Ten Miles of Peach Blossoms
Chapter 22 Part 4
Aku melihat ke
bawah, air putih menjulang tinggi di Sungai Ruo dan awan mendung menekan dari
atas. Struktur layaknya menara dari Lonceng Dong Huang berdiri di pinggiran
Sungai Ruo. Bergoyang dan menimbulkan kegaduhan, menyebabkan seluruh areanya
bergetar. Tidak ada tanda-tanda Su Jin, yang semestinya menjaga loncengnya, dan
aku bayangkan semua kericuhan ini pastinya sudah membuatnya bersembunyi
ketakutan.
Melalui
berlapis-lapis awan, aku masih bisa membedakan kepala dari dewa bumi yang
bertugas di tanah liar Sungai Ruo. Dewa bumi ini dan aku juga ditakdirkan
bertemu lima ratus tahun yang lalu. Ia bersembunyi di awan, dengan resah memerhatikan
Lonceng Dong Huang yang gelisah, dan aku hanya bisa melihat bagian atas
kepalanya. Ia berbalik ketika melihat Ye Hua dan aku mendekat dan dengan
buru-buru membungkuk sebelum menghampiri.
“Yang Mulia,
Anda sudah tiba!” katanya dengan suara panik.
“Dewa Sungai
Ruo sudah pergi ke Istana Langit meminta bantuan pasukan, dan ia memintaku
untuk menunggu di sini. Amarah Qing Cang sangat ekstrim kali ini. Kediaman Dewa
Sungai Ruo sudah berguncang, begitupula dengan kuil dewa bumiku ....”
Ia masih
mengoceh ketika loncengnya bersinar terang dipenuhi cahaya putih yang menyilaukan,
di dalamnya kami hanya bisa melihat siluet seseorang.
Aku mengumpat
dalam diam dan baru saja akan melompat turun dari awan saat tubuh ini mendadak
tak bisa bergerak. Ye Hua menghampiri dari belakang dan mengaitkan kakinya di
sekitar pergelangan kakiku, membuatku tersandung.
Ia melafalkan
sebuah mantra untuk membekukanku dan mengeluarkan jebakan spesial yang
digunakannya untuk mengikat tangan dan kakiku. Aku benar-benar tersangkut. Aku
bisa melihat sebentar lagi Qing Cang akan mendobrak keluar dari loncengnya.
“Lepaskan aku!”
jeritku panik.
Ye Hua
mengabaikanku. Ia mendorongku ke arah dewa bumi Sungai Ruo dengan satu pesan
sederhana.
“Jaga dia, dan
apa pun yang terjadi, jangan biarkan ia jatuh dari awan ini.”
Ia memutar
tangan kirinya, dan muncullah sebilah pedang bermata dua, menguarkan sinar
dingin. Aku melihatnya membawa pedang itu dan bergerak maju di tengah angin
kencang. Ia turun dari awannya dan langsung menuju cahaya keperakan yang
memancar keluar dari Lonceng Dong Huang. Aku merasa seolah langit baru saja
runtuh.
Aku membuka
mulutku beberapa kali, tetapi tak ada kata-kata yang keluar. Angin menyedihkan
bertiup masuk dalam mataku. Selagi Ye Hua menuju cahaya keperakan itu, aku
mendengar suaraku keluar, terdengar benar-benar putus asa.
“Dewa bumi,
kumohon, lepaskan aku,” kataku.
“Kau harus
memikirkan sebuah cara untuk melepaskanku. Ye Hua bisa mati kalau ia melakukan
ini. Ia hanya punya sedikit penempaan energi spiritual yang tersisa. Apa yang
dilakukannya ini adalah bunuh diri!”
Si dewa bumi
menggumamkan sesuatu tentang betapa terampilnya jebakan yang digunakan Ye Hua
untuk mengikatku, dan tidak mungkin ia bisa membukanya. Ada juga sesuatu yang
aneh tentang mantra yang digunakan Ye Hua untuk membekukanku, ia menjelaskan,
dan ia juga tidak bisa melepaskannya.
Tidak ada
gunanya menghabiskan tenaga meminta bantuannya. Jika aku ingin lepas dari
ikatan ini, harus dengan kekuatanku sendiri. Aku memfokuskan seluruh energiku
dan berhasil mengangkat jiwa primordialku keluar dari tubuhku. Aku hanya tidak habis
pikir, bahwa perangkap Ye Hua ini dibuat tak hanya mengunci fisik abadi; tetapi
sebenarnya menggenggam jiwa primordialku, terus mengikatku kencang.
Dari mata buram
berairku, aku melihat cahaya keperakan menyebar keluar di keempat sisi Lonceng
Dong Hua, sementara guntur dan petir dari pertarungan Ye Hua dan Qing Cang
terus menembus hingga ke langit. Dewa bumi menciptakan sebuah medan pelindung
lemah untuk mengelilingi kami berdua, mencegahku terluka akibat energi
jahatnya.
