Sabtu, 07 November 2020

3L3W TPB 1 - Chapter 1 Part 3

Three Lives Three Worlds, The Pillow Book 1

Chapter 1 Part 3


Alasan Putri Zhi'he kembali ke Langit tentu saja cukup jelas. Di satu sisi, ia akan menghadiri Festival Bunga Pangeran Liansong. Di sisi lainnya, ia bisa menggunakan kesempatan ini untuk bertemu dengan pujaan hatinya, kakak angkatnya, Donghua Dijun. Ia harus menggunakan kesempatan ini guna kembali ke Jiuchongtian dengan memanfaatkan kesukaan Dewi Agung Bai Qian menonton opera untuk menghabiskan waktu.

Mengetahui bahwa Bai Qian menyukai pertunjukkan, Zhi'he telah memilih sendiri dan menunjukkan pada Bai Qian beberapa penyanyi dan penarinya. Karena alasan berlapis inilah, ia bisa muncul di sini untuk mengawasi rombongan penghiburnya.

Akan tetapi, Zhi'he justru mendapati dirinya terkena musibah sial ini. Seseorang telah melepaskan segel Monster Chiyan dan menyebabkan kebakaran tepat di saat kereta kudanya sampai di sini.

Zhi'he sesungguhnya, adalah seorang dewi air. Ketika ia masih tinggal di Istana Taichen, ia adalah bawahan dari Dewa Air Empat Penjuru, Liansong Shenjun, bertugas memanggil hujan di wilayah barat. Cukup jarang mendapati seorang dewi yang berguna di Langit.

Untuk alasan itulah, ketika ia diasingkan ke dunia bawah, Zhi'he masih menguasai kemampuan pengendalian airnya. Akan tetapi, ia menyadari bahwa kemampuannya untuk memanggil hujan tidaklah efektif sekarang. Ia bukan tandingan dari monster yang berdiri di depan matanya.

Selagi Zhi'he berusaha memikirkan cara mencari bantuan, si dewa yang berada di dalam medan pelindung meneriakkan sesuatu padanya. Tampaknya dewa itu punya solusi, dan ia terus saja berteriak, namun Zhi'he tidak dapat mendengar sepatah kata pun.

Zhi'he masih terus bergelut dalam keraguan ketika sebuah penampakan putih melintas di depan matanya. Melayang di udara, sepasang sepatu brokat maju dan lengan pakaian yang mengepuh terkepak layaknya kelopak bunga teratai di udara musim panas.

Zhi'he melarikan matanya dari sepatu hingga ke atas menuju rok sutra tipis itu. Sebuah engahan terkesiap pun berhasil lolos darinya. 

Zhi'he pernah melihat wajah ini sebelumnya di suatu tempat di ingatannya: sepasang bibir tipis yang dingin, hidung yang tinggi, sepasang mata aprikot, dan alis yang elegan. Di tengah kening dinginnya terdapat sebuah tanda bunga phoenix.

Akan tetapi, gadis dalam ingatannya hanyalah seorang pelayan rendahan di Istana Taichen. Di masa remajanya, ia tak bisa berhenti cemburu pada seorang pelayan yang begitu mempesona. Takut jika Donghua akan tersihir jika ia melihat kecantikannya, Zhi'he melakukan segala yang ia bisa untuk mencegah mereka bertemu satu dengan yang lainnya. Secara diam-diam, Zhi'he membuat banyak kesulitan untuk si pelayan; terkadang cenderung kejam.

"Kau kan..." Zhi'he bergumam ragu.

Namun yang berdiri di depannya lebih dulu berbicara. 

Dingin, ia berkata, "Sebagai seorang dewi air, kenapa kau tidak memanggil hujan ketika ada kebakaran? Apa gunanya mereka menjadikanmu sebagai dewi air?"

Tidak menunggu hingga Zhi'he membalasnya, Fengjiu mengeluarkan sebuah seruling dari pinggangnya dan langsung menerobos masuk ke dalam api.

