Three Lives Three Worlds, The Pillow Book 2
Chapter 16 Part 1
Pangeran kedua dari keluarga Su, Su Moye, dikenal sebagai seorang yang murah hati seumur hidupnya. Meskipun ia terluka dalam kisah Aranya, Su Moye masih mempertahankan ketenangan dan sopan santun.
Sendu sekaligus menyedihkan, mengumpulkan pujian untuknya dari begitu banyak orang sebagai seorang pria terhormat yang langka.
Su Moye selalu berpikir kalau dirinya hanyalah seorang pengamat dalam kisah cinta Aranya, sebuah peran kecil kurang beruntung yang kebetulan saja terluka oleh cinta.
Tetapi setelah melihat cermin Miaohua, Chen Ye sebagai si protagonis akan menerima kue jika mereka akan membicarakan soal sakit hati. Terlebih lagi, begitu banyaknya luka yang diderita Chen Ye diberikan oleh Su Moye, si pengamat ini.
Akar ini bukanlah sesuatu yang akan Su Moye duga. Tetapi, apa pun kasusnya, inilah jawabannya.
Su Moye telah mengejar masalah ini selama lebih dari dua ratus tahun hanya untuk mencari sebuah jawaban, namun kenyataannya seperti ini.
Untuk sesaat, cinta dan rasa sakitnya tampak seolah mereka tidak pernah dipercayakan kepada siapa pun. Tetapi pada akhirnya, ini tetap sebuah jawaban.
Mo Shao merasa malu karena buta dan tuli. Ia tidak pernah menyangka kalau masa lalu Chen Ye dan Aranya akan seperti ini, ataupun bahwa Chen Ye akan menciptakan sebuah Mimpi Aranya yang sangat realistis.
Keduanya sudah cukup untuk membuat Mo Shao terkejut. Lalu, ketika hal ketiga yang tak terduga diperlihatkan padanya, bukan hanya ia terkejut, tetapi juga merenungi akan ketidakadilan dalam kehidupan.
Hal ketiga ini tak ada sangkut pautnya dengan Mo Shao. Malahan, sebagian besarnya berhubungan dengan Donghua Dijun.
***
Pada saat ini, cermin Miaohua sedang menunjukkan bayangan Chen Ye yang merenggut ketiga musim Lembah Fanyin dengan satu ayunan pedangnya, menghabiskan penempaan dirinya demi menciptakan Mimpi Aranya di bawah panduan Xize.
Pangeran kedua tanpa sadar mengangkat tangannya dan menempel pada bingkai cermin, dipaksa berbagi getaran emosional Chen Ye.
Dalam kepusingannya, Su Moye mendengar Dijun berkata perlahan, “Kembalilah dan biarkan aku melihatnya.”
Memang benar bahwa Su Moye terpancing oleh kehidupan Chen Ye di dalam cermin, tetapi ia juga sungguh tidak tahu bagaimana caranya kembali. Dijun tampaknya pun mengetahui soal ini. Hanya saja, Dijun terbiasa memerintah orang lain.
Dijun termenung memerhatikan tampangnya yang tak berdaya selama beberapa saat, lalu menggambarkan beberapa garis ke atas secarik kertas dan menjatuhkannya ke dalam cermin.
Bayangan yang terdapat di permukaan cermin itu secara perlahan menghilang di balik riaknya.
Tangan kanan Su Moye tiba-tiba saja terbebas dari bingkai. Ketika ia melihat ke dalam cermin lagi, riaknya telah mereda, tetapi awan suci dan bangau ajaib dari Langit kini mulai muncul di atas permukaannya.
Su Moye berkata dalam kebingungannya, “Ini adalah ....”
Dijun menopangkan pipinya dan memerhatikan cerminnya selagi ia menjawab enteng, “Tiga ratus tahun yang lalu.”
Su Moye menyapukan matanya di sepanjang paviliun-paviliun dan istana-istana yang familier di dalam cermin selagi ia menjadi semakin kebingungan.
“Kita sedang melihat kehidupan Chen Ye dari tiga ratus tahun yang lalu, tetapi mengapa cermin ini menunjukkan Langit?”
Dijun membalikkan cangkir di telapak tangannya dan merenung, “Kalau aku tidak salah ....”
Ia menjeda di tengah kalimat.
Dijun jarang merenung. Lebih jarang lagi dengan kelihatan ragu-ragu. Ini karena merenung dan keraguan, keduanya merepresentasikan semacam ketidakpastian, dan ia bukanlah seseorang yang biasanya tidak yakin akan sesuatu.
