Senin, 10 Januari 2022

3L3W TMOPB - Chapter 22 Part 4

Ten Miles of Peach Blossoms

Chapter 22 Part 4


Aku melihat ke bawah, air putih menjulang tinggi di Sungai Ruo dan awan mendung menekan dari atas. Struktur layaknya menara dari Lonceng Dong Huang berdiri di pinggiran Sungai Ruo. Bergoyang dan menimbulkan kegaduhan, menyebabkan seluruh areanya bergetar. Tidak ada tanda-tanda Su Jin, yang semestinya menjaga loncengnya, dan aku bayangkan semua kericuhan ini pastinya sudah membuatnya bersembunyi ketakutan.

Melalui berlapis-lapis awan, aku masih bisa membedakan kepala dari dewa bumi yang bertugas di tanah liar Sungai Ruo. Dewa bumi ini dan aku juga ditakdirkan bertemu lima ratus tahun yang lalu. Ia bersembunyi di awan, dengan resah memerhatikan Lonceng Dong Huang yang gelisah, dan aku hanya bisa melihat bagian atas kepalanya. Ia berbalik ketika melihat Ye Hua dan aku mendekat dan dengan buru-buru membungkuk sebelum menghampiri.

“Yang Mulia, Anda sudah tiba!” katanya dengan suara panik.

“Dewa Sungai Ruo sudah pergi ke Istana Langit meminta bantuan pasukan, dan ia memintaku untuk menunggu di sini. Amarah Qing Cang sangat ekstrim kali ini. Kediaman Dewa Sungai Ruo sudah berguncang, begitupula dengan kuil dewa bumiku ....”

Ia masih mengoceh ketika loncengnya bersinar terang dipenuhi cahaya putih yang menyilaukan, di dalamnya kami hanya bisa melihat siluet seseorang.

Aku mengumpat dalam diam dan baru saja akan melompat turun dari awan saat tubuh ini mendadak tak bisa bergerak. Ye Hua menghampiri dari belakang dan mengaitkan kakinya di sekitar pergelangan kakiku, membuatku tersandung.

Ia melafalkan sebuah mantra untuk membekukanku dan mengeluarkan jebakan spesial yang digunakannya untuk mengikat tangan dan kakiku. Aku benar-benar tersangkut. Aku bisa melihat sebentar lagi Qing Cang akan mendobrak keluar dari loncengnya.

“Lepaskan aku!” jeritku panik.

Ye Hua mengabaikanku. Ia mendorongku ke arah dewa bumi Sungai Ruo dengan satu pesan sederhana.

“Jaga dia, dan apa pun yang terjadi, jangan biarkan ia jatuh dari awan ini.”

Ia memutar tangan kirinya, dan muncullah sebilah pedang bermata dua, menguarkan sinar dingin. Aku melihatnya membawa pedang itu dan bergerak maju di tengah angin kencang. Ia turun dari awannya dan langsung menuju cahaya keperakan yang memancar keluar dari Lonceng Dong Huang. Aku merasa seolah langit baru saja runtuh.

Aku membuka mulutku beberapa kali, tetapi tak ada kata-kata yang keluar. Angin menyedihkan bertiup masuk dalam mataku. Selagi Ye Hua menuju cahaya keperakan itu, aku mendengar suaraku keluar, terdengar benar-benar putus asa.

“Dewa bumi, kumohon, lepaskan aku,” kataku.

“Kau harus memikirkan sebuah cara untuk melepaskanku. Ye Hua bisa mati kalau ia melakukan ini. Ia hanya punya sedikit penempaan energi spiritual yang tersisa. Apa yang dilakukannya ini adalah bunuh diri!”

Si dewa bumi menggumamkan sesuatu tentang betapa terampilnya jebakan yang digunakan Ye Hua untuk mengikatku, dan tidak mungkin ia bisa membukanya. Ada juga sesuatu yang aneh tentang mantra yang digunakan Ye Hua untuk membekukanku, ia menjelaskan, dan ia juga tidak bisa melepaskannya.

Tidak ada gunanya menghabiskan tenaga meminta bantuannya. Jika aku ingin lepas dari ikatan ini, harus dengan kekuatanku sendiri. Aku memfokuskan seluruh energiku dan berhasil mengangkat jiwa primordialku keluar dari tubuhku. Aku hanya tidak habis pikir, bahwa perangkap Ye Hua ini dibuat tak hanya mengunci fisik abadi; tetapi sebenarnya menggenggam jiwa primordialku, terus mengikatku kencang.

Dari mata buram berairku, aku melihat cahaya keperakan menyebar keluar di keempat sisi Lonceng Dong Hua, sementara guntur dan petir dari pertarungan Ye Hua dan Qing Cang terus menembus hingga ke langit. Dewa bumi menciptakan sebuah medan pelindung lemah untuk mengelilingi kami berdua, mencegahku terluka akibat energi jahatnya.