Selama bertahun-tahun, Fengjiu merupakan seorang ahli, tepat di dua bidang. Satunya memasak, yang satu lagi adalah bertarung. Ia telah hidup menyendiri di Qingqiu selama dua ratus tahun terakhir tanpa satu pun pertarungan. Hidup yang cukup membosankan. 

Sekarang tiba-tiba Monster Chiyan ini menyebabkan masalah. Bohong jika Fengjiu mengatakan ia tidak gatal untuk melakukan pemanasan.

Si sutra putih menari memasuki lingkup api besar. Suara serulingnya mengitari udara, memanggil hujan untuk datang.

Bunyi seruling Fengjiu menggema di sekitar api hingga ke langit, membangkitkan Sungai Perak. Dari langit ke 36, air Sungat Perak pun membanjir turun. Dalam sekejap, semuanya tumpah. Meskipun hujan kini telah bercampur dengan api, hal ini justru memicu kemarahan baru dari Monster Chiyan.

Monster itu meninggalkan target awalnya, medan pelindung Migu, kemudian meniupkan apinya lurus ke arah Fengjiu. Itu adalah taktik Fengjiu untuk menarik si macan keluar dari guanya.

Jika bukan untuk menyelamatkan Migu dan para penghibur, dengan kepribadiannya, Fengjiu pasti telah membunuh makhluk itu dengan pedang Taozhu-nya. Tentu saja lawannya adalah seekor monster kuat, dan untuk membunuhnya akan butuh proses panjang. Akan tetapi, paling tidak ia tak akan berada dalam kondisi buntu begini.

Sekarang Fengjiu merasa suram. Ia tidak sanggup menangani kedua tugas ini sendirian. Serulingnya terus memunculkan hujan sementara dirinya sendiri dengan tangkas menyerang si monster.

Zhi'he tidak berguna. Fengjiu hanya bisa berharap kalau sepupu berkaki pendeknya bisa lari pulang ke rumah cukup cepat untuk meminta bantuan.

Meski agak ragu, Fengjiu tetap berhasil menghindari bola-bola api milik Monster Chiyan dengan cekatan. Tapi karena ia menggunakan seruling bambu untuk memanggil hujan, ia tidak bisa membuat medan pelindung di sekelilingnya. Dari ujung kepala hingga ujung kaki, Fengjiu basah kuyup.

Hujan terus berjatuhan, menyebabkan api yang mengelilingi sekitar Teras Chengtian akhirnya reda.

Monster Chiyan itu hanya punya satu tujuan, menyerang tubuh Fengjiu, tidak menyadari bahwa teritori di belakangnya sekarang tak terlindungi. Satu demi satu, semua orang melarikan diri.

Menghadapi hal ini setengah harian, Fengjiu mulai merasa lelah. Ia sudah lama tidak bertarung... kalah dalam pertempuran hanya dengan satu gerakan? Ia tidak bisa mengizinkan itu terjadi. Bagaimana ia bisa menunjukkan wajahnya di Qingqiu lagi?

Fengjiu mulai berpikir bahwa ini saatnya menyingkirkan seruling dan menggunakan pedang Taozhu. Akan tetapi, jika ia menyerang dari depan, tampaknya monster ini bisa kabur. Tetapi, jika ia menyerang dari belakang, kalau makhluk itu terbang, ia sendiri tak akan sanggup menghindar. Apa yang harus dilakukannya sekarang?

Fengjiu mempertimbangkan berbagai skenario ini, tetapi sebelum ia bisa mendapatkan jawabannya, sebilah pedang dingin dari belakangnya tiba-tiba menusuk tepat ke depan.

Monster Chiyan menyemburkan napas api pada Fengjiu. Ia sudah tak mempedulikan apa-apa lagi saat ini. Ketika Fengjiu berusaha untuk melarikan diri, satu tangan tak dikenal membawanya pergi.

