Senin, 10 Januari 2022

3L3W TMOPB - Chapter 22 Part 1

Ten Miles of Peach Blossoms

Chapter 22 Part 1


Aku menemukan Ye Hua sedang berada di taman belakang kediaman menteri pemerintahan. Ia mengenakan pakaian santai berbahan satin hitam dan duduk berhadapan dengan seorang gadis berpakaian putih, minum anggur, dan mengagumi kabut tebal bunga persik di pohon di atas mereka.

Gadis berbaju putih itu pasti mengatakan sesuatu, selagi ia mengangkat cangkir anggurnya dan tersenyum lebar padanya. Ia segera membungkuk sok sopan.

Senyumnya hangat dan lembut, tetapi aku melihat kebahagiaan di matanya. Baru enam hari sejak terakhir kali aku berjumpa dengannya, tetapi sepertinya ia benar-benar telah melupakan soal janji kasih kami. Mungkinkah ia benar-benar sebajingan ini?

Aku merasakan kecemburuan membumbung, dan aku baru saja akan pergi menanyainya, memintanya menjelaskan dirinya sebelum tiba-tiba saja aku mendengarkan satu suara di belakangku.

“Sudah lama sekali sejak aku melihat Anda, Dewi Agung. Aku ingin menggunakan kesempatan ini untuk memberi hormat.”

Aku berbalik kaget.

Mantra tak terlihat yang kugunakan hanya mencegah agar diriku tak terlihat mata manusia, tetapi makhluk abadi tetap bisa melihatku. Aku melihat Su Jin berdiri di hadapanku, mengenakan pakaian sederhana.

“Apa yang sedang kau lakukan di sini?” tanyaku terkejut.

Ia memandangiku datar, agak membungkuk, dan berkata, “Pangeran sendirian saja di dunia manusia, menjalani ujian kehidupannya. Aku cemas ia mungkin akan merasa kesepian, jadi aku menciptakan sebuah boneka dengan penampilan orang yang selalu dipikirkannya, dan menempatkannya di bawah sini untuk menemaninya. Aku diundang ke upacara minum teh Ratu Laut Barat hari ini, dan kuputuskan untuk mampir di tengah jalan, memastikan boneka ini merawat Pangeran dengan baik.”

Aku berhenti dan berbalik memandangi si wanita berbaju putih yang tengah bersama Ye Hua. Aku tidak melihatnya dengan baik tadi. Sekarang, aku bisa melihat ia hanya sebuah boneka berkulit manusia.

“Kau sangat baik,” kataku dengan suara datar, merogoh kipasku.

“Anda pasti tahu berdasarkan penampilan siapakah boneka ini kubuat?” tanyanya, menatapku semangat.

Aku memiringkan kepala dan melihat gadis berbaju putih dengan saksama dari atas ke bawah, tetapi tak ada apa pun tentang penampilannya yang mengingatkanku. Terdapat ekspresi aneh di wajah Su Jin.

“Aku rasa, Anda pasti pernah mendengar nama Su Su?” katanya.

Jantungku menegang. Tampaknya, Su Jin jadi semakin kuat belakangan ini. Kami berdua baru saja bertemu, tetapi ia sudah tahu betul dimana untuk menyerang titik terlemahku.

Tentu saja aku tahu nama ibu Buntalan, wanita yang melompat dari Zhu Xian Tai, istri pertama yang dicintai Ye Hua. Karena aku sudah menyadari perasaanku terhadap Ye Hua, dengan hati-hati telah kusingkirkan semua rumor yang kudengar mengenai ibu Buntalan dari benakku, menyembunyikannya di sebuah kotak yang kukunci dengan tiga kunci berbeda, berjanji pada diri sendiri tidak akan pernah membukanya lagi, jika kulakukan, hanya akan membawa ketidakbahagiaan.

Aku bukanlah cinta pertama Ye Hua, sebuah fakta yang membuatku dipenuhi penyesalan dan kecemasan tiap kali aku memikirkannya. Namun, memang begitulah adanya takdir yang ada pada kami, dan tak ada gunanya juga mengeluh. Kadang kala, yang penting adalah mengakui ketidakberuntungan dan melangkah maju. Cinta tidak pernah jadi perjalanan yang lancar.

