Minggu, 23 Januari 2022

3L3W TMOPB - Chapter 23 Part 2

Ten Miles of Peach Blossoms

Chapter 23 Part 2

Zhe Yan dan Kakak Keempat melihat warna pun berangsur kembali di pipiku. Satu-satunya masalah sekarang adalah, karena aku banyak sekali tidur. Tetapi mereka jelas-jelas merasa lega dan berhenti mengawasiku dengan ketat.

Tidak ada kabar dari Jiu Chong Tian tentang siapa yang akan menjadi pewaris berikutnya dari Takhta Langit. Aku dengar status makhluk abadi Su Jin dicabut selamanya dikarenakan kelalaiannya selagi menjaga Lonceng Dong Huang.

Kelalaiannya dalam bertugas membuatnya secara tak langsung bertanggung jawab atas pertarungan Ye Hua dengan Qing Cang, dan membuatnya harus mengorbankan jiwa primordialnya dan arwahnya pun melayang. Tian Jun benar-benar hancur karena kehilangan cucu tertuanya dan juga sangat amat marah, dan segera setelah ia mendengar kalau Su Jin pun punya andil dalam hal ini, ia mengusirnya dari Jiu Chong Tian dan mengirimnya ke dalam enam siklus reinkarnasi, yang mana ia akan mengalami seratus ujian kehidupan percintaan.

***

Mengubah sikapku terhadap kehidupan membuatku jauh lebih baik. Sekarang, aku masih bisa meyakini bahwa Ye Hua masih hidup.

Aku tidak lagi ingin pergi melihat tugu yang kubuat untuknya, karena itu mengingatkanku bahwa sebenarnya Ye Hua sudah mati, mati, dan lenyap. Aku mulai terkena phobia mendekati tugu itu, tetapi aku tidak sampai hati menyuruh Mi Gu menggalinya. Sebaliknya, kami membuat jalan masuk lain menuju gua rubah, dan aku menggunakan itu.

Saat ia punya waktu, Kakak Keempat akan datang dan membawaku berjalan-jalan di dunia manusia. Itu adalah caranya untuk membuatku melupakan apa yang ada di benakku, selagi menyenangkan dirinya juga.

Sementara kami menjelajah pegunungan, ia akan berkata, “Lihatlah pegunungan yang berdiri setinggi itu, hingga menyentuh awan. Apabila kau berdiri di puncaknya dan menatap ke bawah, kau akan melihat betapa sepelenya semua yang ada di dunia ini. Bukankah berpikir seperti itu membuat pikiranmu ikut terbuka? Tidakkah itu membuatmu merasa seolah pengalaman pahitmu mungkin tidak lebih dari segumpal awan yang melayang di langit, yang hanya perlu kau kibaskan tanganmu dan awan itu akan menjauh?”

Selagi di perairan, ia akan berkata, “Lihatlah air yang berlomba menuruni air terjun dan berjatuhan, menyatu di dalam sungai. Airnya terus mengalir siang malam dan tak pernah mengalir balik. Tidakkah kau melihat bahwa air terjun itu mirip dengan kehidupan? Kau tidak mungkin berbalik, jadi kau hanya perlu terus menatap ke depan?”

Saat kami mengunjungi pasar di kota, ia akan berkata, “Lihatlah semua manusia yang berlarian layaknya semut. Mereka hanya berada di dunia ini selama enam atau tujuh dekade, dan selama masa itu, mereka terikat oleh nasib yang ditetapkan Si Ming untuk mereka. Para petani menghabiskan kebanyakan hidup mereka bekerja keras di ladang, para cendekiawan menghabiskan kebanyakan waktu mereka bukan untuk mencapai apa yang mereka targetkan, kebanyakan wanita baik berakhir menikahi bajingan. Tetapi mereka pun tetap sama puasnya dengan melakukan urusan mereka. Bagaimana bisa kau memandang para manusia ini dan berpikir kau jauh lebih baik ketimbang mereka?”

Pada mulanya, aku mendengarkannya, tetapi ia mulai jadi fanatik berbicara seperti ini, dan hal ini mulai membuatku jengkel. Setelah itu, aku mulai pergi ke dunia manusia seorang diri.

***

Dan itu adalah tanggal tiga September: tiga tahun setelah Ye Hua pergi. Aku sedang mendengarkan sandiwara saat aku melihat seorang makhluk abadi muda bernama Zhi Yue yang datang dari gunung makhluk abadi, Gunung Fang Hu.