Hempasan angin dari pedang yang meluncur mengenai lengan pakaiannya; sangat kuat hingga tampaknya telah membentuk sebuah tembok tak terlihat yang menekan lidah api raksasa itu.

Di belakang sinar keperakan, bola api yang berkobar itu terhempas ke belakang ke arah Monster Chiyan.

Di tengah kebingungan Fengjiu, sehelai jubah ungu jatuh menutupinya. Ia berusaha merangkak keluar dari bawah jubah dan mengintip ke punggung pria yang tengah mengayunkan pedangnya. Tubuhnya terbungkus dengan warna ungu tua, rambutnya seputih salju di Qingqiu.

Di Istana Taichen, tangan ramping ini memegang sutra Buddha. Di luar Istana Taichen, sekarang mereka tengah memegang pedang Cang'he. Ia tampak hebat tak peduli apa pun yang dipegangnya.

Teras Chengtian kini tenggelam dalam lautan darah. Tidak jelas apa yang Donghua lakukan, tapi di balik cahaya menyilaukan, Monster Chiyan itu mengeluarkan suara ratapan memilukan dan terbang menuju cakrawala. Setelah dua pukulan, monster itu jatuh dari udara, menyebabkan Teras Chengtian berguncang akibat gempa.

Donghua menyarungkan kembali pedangnya ke dalam sarung pedangnya. Tak setetes pun darah menyentuh tubuhnya.

Putri Zhi'he tetap bersandar di kereta kudanya, wajahnya memucat. Ia ingin mendekat, tetapi berakhir mundur karena ketakutan.

Meskipun mereka telah melarikan diri, para penghibur itu mau tak mau berada dalam keadaan syok setelah kejadian mengerikan barusan. Beberapa bahkan mulai terisak.

***

Migu membantu Fengjiu untuk duduk di sebuah kursi batu di kaki Teras Chengtian. Ia berusaha menghibur Fengjiu, tapi tak bisa menahan diri untuk menceramahinya di waktu yang bersamaan. 

"Ceroboh sekali Anda! Bagaimana kalau seandainya Yang Mulia Donghua tidak menyelamatkan Anda tepat waktu, apa konsekuensinya? Tidak masalah jika hamba mati, tetapi apa yang harus hamba katakan pada bibi Anda jika terjadi sesuatu pada Anda?"

Fengjiu bergumam, "Bukankah segalanya baik-baik saja?"

Meskipun Fengjiu sangat berterima kasih pada Donghua, ia merasa bahwa tanpa dirinya, bibi dan pamannya pasti akan datang. Bukan masalah besar; hidupnya tak pernah benar-benar dalam bahaya.

Saat Fengjiu melihat Donghua mendekat dengan pedangnya, ia pikir Donghua akan menemui Putri Zhi'he, jadi ia bangkit dan menyingkir ke sebelah meja untuk membiarkannya lewat. 

Menyadari bahwa jubah Donghua masih melekat pada tubuhnya, Fengjiu mengecilkan suaranya dan berbisik pada Migu, "Lepaskan mantelmu dan pinjamkan padaku."

Migu bersin. Menatap ke arah jubah ungu yang menyelimuti tubuh Fengjiu, ia bertanya, "Bukankah Anda sudah punya pakaian kering?"

Kemudian setelah mencari kata-kata, Migu menambahkan, "Semuanya masa lalu, bukan? Anda sudah tak pernah memikirkannya lagi dua ratus tahun terakhir ini, kenapa Anda begitu memikirkan hal kecil begini hari ini?"

Lalu Migu memegangi pakaiannya sendiri erat-erat, memutuskan untuk tidak meminjamkannya pada Fengjiu.

Fengjiu melepaskan jubah kering itu dan melipatnya untuk dikembalikan pada si pemilik. Tapi ketika ia mendongakkan kepala, ia langsung mundur dengan waspada.

Donghua telah berada di depannya dengan pedang Cang'he di tangannya. Ia menatap Fengjiu dengan mata dingin yang tenang.

