sekarang Fengjiu sering bertemu secara kebetulan dengannya di perjalanannya ke Jiuchongtian. Donghua sepertinya tak mengenali Fengjiu, yang mana bukan hal buruk juga bagi Fengjiu.

Fengjiu dan Donghua, seperti kata Buddha, adalah contoh ketidakmungkinan. Namun, mungkin kata 'ketidakmungkinan' adalah istilah yang kurang tepat. Mereka lebih cocok disebut dengan 'nasib yang terkutuk'.

***

Hari terakhir dari Festival Bunga Liansong akhirnya tiba. Seperti yang sudah-sudah, pada hari inilah setiap jenis bunga akan mekar secara bersamaan dengan warna mereka yang paling indah. Bahkan para Buddha dari zaman dahulu kala pun datang untuk menghadirinya dari Langit Barat, membawakan jenis langka dari Lingshan.

Suasana Jiuchongtian menjadi semarak khas akan perayaan. Dari atas ke bawah, semua orang bergabung untuk merayakannya.

Fengjiu tidak pernah benar-benar tertarik dalam urusan bunga dan rerumputan ini.

Hanya saja, kebetulan ada seorang dewi dari dunia manusia yang sengaja didatangkan untuk menampilkan opera di acara pernikahan Putra Mahkota beberapa hari yang lalu.

Saat ini di Langit tingkat ke tujuh, di Teras Chengtian, Migu sedang mempersiapkan sebuah kutipan pertunjukan tentang seorang jenderal dan wanita cantiknya.

Fengjiu membawa serta sekantung kuaci biji melonnya dan membawa buntalan kecil melalui gerbang Langit ke tujuh untuk menonton pertunjukan itu. Si anak tiri selembut susu ini adalah sepupu satu-satunya, Buntalan Kecil A Li.

(T/N : 拖油瓶 tuoyouping – anak tiri dari pihak wanita yang datang dan tinggal dengan suami baru. Fengjiu bercanda bahwa A Li adalah bawaan tambahan seperti layaknya anak tiri.)

Di luar gerbang tinggi Langit tingkat ke tujuh, di bawah cahaya bersinar yang tersaring oleh dedaunan lebat, figur Donghua Dijun yang menarik diri mencuri waktu pergi dari perayaan besar Festival Bunga. Ditemani dirinya sendiri, Donghua memilih bersama buku dan tehnya di dekat Cermin Miaohua.

Cermin Miaohua adalah salah satu tempat suci di Langit tingkat ke tujuh. Meskipun disebut sebagai Cermin, tapi sesungguhnya itu adalah sebuah air terjun. Ada miliaran dunia di trichiliocosm.

(T/N : 三千大千世界 Thrisahasra Mahasahasra Lokadhatu – Trichiliocosm, sebuah konsep kosmos Buddhist di mana 1000 dunia membentuk sebuah chiliocosm, 1000 chliocosm membentuk dichliocosm, dan 1000 dichliocosm membentuk sebuah trichiliocosm.)

Dengan kemampuan yang tepat, seseorang dapat menatap ke dalam cermin itu, melihat timbul tenggelamnya dunia-dunia ini.

Dengan demikian, energi mistis dari air terjun tersebut sangat luar biasa. Hanya ada beberapa dewa yang mampu menahannya. Bahkan Zhenhuang zaman dahulu pun mengalami sakit kepala tiap kali mereka datang kemari. Inilah mengapa, untuk waktu yang lama, hanya Donghua satu-satunya orang yang menggunakan tempat ini sebagai tempat istirahat.

Fengjiu membawa A Li melewati gerbang dan mengingatkannya, "Tetap berada di sisi sebelah sini dan jangan terlalu dekat dengan Cermin Miaohua. Hati-hatilah agar tidak terluka karena energinya." 

A Li mendengarkan dengan patuh dan menjauh. 

Ia menendang beberapa kerikil kecil seraya menggerutu, "Ayah jahat. Aku ingat dengan jelas kemarin malam tidur di Istana Changsheng milik Ibu. Tapi pagi ini, aku terbangun di Istana Qing'yun. Ayah berbohong padaku dan bilang kalau aku tidur sambil berjalan pulang."

A Li kemudian mengangkat bahu pasrah lalu berkata, "Sudah jelas dia yang menggendongku pulang setelah aku tertidur agar ia bisa menguasai Ibu hanya untuk dirinya. Sungguh tidak bermoral, berbohong pada anaknya sendiri."