Perangkap yang dipakai Ye Hua untuk mengikatku sungguh serius. Aku bermandikan keringat di saat aku berhasil melepaskan diri dari mantra pembeku tubuhnya, akan tetapi, tak peduli sekuat apa aku mencoba, aku tidak bisa melepaskan diri dari genggaman perangkapnya. Dewa bumi dan aku duduk bersama-sama di antara langit senja dan gelapnya bumi.

Gu Gu. Tidak aman bagi kita untuk tetap di sini, dan aku tidak yakin berapa lama lagi medan pelindung ini akan bertahan,” bisiknya.

“Haruskah kita berpindah agak jauh?”

Aku mendengar suara putus asaku terdengar, “Kau pergilah. Aku akan tetap di sini bersama Ye Hua.”

Aku masih terikat perangkap di saat ini, dan benar-benar tak berguna. Tak ada yang bisa kuperbuat untuk Ye Hua, tetapi aku tetap ingin tinggal bersamanya dan melihatnya.

Aku belum pernah melihat Ye Hua dengan sebilah pedang sebelumnya, ataupun aku pernah memikirkan bagaimana rupanya saat tengah memegangi pedang. Namun, aku pernah mendengarkan tentang kelihaian berpedangnya. Pedang di tangannya adalah pedang Qing Ming, dan aku pernah mendengar para pengagumnya mengatakan bahwa kapan pun ia menarik keluar Qing Ming dari sarungnya, seluruh Empat Lautan dan Delapan Dataran mulai bergetar.

Pertama kalinya aku mendengarkan ini, aku menduga kalau ini hanyalah ucapan berlebihan para pemuda. Tetapi sekarang, aku menyaksikan sendiri pergerakan pedang Qing Ming: berputar, melayang, dan melingkar.

Mengenai seluruh Empat Lautan dan Delapan Dataran mulai bergetar itu sedikit berlebihan, tetapi aku memang terpukau oleh keagungannya. Gas-gas yang dahsyat keluar dari pedang itu selagi ia bergerak, dan mataku mulai terasa rusak akibat kilaunya.

Kedua petarung itu terkunci tak terpisahkan dalam pertempuran hingga sulit mengetahui dimana yang satunya berakhir dan mana yang lainnya. Aku berada terlalu tinggi untuk bisa melihat siapa yang lebih unggul, tetapi aku tahu kalau sepertinya Ye Hua tidak akan sanggup bertahan lebih lama lagi. Aku hanya berharap agar ia mampu bertahan hingga Zhe Yan tiba, atau sampai kakeknya mengirimkan pasukan langit serta komandan-komandannya yang tak berguna itu.

Pasir dan bebatuan melayang di udara di pinggir Sungai Ruo, dan segera saja, seluruh langit dipenuhi tanah. Tiba-tiba saja aku mendengar Qing Cang tertawa panjang sebanyak tiga kali, diikuti dengan batuk yang lama.

“Kau mungkin mengalahkanku, tetapi aku tidak akan pernah menyerahkan diri padamu,” katanya.

“Jika bukan karena luka-luka lamaku, dan semua energi yang kugunakan untuk keluar dari lonceng itu, tidak mungkin seorang pemula sepertimu bisa mengalahkanku.”

Asap tebal dan debunya sedikit demi sedikit lenyap. Pedang Ye Hua menancap di tanah, dan ia berlutut dengan satu kakinya, menggunakannya untuk membangunkan dirinya.

Gemetaran, aku menoleh ke arah dewa bumi dan berkata, “Sudah aman di bawah sana sekarang. Cepatlah bawa kita turun dari sini ....”

Tepat saat dewa buminya melepaskan medan pelindungnya, Lonceng Dong Huang meledak dengan cahaya merah darah. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi. Qing Cang baru saja dikalahkan; bagaimana mungkin ia masih mengendalikan loncengnya?

Ye Hua mengangkat kepalanya tajam.

“Apa yang telah kau lakukan terhadap loncengnya?” tanyanya dengan suara dalam.

Qing Cang berbaring di atas debu.

“Kau ingin tahu bagaimana aku berhasil menyalakan loncengnya bahkan tanpa menyentuhnya?” tanyanya sembari tertawa lemah.

“Aku mengabdikan tujuh puluh ribu tahun ini agar aku bisa menyambungkan hidupku dengan loncengnya. Jika aku mati, Lonceng Dong Huang akan aktif. Aku sekarat, jadi tampaknya kau akan ikut bersamaku, beserta semua makhluk abadi di seluruh Delapan Dataran ....”