“Anda tidak perlu terlalu mencemaskannya, Dewi Agung,” kata Su Jin ketika ia melihat ekspresiku.

“Sekarang ini Pangeran sedang dalam wujud manusianya. Ia tidak bisa mengetahui itu adalah sebuah boneka yang sedang duduk di hadapannya, mengubah impiannya jadi kenyataan. Tidak mungkin ia akan terus jatuh hati pada sebuah boneka setelah ia kembali ke wujud abadinya, meski jika gadis itu mirip dengan Su Su.”

Apakah ini caranya untuk memberitahuku bahwa Pangeran sudah jatuh cinta pada boneka ini?

Aku tertawa dan berkata, “Apa kau tidak takut kalau Ye Hua mungkin akan menghukummu saat ia kembali ke tubuh abadinya dan mengingat bagaimana kau menipunya?”

Wajahnya menegang, dan ia pun memaksakan tersenyum.

“Yang kulakukan hanyalah menciptakan sebuah boneka, yang kuletakkan di sebuah pasar di depan rumahnya. Jika ia tidak tertarik, mereka hanya akan berselisih jalan dan meneruskan jalan masing-masing. Tetapi, Pangeran jatuh cinta padanya segera setelah ia melihatnya dan mengundangnya masuk ke dalam rumahnya. Jika di masa depan ia memutuskan untuk menyalahkanku karena itu, aku hanya akan menerimanya.”

Aku merasakan sakit di dadaku. Aku mengelus kipasku dan tak berkata apa-apa.

“Tampaknya, ada beberapa orang yang tercetak di tulang masing-masing,” katanya, tersenyum lembut.

“Walau telah meminum Air Sungai Pelupa di neraka, masih ada kesan yang tersisa. Segera setelah ia berbalik dan melihatnya, ia jatuh cinta lagi padanya. Benar.”

Ia menjeda, dan saat ia berbicara lagi, kata-katanya pelan dan disengaja.

“Dewi Agung, Anda pasti tahu, selama tiga ratus tahun, Pangeran menggunakan Jie Po Deng untuk mengumpulkan jiwa Su Su?”

Rasanya seakan-akan ada seseorang yang tiba-tiba saja membunyikan gong di dalam kepalaku. Aku merasa begitu terguncang hingga aku tak tahu lagi dimana diriku berada. Sebelum ini, Ye Hua sebenarnya mencoba menciptakan ulang Su Su?

Enam hari yang lalu, aku duduk di tepi ranjangnya dan bertanya padanya apakah ia mengingatku, dan ia bilang tidak.

Enam tahun setelahnya, ia bertemu seorang gadis di pasar yang tak seharusnya diingat olehnya dan ia membawanya pulang ke rumahnya. Fakta bahwa ia tidak mengenaliku tetapi memiliki perasaan padanya, membuktikan bahwa cintanya terhadap Su Su lebih besar daripada cintanya kepadaku.

Mendadak, ketiga kunci di kotak itu terbuka dan isinya berhamburan keluar.

Sepertinya, hanya karena mengenakan penutup mata, aku tampak agak mirip dengan istri pertamanya, sehingga sedikit demi sedikit, Ye Hua jatuh cinta padaku.

Tidak ada lagi yang masuk akal. Otakku kacau, dan aku merasa sakit sekali di hatiku.

Namun, walau di bawah penyiksaan batin ini, aku berhasil mempertahankan sikap dan martabat Dewi Agungku di depan Su Jin.

“Kau jelas sekali tahu banyak soal cinta, dan walaupun kau adalah Selir Utama Ye Hua, kau sadar kalau ia tidak menyukaimu,” kataku dengan sikap tenang.

