Minggu, 15 November 2020

3L3W TMOPB - Chapter 4 Part 1

Ten Miles of Peach Blossoms

Chapter 4 Part 1


Raja Laut Timur berjalan di depan memimpin jalan, Buntalan Ketan Kecil terhuyung-huyung berjalan di tengah, dan Ye Hua serta aku di belakangnya, tanganku masih terbungkus erat di tangannya.

Aku hanya mengutarakan satu kebohongan kecil, demi melindungi putra kecilnya, sungguh. Ia bisa saja berpura-pura tidak tahu, tetapi sebaliknya ia memutuskan mempersulit diriku.

Aku kehilangan kesabaran, dan tidak lagi peduli tentang mempertahankan martabat Dewi Agungku, aku menggunakan sebuah mantra sihir untuk melepaskan diri darinya. Ye Hua tersenyum lembut dan menghadang mantraku dengan mantranya.

Kami bertarung seperti ini sepanjang jalan, Ye Hua lebih unggul karena ia tidak peduli siapa yang melihat, sementara aku berusaha untuk tidak menarik perhatian Raja Laut Timur. Pada akhirnya, aku terpaksa mengaku kalah.

Belum lama ini, Kakak Keempat mengecewakanku dengan memberitahuku berapa banyak kemerosotan semenjak zaman keemasan dewa-dewi prasejarah. Generasi dewa-dewi zaman sekarang begitu santai dan malas, rupanya, dan sihir mereka lemah dan Taoisme mereka pun demikian. Aku mempercayainya. Tetapi mantra yang digunakan Pangeran Ye Hua di hadapanku sekarang begitu hebat dan terampil sampai membuat sihir kakeknya terlihat lemah dan Taoisme neneknya terlihat lemah.

Raja Laut Timur berbalik dan tersenyum lemah padaku. Dengan matanya yang terpaku pada tangan kami yang menyatu, ia berkata, “Pangeran, Dewi utusan, kita telah sampai di aula besar.”

Si Buntalan Ketan Kecil mendengking penuh kegembiraan dan bergegas menarik tanganku yang bebas. Ia menggunakan ekspresi serius dan bermartabat, sesuai dengan posisinya sebagai cicit Klan Langit.

Jika Selir Utama Ye Hua yang berjalan bersamanya, kesombongan semacam ini tidak jadi masalah dan pantas saja. Tetapi, sebaliknya, di sinilah aku, memutar otak malangku mencoba dan memahami semuanya.

Benar, aku terhubung dengan Ye Hua, tetapi masih belum dalam cara yang resmi, dan aku tidak mengerti apa yang dipikirkannya dengan menyeretku ke dalam perjamuan bersamanya seperti ini.

Pintu istana terbuka di hadapan kami dengan ukiran emasnya dan tatahan gioknya. Aku mulai merasakan sakit kepala.

Semua dewa-dewi di dalam aula besar sudah menunggu tak sabar agar perjamuannya dimulai, dan segera setelah Ye Hua muncul, mereka berlutut menjadi dua baris, membentuk lorong yang menuju lurus ke meja tuan rumah. Segera setelah kami bertiga duduk, mereka memberi hormat dan duduk di tempat mereka.

Perjamuannya dimulai.

Dewa yang duduk paling dekat dengan kami pun datang untuk bersulang.

Ia mengangkat gelasnya ke arah Ye Hua sebelum berpaling padaku. “Betapa beruntungnya diriku mendapatkan kehormatan untuk bertemu dengan Permaisuri Su Jin,” katanya penuh keseganan. “Sungguh suatu keberuntungan, benar-benar keberuntungan ...”

Ye Hua berdiri di samping dengan gelas anggur di tangannya, memperhatikan tanpa ekspresi saat aku dipaksa menghadapi situasi canggung ini.

Raja Laut Timur berubah pucat dan mengedip tak berdaya ke arah si dewa yang melimpahi kami dengan pujian. Aku tidak tahan lagi untuk menontonnya.

Aku tersenyum bodoh dan berkata, “Sebenarnya, aku adalah adik perempuan Ye Hua yang sudah lama hilang. Aku di sini hari ini sebagai utusan Zhe Yan.”

Ye Hua berhenti minum, dan beberapa tetes anggur terciprat dari gelasnya. Raja Laut Timur berpaling dan menatapku kebingungan. Dewa yang sedang mengajukan gelasnya untuk berulang pun menatapku, benar-benar malu. Ia tidak dalam posisi untuk melanjutkan sulangannya, maupun menurunkan gelasnya.