Perangkap yang
dipakai Ye Hua untuk mengikatku sungguh serius. Aku bermandikan keringat di
saat aku berhasil melepaskan diri dari mantra pembeku tubuhnya, akan tetapi,
tak peduli sekuat apa aku mencoba, aku tidak bisa melepaskan diri dari
genggaman perangkapnya. Dewa bumi dan aku duduk bersama-sama di antara langit
senja dan gelapnya bumi.
“Gu Gu. Tidak aman bagi kita untuk tetap
di sini, dan aku tidak yakin berapa lama lagi medan pelindung ini akan
bertahan,” bisiknya.
“Haruskah kita
berpindah agak jauh?”
Aku mendengar
suara putus asaku terdengar, “Kau pergilah. Aku akan tetap di sini bersama Ye
Hua.”
Aku masih
terikat perangkap di saat ini, dan benar-benar tak berguna. Tak ada yang bisa
kuperbuat untuk Ye Hua, tetapi aku tetap ingin tinggal bersamanya dan
melihatnya.
Aku belum
pernah melihat Ye Hua dengan sebilah pedang sebelumnya, ataupun aku pernah
memikirkan bagaimana rupanya saat tengah memegangi pedang. Namun, aku pernah
mendengarkan tentang kelihaian berpedangnya. Pedang di tangannya adalah pedang
Qing Ming, dan aku pernah mendengar para pengagumnya mengatakan bahwa kapan pun
ia menarik keluar Qing Ming dari sarungnya, seluruh Empat Lautan dan Delapan
Dataran mulai bergetar.
Pertama kalinya
aku mendengarkan ini, aku menduga kalau ini hanyalah ucapan berlebihan para
pemuda. Tetapi sekarang, aku menyaksikan sendiri pergerakan pedang Qing Ming:
berputar, melayang, dan melingkar.
Mengenai
seluruh Empat Lautan dan Delapan Dataran mulai bergetar itu sedikit berlebihan,
tetapi aku memang terpukau oleh keagungannya. Gas-gas yang dahsyat keluar dari
pedang itu selagi ia bergerak, dan mataku mulai terasa rusak akibat kilaunya.
Kedua petarung
itu terkunci tak terpisahkan dalam pertempuran hingga sulit mengetahui dimana
yang satunya berakhir dan mana yang lainnya. Aku berada terlalu tinggi untuk
bisa melihat siapa yang lebih unggul, tetapi aku tahu kalau sepertinya Ye Hua
tidak akan sanggup bertahan lebih lama lagi. Aku hanya berharap agar ia mampu
bertahan hingga Zhe Yan tiba, atau sampai kakeknya mengirimkan pasukan langit
serta komandan-komandannya yang tak berguna itu.
Pasir dan
bebatuan melayang di udara di pinggir Sungai Ruo, dan segera saja, seluruh
langit dipenuhi tanah. Tiba-tiba saja aku mendengar Qing Cang tertawa panjang
sebanyak tiga kali, diikuti dengan batuk yang lama.
“Kau mungkin
mengalahkanku, tetapi aku tidak akan pernah menyerahkan diri padamu,” katanya.
“Jika bukan
karena luka-luka lamaku, dan semua energi yang kugunakan untuk keluar dari
lonceng itu, tidak mungkin seorang pemula sepertimu bisa mengalahkanku.”
Asap tebal dan
debunya sedikit demi sedikit lenyap. Pedang Ye Hua menancap di tanah, dan ia
berlutut dengan satu kakinya, menggunakannya untuk membangunkan dirinya.
Gemetaran, aku
menoleh ke arah dewa bumi dan berkata, “Sudah aman di bawah sana sekarang.
Cepatlah bawa kita turun dari sini ....”
Tepat saat dewa
buminya melepaskan medan pelindungnya, Lonceng Dong Huang meledak dengan cahaya
merah darah. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi. Qing Cang baru saja
dikalahkan; bagaimana mungkin ia masih mengendalikan loncengnya?
Ye Hua
mengangkat kepalanya tajam.
“Apa yang telah
kau lakukan terhadap loncengnya?” tanyanya dengan suara dalam.
Qing Cang
berbaring di atas debu.
“Kau ingin tahu
bagaimana aku berhasil menyalakan loncengnya bahkan tanpa menyentuhnya?” tanyanya
sembari tertawa lemah.
“Aku
mengabdikan tujuh puluh ribu tahun ini agar aku bisa menyambungkan hidupku
dengan loncengnya. Jika aku mati, Lonceng Dong Huang akan aktif. Aku sekarat,
jadi tampaknya kau akan ikut bersamaku, beserta semua makhluk abadi di seluruh
Delapan Dataran ....”
