Ten Miles of Peach Blossoms
Chapter 7 Part 2
Ye Hua
memperhatikanku dengan dagunya ditopangkan di atas tangannya.
“Aku sungguh
tidak mengerti dirimu,” katanya sambil tertawa pelan. “Qing Qiu jelas-jelas
berada dalam dunia makhluk abadi, tetapi kalian bertingkah seolah-olah kalian
semua adalah manusia. Prianya membajak sawah, dan gadisnya menyulam tanpa
adanya sejejak sihir ataupun praktik Taoisme.”
Ia sama sekali
tidak tahu bagaimana seharusnya sikap seorang tamu, jadi aku memutuskan aku pun
tidak perlu lagi mempertahankan sikap tuan rumahku.
“Kalau kau
menggunakan sihir untuk menyelesaikan semua hal, apa gunanya menjadi makhluk
abadi?” tanyaku sambil tertawa lesu. “Apabila kami hidup seperti itu, rakyat
kami tidak punya tantangan dan akan jadi sangat mudah bosan. Aku harus mulai
mengatur pertempuran hanya untuk memberikan mereka sesuatu untuk dilakukan,
sedikit pertarungan untuk membuat mereka tetap terhibur.”
Cangkir tehnya
berdentum di atas meja.
“Menarik,”
katanya sembari tersenyum samar. “Jika kau sampai di titik itu dan membutuhkan
bantuan, beritahu aku. Aku bisa mengirimkan beberapa komandan langit untuk
membantu.”
Aku baru saja
akan menerima dengan senang hati saat kami mendengar sebuah ledakan datang dari
arah dapurr. Mi Gu berdiri di ambang pintu gua dengan rambut berantakan,
memegangi sebuah sendok besar dan memelototiku.
Aku
memandanginya bodoh sebelum mencondongkan diri ke arah Ye Hua, berkata,
“Buntalan Ketan Kecil sudah makan sangat banyak sampai ia cegukan, dan tiga
dewa-dewi melewatkan satu kali makan bukanlah sebuah masalah hidup dan mati.
Bisakah kita melewatkan makan malam hari ini?” aku berbalik ke arah Mi Gu.
“Cepat, pergi ke dunia manusia dan bawa pulang Feng Jiu,” kataku tegas.
Mi Gu
menyatukan tangannya dan membungkuk hormat padaku.
“Apa alasan
yang harus kukatakan padanya?” tanyanya, masih memegangi sendok besarnya.
Aku memutar
otakku.
“Cukup katakan
ada sesuatu yang penting terjadi di Qing Qiu,” kataku setelah berpikir selama
beberapa saat, tetapi sebelum aku berhasil menyelesaikan kalimatku, Ye Hua
menyeretku masuk ke dalam dapur.
“Masukkan
beberapa kayu ke dalam tungkunya dan pastikan apinya terus menyala. Pastinya
kau bisa melakukan itu?”
Buntalan Ketan
Kecil tergeletak di atas kursi bambu, memperhatikan kami dan mengusap perutnya.
Ia membalikkan wajahnya ke arah lain, napasnya perlahan menjadi dalam dan lebih
teratur.
Baru dua hari
semenjak Ye Hua dan aku pertama kali bertemu, dan ia sudah menggulung lengan
jubahnya dan memasak di dapurku seolah ia tinggal di sana.
Sering sekali,
ia akan memberikanku instruksi seperti, “Terlalu banyak kayu di tungkunya. Kau
tidak perlu menambahnya lagi sekarang,” atau “Apinya sudah mau mati. Bisakah
kau menambahkan beberapa kayunya sekarang?”
Mendadak aku
teringat Buntalan Ketan Kecil menceritakan padaku soal ibunya yang seorang
manusia dari Gunung Jun Ji. Pastilah istri pertama malangnya, wanita yang
melompat dari Zhu Xian Tai yang mengajari Ye Hua menggunakan spatula di atas
wajan dengan gaya yang membuat orang kagum ini.
Ada sendok sup
di satu tangannya dan spatula di tangan lainnya sekarang, mengacungkannya
dengan gaya artistik. Aku begitu terkesan sampai tidak mampu menahan diri.
“Apakah istri
pertamamu yang mengajarimu semua ini? Pastinya ia seseorang yang jago memasak!”
Aku mendesah dengan kekaguman yang tulus.