“Aku minta maaf,” gagapnya, diikuti dengan keheningan yang canggung. “Pengelihatanku buruk. Aku akan meneguk ini sebagai permintaan maafku.”

Aku tersenyum ramah, tidak merasa tersinggung, dan meminum segelas bersamanya.

Setelah ini, semua orang mulai bersulang satu sama lain.

Telinga rubah itu tajam, dan di antara bunyi sulangan gelas, aku bisa mendengarkan inti diskusi yang dibicarakan antara dua orang di meja lainnya.

“Sangat disayangkan, Gu Gu tidak hadir  di sini hari ini,” kata yang satunya. “Meskipun melihat dewi utusan Zhe Yan hampir menggantikannya. Apakah menurutmu, Gu Gu mengetahu bahwa baik Ye Hua dan Raja Laut Utara akan ada di sini untuk perjamuan dan itulah mengapa ia memutuskan untuk tidak menghadi—“

“Mungkin saja kau benar, teman dewaku,” jawab yang satunya. “Gagalnya Gu Gu muncul dan Zhe Yan mengirimkan utusan ini ke perjamuan, tampaknya ada sesuatu yang lebih rumit dibaliknya. Semua orang tahu bahwa Raja Air Laut Timur tidak mengirimkan Zhe Yan sebuah undangan karena mempertimbangkan temperamennya yang aneh.”

“Itu benar,” kata yang pertama. “Dan yang anehnya lagi, utusan Zhe Yan, tak lain tak bukan adalah adik perempuan Ye Hua.”

“Aku tidak yakin tentang itu,” kata yang satunya. “Aku berdinas dengan setia di Istana Langit selama bertahun-tahun, dan aku tidak pernah mendengar ada yang menyebutkan soal adik perempuan Ye Hua.”

“Teman dewa, apakah kau tidak melihat, barusan ini Pangeran Ye Hua menggenggam tangan dewi utusan itu? Mereka kelihatan seperti saudara bagiku.”

Apabila Raja Laut Timur tidak mengumumkan perjamuannya sudah berakhir saat itu, aku yakin kedua dewa ini akan menari dengan riang gembira. Tidak ada yang lebih mereka inginkan ketimbang menemukan sebuah tempat yang nyaman, sudut yang tenang dan melanjutkan diskusi tentang masalah hangat ini. Sebaliknya, mereka harus menahan diri dengan frustasi pahit, duduk di atas panggung dan mencuri berbisik beberapa kali.

Aku mendengarkan untuk waktu yang lama, tetapi tak mendengar apa pun yang menarik, jadi aku mengangkat gelasku dan minum sendirian. Ye Hua menyingkirkan botol anggurnya dari atas meja sembari mengernyit.

“Kau mungkin punya toleransi alkohol yang tinggi, tetapi jangan minum terlalu banyak. Kita tidak ingin kau sampai mabuk lagi.”

Anggur Raja Laut Timur dipandang sebagai madu gioknya para dewa-dewi, tetapi hanya seperti air jika dibandingkan dengan anggur Zhe Yan. Biarpun demikian, aku tidak mencemaskan tentang kualitas dari apa yang kuminum. Aku menegaknya untuk menenggelamkan suara orang-orang di kiri, kanan dan tengah, yang mengutarakan penghinaan terhadapku.

Perjamuannya sudah setengah jalan sekarang, dan aku mulai merasa gelisah. Aku ingin makanannya cepat selesai agar aku dapat kembali ke Gua Rubah. Tetapi pada saat itu, Raja Laut Timur menepuk tangannya bersamaan sebanyak tiga kali.

Aku duduk tegak dan memperhatikan sekelompok gadis penari berpakaian minim yang lemah lembut, ramping, berputar memasuki aula dengan kipas sutra di tangan mereka. Aku agak terheran, mengapa Raja Laut Timur mempersiapkan pertunjukan semacam ini untuk perayaan satu bulanan putranya.

Aku melirik ke arah Ye Hua, yang mengenakan ekspresi bosan di wajahnya.

Buntalan Ketan Kecil mendesah keras saat ia melihat penarinya.

“Oh, itu dia!” katanya.