Aku memerhatikan
dengan mata melebar ngeri sebelum Qing Cang bahkan selesai berbicara, Ye Hua
melemparkan dirinya sendiri ke dalam bola merah menyala seperti api neraka itu.
Aku mendengar jeritan menyayat hati.
Tetapi
apa pun yang terjadi, Ye Hua, kau tidak boleh ... kau tidak boleh
meninggalkanku seorang diri di sini sendirian.
Di saat Ye Hua
terbang menuju merahnya api neraka yang dihasilkan dari aktifnya Lonceng Dong
Huang, perangkap kuat yang mengikat tangan dan kakiku melonggar, dan aku pun
terlepas. Aku segera memahami dua hal: pertama-tama, bahwa perangkap kuat
seperti ini jelas menggunakan penempaan energi spiritual pemiliknya, dan kedua,
bahwa, saat pemiliknya tak lagi memiliki energi spiritual, perangkapnya tak
lagi mampu mengikat.
Api neraka ini
mengubah separuh langitnya jadi merah darah dan meliputi pinggiran Sungai Ruo
dengan energi jahat. Aku mengumpulkan seluruh energi penempaanku dan
mengorbankannya pada kipas Kunlun, yang menabrak langsung Lonceng Dong Huang.
Bagian tubuh Lonceng itu berguncang. Aku mengintip ke dalam cahaya merah itu,
tetapi tidak bisa melihat Ye Hua.
Terdengar
seolah pelahap jiwa yang jahat bangkit dari bawah tanah. Suaranya jadi semakin
intens, layaknya ribuan pasukan mendekat, dan puluhan ribu kuda sekarang: itu
adalah ratapan berpadu dari Lonceng Dong Huang.
Cahaya merahnya
meliuk dan padam, kemudian satu figur hitam pun jatuh berguling dari bagian
atas lonceng.
Aku terhuyung
bergegas menangkapnya, hasilnya menyebabkanku tersandung ke belakang beberapa langkah
dan jatuh ke tanah. Aku meletakkan kepalanya di perpotongan lenganku dan
memandangi wajah pucatnya. Matanya hitam, dan darah mengalir turun dari sudut
mulutnya. Jubah panjangnya basah kuyup, bermandikan darah.
“Aku selalu
mengira, aneh sekali kenapa Ye Hua hanya mengenakan hitam,” pernah Zhe Yan
berkata.
“Dan satu waktu
ketika kami minum anggur bersama, aku menanyakannya tentang itu. Aku selalu
mengira itu dikarenakan betapa ia sangat menyukai warna itu. Tetapi Ye Hua
menjawab sembari memegangi cangkir anggurnya. ‘Yah, itu bukan warna yang benar-benar menyenangkan,’ katanya sambil
tertawa, ‘tetapi hitam berguna. Jika kau tertusuk dan berdarah tanpa henti,
warna hitam akan mencegahmu melihat darahnya. Kau akan mengira kalau kau hanya
menyenggol sebuah vas berisi air dan jadi basah kuyup. Apabila kau bisa
menyembunyikan fakta bahwa dirimu terluka parah, orang terkasihmu tidak akan
merasa terlalu cemas, dan musuhmu pun tidak akan merasa tenang.’”
Saat Zhe Yan
memberitahukanku ini, merasa senang karena Ye Hua yang muram akhirnya belajar
bergurau. Baru sekaranglah aku menyadari kalau ia sepenuhnya serius.
Tiga ratus
tahun yang lalu, saat aku berubah menjadi si naif tak berdaya Su Su, aku kira,
aku mencintainya hingga ke sumsum tulangku. Setelah kehilangan ingatan dan kembali
jadi Bai Qian dari Qing Qiu, Ye Hua dan aku mulai dekat lagi. Ia memberitahuku bahwa
ia mencintaiku, dan sedikit demi sedikit aku pun mulai balas mencintainya. Aku
kira itu adalah cinta sejati.
Aku tidak sanggup
memaafkannya karena mencungkil mataku dan membuatku dalam situasi dimana aku
dipaksa untuk melompat dari Zhu Xian Tai. Aku tidak sanggup memaafkannya karena
mengutarakan kata-kata cinta itu berulang kali hanya karena utangnya padaku
sebelumnya. Aku tidak mampu memaafkannya karena tidak pernah memahamiku.
Aku sudah hidup
begitu lamanya, dan saat itu tentang cinta, aku belajar menjadi egois dan tak
masuk akal, dan aku bahkan tidak sanggup hanya sebutir pasir saja yang
ditendang ke mataku. Tetapi, selama dua kehidupan terakhirku, aku berada di
sisinya. Dua percintaanku, keduanya adalah bersamanya, dan aku menyadarinya
sekarang bahwa aku juga tidak memahaminya.
