Minggu, 15 November 2020

3L3W TMOPB - Chapter 7 Part 2

Ten Miles of Peach Blossoms

Chapter 7 Part 2


Ye Hua memperhatikanku dengan dagunya ditopangkan di atas tangannya.

“Aku sungguh tidak mengerti dirimu,” katanya sambil tertawa pelan. “Qing Qiu jelas-jelas berada dalam dunia makhluk abadi, tetapi kalian bertingkah seolah-olah kalian semua adalah manusia. Prianya membajak sawah, dan gadisnya menyulam tanpa adanya sejejak sihir ataupun praktik Taoisme.”

Ia sama sekali tidak tahu bagaimana seharusnya sikap seorang tamu, jadi aku memutuskan aku pun tidak perlu lagi mempertahankan sikap tuan rumahku.

“Kalau kau menggunakan sihir untuk menyelesaikan semua hal, apa gunanya menjadi makhluk abadi?” tanyaku sambil tertawa lesu. “Apabila kami hidup seperti itu, rakyat kami tidak punya tantangan dan akan jadi sangat mudah bosan. Aku harus mulai mengatur pertempuran hanya untuk memberikan mereka sesuatu untuk dilakukan, sedikit pertarungan untuk membuat mereka tetap terhibur.”

Cangkir tehnya berdentum di atas meja.

“Menarik,” katanya sembari tersenyum samar. “Jika kau sampai di titik itu dan membutuhkan bantuan, beritahu aku. Aku bisa mengirimkan beberapa komandan langit untuk membantu.”

Aku baru saja akan menerima dengan senang hati saat kami mendengar sebuah ledakan datang dari arah dapurr. Mi Gu berdiri di ambang pintu gua dengan rambut berantakan, memegangi sebuah sendok besar dan memelototiku.

Aku memandanginya bodoh sebelum mencondongkan diri ke arah Ye Hua, berkata, “Buntalan Ketan Kecil sudah makan sangat banyak sampai ia cegukan, dan tiga dewa-dewi melewatkan satu kali makan bukanlah sebuah masalah hidup dan mati. Bisakah kita melewatkan makan malam hari ini?” aku berbalik ke arah Mi Gu. “Cepat, pergi ke dunia manusia dan bawa pulang Feng Jiu,” kataku tegas.

Mi Gu menyatukan tangannya dan membungkuk hormat padaku.

“Apa alasan yang harus kukatakan padanya?” tanyanya, masih memegangi sendok besarnya.

Aku memutar otakku.

“Cukup katakan ada sesuatu yang penting terjadi di Qing Qiu,” kataku setelah berpikir selama beberapa saat, tetapi sebelum aku berhasil menyelesaikan kalimatku, Ye Hua menyeretku masuk ke dalam dapur.

“Masukkan beberapa kayu ke dalam tungkunya dan pastikan apinya terus menyala. Pastinya kau bisa melakukan itu?”

Buntalan Ketan Kecil tergeletak di atas kursi bambu, memperhatikan kami dan mengusap perutnya. Ia membalikkan wajahnya ke arah lain, napasnya perlahan menjadi dalam dan lebih teratur.

Baru dua hari semenjak Ye Hua dan aku pertama kali bertemu, dan ia sudah menggulung lengan jubahnya dan memasak di dapurku seolah ia tinggal di sana.

Sering sekali, ia akan memberikanku instruksi seperti, “Terlalu banyak kayu di tungkunya. Kau tidak perlu menambahnya lagi sekarang,” atau “Apinya sudah mau mati. Bisakah kau menambahkan beberapa kayunya sekarang?”

Mendadak aku teringat Buntalan Ketan Kecil menceritakan padaku soal ibunya yang seorang manusia dari Gunung Jun Ji. Pastilah istri pertama malangnya, wanita yang melompat dari Zhu Xian Tai yang mengajari Ye Hua menggunakan spatula di atas wajan dengan gaya yang membuat orang kagum ini.

Ada sendok sup di satu tangannya dan spatula di tangan lainnya sekarang, mengacungkannya dengan gaya artistik. Aku begitu terkesan sampai tidak mampu menahan diri.

“Apakah istri pertamamu yang mengajarimu semua ini? Pastinya ia seseorang yang jago memasak!” Aku mendesah dengan kekaguman yang tulus.