Aku memerhatikan dengan mata melebar ngeri sebelum Qing Cang bahkan selesai berbicara, Ye Hua melemparkan dirinya sendiri ke dalam bola merah menyala seperti api neraka itu. Aku mendengar jeritan menyayat hati.

Tetapi apa pun yang terjadi, Ye Hua, kau tidak boleh ... kau tidak boleh meninggalkanku seorang diri di sini sendirian.

Di saat Ye Hua terbang menuju merahnya api neraka yang dihasilkan dari aktifnya Lonceng Dong Huang, perangkap kuat yang mengikat tangan dan kakiku melonggar, dan aku pun terlepas. Aku segera memahami dua hal: pertama-tama, bahwa perangkap kuat seperti ini jelas menggunakan penempaan energi spiritual pemiliknya, dan kedua, bahwa, saat pemiliknya tak lagi memiliki energi spiritual, perangkapnya tak lagi mampu mengikat.

Api neraka ini mengubah separuh langitnya jadi merah darah dan meliputi pinggiran Sungai Ruo dengan energi jahat. Aku mengumpulkan seluruh energi penempaanku dan mengorbankannya pada kipas Kunlun, yang menabrak langsung Lonceng Dong Huang. Bagian tubuh Lonceng itu berguncang. Aku mengintip ke dalam cahaya merah itu, tetapi tidak bisa melihat Ye Hua.

Terdengar seolah pelahap jiwa yang jahat bangkit dari bawah tanah. Suaranya jadi semakin intens, layaknya ribuan pasukan mendekat, dan puluhan ribu kuda sekarang: itu adalah ratapan berpadu dari Lonceng Dong Huang.

Cahaya merahnya meliuk dan padam, kemudian satu figur hitam pun jatuh berguling dari bagian atas lonceng.

Aku terhuyung bergegas menangkapnya, hasilnya menyebabkanku tersandung ke belakang beberapa langkah dan jatuh ke tanah. Aku meletakkan kepalanya di perpotongan lenganku dan memandangi wajah pucatnya. Matanya hitam, dan darah mengalir turun dari sudut mulutnya. Jubah panjangnya basah kuyup, bermandikan darah.

“Aku selalu mengira, aneh sekali kenapa Ye Hua hanya mengenakan hitam,” pernah Zhe Yan berkata.

“Dan satu waktu ketika kami minum anggur bersama, aku menanyakannya tentang itu. Aku selalu mengira itu dikarenakan betapa ia sangat menyukai warna itu. Tetapi Ye Hua menjawab sembari memegangi cangkir anggurnya. ‘Yah, itu bukan warna yang benar-benar menyenangkan,’ katanya sambil tertawa, ‘tetapi hitam berguna. Jika kau tertusuk dan berdarah tanpa henti, warna hitam akan mencegahmu melihat darahnya. Kau akan mengira kalau kau hanya menyenggol sebuah vas berisi air dan jadi basah kuyup. Apabila kau bisa menyembunyikan fakta bahwa dirimu terluka parah, orang terkasihmu tidak akan merasa terlalu cemas, dan musuhmu pun tidak akan merasa tenang.’”

Saat Zhe Yan memberitahukanku ini, merasa senang karena Ye Hua yang muram akhirnya belajar bergurau. Baru sekaranglah aku menyadari kalau ia sepenuhnya serius.

Tiga ratus tahun yang lalu, saat aku berubah menjadi si naif tak berdaya Su Su, aku kira, aku mencintainya hingga ke sumsum tulangku. Setelah kehilangan ingatan dan kembali jadi Bai Qian dari Qing Qiu, Ye Hua dan aku mulai dekat lagi. Ia memberitahuku bahwa ia mencintaiku, dan sedikit demi sedikit aku pun mulai balas mencintainya. Aku kira itu adalah cinta sejati.

Aku tidak sanggup memaafkannya karena mencungkil mataku dan membuatku dalam situasi dimana aku dipaksa untuk melompat dari Zhu Xian Tai. Aku tidak sanggup memaafkannya karena mengutarakan kata-kata cinta itu berulang kali hanya karena utangnya padaku sebelumnya. Aku tidak mampu memaafkannya karena tidak pernah memahamiku.

Aku sudah hidup begitu lamanya, dan saat itu tentang cinta, aku belajar menjadi egois dan tak masuk akal, dan aku bahkan tidak sanggup hanya sebutir pasir saja yang ditendang ke mataku. Tetapi, selama dua kehidupan terakhirku, aku berada di sisinya. Dua percintaanku, keduanya adalah bersamanya, dan aku menyadarinya sekarang bahwa aku juga tidak memahaminya.