Saat Mo Yuan
mengorbankan jiwa primordialnya pada Lonceng Dong Huang tujuh puluh ribu tahun
yang lalu, ia memuntahkan darah ratusan kali lebih banyak daripada tetesan yang
merembes dari sudut mulut Ye Hua. Energi penempaan Ye Hua tidak sebanding
dengan milik Mo Yuan, jadi mengapa hanya ada sedikit darah?
Aku menurunkan
kepalaku dan menggigit tajam bibirnya. Aku menggunakan ujung lidahku untuk
memaksa bibirnya terbuka, mengabaikan bagaimana gigitan itu membuatnya
gemetaran, dan membiarkan lidahku berada di dalam mulutnya, menyelidiki
sekitar. Aku bisa merasakan cairan hangat, pekat mengalir turun dari mulutnya
ke mulutku. Matanya jadi semakin gelap.
Sebagai Bai
Qian, aku hanya diperbolehkan menikmati beberapa bulan jatuh cinta dengan Ye
Hua, waktu kami bersama-sama di Jiu Chong Tian, yang mana kami hanya habiskan
beberapa malam penuh keintiman.
Ia mendorongku
menjauh dengan satu tangannya yang berfungsi dan mulai terbatuk parah sebelum
memuntahkan sejumlah besar darah yang berwarna merah terang hingga membuat
mataku buram. Dorongan itu pasti sudah menghabiskan tenaga terakhirnya, karena
ia tergeletak ke samping setelah itu, satu-satunya pergerakan adalah dadanya
yang naik turun.
Aku merangkak
dan melingkarkan lenganku di sekitarnya.
“Apakah kau
berencana untuk menelan darahnya?” tanyaku.
“Berapa usiamu?
Meskipun kau lemah, aku tidak akan merendahkanmu.”
Ia berusaha
keras menahan batuknya. Ia mencoba mengangkat tangannya, tetapi tidak berhasil.
Bahkan, berbicara saja sudah merupakan usaha keras baginya, tetapi ia masih
mencoba mempertahankan ketenangannya dan mengutarakan kalimat penenang.
“Aku baik-baik
saja. Bukan luka serius. Aku akan baik-baik saja. Kau—kau tidak boleh
menangis.”
Aku sedang
memeluknya dengan kedua tanganku dan tak bisa mengelap wajahku.
Aku hanya
memandang tepat ke dalam matanya dan berkata, “Kau baru saja mengorbankan jiwa
primordialmu pada Lonceng Dong Huang. Aku tidak pernah melihat siapa pun kecuali
Mo Yuan yang berhasil lolos saat mereka melakukan hal itu, biar begitu, Mo Yuan
saja tertidur selama tujuh puluh ribu tahun. Jangan bohong padaku, Ye Hua, kau
sedang sekarat, kan?”
Tubuhnya jadi
kaku.
Ia memejamkan
matanya dan berkata, “Aku mendengar kabar tentang Mo Yuan yang sudah terbangun.
Kau dan dirinya jelas sekali memang ditakdirkan bersama. Kalian akan saling
membahagiakan. Ia pasti akan menjagamu dengan baik, bahkan lebih baik dari yang
kulakukan. Aku bisa tenang. Kau tidak boleh melupakanku.”
Aku menatapnya
tak percaya.
Waktu seolah
terhenti. Tiba-tiba saja ia membuka matanya, terengah, berkata, “Jika aku mati,
aku tidak akan bisa memberitahukanmu, Qian Qian, kaulah satu-satunya orang yang
pernah kucintai. Kau tidak boleh melupakanku. Jika kau berani melupakanku, aku,
jika kau berani ....”
Suaranya
perlahan menghilang, tetapi ia berhasil menggumamkan, “Maka apa yang harus
kulakukan?”
Aku mencondong
ke telinganya dan berkata, “Ye Hua, kau tidak boleh mati. Bertahanlah. Aku akan
membawamu mencari Mo Yuan. Ia pasti tahu apa yang harus dilakukan.”
Tubuhnya mulai
terasa berat dalam pelukanku.
Aku memindahkan
mulutku menempel di telinganya dan menjerit, “Kalau kau berani mati
meninggalkanku, aku akan langsung pergi mencari Zhe Yan, dan menyuruhnya
memberikanku ramuan spesial yang dapat membuatku lupa akan keberadaanmu. Aku
akan menghabiskan hariku bersama Mo Yuan, Zhe Yan, dan Kakak Keempat, dan aku
akan berbahagia, bahkan tidak akan mengetahui siapa dirimu.”
Tubuhnya
gemetaran.
Ia berhasil
menarik bibirnya membentuk senyuman dan berkata, “Jika itu adalah apa yang kau
inginkan.”
Itu merupakan
kata-kata terakhirnya dalam hidup ini: “Jika itu adalah apa yang kau inginkan.”
0 comments:
Posting Komentar