Ia tampak tertegun.
Aku menyadari,
dengan menyinggung soal mendiang istrinya, aku sudah membuka kembali luka
lamanya.
Apinya mendesis
saat mereka menjilati bagian bawah wajannya.
Aku menelan
ludah dan diam-diam berpindah ke tungkunya untuk menambahkan segenggam penuh
kayu bakarnya. Ye Hua menatapku aneh saat ia mengaduk makanannya.
“Ia persis
seperti dirimu,” katanya tenang. “Menyalakan apinya dan menambahkan kayunya
sementara aku yang melakukan semua proses memasaknya.”
Aku malu dan
tidak tahu bagaimana menanggapinya. Ia berbalik dan terus mengaduk supnya.
“Aku tidak tahu
bagaimana ia berhasil bertahan hidup di Gunung Jun Ji yang terkutuk itu sebelum
kami bertemu,” katanya sembari mendesah ringan.
Sebenarnya, ia
menggumamkan kalimat-kalimat itu pada dirinya sendiri, tetapi telinga rubahku
yang luar biasa kuat ini mendengarkan tiap katanya dengan sempurna. Desahannya
pelan tetapi penuh pertimbangan.
Aku menyebabkan
kesedihan yang tidak perlu baginya.
***
Ye Hua
membuatkan tiga makanan dan sepanci sup.
Mi Gu sudah
selesai berbenah saat itu, dan aku memanggilnya untuk makan bersama kami.
Ye Hua
mengguncangkan Buntalan Ketan Kecil bangun dan mulai memberikannya makanan.
Buntalan Ketan Kecil menepuk pipi kecilnya.
“Kalau Ayahanda
terus memberi makan A Li seperti ini, A Li akan berubah menjadi sebuah bola
karet,” anak kecil ini menggerutu.
Ye Hua meneguk
teh dinginnya santai, “Memberi makan dirimu sampai jadi berbentuk bola karet
adalah ide yang luar biasa! Aku tidak perlu lagi membawamu di atas sebuah awan
keberuntungan kembali ke Istana Qing Yun-mu setelah kita kembali ke Istana Langit.
Sebaliknya, aku cukup menggulingkanmu.”
Buntalan Ketan
Kecil berbaring di pangkuanku dan berpura-pura menangis.
“Hu hu hu,” katanya. “Ayahanda sangat
kejam.”
Ye Hua
meletakkan cangkir tehnya dan mengangkat sebuah mangkuk. Ia menyendokkan sup
ikan dari panci dan memberi senyum samar untuk putranya.
“Jadi kau sudah
menemukan seseorang untuk berpihak padamu, ya?” katanya. “Kemarilah, Qian Qian,
kau harus menambah nutrisi dirimu sendiri,” katanya lembut, mendorong semangkuk
penuh sup ikan ke depanku.
Mi Qu mulai
terbatuk dan hampir saja tersedak nasinya.
Aku merasa
mataku memerah saat aku mengangkat Buntalan Ketan Kecil dari lututku. Aku
tersenyum saat mengambil mangkuk sup di depanku.
“Jadilah anak
yang baik dan minum semangkuk lagi,” kataku.
Keterampilan
memasak Ye Hua sangat luar biasa. Sup ikannya tidak sesuai dengan seleraku,
tetapi makanan lainnya kusantap dengan senang hati.
Makan siang
adalah urusan yang kasual, dan membuat kami semua santai—sangat santai
sampai-sampai ketika Ye Hua menanyakan padaku apakah ada sebuah ruangan di gua
rubah yang dapat digunakannya sebagai ruang baca untuk mengerjakan
tugas-tugasnya, aku dengan sukarela menyetujuinya dan membersihkan kamar di
tepi danau milik Kakak Ketiga demi tujuan ini.
***
Pikiran awalku
adalah Ye Hua datang kemari untuk menghukumku. Tetapi, dua minggu berlalu dan
ia masih belum menyinggung perihal insiden di Istana Kristal Air Laut Timur.
Setiap paginya,
seorang dewa bernama Jia Yun mengetuk pintu. Ia mengumpulkan dokumen resmi yang
dikerjakan Ye Hua di hari sebelumnya, sembari menyerahkannya setumpuk dokumen
baru.
