Ten Miles of Peach Blossoms
Chapter 22 Part 3
Bi Fang
menghilang lagi, dan Kakak Keempat pergi mengejarnya, meninggalkan Zhe Yan
seorang diri di Sepuluh Mil Kebun Persik. Ia terkejut saat aku menyerahkannya
bola mata penuh darah itu. Ia memegangi mereka ke arah matahari untuk memeriksa
mereka.
“Sudah tiga
ratus tahun, tetapi akhirnya kau berhasil menemukan matamu! Suatu keajaiban!
Tetapi, kau meminum obatku dulu. Bagaimana kau bisa mengingat patah hatimu yang
dulu? Suatu keajaiban lainnya!”
Karena mata ini
diambil dari tubuh seorang makhluk abadi, mereka harus ditanam dalam waktu empat
puluh sembilan hari, atau mereka akan kehilangan fungsinya.
Zhe Yan sangat
penasaran tentang apa yang terjadi. Ia berasumsi kalau mataku pasti sudah
hilang. Ia tidak menyangka bahwa mataku diletakkan di muka orang lain dan suatu
hari akan kembali padaku dan mengisi rongga mataku.
Aku memaksakan
senyuman.
Ia melihat
wajahku dan menyadari kalau aku tidak ingin membicarakan tentang apa yang
terjadi. Ia berdeham tetapi menghormati keinginanku dan tak lagi mengajukan
pertanyaan.
Zhe Yan
menjelaskan, akan butuh waktu beberapa hari untuk menyingkirkan energi kotor
dari mata asliku. Ia harus menunggu hingga itu terjadi sebelum melakukan
prosedur menggantikan mereka dengan bola mataku yang sekarang. Dengan senang
hati aku pun menyetujuinya, dan memutuskan, sementara berada di sana, aku akan
membawa pulang beberapa guci anggur dari gudang anggur di belakang gunungnya
sebelum menaiki awan dan melayang kembali ke Qing Qiu.
***
Aku
menghabiskan beberapa hari selanjutnya dalam keadaan mabuk. Aku membuat dua
permintaan pada Mi Gu: berjaga-jaga dengan cermat atas apa yang akan dilakukan
selir utama Ye Hua dan menutup Lembah Qing Qiu dari pengunjung; aku tidak ingin
bertemu siapa pun.
Anggur Zhe Yan
jauh lebih kuat daripada anggur yang ditimbun oleh Mi Qu, dan aku begitu mabuk
malam itu sampai aku pun benar-benar muntah. Kepalaku berdenyut sakit sampai-sampai
aku mempertimbangkan untuk mengambil sebilah pedang dan membelah keningku
sendiri. Namun, merasa begini pun ada keuntungannya: segera setelah kupejamkan
mata, semuanya mulai berputar, dan tak ada lagi ruang dalam kepalaku untuk
memikirkan hal lainnya.
Mi Gu
mendesakku untuk menghentikan diriku, istirahat beberapa hari dari minum-minum,
atau paling tidak, mengurusi diriku sendiri. Tetapi, patah hati yang kurasakan
sekarang ini berbeda dari yang dulu, dan tanpa mabuk-mabukan, aku tak akan bisa
tidur. Selagi aku mabuk membabi buta, aku tidak mengetahui apa-apa, walaupun
aku bisa agak mengingat samar saat Mi Gu mendatangiku untuk berbicara.
Ia mengatakan
banyak hal, kebanyakan tidak relevan, tetapi dua hal yang dikatakannya
tersangkut dalam benakku.
Yang pertama
adalah selir utama pergi menemui Tian Jun, mempersembahkan sepucuk surat,
meminta untuk meninggalkan Istana Langit dan pindah ke tepi Sungai Ruo, dimana
ia bisa menempa energi spiritualnya dengan menjaga Qing Cang. Tian Jun begitu
terharu akan penawaran murah hatinya dan mengizinkannya melakukan ini.
Kabar lainnya
yang ia berikan padaku terkait dengan ujian kehidupan reinkarnasi Ye Hua.
Walaupun meminum air dari Sungai Pelupa, yang seharusnya membawa amnesia utuh
tentang masa lampau, ia tetap mempertahankan kepercayaan kuat akan hal
supernatural dan menghabiskan seluruh hidupnya mencari dunia makhluk abadi,
Qing Qiu.
Ia naik pangkat
menjadi seorang perdana menteri tetapi tidak pernah menikah, dan saat ia
berusia dua puluh tujuh tahun, ia jadi depresi, sakit, dan meninggal.
Permintaan terakhirnya pada pelayan terdekatnya adalah agar tubuhnya dikremasi
dan abunya dikuburkan bersama dengan sebuah gelang mutiara yang terus dikenakan
seumur hidupnya.
