Ten Miles of Peach Blossoms
Chapter 4 Part 1
Raja Laut Timur
berjalan di depan memimpin jalan, Buntalan Ketan Kecil terhuyung-huyung
berjalan di tengah, dan Ye Hua serta aku di belakangnya, tanganku masih
terbungkus erat di tangannya.
Aku hanya
mengutarakan satu kebohongan kecil, demi melindungi putra kecilnya, sungguh. Ia
bisa saja berpura-pura tidak tahu, tetapi sebaliknya ia memutuskan mempersulit
diriku.
Aku kehilangan
kesabaran, dan tidak lagi peduli tentang mempertahankan martabat Dewi Agungku,
aku menggunakan sebuah mantra sihir untuk melepaskan diri darinya. Ye Hua
tersenyum lembut dan menghadang mantraku dengan mantranya.
Kami bertarung
seperti ini sepanjang jalan, Ye Hua lebih unggul karena ia tidak peduli siapa
yang melihat, sementara aku berusaha untuk tidak menarik perhatian Raja Laut
Timur. Pada akhirnya, aku terpaksa mengaku kalah.
Belum lama ini,
Kakak Keempat mengecewakanku dengan memberitahuku berapa banyak kemerosotan
semenjak zaman keemasan dewa-dewi prasejarah. Generasi dewa-dewi zaman sekarang
begitu santai dan malas, rupanya, dan sihir mereka lemah dan Taoisme mereka pun
demikian. Aku mempercayainya. Tetapi mantra yang digunakan Pangeran Ye Hua di
hadapanku sekarang begitu hebat dan terampil sampai membuat sihir kakeknya
terlihat lemah dan Taoisme neneknya terlihat lemah.
Raja Laut Timur
berbalik dan tersenyum lemah padaku. Dengan matanya yang terpaku pada tangan
kami yang menyatu, ia berkata, “Pangeran, Dewi utusan, kita telah sampai di
aula besar.”
Si Buntalan
Ketan Kecil mendengking penuh kegembiraan dan bergegas menarik tanganku yang
bebas. Ia menggunakan ekspresi serius dan bermartabat, sesuai dengan posisinya
sebagai cicit Klan Langit.
Jika Selir
Utama Ye Hua yang berjalan bersamanya, kesombongan semacam ini tidak jadi
masalah dan pantas saja. Tetapi, sebaliknya, di sinilah aku, memutar otak
malangku mencoba dan memahami semuanya.
Benar, aku
terhubung dengan Ye Hua, tetapi masih belum dalam cara yang resmi, dan aku
tidak mengerti apa yang dipikirkannya dengan menyeretku ke dalam perjamuan
bersamanya seperti ini.
Pintu istana
terbuka di hadapan kami dengan ukiran emasnya dan tatahan gioknya. Aku mulai
merasakan sakit kepala.
Semua dewa-dewi
di dalam aula besar sudah menunggu tak sabar agar perjamuannya dimulai, dan
segera setelah Ye Hua muncul, mereka berlutut menjadi dua baris, membentuk
lorong yang menuju lurus ke meja tuan rumah. Segera setelah kami bertiga duduk,
mereka memberi hormat dan duduk di tempat mereka.
Perjamuannya
dimulai.
Dewa yang duduk
paling dekat dengan kami pun datang untuk bersulang.
Ia mengangkat
gelasnya ke arah Ye Hua sebelum berpaling padaku. “Betapa beruntungnya diriku
mendapatkan kehormatan untuk bertemu dengan Permaisuri Su Jin,” katanya penuh
keseganan. “Sungguh suatu keberuntungan, benar-benar keberuntungan ...”
Ye Hua berdiri
di samping dengan gelas anggur di tangannya, memperhatikan tanpa ekspresi saat
aku dipaksa menghadapi situasi canggung ini.
Raja Laut Timur
berubah pucat dan mengedip tak berdaya ke arah si dewa yang melimpahi kami
dengan pujian. Aku tidak tahan lagi untuk menontonnya.
Aku tersenyum
bodoh dan berkata, “Sebenarnya, aku adalah adik perempuan Ye Hua yang sudah
lama hilang. Aku di sini hari ini sebagai utusan Zhe Yan.”
Ye Hua berhenti
minum, dan beberapa tetes anggur terciprat dari gelasnya. Raja Laut Timur
berpaling dan menatapku kebingungan. Dewa yang sedang mengajukan gelasnya untuk
berulang pun menatapku, benar-benar malu. Ia tidak dalam posisi untuk
melanjutkan sulangannya, maupun menurunkan gelasnya.