Aku mengikuti pandangannya ke arah tengah aula dimana para penari berpakaian putih mengatur posisi mereka menjadi kelopak bunga teratai. Gadis yang dilihatnya ada di tengah, bergaun kuning. Pada lirikan pertama, aku tidak bisa melihat sesuatu yang istimewa tentang gadis ini, meskipun ia memiliki rupa yang mirip dengan Raja Laut Timur.

Aku berpaling untuk menatap Raja Laut Timur, dan ia segera menyadari aku sedang memperhatikannya. Ia terbatuk, dan dengan senyum canggung, ia berkata, “Ia adalah adik perempuanku.” Ia menghampiri Buntalan Ketan Kecil dan berkata, “Apakah Anda familier dengan adikku, Pangeran Kecil?”

Buntalan Ketan Kecil menatapku, dan setelah berdeham dan komat-kamit, ia berkata, “Iya, aku mengenalinya,” dan melambai samar padanya. “Tetapi tidak sekenal itu,” ia menambahkan, mencuri pandang ke arah Ayahandanya.

Adik perempuan Raja Laut Timur terus saja memberikan ekspresi gelisah ke arah Ye Hua, matanya bersemangat tetapi tenang, penuh dengan kesedihan juga kebahagiaan.

Gelas anggur Ye Hua membeku di tangannya, dan ekspresinya berubah menjadi sedingin yang kulihat saat pertama kali kami bertemu.

Apa yang dinyanyikan mereka? Bunga malang berjatuhan dari pepohonan dan air yang kejam menghanyutkannya? Seorang gadis berhati hangat bertemu dengan seorang pria berhati dingin dan berharap ingin seperti tanaman merambat yang membungkus sebatang pohon, tetapi hatinya sedingin besi dan mimpinya tak seharusnya. Aku mengangguk puas atas pertunjukan mereka. Aku menuangkan segelas anggur lagi untuk diriku sendiri dan memperhatikan dengan penuh minat, tepat sampai bagian musiknya meninggi dan berhenti total. Adik perempuan Raja Laut Timur menatap Ye Hua dan membungkuk sebelum melayang pergi dikelilingi oleh gadis-gadis penarinya.

Ye Hua berpaling menatapku dengan seulas senyuman samar.

“Mengapa kau terlihat begitu kecewa, dewi utusan?” tanyanya.

Aku mengusap wajahku dan tertawa canggung. “Kecewa? Benarkah?”

Aku sudah dipaksa bertahan dengan begitu banyak hal selama beberapa jam terakhir. Sekarang akhirnya perjamuannya berkahir, aku menantikan untuk menyelinap keluar bersama dengan tamu-tamu lainnya. Tetapi Ye Hua punya ide lain.

“A Li ingin kau menjaganya,” katanya, menyodorkan Buntalan Ketan kecil ke tanganku. “Aku akan segera kembali.

Semua dewa-dewi lainnya mampir, menyatukan tangan mereka dan membungkuk berpamitan. Ye Hua mengambil kesempatan dari fakta bahwa diriku teralihkan dan menyelinap diam-diam keluar dari aula besar.

Aku sudah terbebani dengan begitu banyak urusan yang membuang waktu selama berjam-jam sekarang, dan otak bingungku baru saja mulai jernih. Menyadari situasi yang menjebakku, keningku mendadak mulai dipenuhi keringat. Ye Hua tidak mungkin serius ketika ia mengatakan Buntalan Ketan Kecil kalau ia akan membawaku kembali ke Istana Langit bersama mereka, ‘kan?

Si Buntalan Ketan Kecil yang lembut di tanganku mendadak terasa seperti sebuah duri di sisiku. Aku bergegas keluar dari aula besar, berniat langsung mencari ayah Buntalan Ketan Kecil dan menyerahkan putranya kembali padanya.

Aku bertanya pada beberapa pelayan lelaki muda apakah mereka melihat Pangeran Ye Hua, tetapi tak satupun melihatnya. Menggunakan pendekatan yang berbeda, aku bertanya apakah mereka tahu dimana adik perempuan Raja Laut Timur berada.

Ye Hua pergi terburu-buru, tetapi dalam sikap menyendirinya, aku melihat secercah kasih sayang, dan dalam acuh tidak acuhnya, tersembunyi keanggunan. Berdasarkan semua kejadian romantis yang kusaksikan selama ribuan dan ribuan tahun, sudah jelas dari tingkah laku ini, kalau ia bertemu dengan gadis cantik.