“Kubayangkan kalau kau pasti harus banyak sekali menurunkan harapanmu, menghadapi penolakan terus-menerus darinya selama dua ratus tahun ini. Kau teliti sekali dalam berhitung untuk seseorang di usiamu dan jelas sudah repot-repot menciptakan boneka ini untuk Ye Hua. Tidak masalah bagiku jika ia terus menemani Ye Hua. Sejujurnya, malah akan sangat membantuku. Sebenarnya, jika nantinya Ye Hua marah padamu karena sudah menipunya, aku pasti akan membelamu.”

Senyum di wajahnya pun membeku. Sekian lama ia tak menggerakkan satu urat pun.

Tetapi kemudian, sudut mulutnya mulai melengkung ke atas, dan ia berkata, “Terima kasih banyak, Dewi Agung.”

Aku melambaikan tangan padanya, berkata, “Tidak sopan hadir terlambat di upacara minum teh Ibu Ratu Laut Barat.”

Su Jin menunduk dan menyembah hormat.

“Kalau begitu, aku akan pamit sekarang.”

Setelah Su Jin pergi, aku berbalik melihat pemandangan di belakangku dan melihat Ye Hua serta si boneka masih minum-minum bersama. Beberapa kelopak persik melayang turun dari pohon dan mendarat di atas rambut Ye Hua. Si boneka mengulurkan tangan pucat dan dengan lembut menyingkirkan mereka. Ia menengadah dan tersenyum malu-malu pada Ye Hua. Ye Hua menyesap anggurnya, tetapi tak mengatakan apapun.

Kepalaku berdenyut sakit.

Kakak Keempat sering mengatakan, sepertinya ada otot di otak rubahku ini yang tidak tumbuh dengan baik, karena semua hal yang kulakukan itu sembrono dan serampangan. Ayah dan Ibu cukup beruntung karena menghentikanku bertemu dengan kesialan serius, tetapi ada beberapa kesempatan, aku memang membuat malu Klan Rubah Putih Ekor Sembilanku. Sejujurnya, kupikir, Kakak Keempat mungkin membuat malu keluarga jauh lebih banyak dariku, tetapi karena ia lebih tua, aku memutuskan untuk tidak berdalih.

Baru sekaranglah aku menyadari bahwa apa yang dikatakan Kakak Keempat itu benar: aku sembrono dan serampangan, juga sering tidak memikirkan hal dengan detail.

Pertama kali Ye Hua menyatakan perasaannya padaku, kenapa aku tidak pernah mempertanyakan alasannya—saat ia bisa memiliki dewi mana pun di seluruh Empat Lautan dan Delapan Dataran—ia memilihku?

Selanjutnya, saat aku mulai membalas perasaannya dan kami berdua saling mencintai, aku tidak pernah terpikir untuk menanyakannya pertanyaan penting ini.

Jika ia sungguh menyukaiku karena aku mengingatkannya akan ibu Buntalan dan menganggapku sebagai pengganti dirinya, apa bedanya bersama denganku dan dengan boneka yang sedang menemaninya minum anggur ini?

Aku tahu kalau mendendam pada seorang wanita yang sudah mati itu menyedihkan, tetapi soal cinta, tidak mungkin berpura-pura terlihat bermartabat.

Aku tidak mampu memadamkan api jahat di hatiku sekarang. Aku memijat pelipisku. Aku harus membentangkan semua masalah ini dan mempertimbangkannya dengan hati-hati. Aku melemparkan sebuah mantra, memanjati sebuah awan, dan kembali pulang ke Qing Qiu dalam keadaan yang sangat bingung.

***

Malam itu, aku mengeluarkan Jie Po Deng dan memeganginya di bawah sebutir mutiara malam untuk memeriksanya dengan benar. Lentera ini sudah bersama Die Yong di Laut Barat sepanjang waktu, meningkatkan level energinya dan membantu pemulihannya. Setelah Mo Yuan terbangun, Zhe Yan mengambilnya kembali dan membawanya pulang ke Qing Qiu, dimana tetap di situ sejak saat itu. Ye Hua tidak memintanya kembali saat aku berada di Jiu Chong Tian, dan aku pun lupa mengembalikannya.

Di bawah cahaya putih dari mutiara malam, aku melihat Jie Po Deng menyala dengan api kecil, tak lebih besar dari kecambah. Siapa sangka bahwa yang melingkar di dalam lentera yang tampak biasa-biasa saja ini adalah tiga ratus tahun energi seorang manusia.