“Aku minta
maaf,” gagapnya, diikuti dengan keheningan yang canggung. “Pengelihatanku
buruk. Aku akan meneguk ini sebagai permintaan maafku.”
Aku tersenyum
ramah, tidak merasa tersinggung, dan meminum segelas bersamanya.
Setelah ini,
semua orang mulai bersulang satu sama lain.
Telinga rubah
itu tajam, dan di antara bunyi sulangan gelas, aku bisa mendengarkan inti
diskusi yang dibicarakan antara dua orang di meja lainnya.
“Sangat
disayangkan, Gu Gu tidak hadir di sini hari ini,” kata yang satunya.
“Meskipun melihat dewi utusan Zhe Yan hampir menggantikannya. Apakah menurutmu,
Gu Gu mengetahu bahwa baik Ye Hua dan
Raja Laut Utara akan ada di sini untuk perjamuan dan itulah mengapa ia
memutuskan untuk tidak menghadi—“
“Mungkin saja
kau benar, teman dewaku,” jawab yang satunya. “Gagalnya Gu Gu muncul dan Zhe Yan mengirimkan utusan ini ke perjamuan,
tampaknya ada sesuatu yang lebih rumit dibaliknya. Semua orang tahu bahwa Raja
Air Laut Timur tidak mengirimkan Zhe Yan sebuah undangan karena
mempertimbangkan temperamennya yang aneh.”
“Itu benar,”
kata yang pertama. “Dan yang anehnya lagi, utusan Zhe Yan, tak lain tak bukan
adalah adik perempuan Ye Hua.”
“Aku tidak
yakin tentang itu,” kata yang satunya. “Aku berdinas dengan setia di Istana
Langit selama bertahun-tahun, dan aku tidak pernah mendengar ada yang
menyebutkan soal adik perempuan Ye Hua.”
“Teman dewa,
apakah kau tidak melihat, barusan ini Pangeran Ye Hua menggenggam tangan dewi
utusan itu? Mereka kelihatan seperti saudara bagiku.”
Apabila Raja
Laut Timur tidak mengumumkan perjamuannya sudah berakhir saat itu, aku yakin
kedua dewa ini akan menari dengan riang gembira. Tidak ada yang lebih mereka
inginkan ketimbang menemukan sebuah tempat yang nyaman, sudut yang tenang dan
melanjutkan diskusi tentang masalah hangat ini. Sebaliknya, mereka harus
menahan diri dengan frustasi pahit, duduk di atas panggung dan mencuri berbisik
beberapa kali.
Aku
mendengarkan untuk waktu yang lama, tetapi tak mendengar apa pun yang menarik,
jadi aku mengangkat gelasku dan minum sendirian. Ye Hua menyingkirkan botol
anggurnya dari atas meja sembari mengernyit.
“Kau mungkin
punya toleransi alkohol yang tinggi, tetapi jangan minum terlalu banyak. Kita
tidak ingin kau sampai mabuk lagi.”
Anggur Raja
Laut Timur dipandang sebagai madu gioknya para dewa-dewi, tetapi hanya seperti
air jika dibandingkan dengan anggur Zhe Yan. Biarpun demikian, aku tidak
mencemaskan tentang kualitas dari apa yang kuminum. Aku menegaknya untuk
menenggelamkan suara orang-orang di kiri, kanan dan tengah, yang mengutarakan
penghinaan terhadapku.
Perjamuannya
sudah setengah jalan sekarang, dan aku mulai merasa gelisah. Aku ingin
makanannya cepat selesai agar aku dapat kembali ke Gua Rubah. Tetapi pada saat
itu, Raja Laut Timur menepuk tangannya bersamaan sebanyak tiga kali.
Aku duduk tegak
dan memperhatikan sekelompok gadis penari berpakaian minim yang lemah lembut,
ramping, berputar memasuki aula dengan kipas sutra di tangan mereka. Aku agak
terheran, mengapa Raja Laut Timur mempersiapkan pertunjukan semacam ini untuk
perayaan satu bulanan putranya.
Aku melirik ke
arah Ye Hua, yang mengenakan ekspresi bosan di wajahnya.
Buntalan Ketan
Kecil mendesah keras saat ia melihat penarinya.
“Oh, itu dia!”
katanya.