Si pelayan lelaki menunjuk ke jalan buntu, mengarah ke taman belakang Istana Kristal Air Laut Timur.

Aku membawa Buntalan Ketan Kecil ke pintu masuk taman dan memberi desahan kekalahan.

Aku bisa saja berjalan memasuki taman tanpa masalah, tetapi dengan kemampuan mengenali arahku yang mengerikan, tidak ada jaminan kalau aku bisa keluar lagi. Aku mempertimbangkan sejenak, kesadaran menasehatiku untuk tetap menunggu di pintu masuk.

Buntalan Ketan Kecil punya ide lain. Ia mengepalkan tangan kecilnya dan menjadi agak sengit.

“Ibu, kalau kau tidak ke belakang dan memisahkan mereka berdua, Putri Miao Qing akan mencuri Ayahanda.” Ia meletakkan satu tangan di pinggulnya dan mengusap keningnya penuh kesedihan dengan tangan lainnya.

“Sejak zaman dahulu kala, taman belakang merupakan tempat yang merepotkan. Apakah kau tahu berapa banyak pelajar berbakat yang berakhir tersihir oleh wanita cantik di dalam mereka, kehilangan baik nyawa dan jalan mereka, pada akhirnya membuat mereka menjalani kehidupan yang sulit?”

Aku benar-benar tercengang. “Si-si-siapa yang me-me-mengajarimu itu?” suaraku parau.

Si Buntalan Ketan Kecil menatapku terkejut. “Sekitar tiga ratus tahun yang lalu, seorang dewi kecil bernama Cheng Yu naik ke matahari putih di langit. Buyutku, Kaisar Langit memberikannya gelar Yuan Jun. Cheng Yu Yuan Jun. Ialah yang mengajariku itu. Apakah aku salah?” tanyanya, mengusap kepalanya dan terlihat kebingungan.

Apa yang diberitahukan padanya benar, tetapi fakta bahwa Cheng Yu Yuan Jun berani mengajari Buntalan Ketan Kecil hal semacam ini tepat di bawah hidung Ye Hua dan perkataannya meninggalkan kesan tak terlupakan pada si Buntalan menunjukkan kalau Cheng Yu adalah seorang dewi dengan bakat dan kemampuan tertentu. Ia jelas seseorang yang ceria, dan jika aku bertemu dengannya, aku pasti akan berteman dengannya.

Buntalan Ketan Kecil menarik lengan jubahku, bersikeras kami harus masuk ke dalam taman. Ia begitu kecil, dan aku takut melakukan perlawanan fisik. Yang dapat kulakukan adalah mencoba menghalanginya dengan kata-kata.

“Ayahandamu begitu muda dan sehat,” jelasku, “dan Miao Qing, jika itu namanya, muda dan dalam usia pernikahan. Pria dan wanita muda merindukan satu sama lain adalah tingkah laku yang benar-benar natural. Jika mereka sudah menjadi pasangan, kita tidak boleh menghancurkan rencana pernikahan mereka. Yang akan kita lakukan adalah mengganggu. Sudah pasti kau tidak cukup membenci Putri Miao Qing sampai ingin mengacaukan rencana pernikahannya? Kau harus belajar menjadi lebih toleran.”

Mulut Buntalan Ketan Kecil jadi rata, dan aku menyadari mungkin aku sudah terlalu tegas. Cepat-cepat aku menghiburnya, menciumnya, dan mengelusnya sampai ia tenang.

“Ia pernah menyelamatkan nyawaku,” katanya pelan. “Dan aku sudah berterima kasih sebesar-besarnya padanya. Tetapi sejak saat itu, Ayahanda mulai bertingkah berbeda. Setiap kali ia membawaku ke rumah lamamu di Gunung Jun Ji, ia juga ikut. Ia tergila-gila pada Ayah.”

Aku merasa harus mengutarakan sesuatu. “Rasa terima kasih pada seseorang yang menyelamatkan nyawamu harus lebih dalam dari lautan. Bukan hanya masalah mengucapkan terima kasih.”

Kalau memang sesederhana itu, betapa bebas dan tak tercekiknya diriku sekarang. Andaikan saja rasa kasih sayang harmonis antara Mo Yuan dan diriku, sebagai guru dan murid yang kuingat, aku pasti tidak akan punya rasa bersalah dan penyesalan yang terperangkap dalam diriku.

Related Posts:

0 comments:

Posting Komentar