Semakin kupikirkan, semakin berat pulalah hatiku. Aku tidak mempercayai seluruh ucapan Su Jin, tetapi itu didukung oleh apa yang pernah dikatakan Nai Nai padaku. Dari semua kepingan ini, aku berhasil menyatukan semuanya menjadi cerita lengkap dan dapat melihat kalau itu benar: selama tiga ratus tahun terakhir, perasaan Ye Hua terhadap ibu Buntalan tetap sedalam samudera. Semua cinta di hatinya hanya untuk satu wanita, dan walaupun ia sudah tiada selama tiga ratus tahun, cinta Ye Hua untuknya masih sangat hidup. Apakah cintanya pada wanita itu berpindah padaku saat ia bertemu denganku?

Semakin kupikirkan tentang ini, semakin kuat pula api jahat terbakar di hati dan perutku, satu keluhan menimpa yang lainnya, menumpuk di hatiku.

Aku mencintai Ye Hua karena ia adalah Ye Hua. Tak ada hubungannya dengan ia yang mirip Guruku; aku tidak pernah menganggapnya sebagai pengganti Mo Yuan. Jika pernah, aku pasti akan sangat hormat dan sopan padanya dan selalu menampilkan tingkah lakuku yang terbaik.

Karena cintaku padanya adalah tulus, aku pun berharap hal yang sama darinya. Jika ia hanya bersamaku karena kemiripanku dengan ibu Buntalan, yang dirindukannya, membuatnya merana, dan tak sanggup bergerak maju, aku tak ingin terlibat.

“Apakah Anda ingin kubawakan anggur, Gu Gu?” Mi Gu bertanya pelan dari luar.

Aku pun mengangguk diam.

Anggur yang dibawakan oleh Mi Gu untukku adalah anggur baru dan belum cukup lama difermentasikan. Energi maskulinnya masih belum berkesempatan untuk berubah jadi lebih lembut, membumi, mengandung energi yin yang feminin, dan itu mengeluarkan sensasi kering dan pedas di tenggorokanku. Anggurnya begitu membakar hingga aku mulai merasa pusing, dan benakku dipenuhi lebih banyak kebingungan lagi. Mi Gu pasti menyadari betapa resahnya diriku dan secara alami memilih sebotol yang benar-benar kuat untukku.

Aku minum sampai Jie Po Deng di depanku mulai tampak seperti ada sepuluh Jie Po Deng, membuatku memutuskan, aku sudah cukup minumnya. Aku berdiri, terhuyung menuju ranjangku, dan menjatuhkan diri di sana. Walaupun aku pusing, aku tidak bisa tidur. Aku terus-terusan tersadar akan sesuatu yang terang dan bersinar di atas meja. Cukup menyilaukanku, tak heran aku tidak bisa tidur. Aku duduk di tepian ranjang, menyipit ke arahnya, dan menyadari itu adalah lentera. Aku menyadari bahwa lentera itu pastinya ... pastinya terkait akan sesuatu.

Aku berpikir dan terus berpikir, tetapi tak bisa terpikirkan apakah itu.

Cahaya lampu yang terang membuatku merasa seakan ada sesuatu yang menekan dadaku. Aku merasa terlalu lemah untuk merangkak keluar dari ranjangku, jadi aku mencoba meniup lampunya dari tempatku berada.

Tak peduli seberapa keras aku meniup, aku tak berhasil memadamkan apinya. Aku berpikir untuk melemparkan mantra untuk memadamkannya, tetapi aku tak terpikirkan mantra yang tepat.

Aku mengumpat dalam diam dan melemparkan mantra apa saja ke arah lentera itu dan apa pun yang ada di dekatnya. Ada bunyi retakan keras saat lenteranya sepertinya hancur berkeping-keping.

Setelah semua pengerahan tenaga dan usaha, semuanya mulai berputar. Aku langsung jatuh ke atas ranjang, tidur panjang seperti koma.

Related Posts:

0 comments:

Posting Komentar