Jia Yun
merupakan pejabat resmi bawahan Ye Hua dan seorang yang sangat bertanggung
jawab. Mulanya, aku akan menyeret kakiku untuk membukakan pintu untuk Jia Yun
setiap hari, kakiku hanya mengenakan sebelah sepatu. Setelah beberapa hari, aku
bisa melihat kalau situasi ini membuat Jia Yun merasa canggung, jadi aku berhenti
menutup pintu gua rubah dan sebaliknya memasang sebuah medan pelindung di sana,
aku pun mengajari Jia Yun cara mematahkan medan pelindungnya.
Ye Hua
menghabiskan kebanyakan waktunya mengurung diri di ruang baca barunya,
mengerjakan dokumennya. Ia akan membangunkanku tiap pagi dan menyeretku keluar
rumah untuk berjalan-jalan, dan setelah makan malam, ia akan menyeretku lagi
untuk jalan-jalan menjelang senja.
Sering kali ia
mengundangku ke ruang bacanya untuk memainkan satu-dua permainan catur di malam
hari. Aku begitu kelelahan sampai aku menghabiskan hariku dengan menguap, dan
beberapa kali, aku tertidur di atas meja di tengah-tengah acara main catur
kami. Ia tidak pernah membangunkanku saat ini terjadi, ia hanya membaringkan
kepalanya di atas papan catur bersamaku, dan kami berdua akan tidur di sana
seperti itu.
Saat Jia Yun
datang mengumpulkan dokumennya, dan melihat kami seperti itu, ia mulai
memikirkan ide tidak jelas tentang apa yang sedang kami perbuat, meskipun
faktanya, kami berdua masih berpakaian lengkap.
Bahkan seorang
dewa yang bertanggung jawab sepertinya pun suka bergosip, kurasa.
Sayangnya,
terlambat, hanya sampai Selir Utama Ye Hua, Su Jin, mengirimkan seorang pelayan
istana di mulut pintu masuk Lembah Qing Qiu untuk mendesak Ye Hua pulang.
Mi Gu berjaga
di luar, jadi untungnya aku tidak perlu menghadapinya.
Aku hanya
mendengar tentang apa yang terjadi dari sekumpulan dewa-dewi penggosip yang
berada di tempat kejadian dan menyaksikan drama itu.
Pelayan istana
ini mengenakan jubah hitam dari sutra yang indah, berkibar-kibar, kelihatannya,
tetapi ia sendiri tampak biasa saja.
Saat Mi Gu menghadangnya
di mulut Lembah Qing Qiu, ia mencibir, “Bukannya Niang Niang kami yang
tidak toleran, dan ia sepenuhnya sadar kalau ini menyangkut Tian Hou yang akan
datang. Meskipun demikian, ia mengirimku kemari karena kebaikan hatinya, untuk
mengingatkan Yang Mulia Pangeran Ye Hua dan Yang Mulia Bai Qian bahwa mereka
masih belum menikah secara resmi. Oleh karenanya, menghabiskan hari mereka
dengan berbaring bersama dan bersikap intim agak tidak pantas. Bahkan Tian Jun
pun tidak bertingkah seperti itu selama masa muda Beliau. Dan Yang Mulia
Pangeran Ye Hua tidak boleh lupa bahwa ia mengundang Putri Miao Qing ke Istana
Langit. Tidak adil karena mengabaikannya seperti ini.”
Qing Qiu selalu
menjadi sebuah tempat yang berpikiran terbuka juga mudah menerima, dan tidak
ada seorang pun memperhatikan masalah seperti anak yang dilahirkan tanpa ikatan
pernikahan. Bukan hal yang luar biasa, hanya keintiman. Sekelompok dewa-dewi
muda yang menyaksikan adegan ini merasa pesan si pelayan istana ini tidak
jelas, dan mereka mengusirnya keluar dari Qing Qiu sebelum Mi Gu berkesempatan
untuk merespon.
Aku
mempertimbangkan apa yang dikatakannya, dan selain soal klaim tidak tepat tentang
kami mengabiskan hari berbaring dan bertingkah intim bersama, hal lain yang
dikatakannya tampaknya ada benarnya.
Aku benar-benar
tidak mengerti mengapa Ye Hua masih tinggal bersamaku, dan aku senang memiliki
alasan untuk mendiskusikan ini dengannya.