Ia tampak tertegun.

Aku menyadari, dengan menyinggung soal mendiang istrinya, aku sudah membuka kembali luka lamanya.

Apinya mendesis saat mereka menjilati bagian bawah wajannya.

Aku menelan ludah dan diam-diam berpindah ke tungkunya untuk menambahkan segenggam penuh kayu bakarnya. Ye Hua menatapku aneh saat ia mengaduk makanannya.

“Ia persis seperti dirimu,” katanya tenang. “Menyalakan apinya dan menambahkan kayunya sementara aku yang melakukan semua proses memasaknya.”

Aku malu dan tidak tahu bagaimana menanggapinya. Ia berbalik dan terus mengaduk supnya.

“Aku tidak tahu bagaimana ia berhasil bertahan hidup di Gunung Jun Ji yang terkutuk itu sebelum kami bertemu,” katanya sembari mendesah ringan.

Sebenarnya, ia menggumamkan kalimat-kalimat itu pada dirinya sendiri, tetapi telinga rubahku yang luar biasa kuat ini mendengarkan tiap katanya dengan sempurna. Desahannya pelan tetapi penuh pertimbangan.

Aku menyebabkan kesedihan yang tidak perlu baginya.

***                        

Ye Hua membuatkan tiga makanan dan sepanci sup.

Mi Gu sudah selesai berbenah saat itu, dan aku memanggilnya untuk makan bersama kami.

Ye Hua mengguncangkan Buntalan Ketan Kecil bangun dan mulai memberikannya makanan. Buntalan Ketan Kecil menepuk pipi kecilnya.

“Kalau Ayahanda terus memberi makan A Li seperti ini, A Li akan berubah menjadi sebuah bola karet,” anak kecil ini menggerutu.

Ye Hua meneguk teh dinginnya santai, “Memberi makan dirimu sampai jadi berbentuk bola karet adalah ide yang luar biasa! Aku tidak perlu lagi membawamu di atas sebuah awan keberuntungan kembali ke Istana Qing Yun-mu setelah kita kembali ke Istana Langit. Sebaliknya, aku cukup menggulingkanmu.”

Buntalan Ketan Kecil berbaring di pangkuanku dan berpura-pura menangis.

Hu hu hu,” katanya. “Ayahanda sangat kejam.”

Ye Hua meletakkan cangkir tehnya dan mengangkat sebuah mangkuk. Ia menyendokkan sup ikan dari panci dan memberi senyum samar untuk putranya.

“Jadi kau sudah menemukan seseorang untuk berpihak padamu, ya?” katanya. “Kemarilah, Qian Qian, kau harus menambah nutrisi dirimu sendiri,” katanya lembut, mendorong semangkuk penuh sup ikan ke depanku.

Mi Qu mulai terbatuk dan hampir saja tersedak nasinya.

Aku merasa mataku memerah saat aku mengangkat Buntalan Ketan Kecil dari lututku. Aku tersenyum saat mengambil mangkuk sup di depanku.

“Jadilah anak yang baik dan minum semangkuk lagi,” kataku.

Keterampilan memasak Ye Hua sangat luar biasa. Sup ikannya tidak sesuai dengan seleraku, tetapi makanan lainnya kusantap dengan senang hati.

Makan siang adalah urusan yang kasual, dan membuat kami semua santai—sangat santai sampai-sampai ketika Ye Hua menanyakan padaku apakah ada sebuah ruangan di gua rubah yang dapat digunakannya sebagai ruang baca untuk mengerjakan tugas-tugasnya, aku dengan sukarela menyetujuinya dan membersihkan kamar di tepi danau milik Kakak Ketiga demi tujuan ini.

***

Pikiran awalku adalah Ye Hua datang kemari untuk menghukumku. Tetapi, dua minggu berlalu dan ia masih belum menyinggung perihal insiden di Istana Kristal Air Laut Timur.

Setiap paginya, seorang dewa bernama Jia Yun mengetuk pintu. Ia mengumpulkan dokumen resmi yang dikerjakan Ye Hua di hari sebelumnya, sembari menyerahkannya setumpuk dokumen baru.