Su Moye melirik, terkejut menemukan sebuah bangunan menjulang di dalam awan berbentuk spiral di dalam cermin. Empat pilar dan sebuah balok tua tinggi membuka ke dalam sebuah ruangan yang luar biasa luasnya.
Tetapi tidak terdapat apa pun di dalam ruangan itu. Satu-satunya hal yang terlihat nyata hanyalah sebuah ranjang awan besar.
Kelihatannya ada satu sosok yang sedang berbaring di atas ranjang kabur itu. Saat bayangan dalam cermin perlahan-lahan membesar, Su Moye mengucurkan keringat dingin.
Berbaring di atas ranjang awan itu adalah seorang dewa berjubah ungu berambut perak.
Siapa lagi kalau bukan Donghua Dijun?
Namun, ketika Su Moye melirik ke Dijun yang hidup, sedang duduk di sebelahya, Dijun masih saja membolak-balikkan cangkir di telapak tangannya. Ada ketenangan dalam ekspresi Dijun selagi ia mengamati cermin itu seolah ia sudah menduga ini akan muncul.
Segera setelahnya, muncul pergerakan di depan ranjang awan itu. Seorang pejabat muda berpakaian sopan mendekati ranjang awan. Ia dengan sopan menggantikan vas bunga dekorasi di bagian kepala ranjang, dengan sopan menyalakan pembakar dupa di depan layar pembatas, dan kemudian dengan sopan pula memperbaiki ujung selimut untuk Dijun yang sedang tertidur.
Saat ia selesai meluruskan selimutnya, seorang dewa yang lebih tua masuk. Karena pejabat muda dan si dewa tua itu semua berpakaian seperti sehari-harinya, ia tidak dapat menebak jabatannya dari pakaian mereka.
Si dewa tua berjanggut keabuan membungkuk dengan sopan pada si pejabat muda sopan tadi dan berkata, “Tuan Zhonglin, bolehkah aku bertanya mengapa Anda memanggilku dengan begitu mendesak?”
Zhonglin—Su Moye pernah mendengar soal nama ini sebelumnya. Rumor mengatakan bahwa, Dijun memilih dewa ini untuk mengurusi urusan istana ketika ia pensiun ke Istana Taichen.
Zhonglin Xianguan merupakan pembantu paling setia Dijun. Ketelitian dan kehati-hatiannya terkenal hingga ke seluruh penjuru. Selama sepuluh ribu tahun, ia telah menjadi panutan dari semua pembantu lainnya di Jiuchongtian.
Zhonglin Xianguan menyatukan alisnya dan berkata, “Tetua Yunzhuang, aku mengundangmu kemari untuk sebuah masalah yang krusial. Dijun sekarang ini tertidur akibat menaklukkan Alam Miaoyi Huiming. Kau dan aku sama-sama tahu kalau Dijun melarang masalah ini sampai tersebar ke luar istana, jangan sampai ini memberikan kerusuhan di keenam dunia.
"Ngomong-ngomong soal ini, juga terima kasih atas bantuanmu, Siming Xingjun mengubah beberapa baris dalam buku takdir manusia beberapa hari yang lalu sebelum kami berhasil mengelabui dewa-dewa lainnya.
"Bermaksud mengatakan kalau Dijun sedang mencari pengalaman kematian juga sakit duniawi, kebencian dan dendam, cinta serta perpisahan, Dijun begitu bersemangat, tertarik pada delapan kepahitan dalam kehidupan manusia dan ia telah pergi untuk reinkarnasi.
"Dijun tertidur begitu mendadak. Meskipun beliau tidak meninggalkan perintah lanjutan, belakangan ini masih ada pikiran yang membuatku tidak tenang.”
Tetua Yunzhuang melangkah mendekat: “Bolehkah hamba bertanya apa yang begitu mengganggu Anda?”
Zhonglin memang seorang pembantu dari Istana Taichen. Ia bicara langsung ke pokok permasalahan daripada berbicara berputar-putar seperti yang lainnya di Jiuchongtian.
Zhonglin menghela napas.
“Bahkan, meskipun Dijun telah menaklukkan Alam Miaoyi Huiming dan mengurung Miao Luo, tetapi jika diketahui kalau Dijun pun tertidur karena hal ini, meskipun jika Miaoluo telah terpenjara, aku takut ia mendadak akan menyebabkan malapetaka. Untuk melindungi masa tidur Dijun selama seratus tahun dari kemunculan bencana Miaoluo, aku sudah merenung, dan baru-baru ini menemukan sebuah jawaban.