Saat kau pergi ke sebuah pertunjukan di dunia manusia, kau mengikuti kebiasaan lokal dengan melemparkan segenggam penuh berisi koin ke atas panggung selama tepukan tangan di bagian akhir, jika kau merasa para pemerannya sudah bekerja dengan baik, untuk meningkatkan semangat mereka dan berterima kasih pada mereka atas kerja kerasnya.

Itu pasti adalah kali pertama Zhi Yue datang menyaksikan sebuah pertunjukan di dunia manusia, selagi ia menatap iri pada semua orang yang melemparkan uang mereka ke arah selusur kayu mahogani berukir itu, jelas sekali berharap ia juga punya sesuatu untuk dilemparkan.

Ia bisa langsung tahu bahwa aku adalah seorang dewi dengan sekali lirik dan melompat untuk memperkenalkan dirinya sendiri dan bertanya apakah aku bisa meminjamkannya sejumlah uang untuk dilemparkan, karena ia merasa jahat apabila tidak memberikan apa pun.

Aku agak heran, mengapa si dewi kecil ini, yang jelas-jelas punya ilmu sihir, tidak mampu melakukan hal sederhana seperti memunculkan beberapa keping koin, tetapi aku tetap meminjamkannya beberapa mutiara malam.

Mulanya, kami hanya seperti kenalan saja, tetapi setiap kali aku pergi ke dunia manusia untuk menonton pertunjukan, aku selalu berpapasan dengannya, dan seiring berjalannya waktu, kami pun berteman.

Zhi Yue adalah seorang gadis yang ceria, tetapi ia tidak pernah mendesakku dengan bertanya hal detail mengenai darimanakah asalku, siapa keluargaku, berapa usiaku, dan lainnya, yang mana agak tidak biasa. Dan hal yang menyenangkan pergi ke pertunjukan bersama orang lain, dan bisa memperbincangkannya dengan mereka setelah itu.

Ia dan aku pasti sudah pergi menonton lebih dari sepuluh pertunjukan selama dua bulan ini.

Pertunjukan malam ini adalah Paviliun Peoni, yang mana menceritakan sepasang kekasih melalui kesulitan agar mereka bisa bersama-sama. Itu tanggal lima Oktober, yang dalam penanggalan Cina, adalah hari bagus untuk pernikahan, tetapi hari buruk untuk berargumen ataupun pergi berperang. Tiga tahun yang lalu hari itu, Ye Hua pergi. Aku meneguk anggur dan memandang ke panggung, dimana seorang pemeran wanita mengenakan gaun biru sedang menari dan mengibaskan lengan bajunya.

“Kau secantik sekuntum bunga dan semuda air yang mengalir, tetapi mengapakah dirimu duduk sendirian di dalam kamar riasmu, diliputi oleh kesedihan?” salah satu pemeran prianya sedang bernyanyi.

Di saat itulah Zhi Yue tiba. Ia berjalan masuk terlambat tanpa sejejak pun rasa malu dan duduk di sebelahku.

Di pertengahan pertunjukan, ia menoleh ke arahku dan menutupi mulutnya, berbisik, “Apakah kau ingat aku pernah menceritakan padamu tentang sepupu berbakatku yang meninggal beberapa waktu lalu?”

Aku mengangguk.

Selain membicarakan tentang pertunjukan yang kami saksikan, Zhi Yue akan sering menyebut tentang sepupu lelakinya yang lebih tua ini. Ia adalah seseorang yang brilian, pejuang bijaksana, dan pemuda yang sangat berbakat, tetapi sayangnya, meninggal dalam pertarungan ketika ia masih sangat muda, meninggalkan orang tuanya penuh duka hingga mereka sulit meneruskan kehidupan dan seorang putra kecil yang menghabiskan harinya menangisinya.

Malangnya.

Malang, malang sekali.

Setiap kali ia menghela napas dan berkata, “Malang sekali,” ia terlihat penuh kesedihan akan kemalangan nasib mereka.

Aku merasa agak sulit menimbulkan perasaan simpati bagi keluarga sepupunya. Mungkin aku benar-benar sudah belajar menerima kenyataan dari kematian.

Zhi Yue meraih teko teh dan menuangkan secangkir teh dingin untuk membasahi tenggorokannya.