Jia Yun merupakan pejabat resmi bawahan Ye Hua dan seorang yang sangat bertanggung jawab. Mulanya, aku akan menyeret kakiku untuk membukakan pintu untuk Jia Yun setiap hari, kakiku hanya mengenakan sebelah sepatu. Setelah beberapa hari, aku bisa melihat kalau situasi ini membuat Jia Yun merasa canggung, jadi aku berhenti menutup pintu gua rubah dan sebaliknya memasang sebuah medan pelindung di sana, aku pun mengajari Jia Yun cara mematahkan medan pelindungnya.

Ye Hua menghabiskan kebanyakan waktunya mengurung diri di ruang baca barunya, mengerjakan dokumennya. Ia akan membangunkanku tiap pagi dan menyeretku keluar rumah untuk berjalan-jalan, dan setelah makan malam, ia akan menyeretku lagi untuk jalan-jalan menjelang senja.

Sering kali ia mengundangku ke ruang bacanya untuk memainkan satu-dua permainan catur di malam hari. Aku begitu kelelahan sampai aku menghabiskan hariku dengan menguap, dan beberapa kali, aku tertidur di atas meja di tengah-tengah acara main catur kami. Ia tidak pernah membangunkanku saat ini terjadi, ia hanya membaringkan kepalanya di atas papan catur bersamaku, dan kami berdua akan tidur di sana seperti itu.

Saat Jia Yun datang mengumpulkan dokumennya, dan melihat kami seperti itu, ia mulai memikirkan ide tidak jelas tentang apa yang sedang kami perbuat, meskipun faktanya, kami berdua masih berpakaian lengkap.

Bahkan seorang dewa yang bertanggung jawab sepertinya pun suka bergosip, kurasa.

Sayangnya, terlambat, hanya sampai Selir Utama Ye Hua, Su Jin, mengirimkan seorang pelayan istana di mulut pintu masuk Lembah Qing Qiu untuk mendesak Ye Hua pulang.

Mi Gu berjaga di luar, jadi untungnya aku tidak perlu menghadapinya.

Aku hanya mendengar tentang apa yang terjadi dari sekumpulan dewa-dewi penggosip yang berada di tempat kejadian dan menyaksikan drama itu.

Pelayan istana ini mengenakan jubah hitam dari sutra yang indah, berkibar-kibar, kelihatannya, tetapi ia sendiri tampak biasa saja.

Saat Mi Gu menghadangnya di mulut Lembah Qing Qiu, ia mencibir, “Bukannya Niang Niang kami yang tidak toleran, dan ia sepenuhnya sadar kalau ini menyangkut Tian Hou yang akan datang. Meskipun demikian, ia mengirimku kemari karena kebaikan hatinya, untuk mengingatkan Yang Mulia Pangeran Ye Hua dan Yang Mulia Bai Qian bahwa mereka masih belum menikah secara resmi. Oleh karenanya, menghabiskan hari mereka dengan berbaring bersama dan bersikap intim agak tidak pantas. Bahkan Tian Jun pun tidak bertingkah seperti itu selama masa muda Beliau. Dan Yang Mulia Pangeran Ye Hua tidak boleh lupa bahwa ia mengundang Putri Miao Qing ke Istana Langit. Tidak adil karena mengabaikannya seperti ini.”

Qing Qiu selalu menjadi sebuah tempat yang berpikiran terbuka juga mudah menerima, dan tidak ada seorang pun memperhatikan masalah seperti anak yang dilahirkan tanpa ikatan pernikahan. Bukan hal yang luar biasa, hanya keintiman. Sekelompok dewa-dewi muda yang menyaksikan adegan ini merasa pesan si pelayan istana ini tidak jelas, dan mereka mengusirnya keluar dari Qing Qiu sebelum Mi Gu berkesempatan untuk merespon.

Aku mempertimbangkan apa yang dikatakannya, dan selain soal klaim tidak tepat tentang kami mengabiskan hari berbaring dan bertingkah intim bersama, hal lain yang dikatakannya tampaknya ada benarnya.

Aku benar-benar tidak mengerti mengapa Ye Hua masih tinggal bersamaku, dan aku senang memiliki alasan untuk mendiskusikan ini dengannya.