Tubuh Fengjiu basah kuyup. Butiran-butiran besar air terus saja berjatuhan, dan tak lama kemudian terbentuklah satu kubangan air kecil di bawah kakinya. Fengjiu merasa sangat malu. Selagi air terus berjatuhan, ia menatap balik pada Donghua dan atmosfernya menjadi agak canggung.

Di dalam hati Fengjiu, berbagai perasaan muncul. Ia memikirkan pertemuan terakhir mereka dan menjadi takut. Ia masih belum terbiasa dengan semua ini. Fengjiu masih belum tahu bagaimana harus memperlakukan orang ini. 

Untuk menghindari kesalahan terjadi akibat kecerobohannya, yang terbaik adalah dengan menghindari Donghua. Belakangan ini, Fengjiu bahkan sengaja bersembunyi dari Donghua. Namun, Fengjiu tidak mengerti kenapa semakin ia berusaha menghindarinya, mereka malah jadi lebih sering bertemu satu sama lain.

Donghua menatapnya dari kepala hingga ke ujung kaki, matanya kemudian jatuh pada jubah ungu yang terlipat rapi di tangan Fengjiu. 

Ia pun mengeluarkan suara santainya dan bertanya pada Fengjiu, "Apa kau tidak senang dengan jubahku?"

Fengjiu berpikir mereka berdiri terlalu dekat; aroma samar dari cendana putih membuatnya sedikit sakit kepala. Ia mengambil langkah mundur dan memberi jarak di antara mereka.

Ketika ia berada di jarak yang pantas, dengan  senyuman kaku, Fengjiu menjawab, "Aku tidak akan berani. Tetapi jika aku meminjam jubah Anda sekarang, aku harus mencucinya dan mengembalikannya nanti pada Anda ... itu artinya kita harus bertemu lagi, erm maksudku, aku harus mengganggu Anda lagi."

Melihat segaris keras di wajah Donghua, Fengjiu menjeda dan menambahkan, "Aku takut mengganggu kedamaian Anda."

Donghua meletakkan pedang Cang'he di atas meja batu, menyebabkan bunyi kling.

Migu terbatuk keras dan berkata, "Dijun, mohon jangan salah paham. Yang Mulia Fengjiu bukannya bermaksud ia tidak ingin bertemu dengan Anda. Anda begitu agung; ia justru kecewa tak dapat melihat Anda setiap harinya ..."

Fengjiu dengan cepat menginjak kaki Migu dan ia tak punya pilihan lain selain menelan kembali perkataannya dalam kesakitan.

Donghua menatap Fengjiu dan tampaknya telah mengerti. 

"Jika begitu, akan kuberikan padamu sebagai souvenir. Kau tak perlu mengembalikannya."

Senyum kaku yang melekat pada Fengjiu benar-benar kaku di wajahnya. 

"Itu ... bukan begitu maksudku."

Donghua duduk perlahan. 

"Kalau begitu cuci dan kembalikan padaku."

Fengjiu tersenyum, meskipun senyumnya sekaku balok es. Tapi balok es ini mulai kehilangan kesabarannya. 

Ia menarik bibirnya untuk membalas: "Cuaca cukup hangat hari ini; aku tidak benar-benar merasa terlalu dingin."

Fengjiu kemudian ingin menambahkan terus terang ; 'Aku hanya tidak ingin meminjam jubamu, oke?' Tapi kemudian setelah mempertimbangkan di otaknya, ia memutuskan itu terdengar terlalu tidak sopan.

Fengjiu yang masih ragu akhirnya berkata manis, "Bisakah aku tidak usah meminjam jubah ini?" 

Ia baru saja bicara ketika sekelebat angin menyapu sekitarnya, membuatnya mengigil kedinginan.

Donghua menerima teh dari Migu, yang tak tahu kapan munculnya, dan menyesapnya sekali. "Tidak."

Fengjiu telah mengekang emosinya seperti sebalok es, tapi senyumnya akhirnya benar-benar menghilang dari wajahnya. 