Aku mengikuti
pandangannya ke arah tengah aula dimana para penari berpakaian putih mengatur
posisi mereka menjadi kelopak bunga teratai. Gadis yang dilihatnya ada di
tengah, bergaun kuning. Pada lirikan pertama, aku tidak bisa melihat sesuatu
yang istimewa tentang gadis ini, meskipun ia memiliki rupa yang mirip dengan
Raja Laut Timur.
Aku berpaling
untuk menatap Raja Laut Timur, dan ia segera menyadari aku sedang
memperhatikannya. Ia terbatuk, dan dengan senyum canggung, ia berkata, “Ia
adalah adik perempuanku.” Ia menghampiri Buntalan Ketan Kecil dan berkata,
“Apakah Anda familier dengan adikku, Pangeran Kecil?”
Buntalan Ketan
Kecil menatapku, dan setelah berdeham dan komat-kamit, ia berkata, “Iya, aku
mengenalinya,” dan melambai samar padanya. “Tetapi tidak sekenal itu,” ia
menambahkan, mencuri pandang ke arah Ayahandanya.
Adik perempuan
Raja Laut Timur terus saja memberikan ekspresi gelisah ke arah Ye Hua, matanya
bersemangat tetapi tenang, penuh dengan kesedihan juga kebahagiaan.
Gelas anggur Ye
Hua membeku di tangannya, dan ekspresinya berubah menjadi sedingin yang kulihat
saat pertama kali kami bertemu.
Apa yang
dinyanyikan mereka? Bunga malang berjatuhan dari pepohonan dan air yang kejam
menghanyutkannya? Seorang gadis berhati hangat bertemu dengan seorang pria
berhati dingin dan berharap ingin seperti tanaman merambat yang membungkus
sebatang pohon, tetapi hatinya sedingin besi dan mimpinya tak seharusnya. Aku
mengangguk puas atas pertunjukan mereka. Aku menuangkan segelas anggur lagi
untuk diriku sendiri dan memperhatikan dengan penuh minat, tepat sampai bagian
musiknya meninggi dan berhenti total. Adik perempuan Raja Laut Timur menatap Ye
Hua dan membungkuk sebelum melayang pergi dikelilingi oleh gadis-gadis
penarinya.
Ye Hua
berpaling menatapku dengan seulas senyuman samar.
“Mengapa kau
terlihat begitu kecewa, dewi utusan?” tanyanya.
Aku mengusap
wajahku dan tertawa canggung. “Kecewa? Benarkah?”
Aku sudah
dipaksa bertahan dengan begitu banyak hal selama beberapa jam terakhir.
Sekarang akhirnya perjamuannya berkahir, aku menantikan untuk menyelinap keluar
bersama dengan tamu-tamu lainnya. Tetapi Ye Hua punya ide lain.
“A Li ingin kau
menjaganya,” katanya, menyodorkan Buntalan Ketan kecil ke tanganku. “Aku akan
segera kembali.
Semua dewa-dewi
lainnya mampir, menyatukan tangan mereka dan membungkuk berpamitan. Ye Hua
mengambil kesempatan dari fakta bahwa diriku teralihkan dan menyelinap
diam-diam keluar dari aula besar.
Aku sudah
terbebani dengan begitu banyak urusan yang membuang waktu selama berjam-jam
sekarang, dan otak bingungku baru saja mulai jernih. Menyadari situasi yang
menjebakku, keningku mendadak mulai dipenuhi keringat. Ye Hua tidak mungkin
serius ketika ia mengatakan Buntalan Ketan Kecil kalau ia akan membawaku
kembali ke Istana Langit bersama mereka, ‘kan?
Si Buntalan
Ketan Kecil yang lembut di tanganku mendadak terasa seperti sebuah duri di
sisiku. Aku bergegas keluar dari aula besar, berniat langsung mencari ayah
Buntalan Ketan Kecil dan menyerahkan putranya kembali padanya.
Aku bertanya
pada beberapa pelayan lelaki muda apakah mereka melihat Pangeran Ye Hua, tetapi
tak satupun melihatnya. Menggunakan pendekatan yang berbeda, aku bertanya
apakah mereka tahu dimana adik perempuan Raja Laut Timur berada.
Ye Hua pergi
terburu-buru, tetapi dalam sikap menyendirinya, aku melihat secercah kasih
sayang, dan dalam acuh tidak acuhnya, tersembunyi keanggunan. Berdasarkan semua
kejadian romantis yang kusaksikan selama ribuan dan ribuan tahun, sudah jelas
dari tingkah laku ini, kalau ia bertemu dengan gadis cantik.