"Tetua, kau sangat ahli dalam menciptakan jiwa. Jika kau bisa membawa separuh dari bayangan Dijun untuk membuat satu jiwa dan mengirimkannya ke Lembah Fanyin .... Tentu saja, ketika jiwa ini lahir, ia tidak akan mengetahui kalau dirinya adalah bayangan Dijun ataupun bahwa dirinya menanggung beban besar untuk menjaga Alam Huiming.
"Tetap saja, jiwa ini sudah pasti memiliki jejak napas Dijun. Selama ia terlahir di Lembah Fanyin, ia akan menjadi penangkal Miao Luo. Terlebih lagi, masa hidup seorang Biyiniao terbatas. Sekalinya berubah menjadi abu, jiwa yang menjelma itu pasti akan kembali menjadi bayangan Dijun. Selama menyangkut Dijun, tidak ada yang perlu dikhawatirkan setelahnya.”
Setelah keheningan panjang, Tetua Yunzhuang berpikir keras, “Tuanku, Anda telah mempertimbangkan segalanya dengan begitu saksama. Orang tua ini juga baru saja berpikir sejenak bahwa ini memang satu-satunya cara yang layak. Tetapi, menurut hamba, setelah hamba membuatkan jiwa ini dan mengirimkannya ke Lembah Fanyin, baik Anda dan hamba harus meminum air amnesia untuk melupakan masalah ini.
"Karena Anda selalu teliti, hamba berasumsi Anda pun akan menyetujui orang tua ini. Walaupun jiwa reinkarnasi ini dikatakan hanyalah sepotong dari bayangan Dijun, itu tetap bagian dari Dijun. Apabila salah satu dari kita tanpa sengaja membocorkan soal masalah ini, seorang yang bertekad bisa saja memberi kita masalah dengan melahap jiwa ini. Dijun akan menjadi lemah selama tidurnya, dan oleh karena itu, fondasi keabadiannya pasti akan terpengaruh.”
Zhonglin mengangguk: “Kau benar.”
Adegan dalam cermin ini perlahan menghilang setelah Zhonglin menunjukkan pada dewa tetua itu jalan keluar dari ruangan. Awan berombak, atap-atap yang tiada habisnya, semua tampak larut di dalam air. Cermin Miaohua berdiri di hadapan mereka seperti halnya cermin biasa lainnya.
Di antara generasi-generasi baru dewa-dewi, Mo Shao selalu menganggap dirinya sebagai orang yang tenang dan menyejukkan. Tetapi, dikarenakan keberuntungan yang tak diketahui, hal-hal diluar dugaannya terus mendatanginya satu per satu hari ini, membuatnya merasa cukup kewalahan.
Setelah apa yang diperlihatkan di depan matanya muncul, mau tak mau, Su Moye merasa terpengaruh. Ia tidak tahu apa itu Alam Miaoyi Huiming. Namun, mengesampingkan hal ini, Su Moye mengerti dengan sangat jelas percakapan di dalam cermin antara Zhonglin dan Yunzhuang.
Mereka mengatakan bahwa Chen Ye tak lain merupakan bayangan Dijun.
Chen Ye sebenarnya adalah bayangan Dijun?
Disambar petir di siang bolong masih belum cukup menggambarkan perasaan Mo Shao saat ini. Tetapi jika ia mengatakan disambar petir, pada saat ini di depan cermin, seharusnya masih ada seseorang yang merasa tersambar lebih parah lagi.
Su Moye tidak bisa menahan dirinya untuk melihat ke arah Dijun.
Akan tetapi, Dijun, orang yang seharusnya tersambar lebih parah, masih tetap teduh dan tenang. Cara anggunnya ketika sedang menuangkan teh masih sama seperti sebelumnya.
Saat ia pertama kali memasuki dunia ini, Donghua tidak pernah berpikir sama sekali bahwa Chen Ye bisa menjadi bayangannya sendiri.
Ada kalanya ketika Donghua merasa kalau napas sang Archmage entah bagaimana terasa familier, tetapi karena ia terlalu malas mengurusinya, ia asal-asalan saja mengaitkannya dengan dua orang yang mempraktikan sihir yang sama sebagai alasan supaya tidak meneruskan masalah ini lebih lanjut.