Ia tidak tahu apa lagi yang harus dikatakan, dan bertanya dengan mati rasa, "Kenapa tidak?"

Donghua meletakkan cangkir tehnya dan mengangkat matanya sekilas. 

"Aku menyelamatkanmu. Normalnya orang lain akan menggunakan nyawa mereka untuk membalas budi semacam ini. Seberapa sulitkah untuk mencuci satu pakaian?"

Fengjiu mengingat kembali masa lalu dan merasa sepertinya Donghua bukanlah tipe penindas. Tapi ketika ia berpikir lagi, mungkin ada kalanya ketika Donghua begini juga; ia hanya tidak memperlihatkannya pada Fengjiu.

Fengjiu mengumpulkan kembali pikirannya dan tersenyum kaku. 

"Yang Mulia, kenapa Anda mempersulitku?" 

Donghua mengetuk ringan cangkir tehnya dan pelan-pelan menatap balik Fengjiu. 

"Itu adalah satu-satunya hobi yang kupunya." 

Fengjiu tidak tahu harus tertawa atau menangis.

"Yang Mulia, Anda sungguh ..."

Donghua meletakkan cangkir tehnya lagi. Menopangkan dagunya ke tangannya, ia menatap acuh pada Fengjiu. 

"Kenapa denganku?"

Melihat Fengjiu terdiam tanpa kata, mata acuh Donghua yang biasa sekarang menampakkan secuil senyum. 

"Katakan, kenapa kau mau menyelamatkan mereka?" ia bertanya.

Sejujurnya, Fengjiu bukannya terdiam kehabisan kata. Hanya saja kebetulan roman wajahnya saat ini terasa begitu familier. Ini wajah yang sama yang memberikannya kesan mendalam dulu.

Karena itulah Fengjiu hanya berdiri di sana, terbengong, lalu sebelum ia sempat bereaksi, Donghua telah mengganti topik. Tapi Fengjiu mendengarkan pertanyaan ini dengan jelas ... Kenapa ia mau menyelamatkan mereka? Fengjiu sendiri tidak begitu yakin awalnya.

Bukan karena Fengjiu mempedulikan nyawa orang lain, namun lebih karena seseorang pernah memberitahunya sesuatu.

Setelah agak lama, Fengjiu menjawab lembut, "Mendiang suamiku pernah mengatakan sesuatu padaku, yang kuat ada untuk melindungi yang lemah. Jika aku tidak menyelamatkan mereka, maka aku pun menjadi seorang yang lemah, lalu apa hak yang kumiliki untuk melindungi rakyatku?"

***

Bertahun-tahun kemudian, Donghua masih belum bisa melupakan perkataan Fengjiu. Ia sendiri tidak yakin apa makna dari perkataan gadis itu. Donghua hanya tahu kalau anak ini selalu membuatnya merasa sayang meskipun ia tidak mengenali siapa Fengjiu.

Dalam ingatannya, pertama kali Donghua melihat Fengjiu adalah di tepi Danau Wangsheng dekat Qingqiu. Dengan rambut basah sehitam rumput laut, ia mengendarai ombak dan tiba di tepian. Tapi Donghua tidak mengingat penampilan Fengjiu kala itu, sama seperti ia tidak ingat bagaimana tampak bunga matahari hari itu.

***

Kejadian hari ini berhasil menyebar ke seluruh penjuru Jiuchongtian. Terlebih lagi, ada beberapa versi yang bersirkulasi. Hanya dengan sepersekian detik, Donghua terlempar seratus meter dari seorang Daoist Trinity menjadi karakter dunia yang vulgar.

Dikatakan bahwa kala itu Monster Chiyan mengamuk di Teras Chengtian, Donghua sedang menambahkan tulisan di kitab Buddhanya.

Ketika mendengar bahwa adik angkatnya, Putri Zhi'he terperangkap dalam kebakaran, Donghua langsung buru-buru menyelamatkannya dan mengalahkan si monster. Karena itulah dapat dilihat bahwa Donghua memperlakukan adik angkatnya lain dari yang lainnya.