Ia melihat ke sekitar, menutupi mulutnya lagi, dan bergeser mendekatiku, berkata, “Bukankah aku sudah memberitahumu kalau sepupuku itu sudah meninggal selama tiga tahun? Klan He mengira bahwa, yang tersisa darinya hanyalah jasadnya saja, dan jiwa primordialnya sudah musnah sejak lama. Mereka membuatkan sebuah peti mati es dari kristal hitam dan menurunkannya ke dalam laut itu.

“Aku ada di sana, aku melihatnya. Semalam, air lautnya, yang mana tenang selama puluhan ribu tahun, tiba-tiba saja berputar. Airnya memercik, membentuk ombak setinggi sepuluh kaki, dan peti mati es kristal hitamnya melayang di permukaan. Ternyata, energi abadi menggulung di keempat sisi peti mati esnya, itulah sebabnya airnya begitu berombak dan ombak-ombak itu begitu tinggi.

“Tidakkah menurutmu itu aneh, karena jiwa primordial sepupuku sudah musnah, tetapi ia masih punya sumber energi abadi yang begitu kuatnya untuk melindunginya? Tak ada satu pun Klan He yang tahu harus berpikir apa. Anggota dari generasi yang lebih muda dikirim keluar sementara para tetua klan mengirimkan sebuah pesan kepada dewa kehormatan klan kami untuk menanyakan apa yang sedang terjadi. Orang tuaku berpikir, ada kemungkinan kalau sepupuku ini sebenarnya tidak mati. Oh, jika itu benar, maka si A Li kecil yang malang tak harus lagi menghabiskan sepanjang harinya menangis dan meratap.”

Tiba-tiba saja aku dikelilingi kesunyian mencekam.

Cangkir di tanganku jatuh berserakan di lantai, dan aku mendengar suara kosongku sendiri, berkata, “Apakah maksudmu adalah Wu Wang Hai? Sepupumu ... sepupumu ... apakah ia adalah cucu lelaki tertua Tian Jun, pewaris Takhta Langit, Ye Hua?”

Zhi Yue memandangiku, megap-megap, dan selanjutnya tergagap, “B-b-bagaimana kau bisa tahu?”

Aku bergegas keluar dari kedai teh dan terhuyung di jalanan sebelum aku ingat, aku memerlukan sebuah awan untuk pergi ke Jiu Chong Tian. Aku memanggil awan dan tersandung ke atasnya. Aku menatap ke bawah, melihat kerumunan manusia berlutut di tanah di bawahku dan aku menyadari kalau aku langsung melompat ke awan keberuntunganku tanpa membuat diriku tak terlihat di hadapan semua orang, di tengah pasar yang ramai ini.

Aku turun dari awan dan berpijak di udara. Aku berada tinggi sekali dari tanah. Menatap ke bawah, aku melihat hamparan ladang yang luas. Benakku jadi kosong, dan aku tidak bisa mengingat jalan menuju Gerbang Selatan Langit. Semakin resah, semakin tak sabaranlah diriku, semakin kosong pula benakku jadinya. Aku menaiki awan lagi dan melayang bolak-balik beberapa kali, tidak yakin apa yang mesti kulakukan.

Kakiku tergelincir dan aku nyaris saja terjatuh dari awan, tetapi beruntungnya, aku ditangkap sepasang tangan kuat. Aku mendengar suara Mo Yuan dari belakangku.

“Bagaimana bisa kau begitu sembrono, hampir terjatuh dari awan seperti itu?”

Aku berbalik dan menggenggam tangannya.

“Dimana Ye Hua?” tanyaku panik.

“Guru, katakan padaku dimana Ye Hua!”

Ia mengerutkan dahinya.

“Pertama-tama, usap matamu,” katanya.

“Aku baru saja datang untuk mengabarimu.”

Mo Yuan menjelaskan bagaiamana Ayah Semesta menggunakan setengah kekuatan dewanya untuk membuatkan embrio abadi agar Ye Hua dapat terlahir kembali. Setelah ia terlahir kembali, kekuatan dewa ini terus berada di dalam dirinya, tersembunyi dalam jiwa primordialnya.

Mo Yuan kurang mengapresiasi ketika Ye Hua membantai empat monster dari Ying Zhou, ia telah menerima setengah lagi kekuatan dewa Ayah Semesta, yang mana tanpa itu, ia pasti sudah mati.