Ia membuka
jendelanya dan sedang berdiri di depan meja, mengagumi bunga teratai dekat
danau di luar sana. Ia mengerutkan keningnya mendengarkan apa yang kusampaikan.
“Jika aku ingin
datang dan tinggal bersama denganmu, aku akan melakukannya. Dengan segala
maksud dan tujuan, kau adalah istriku. Apa hubungannya dengan orang lain?”
Aku menatapnya
kosong, menyadari saat aku mendengarkan ini, kalau Pangeran Ye Hua memang
adalah calon suamiku, dijanjikan secara pribadi kepadaku oleh si tua Tian Jun.
“Oh ... oh
...,” aku akhirnya berhasil mengendalikan diri. “Namun, apabila aku menikah di
usia yang tepat, cucuku pasti sudah seumuran denganmu.”
Kuas di
tangannya terdiam. Aku melirik ke arah dokumen resmi di atas meja. Tinta
tebalnya meresap masuk ke dalam kertas. Kaligrafi yang cantik, indah.
Ia meletakkan
kuasnya dan menatap dalam diam padaku dengan mata dinginnya. Aku tertawa
canggung.
“Aku dengar
dari si pelayan istana itu mengatakan kau mengundang Miao Qing ke Istana
Langit?” kataku, berusaha mengubah topiknya.
Sudah jelas,
ini juga bukanlah sebuah topik yang disukai.
Aku merasa,
semua pria suka mendiskusikan tentang wanita. Saat aku masih menjadi Xiao Shi
Qi di Gunung Kun Lun dan kebetulan membuat Saudara Seperguruan Pertama kesal,
yang perlu kulakukan adalah memulai sebuah pembicaraan tentang dewi-dewi yang
dianggapnya menarik, dan amarahnya akan meleleh.
Tetapi, aku
mengingatkan diriku sendiri, aku bukan lagi Xiao Shi Qi dari Gunung Kun Lun,
juga tidak sedang dalam wujud pria. Dewa mungkin senang mendiskusikan dewi-dewi
dengan dewa lainnya, tetapi mungkin tidak terasa nyaman mendiskusikan mereka
dengan dewi lainnya. Pertanyaanku sudah jelas menyinggungnya.
Tetapi, aku
mempelajari kalau hati pria pun bisa setidak terduga seperti milik wanita. Ye
Hua, yang tampaknya tidak bersemangat beberapa waktu yang lalu, menatapku
kosong saat aku mengajukan pertanyaan itu, mengangkat kuasnya lagi, dan
mencelupkannya ke tempat tinta. Sudut bibirnya terangkat membentuk sebuah
senyum tipis.
“Jalan dan
berdirilah di sebelah jendela,” katanya. “Benar, di sebelah kursi malas bambu
itu. Oh, sebenarnya, kenapa tidak berbaring saja di atasnya? Rapikan rambutmu.
Carilah sebuah pose yang santai.”
Aku mengikuti
instruksinya dalam kebingungan sebelum akhirnya menyadari kalau ia bermaksud
melukis diriku.
Ia sibuk
menggambar, terlihat sopan saat entah darimana ia mendadak berkata, “Miao Qing
lebih memilih mati ketimbang menikahi pangeran kedua Laut Barat. Ia sudah
sangat baik kepada A Li dan diriku, jadi aku membawanya kembali ke Istana
Langit dan mempekerjakannya di sana sebagai seorang pelayan. Saat ia sudah
memiliki sebuah kesempatan untuk mempertimbangkan semua pilihannya, ia bisa
kembali.”
Aku menatapnya
bodoh. Aku tidak menduga ia akan membicarakan tentang Miao Qing.
Ia mengangkat
kepalanya, dan dengan kehangatan pada wajahnya, ia berkata, “Apakah ada hal
lain yang ingin kau tanyakan kepadaku? Tanyakan saja, kalau memang ada.”
Sebenarnya ada.
“Tanganku kebas. Bisakah aku mengubah posisi?”
Ia keheranan
dan tertawa. Ia menggambarkan beberapa garis lagi dan berkata, “Terserah saja.”
Aku berakhir
tertidur seperti itu di atas kursi malas bambu.
Ketika aku
terbangun, hari sudah gelap. Aku diselimuti dengan jubah hitam legam milik Ye
Hua, tetapi ia tidak tampak dimanapun.
0 comments:
Posting Komentar