Aku tidak bisa
mengingat apakah aku menangis saat Mi Gu memberitahukan hal ini padaku. Jika
aku menitikkan air mata, aku tidak yakin mengapa aku menangis. Aku begitu mabuk
hingga tidak bisa membedakan apa yang tengah kurasakan.
Ini masih jadi
kasusnya selama beberapa hari kemudian ketika Mi Gu bergegas masuk ke gua rubah
dengan kabar bahwa Pangeran Ye Hua sudah menunggu di mulut Lembah Qing Qiu
selama tujuh hari sekarang dan ingin bertemu denganku.
Mi Gu mengikuti
perintahku agar tak membiarkan siapa pun masuk, termasuk Ye Hua. Namun, setelah
tujuh hari, Ye Hua masih tak menunjukkan tanda-tanda akan pergi, jadi Mi Gu
memutuskan untuk masuk dan mengabariku, meminta instruksi lebih lanjut tentang
apa yang aku ingin agar dilakukannya.
Otakku, yang
tak terpakai sekian lama, mulai berputar lagi.
Ye Hua jatuh sakit
di dunia manusia dan meninggal di usia dua puluh tujuh tahun, dan secara alami,
mengikuti pemakaman manusianya, ia akan kembali ke kehidupan abadinya.
Dadaku
tiba-tiba saja dibanjiri rasa sakit. Aku menekan tanganku di jantungku dan
merosot turun di meja selagi kakiku serasa seperti jeli. Mi Gu menghampiri,
mencoba membantuku bangun, tetapi aku tidak mengizinkannya.
Aku bersandar
di kaki meja dan memandangi kasaunya.
Aku ingin
bertemu Ye Hua.
Aku ingin
bertanya padanya tentang semua yang terjadi tiga ratus tahun yang lalu.
Apakah Su Jin
mengkhianatinya dengan menikahi Tian Jun dan begitu membuatnya patah hati?
Apakah dalam
keadaan patah hati inilah, ia bertemu dan menikahiku di wujud manusiaku?
Pernahkah ia
sungguh-sungguh mencintaiku?
Apakah demi kebaikanku
makanya ia meninggalkanku sendirian dan tak berdaya di Istana Langit selama
tiga tahun itu?
Jika memang
demikian, seberapa dalam?
Jika Su Jin
tidak menipuku agar lompat dari Zhu Xian Tai, apakah ia akan menikahi Su Jin?
Apakah seberapa
dalamnya perasaannya padaku sekarang tak lebih hanyalah penyesalan atas
bagaimana ia memperlakukanku dulu?
Semakin aku
memikirkannya, semakin buruk pula pemikiranku jadinya. Aku meletakkan tangan di
atas mataku, dan lagi-lagi jadi benar-benar basah, air menetes di antara
jemariku.
Bagaimana kalau
ia bilang iya?
Bagaimana kalau
semua jawaban dari pertanyaan ini adalah iya?
Aku cemas aku
akan jadi sangat kecewa sampai-sampai aku akan berakhir membunuhnya.
Mi Gu
memperhatikanku resah.
“Apakah kau
akan keluar dan menemuinya, Gu Gu?”
Aku menarik
napas dalam.
“Tidak. Katakan
padanya untuk meninggalkan Qing Qiu dan tidak pernah kembali lagi. Aku akan
mengunjungi Tian Jun besok untuk membatalkan pertunangan.”
Mi Gu kembali
tak lama kemudian.
Ia berdiri di
sana sejenak sebelum berkata, “Yang Mulia Ye Hua tampak tidak sehat. Ia sudah
berdiri di lembah selama tujuh hari tujuh malam sekarang dan tidak bergerak
seinci pun selama ini.”
Aku meliriknya,
menyesap anggur, tetapi tak mengatakan apa pun.
Ia ragu-ragu
sejenak sebelum berkata, “Yang Mulia Ye Hua memintaku menyampaikan sebuah pesan
padamu, Gu Gu. Sepertinya, kau
memberitahunya jika ia menjalin percintaan di dunia manusia, kau akan
menangkapnya dan menculiknya kembali ke Qing Qiu, dan mengurungnya. Selain dari
berbicara pada seorang gadis yang tampak sama persis seperti dirimu di wujud
manusiamu dan mengundang gadis itu ke dalam rumahnya, yang dilakukannya
hanyalah mengurusi ibunya yang sakit. Ia bertanya-tanya apakah janji yang kau
buat bersamanya di dunia manusia masih berlaku, tentang menikahinya saat ia
sudah dewasa?”
Aku melempar
satu guci anggur ke seberang ruangan.
“Tentu saja
tidak berlaku!”
Tanpa sadar aku
menjerit.
“Tidak ada satu
pun kebohongannya yang berlaku! Keluar dan singkirkan ia juga. Aku sama sekali
tidak ingin bertemu dengannya.”
Namun, meski
sedang tenggelam dalam kesedihan, aku tahu bukannya aku tidak ingin menemuinya.