Ye Hua pasti menggunakan semua kekuatan dewa Ayah Semesta untuk bertarung melawan kekuatan Lonceng Dong Huang dan menghentikannya menghancurkan semua yang berada di bawah langit. Jiwa primordialnya terluka begitu parah dalam pertarungan antara kedua kekuatan ini, dan ia pun tidur abadi.

Semua orang berasumsi, jiwanya sudah melayang dan ia sudah musnah. Ye Hua juga pasti berasumsi begini.

Ia memerlukan paling tidak beberapa dekade tidur abadi, tetapi peti mati es kristal hitam punya beberapa kekuatan menguntungkan, dan walaupun digunakan sebagai tanah pemakaman oleh Klan Langit, Wu Wang Hai sebenarnya merupakan sebuah situs sakral dan punya kemampuan istimewa untuk membantu pemulihan. Ye Hua beruntung, dan ia terbangun hanya setelah tiga tahun.

Aku tidak mendengar kebanyakan yang diucapkan oleh Mo Yuan.

Satu-satunya hal yang kudengar dengan benar adalah, “Xiao Shi Qi, Ye Hua sudah kembali! Sekarang ini ia sedang menuju Qing Qiu untuk menemuimu. Kau harus segera pulang.”

Aku tidak pernah benar-benar membayangkan kalau Ye Hua sebenarnya mungkin masih hidup. Aku sudah berdoa sebanyak jutaan kali untuk hal ini, tetapi dari lubuk hatiku yang terdalam, aku selalu tahu itu tak lebih dari mimpi tak jelas semata.

Tiga tahun yang lalu, Ye Hua musnah. Dikuburkan di bawah pohon persikku adalah jubah yang dikenakannya saat ia meninggal. Sebelum ia meninggal, ia pernah memintaku untuk melupakannya dan mendesakku untuk menjalani kehidupan yang berbahagia.

Tetapi.

Mo Yuan bilang Ye Hua sudah bangun.

Bahwa dirinya belum mati.

Ia terus hidup selama ini.

***

Aku menaiki awan dan melonjak langsung ke Qing Qiu, tetapi aku terus saja kehilangan konsentrasi dan tersandung empat kali sepanjang jalan.

Saat aku melewati mulut lembah, aku turun dari awanku dan terhuyung-huyung di sepanjang jalan menuju gua rubah. Beberapa makhluk abadi kecil yang kulewati di jalan pun memanggil, menyapaku, tetapi aku tidak melihat mereka. Tangan dan kakiku mulai bergetar. Aku takut kalau Ye Hua tidak ada di sana, bahwa apa yang dikatakan oleh Mo Yuan hanyalah sebuah muslihat untukku.

Segera setelah gua rubah terlihat, aku melambatkan lajuku. Sudah agak lama semenjak aku menggunakan jalan masuk utama, dan aku tidak menyadari seberapa besarnya pohon persik yang kutanam di sana tiga tahun yang lalu. Ini adalah pertama kalinya dalam tiga tahun, aku melihat dengan jelas warna biru kehijauan dari pegunungan, rimbun hijaunya pepohonan, dan biru zamrud dari danaunya; segudang warna khas Qing Qiu.

Cahaya mataharinya tersaring melalui awan dan menyinari pohon persik yang dipenuhi bunga bermekaran di antara biru kehijauannya pegunungan dan biru zamrudnya air dari danau, menciptakan kabut merah muda yang indah.

Di bawah bayang-bayang, berdirilah seorang pemuda berjubah hitam. Ia membungkuk, mengelus nisan yang ada di hadapannya dengan jemari rampingnya.

Mirip seperti pemandangan dalam mimpiku.

Menahan napasku, aku maju dua langkah, takut kalau pergerakan tiba-tiba mungkin akan menyebabkan pemandangan di hadapanku ini lenyap.

Saat ia menolehkan kepalanya, angin sepoi-sepoi meniup pohonnya, menyebabkan cabang-cabang kelopaknya berombak, tampak seperti serentetan gelombang merah muda.

Ia agak tersenyum.

Ia masih sama seperti sebelumnya, dengan wajah tampan dan rambut hitam legamnya.

Kelopak bunga berjatuhan dari lautan merah muda di atas kepala kami, dan di antara langit dan bumi, tidak ada warna lain, tidak ada suara lain.

Ia mengulurkan satu tangan, dan dengan suara pelan ia berkata, “Qian Qian, kemarilah.”

-TAMAT-

T/N : Masih ada epilog dan side story dari sudut pandang Ye Hua :)

Related Posts:

0 comments:

Posting Komentar