Akan tetapi, yang lain mengatakan bahwa selama Teras Chengtian kebakaran, Donghua hanya kebetulan lewat dan melihat seorang dewi tengah bertarung mati-matian dengan si Monster Chiyan. Dewi ini mulai kalah dan Donghua tak sanggup lagi menonton jadi ia pun mencabut pedangnya untuk memberikan bantuan.

Tianjun selalu menganggap Dijun sebagai seorang dewa yang tak memiliki keinginan apa pun. Ternyata ada kalanya, terkadang, Tianjun pun bisa salah. Cerita ini terus berlanjut.

Setelah Liansong mendengar berita dari cerita ini, ia mendatangi Istana Taichen, mencari Donghua untuk bermain catur dan minum anggur. Di waktu bersamaan, ia mendesak konfirmasi dari Donghua.

"Rumor dari Teras Chengtian tentang seorang gadis cantik jelita yang bertarung melawan seekor monster, dan kau yang tak bisa menahan diri untuk menolongnya, aku sungguh tidak mempercayainya ..."

Liansong meletakkan satu batu putih dan melanjutkan: "Tapi, kau tahu, jika suatu hari nanti kau memutuskan untuk menikahi seorang ratu untuk melakukan pembelajaran spiritualZhi'he bukan pilihan yang buruk. Apa perlu kubantu mengatakan hal baik di depan Ayahku dan membawa Zhi'he kembali ke Langit?"

( T/N : 雙修 shuangxiu – pembelajaran spiritual yang dilakukan secara berpasangan, sebutan lain untuk seks.)

Donghua memutar cangkir anggurnya. 

Ia melihat papan catur itu sambil merenung lalu membalas, "Cantik jelita? Mereka pikir ia cantik?"

"Maaf?" 

Donghua dengan santainya meletakkan sebuah batu hitam, memblokir formasi dari batu putih.

"Mereka punya mata yang cukup bagus."

Liansong terdiam. 

Ketika ia bisa bereaksi, ia menutup kipasnya dan bertanya dalam keterkejutannya, "Kau benar-benar melihat seorang gadis cantik jelita di Teras Chengtian?"

Donghua tetap memfokuskan matanya pada papan catur. 

"Apa kau yakin kau datang kemari untuk bermain catur?" 

Liansong tertawa terbahak-bahak.

Bahkan sahabat terbaik Donghua, Pangeran Liansong saja, tidak mempercayai rumor ini. Tentu saja semua orang yang berada di Langit ketujuh pun menganggapnya sebagai lelucon belaka.

Mereka membuat beberapa pertaruhan mengenai masa depan menjanjikan Putri Zhi'he, memprediksi kalau hari-hari suramnya sebentar lagi akan berakhir, dan ia mungkin akan segera kembali ke Langit, lalu mungkin saja memulai sesuatu yang luar biasa dengan Dijun.

Dikatakan bahwa Jiuchongtian memiliki peraturan di mana para dewa-dewi harus menyingkirkan tujuh emosi dan enam keinginan mereka.

( T/N : tujuh emosi - kebahagiaan, kemarahan, penyesalan, kekhawatiran, kebimbangan, kesedihan, dan ketakutan yang pada dasarnya berasal dari enam akar : mata, telinga, hidung, lidah, tubuh, dan pikiran.)

Akan tetapi, peraturan ini hanya berlaku pada mereka yang tidak terlahir dari para dewa. Kenaikan menjadi abadi saja sudah termasuk ganjil. Tentu saja ada harga yang harus dibayar untuk keabadian.

Meski begitu, Donghua, telah hidup semenjak masa Yin dan Yang terpisah di Laut Biru, roh murni yang lahir dari Langit dan Bumi. Ia tidak terikat pada peraturan semacam itu. Baginya, memiliki seorang Ratu adalah hal yang sangatlah masuk akal.

0 comments:

Posting Komentar