Si pelayan
lelaki menunjuk ke jalan buntu, mengarah ke taman belakang Istana Kristal Air
Laut Timur.
Aku membawa
Buntalan Ketan Kecil ke pintu masuk taman dan memberi desahan kekalahan.
Aku bisa saja
berjalan memasuki taman tanpa masalah, tetapi dengan kemampuan mengenali arahku
yang mengerikan, tidak ada jaminan kalau aku bisa keluar lagi. Aku
mempertimbangkan sejenak, kesadaran menasehatiku untuk tetap menunggu di pintu
masuk.
Buntalan Ketan
Kecil punya ide lain. Ia mengepalkan tangan kecilnya dan menjadi agak sengit.
“Ibu, kalau kau
tidak ke belakang dan memisahkan mereka berdua, Putri Miao Qing akan mencuri
Ayahanda.” Ia meletakkan satu tangan di pinggulnya dan mengusap keningnya penuh
kesedihan dengan tangan lainnya.
“Sejak zaman
dahulu kala, taman belakang merupakan tempat yang merepotkan. Apakah kau tahu
berapa banyak pelajar berbakat yang berakhir tersihir oleh wanita cantik di
dalam mereka, kehilangan baik nyawa dan jalan mereka, pada akhirnya membuat
mereka menjalani kehidupan yang sulit?”
Aku benar-benar
tercengang. “Si-si-siapa yang me-me-mengajarimu itu?” suaraku parau.
Si Buntalan
Ketan Kecil menatapku terkejut. “Sekitar tiga ratus tahun yang lalu, seorang
dewi kecil bernama Cheng Yu naik ke matahari putih di langit. Buyutku, Kaisar Langit
memberikannya gelar Yuan Jun. Cheng
Yu Yuan Jun. Ialah yang mengajariku
itu. Apakah aku salah?” tanyanya, mengusap kepalanya dan terlihat kebingungan.
Apa yang
diberitahukan padanya benar, tetapi fakta bahwa Cheng Yu Yuan Jun berani mengajari Buntalan Ketan Kecil hal semacam ini
tepat di bawah hidung Ye Hua dan perkataannya meninggalkan kesan tak terlupakan
pada si Buntalan menunjukkan kalau Cheng Yu adalah seorang dewi dengan bakat dan
kemampuan tertentu. Ia jelas seseorang yang ceria, dan jika aku bertemu
dengannya, aku pasti akan berteman dengannya.
Buntalan Ketan
Kecil menarik lengan jubahku, bersikeras kami harus masuk ke dalam taman. Ia
begitu kecil, dan aku takut melakukan perlawanan fisik. Yang dapat kulakukan
adalah mencoba menghalanginya dengan kata-kata.
“Ayahandamu
begitu muda dan sehat,” jelasku, “dan Miao Qing, jika itu namanya, muda dan
dalam usia pernikahan. Pria dan wanita muda merindukan satu sama lain adalah
tingkah laku yang benar-benar natural. Jika mereka sudah menjadi pasangan, kita
tidak boleh menghancurkan rencana pernikahan mereka. Yang akan kita lakukan
adalah mengganggu. Sudah pasti kau tidak cukup membenci Putri Miao Qing sampai
ingin mengacaukan rencana pernikahannya? Kau harus belajar menjadi lebih
toleran.”
Mulut Buntalan
Ketan Kecil jadi rata, dan aku menyadari mungkin aku sudah terlalu tegas.
Cepat-cepat aku menghiburnya, menciumnya, dan mengelusnya sampai ia tenang.
“Ia pernah
menyelamatkan nyawaku,” katanya pelan. “Dan aku sudah berterima kasih
sebesar-besarnya padanya. Tetapi sejak saat itu, Ayahanda mulai bertingkah
berbeda. Setiap kali ia membawaku ke rumah lamamu di Gunung Jun Ji, ia juga
ikut. Ia tergila-gila pada Ayah.”
Aku merasa
harus mengutarakan sesuatu. “Rasa terima kasih pada seseorang yang
menyelamatkan nyawamu harus lebih dalam dari lautan. Bukan hanya masalah
mengucapkan terima kasih.”
Kalau memang
sesederhana itu, betapa bebas dan tak tercekiknya diriku sekarang. Andaikan
saja rasa kasih sayang harmonis antara Mo Yuan dan diriku, sebagai guru dan
murid yang kuingat, aku pasti tidak akan punya rasa bersalah dan penyesalan
yang terperangkap dalam diriku.
0 comments:
Posting Komentar