Saat Mo Yuan mengorbankan jiwa primordialnya pada Lonceng Dong Huang tujuh puluh ribu tahun yang lalu, ia memuntahkan darah ratusan kali lebih banyak daripada tetesan yang merembes dari sudut mulut Ye Hua. Energi penempaan Ye Hua tidak sebanding dengan milik Mo Yuan, jadi mengapa hanya ada sedikit darah?

Aku menurunkan kepalaku dan menggigit tajam bibirnya. Aku menggunakan ujung lidahku untuk memaksa bibirnya terbuka, mengabaikan bagaimana gigitan itu membuatnya gemetaran, dan membiarkan lidahku berada di dalam mulutnya, menyelidiki sekitar. Aku bisa merasakan cairan hangat, pekat mengalir turun dari mulutnya ke mulutku. Matanya jadi semakin gelap.

Sebagai Bai Qian, aku hanya diperbolehkan menikmati beberapa bulan jatuh cinta dengan Ye Hua, waktu kami bersama-sama di Jiu Chong Tian, yang mana kami hanya habiskan beberapa malam penuh keintiman.

Ia mendorongku menjauh dengan satu tangannya yang berfungsi dan mulai terbatuk parah sebelum memuntahkan sejumlah besar darah yang berwarna merah terang hingga membuat mataku buram. Dorongan itu pasti sudah menghabiskan tenaga terakhirnya, karena ia tergeletak ke samping setelah itu, satu-satunya pergerakan adalah dadanya yang naik turun.

Aku merangkak dan melingkarkan lenganku di sekitarnya.

“Apakah kau berencana untuk menelan darahnya?” tanyaku.

“Berapa usiamu? Meskipun kau lemah, aku tidak akan merendahkanmu.”

Ia berusaha keras menahan batuknya. Ia mencoba mengangkat tangannya, tetapi tidak berhasil. Bahkan, berbicara saja sudah merupakan usaha keras baginya, tetapi ia masih mencoba mempertahankan ketenangannya dan mengutarakan kalimat penenang.

“Aku baik-baik saja. Bukan luka serius. Aku akan baik-baik saja. Kau—kau tidak boleh menangis.”

Aku sedang memeluknya dengan kedua tanganku dan tak bisa mengelap wajahku.

Aku hanya memandang tepat ke dalam matanya dan berkata, “Kau baru saja mengorbankan jiwa primordialmu pada Lonceng Dong Huang. Aku tidak pernah melihat siapa pun kecuali Mo Yuan yang berhasil lolos saat mereka melakukan hal itu, biar begitu, Mo Yuan saja tertidur selama tujuh puluh ribu tahun. Jangan bohong padaku, Ye Hua, kau sedang sekarat, kan?”

Tubuhnya jadi kaku.

Ia memejamkan matanya dan berkata, “Aku mendengar kabar tentang Mo Yuan yang sudah terbangun. Kau dan dirinya jelas sekali memang ditakdirkan bersama. Kalian akan saling membahagiakan. Ia pasti akan menjagamu dengan baik, bahkan lebih baik dari yang kulakukan. Aku bisa tenang. Kau tidak boleh melupakanku.”

Aku menatapnya tak percaya.

Waktu seolah terhenti. Tiba-tiba saja ia membuka matanya, terengah, berkata, “Jika aku mati, aku tidak akan bisa memberitahukanmu, Qian Qian, kaulah satu-satunya orang yang pernah kucintai. Kau tidak boleh melupakanku. Jika kau berani melupakanku, aku, jika kau berani ....”

Suaranya perlahan menghilang, tetapi ia berhasil menggumamkan, “Maka apa yang harus kulakukan?”

Aku mencondong ke telinganya dan berkata, “Ye Hua, kau tidak boleh mati. Bertahanlah. Aku akan membawamu mencari Mo Yuan. Ia pasti tahu apa yang harus dilakukan.”

Tubuhnya mulai terasa berat dalam pelukanku.

Aku memindahkan mulutku menempel di telinganya dan menjerit, “Kalau kau berani mati meninggalkanku, aku akan langsung pergi mencari Zhe Yan, dan menyuruhnya memberikanku ramuan spesial yang dapat membuatku lupa akan keberadaanmu. Aku akan menghabiskan hariku bersama Mo Yuan, Zhe Yan, dan Kakak Keempat, dan aku akan berbahagia, bahkan tidak akan mengetahui siapa dirimu.”

Tubuhnya gemetaran.

Ia berhasil menarik bibirnya membentuk senyuman dan berkata, “Jika itu adalah apa yang kau inginkan.”

Itu merupakan kata-kata terakhirnya dalam hidup ini: “Jika itu adalah apa yang kau inginkan.”

Related Posts:

0 comments:

Posting Komentar