Fengjiu melemparkan beberapa biji melon ke udara kemudian berkata, "Lalu kenapa kau tidak lari ke Istana Changsheng dan menangis heboh? Salahmu sendiri."

A Li tersentak kaget. 

"Kudengar hanya anak perempuan yang boleh menangis, menyebabkan keributan, dan menggantung diri mereka." 

Terbata, ia bertanya, "Anak lelaki juga bisa melakukan hal yang sama?"

Fengjiu menangkap biji yang terjatuh dan memberi sebuah jawaban tanpa ekspresi: "Benar sekali, anak kecil. Nenek moyang kita memasukkan kesetaraan dalam kode etik Langit."

Dengan pipi yang ditopangkan, Donghua menatap siluet kepergian dari dua sepupu itu. Di tangannya terdapat sebuah buku. Di dalam Cermin Miaohua ada perubahan drastis dari urusan kerajaan yang diceritakan melalui berbagai pertarungan dan peperangan. Ketika Cermin Miaohua selesai menceritakan masa kebangkitan dan kehancuran, teh di atas meja batu itu pun akhirnya mendidih.

Jalan menuju pintu masuk ke Teras Chengtian masih sangat panjang.

Ketika Fengjiu dan A Li mencapai kebun dengan susunan bebatuan, A Li mengeluh rewel dan berhenti untuk beristirahat. Selagi mereka duduk, seberkas cahaya putih membutakan muncul dari langit. Di tengah-tengah cahaya ini terdengar derapan kaki kuda dari kereta kuda beroda empat. Rodanya berjalan menembus kumpulan awan, meninggalkan sisa awan yang kacau. Ketika awan yang seperti kapas itu menghilang, masih tersisa aroma bunga liar di udara.

Sungguh sebuah pemandangan yang mewah. Kereta kuda itu pastilah milik seorang dewi yang naik ke Langit dari dunia bawah untuk menghadiri Festival Bunga. Dalam sekejap, kereta kuda itu telah menghilang. Tampaknya kereta itu menuju Langit tingkat ke delapan. Di balik kebun berbatu itu terdengar dua suara pelayan yang tengah bergosip.

"Bukankah itu Putri Zhi'he yang berada di dalam kereta kuda? Adik angkat Donghua Dijun?" kata yang satunya.

"Dasar tukang pamer," ujar yang lainnya santai. "Tapi, betapa cepatnya waktu berlalu. Dia telah dihukum ke dunia manusia selama tiga ratus tahun sekarang."

"Kenapa Putri Zhi'he diasingkan? Kau kan bekerja di Langit ke tiga belas tahun itu, bisa beritahu aku?"

Pelayan itu merenung cukup lama hingga akhirnya mengecilkan suaranya dan menjawab. 

"Aku sendiri tidak begitu yakin, tetapi tahun itu memang masa yang menyusahkan. Mereka bilang, Putri tertua dari Klan Iblis seharusnya dinikahkan ke Istana Taichen. Tapi karena Putri Zhi'he mencintai Donghua Dijun, ia menyebabkan pernikahan itu gagal. Tianjun marah besar mendengar kabar ini, oleh karena itulah ia diasingkan ke dunia bawah."

Pelayan yang pertama tertegun. 

"Apa katamu? Menikah ke Istana Taichen? Dengan Yang Mulia Donghua Dijun? Kenapa aku belum pernah mendengarkan rumor ini sebelumnya? Aku pikir Donghua Dijun tidak akan pernah menyusahkan dirinya dengan urusan duniawi?"

Setelah beberapa waktu, yang satunya kembali menjawab, "Persatuan ini antara Klan Iblis dan Klan Dewa ... tahun itu hanya Pangeran Liansong dan Yang Mulia Donghua yang masih sendiri. Ini juga bukan urusan kita dari awalnya. Terlebih lagi, Dijun tidak pernah terlalu memperhatikan tentang segala sesuatunya kecuali soal peraturan Langit. Beliau mungkin bahkan tidak tahu apa maknanya memilih seorang Ratu." 

Pelayan pertama menghela napas, tapi masih belum ingin berhenti, membuka topik pembicaraan lainnya: "Oh, aku ingat pernah bertemu sekali dengan Dijun tiga ratus tahun yang lalu. Beliau memiliki seekor rubah merah menyala di sampingnya. Para tetua dari Istana Taichen mengatakan kalau Dijun sangat menyayangi rubah kecil itu. Beliau membawa rubah itu kemana pun ia pergi. Tapi kenapa aku tidak melihat seekor rubah merah di perayaan pernikahan Putra Mahkota Yehua beberapa hari yang lalu?"