Ia membuka jendelanya dan sedang berdiri di depan meja, mengagumi bunga teratai dekat danau di luar sana. Ia mengerutkan keningnya mendengarkan apa yang kusampaikan.

“Jika aku ingin datang dan tinggal bersama denganmu, aku akan melakukannya. Dengan segala maksud dan tujuan, kau adalah istriku. Apa hubungannya dengan orang lain?”

Aku menatapnya kosong, menyadari saat aku mendengarkan ini, kalau Pangeran Ye Hua memang adalah calon suamiku, dijanjikan secara pribadi kepadaku oleh si tua Tian Jun.

“Oh ... oh ...,” aku akhirnya berhasil mengendalikan diri. “Namun, apabila aku menikah di usia yang tepat, cucuku pasti sudah seumuran denganmu.”

Kuas di tangannya terdiam. Aku melirik ke arah dokumen resmi di atas meja. Tinta tebalnya meresap masuk ke dalam kertas. Kaligrafi yang cantik, indah.

Ia meletakkan kuasnya dan menatap dalam diam padaku dengan mata dinginnya. Aku tertawa canggung.

“Aku dengar dari si pelayan istana itu mengatakan kau mengundang Miao Qing ke Istana Langit?” kataku, berusaha mengubah topiknya.

Sudah jelas, ini juga bukanlah sebuah topik yang disukai.

Aku merasa, semua pria suka mendiskusikan tentang wanita. Saat aku masih menjadi Xiao Shi Qi di Gunung Kun Lun dan kebetulan membuat Saudara Seperguruan Pertama kesal, yang perlu kulakukan adalah memulai sebuah pembicaraan tentang dewi-dewi yang dianggapnya menarik, dan amarahnya akan meleleh.

Tetapi, aku mengingatkan diriku sendiri, aku bukan lagi Xiao Shi Qi dari Gunung Kun Lun, juga tidak sedang dalam wujud pria. Dewa mungkin senang mendiskusikan dewi-dewi dengan dewa lainnya, tetapi mungkin tidak terasa nyaman mendiskusikan mereka dengan dewi lainnya. Pertanyaanku sudah jelas menyinggungnya.

Tetapi, aku mempelajari kalau hati pria pun bisa setidak terduga seperti milik wanita. Ye Hua, yang tampaknya tidak bersemangat beberapa waktu yang lalu, menatapku kosong saat aku mengajukan pertanyaan itu, mengangkat kuasnya lagi, dan mencelupkannya ke tempat tinta. Sudut bibirnya terangkat membentuk sebuah senyum tipis.

“Jalan dan berdirilah di sebelah jendela,” katanya. “Benar, di sebelah kursi malas bambu itu. Oh, sebenarnya, kenapa tidak berbaring saja di atasnya? Rapikan rambutmu. Carilah sebuah pose yang santai.”

Aku mengikuti instruksinya dalam kebingungan sebelum akhirnya menyadari kalau ia bermaksud melukis diriku.

Ia sibuk menggambar, terlihat sopan saat entah darimana ia mendadak berkata, “Miao Qing lebih memilih mati ketimbang menikahi pangeran kedua Laut Barat. Ia sudah sangat baik kepada A Li dan diriku, jadi aku membawanya kembali ke Istana Langit dan mempekerjakannya di sana sebagai seorang pelayan. Saat ia sudah memiliki sebuah kesempatan untuk mempertimbangkan semua pilihannya, ia bisa kembali.”

Aku menatapnya bodoh. Aku tidak menduga ia akan membicarakan tentang Miao Qing.

Ia mengangkat kepalanya, dan dengan kehangatan pada wajahnya, ia berkata, “Apakah ada hal lain yang ingin kau tanyakan kepadaku? Tanyakan saja, kalau memang ada.”

Sebenarnya ada. “Tanganku kebas. Bisakah aku mengubah posisi?”

Ia keheranan dan tertawa. Ia menggambarkan beberapa garis lagi dan berkata, “Terserah saja.”

Aku berakhir tertidur seperti itu di atas kursi malas bambu.

Ketika aku terbangun, hari sudah gelap. Aku diselimuti dengan jubah hitam legam milik Ye Hua, tetapi ia tidak tampak dimanapun.

Related Posts:

0 comments:

Posting Komentar