Tak ada banyak kesempatan ketika Donghua benar-benar menggunakan otaknya, dan jadilah otaknya agak karatan. Ia belum mulai meragukan apakah Chen Ye berhubungan dengannya sampai ia melihat melalui Cermin Miaohua kekuatan yang dapat menghancurkan Langit dan Bumi.
Kemampuan cahaya penghancur misterius itu sebenarnya adalah sihir Donghua yang paling menguntungkan. Jika meninjau kembali, tebakan Donghua tidaklah salah.
Tentu saja, ia dan Chen Ye memang memiliki asal-usul tertentu. Tetapi asal-usul ini juga tidak begitu sulit untuk diterima.
Bayangan, hanya itu saja.
Mengetahui kalau Chen Ye merupakan bayangannya tidak semengejutkan ketika Donghua melihat bahwa seorang dewa yang berdiam di bumi yang menggunakan sebuah sihir penciptaan.
Hari ini menjelaskan mengenai bagaimana seorang dewa yang tinggal di bumi mampu menggunakan sihir penciptaan.
Bagaimanapun juga, itu adalah bayangannya sendiri, benar kan ....?
Donghua tidak mempertimbangkan bahwa akan ada satu bayangan dan tidak merencanakan segalanya dengan cermat.
Apabila Chen Ye adalah bayangannya, maka Xiao Bai dan Aranya ....
Donghua mengangkat kuasnya, bersiap melukiskan gambar Aranya untuk dijatuhkan ke dalam Cermin Miaohua yang telah tenang, ketika angin dan petir mendadak terdengar dari luar jendela.
Donghua mendongak untuk melihat awan suci menarik masuk, terlihat berasaal dari Ibu kota .... Cangkir teh berserakan di atas meja. Cermin Miaohua tiba-tiba saja dimasukkan ke dalam lengan jubahnya. Donghua bangkit dan bergegas menuju Ibu kota.
Su Moye juga melihat keluar jendela di tengah angin dan gemuruh guntur yang semakin menjadi.
“Guntur ini terdengar agak aneh,” katanya.
Satu embusan angin kemudian, Su Moye melihat bahwa Dijun telah meninggalkan ruangan dengan tergesa. Setelah sekian hari mengikuti Dijun, Su Moye tidak pernah melihatnya begitu cemas.
Su Moye penasaran, tetapi tidak punya cukup waktu untuk ragu; ia juga harus segera mengejarnya.
***
Ledakan yang mengancam terjadi. Donghua menaiki awan dan mendarat di luar Paviliun Boxin di kediaman Putri Aranya di dalam Ibu kota. Pada saat ini, ia melihat Chen Ye dengan santai membopong Fengjiu ke atas sebuah dipan panjang di dalam paviliun.
Si penyihir itu baru saja menyentuh lengan bak giok sang wanita, ketika sebilah pedang panjang telah menghentikan tangan berdosanya tepat waktu.
Dan hanya seperti itulah, Fengjiu yang tampaknya sedang tertidur terus berbaring di pelukan Donghua. Su Moye perlahan menuju ke bawah dari atas awan selagi dalam hati, ia merasa kagum akan ketangkasan Dijun.
Bilah pedang Canghe mengebor ke dalam tiang paviliun sejajar dengan mata Chen Ye.
Dulu, Dijun membekukan Xize dari dunia ini di dalam gua Biaoyi di belakang Gunung Qinan setelah memutuskan kalau ia akan menggunakan identitasnya.
Setelahnya, Dijun mulai memainkan peran Xize sepenuh hatinya. Memang, penampilan dan kepribadian dari Xize asli bukanlah perhatian besar bagi Dijun.
Hanya ada satu hal yang perlu diwaspadainya—kapan saja Donghua menarik pedangnya, ia harus menyembunyikan penampilan asli si pedang terkenal Canghe jika tidak ingin orang-orang mengenali identitasnya melalui pengakuan pedangnya.
Meski begitu, kali ini, si pedang ternama Changhe, menusuk begitu mengesankan dan terang-terangan di bawah mata Chen Ye sendiri. Batu zirkon di gagang pedangnya memancarkan sinar yang merembes ke dalam cahaya matahari sore di dalam paviliun.
Membutakan.
Su Moye yakin, kalau bukan karena pencegahan pedang Canghe, Chen Ye pastilah telah melawan untuk menangkap Fengjiu lagi. Akan tetapi, pedang Canghe memang sesuai dengan ketenarannya. Sekalinya muncul, pedang itu berhasil menjinakkan kegilaan di dalam mata penyihir itu.
0 comments:
Posting Komentar