Setelah jeda yang sangat lama, yang satunya kembali menghela napas, "Rubah itu memang favorit Dijun. Namun, tak lama setelah berita pernikahan Dijun diumumkan dari Istana Taichen, rubah itu menghilang tanpa jejak. Dijun mengirimkan orang untuk mencarinya hingga ke 36 tingkat Langit, tapi pada akhirnya, rubah itu tetap tidak dapat ditemukan."

Fengjiu bersandar di sebongkah batu besar dan melemparkan kantong biji melonnya ke atas dan ke bawah. Di lemparan terakhirnya, ia menggunakan terlalu banyak tenaga dan melempar kantong itu ke batu di sebelah kolam teratai kecil. Pelayan yang kaget itu cepat-cepat melarikan diri. Langkah kaki mereka pun perlahan menghilang, menjamin bahwa mereka telah pergi cukup jauh.

A Li menahan dirinya hingga wajahnya berubah merah. 

Menatap ke arah permukaan beriak di kolam teratai, ia meraung, "Dan apa yang akan kita makan sekarang ketika kita pergi menonton pertunjukan?"

Fengjiu merapikan pakaiannya dan berdiri, bersiap untuk pergi. A Li menundukkan kepalanya dan merajuk. 

"Bagaimana bisa ada seekor rubah di sini tetapi aku tidak tahu soal itu?" 

Kemudian ia bergumam ragu, "Tapi kemana perginya rubah itu?"

Fengjiu berhenti berjalan dan menunggu A Li. Sinar pertama matahari pagi telah memancar di Langit ke tujuh, menyebarkan cahaya keemasan yang membuat pemandangannya berefek seperti lukisan.

Fengjiu menutupi wajahnya dari cahaya matahari yang keemasan dan berkata, "Mungkin rubah itu sudah pulang ke rumahnya." 

Kemudian ia berbalik dan memelototi A Li. 

"Hei, pendek, bisa lebih cepat tidak?"

A Li dengan kencang menggelengkan kepalanya kemudian menjawab, "Tidak, aku tidak bisa!"

Hingga akhirnya Teras Chengtian menghampiri pengelihatan mereka, Fengjiu baru menyadari bahwa aurora dari langit yang ia lihat barusan bukanlah sinar mentari pagi yang memancar dari awan kemerahan subuh milik Dewa Matahari.

Fengjiu berdiri sejauh 100 meter dari Teras Chengtian, tersentak, berdiri membeku di tempatnya. Sangat dekat dari jangkauan, Teras Chengtian setinggi 100 meter yang terbuat dari marmer es, untuk beberapa alasan terkepung oleh lautan api.

Jika Migu tidak dengan cepat membuat sebuah medan pelindung, apinya pasti sudah menghabisi para penyanyi dan penari sekarang. Kereta kuda milik si cantik yang tadi terlihat sekilas pun terhenti di depan api.

Di belakang api yang menyala besar, tiba-tiba terdengar suara auman yang bergemuruh kuat. Fengjiu menyipitkan matanya dan akhirnya melihat penyebab dari kebakaran itu. Seekor Monster Chiyan ( Api Merah ) tengah mengepakkan sayapnya dari dalam lautan api tersebut. Mulut haus darahnya, terus menembakkan api. Ia memutari lonceng kekuningan dan terbang kembali ke area lautan api, menyerang medan pelindung Migu dengan ganasnya.

(T/N : 赤焰獸 Monster Chiyan – Setelah kalah dari Dewa Api Zhurong, kemarahan Dewa Air Gonggong Ben membuat Sungai Langit membanjiri dunia, jadi untuk menyeimbangkan api dan air, Zhurong mengirimkan seekor naga api ke Bumi. Monster Chiyan ini dikatakan sebagai keturunan dari si naga api.)

Medan pelindung yang terang itu mulai retak, api pun merembet masuk. Ketakutan mulai merayapi wajah para penari. Mereka sepertinya meratap dalam ketakutan, akan tetapi karena adanya medan pelindung, tak ada suara apa pun yang terdengar. Bak lukisan yang kaku, melahirkan sebuah atmosfer mengerikan.

Related Posts:

0 comments:

Posting Komentar