Tetapi ada sesuatu yang menghalangi hatiku, dan aku tidak tahu bagaimana aku
bisa bertemu dengannya.
Akhirnya aku
tidak jadi ke Jiu Chong Tian hari berikutnya untuk membatalkan pertunangannya
seperti yang kunyatakan. Kuputuskan untuk menunggu hingga suasana hatiku
membaik, yang mana kuduga akan membutuhkan waktu cukup lama.
***
Di hari
berikutnya, dan setelahnya lagi, dan selanjutnya, Mi Gu melaporkan bahwa Ye Hua
masih berdiri di lembah dan ia tidak bergerak seinchi pun. Aku berteriak,
mengancam jika ia menyebut-nyebut soal Ye Hua sekali lagi, aku akan memukulinya
sampai ia kembali ke bentuk pohonnya dan membiarkannya seperti itu selama sepuluh
ribu tahun. Akhirnya, ia berhenti menggangguku dengan laporan ini.
Aku tidak minum
terlalu banyak alkohol lagi. Sejak mengetahui Ye Hua berdiri di luar Qing Qiu,
minum-minum hanya membuat kepalaku jadi lebih jernih dan waspada. Semakin sadar
diriku, semakin dalam lukaku, dan semakin dalam lukaku, semakin aku tidak bisa
tidur.
Menaburi garam
pada luka yang sudah parah, aku terbangun di suatu pagi di puncak keputusasaan
ini dan merasakan gelombang besar menembus energi abadi yang kugunakan untuk
menyegel Qing Cang di dalam Lonceng Dong Hua lima ratus tahun yang lalu.
Jantungku
mencelos. Ini benar-benar masa tersuram. Satu hal setelah yang lainnya belum
lama ini, tetapi semuanya jadi tidak sebanding dengan ini. Qing Cang jelas
menemukan sebuah cara untuk terus menempa energi spiritual di dalam lonceng
itu, dan ia akan mendobrak keluar sekali lagi.
Aku mencuci
muka dengan cepat dan mengirimkan Mi Gu ke Sepuluh Mil Kebun Persik untuk
memberitahu Zhe Yan apa yang terjadi dan aku membutuhkan bantuannya.
Lima ratus
tahun yang lalu saat Qing Cang pertama kali mencoba keluar dari lonceng, aku
terpaksa menghentikannya dan menyegelnya kembali di dalam. Pertarungan kami
menyebabkan kerusakan parah pada loncengnya, dan aku terpaksa menggunakan
setengah dari penempaan energi spiritualku untuk memperbaikinya.
Aku mencoba
memikirkan seberapa banyak energi spiritualku yang tersisa dan apakah akan
cukup untuk melancarkan serangan telak atau mencoba mengalahkannya dengan cara
licik. Tak peduli yang mana, aku cukup sadar kalau aku bukanlah tandingannya.
Qing Cang
bukanlah orang yang penuh kebajikan, dan mendapatkan kembali kebebasannya
setelah sekian tahun terkurung, sepertinya ia akan mengamuk dan menyalakan
senjata paling menghancurkan dari Empat Lautan dan Delapan Dataran yang pernah
ada, mengubah semesta jadi tumpukan abu.
Kesadaran ini
membuat urusan percintaan yang mengganggu tidurku tampak menggelikan. Aku
mengeluarkan kipas Kun Lun-ku, melonjak berdiri, dan bergegas menuju Sungai
Ruo. Aku tidak punya waktu menunggu Zhe Yan; aku harus langsung ke sana dan
mencoba menahan Qing Cang sendirian dulu. Aku tidak boleh sampai membiarkannya
meledakkan loncengnya.
Aku tidak
terkejut melihat Ye Hua di lembah. Aku tahu ia masih menunggu di sana dan aku
harus melewatinya di perjalananku keluar dari Qing Qiu. Aku memejamkan mata dan
melewatinya, berpura-pura acuh, tetapi ia mengulurkan tangan dan menggenggam
lengan bajuku. Wajahnya tampak cekung, letih, dan kelewat pucat.
Setiap waktu
begitu penting, dan aku tak punya waktu untuk dihabiskan meladeninya. Aku
menoleh, dan menggunakan kipasku untuk memotong bagian lengan bajuku yang ada
dalam genggamannya. Ia mendengar suara kain robek dan tampak terkejut.
“Qian Qian!”
panggilnya dengan suara serak.
Aku berbalik
menghadap ke depan, mengabaikannya, dan terus melaju ke Sungai Ruo. Saat aku
melirik ke belakang, aku melihatnya melompat ke atas awan juga dan mengikutiku.
Selama
bertahun-tahun setelahnya, aku sering memikirkan kembali saat-saat ini dan
berharap agar aku mengatakan hal-hal menyenangkan padanya. Apa saja. Tetapi aku
malah memberinya ekspresi dingin. Dan tidak mengatakan apa-apa.
0 comments:
Posting Komentar