Ten Miles of Peach Blossoms
Chapter 23 Part 2
Zhe Yan dan
Kakak Keempat melihat warna pun berangsur kembali di pipiku. Satu-satunya
masalah sekarang adalah, karena aku banyak sekali tidur. Tetapi mereka
jelas-jelas merasa lega dan berhenti mengawasiku dengan ketat.
Tidak ada kabar
dari Jiu Chong Tian tentang siapa yang akan menjadi pewaris berikutnya dari Takhta
Langit. Aku dengar status makhluk abadi Su Jin dicabut selamanya dikarenakan
kelalaiannya selagi menjaga Lonceng Dong Huang.
Kelalaiannya
dalam bertugas membuatnya secara tak langsung bertanggung jawab atas
pertarungan Ye Hua dengan Qing Cang, dan membuatnya harus mengorbankan jiwa
primordialnya dan arwahnya pun melayang. Tian Jun benar-benar hancur karena
kehilangan cucu tertuanya dan juga sangat amat marah, dan segera setelah ia
mendengar kalau Su Jin pun punya andil dalam hal ini, ia mengusirnya dari Jiu
Chong Tian dan mengirimnya ke dalam enam siklus reinkarnasi, yang mana ia akan
mengalami seratus ujian kehidupan percintaan.
***
Mengubah
sikapku terhadap kehidupan membuatku jauh lebih baik. Sekarang, aku masih bisa
meyakini bahwa Ye Hua masih hidup.
Aku tidak lagi
ingin pergi melihat tugu yang kubuat untuknya, karena itu mengingatkanku bahwa
sebenarnya Ye Hua sudah mati, mati, dan lenyap. Aku mulai terkena phobia
mendekati tugu itu, tetapi aku tidak sampai hati menyuruh Mi Gu menggalinya.
Sebaliknya, kami membuat jalan masuk lain menuju gua rubah, dan aku menggunakan
itu.
Saat ia punya
waktu, Kakak Keempat akan datang dan membawaku berjalan-jalan di dunia manusia.
Itu adalah caranya untuk membuatku melupakan apa yang ada di benakku, selagi
menyenangkan dirinya juga.
Sementara kami
menjelajah pegunungan, ia akan berkata, “Lihatlah pegunungan yang berdiri setinggi
itu, hingga menyentuh awan. Apabila kau berdiri di puncaknya dan menatap ke
bawah, kau akan melihat betapa sepelenya semua yang ada di dunia ini. Bukankah
berpikir seperti itu membuat pikiranmu ikut terbuka? Tidakkah itu membuatmu
merasa seolah pengalaman pahitmu mungkin tidak lebih dari segumpal awan yang
melayang di langit, yang hanya perlu kau kibaskan tanganmu dan awan itu akan
menjauh?”
Selagi di
perairan, ia akan berkata, “Lihatlah air yang berlomba menuruni air terjun dan
berjatuhan, menyatu di dalam sungai. Airnya terus mengalir siang malam dan tak
pernah mengalir balik. Tidakkah kau melihat bahwa air terjun itu mirip dengan
kehidupan? Kau tidak mungkin berbalik, jadi kau hanya perlu terus menatap ke
depan?”
Saat kami
mengunjungi pasar di kota, ia akan berkata, “Lihatlah semua manusia yang
berlarian layaknya semut. Mereka hanya berada di dunia ini selama enam atau
tujuh dekade, dan selama masa itu, mereka terikat oleh nasib yang ditetapkan Si
Ming untuk mereka. Para petani menghabiskan kebanyakan hidup mereka bekerja
keras di ladang, para cendekiawan menghabiskan kebanyakan waktu mereka bukan
untuk mencapai apa yang mereka targetkan, kebanyakan wanita baik berakhir
menikahi bajingan. Tetapi mereka pun tetap sama puasnya dengan melakukan urusan
mereka. Bagaimana bisa kau memandang para manusia ini dan berpikir kau jauh
lebih baik ketimbang mereka?”
Pada mulanya,
aku mendengarkannya, tetapi ia mulai jadi fanatik berbicara seperti ini, dan
hal ini mulai membuatku jengkel. Setelah itu, aku mulai pergi ke dunia manusia
seorang diri.
***
Dan itu adalah
tanggal tiga September: tiga tahun setelah Ye Hua pergi. Aku sedang
mendengarkan sandiwara saat aku melihat seorang makhluk abadi muda bernama Zhi
Yue yang datang dari gunung makhluk abadi, Gunung Fang Hu.
Saat kau pergi
ke sebuah pertunjukan di dunia manusia, kau mengikuti kebiasaan lokal dengan
melemparkan segenggam penuh berisi koin ke atas panggung selama tepukan tangan
di bagian akhir, jika kau merasa para pemerannya sudah bekerja dengan baik,
untuk meningkatkan semangat mereka dan berterima kasih pada mereka atas kerja
kerasnya.
Itu pasti
adalah kali pertama Zhi Yue datang menyaksikan sebuah pertunjukan di dunia
manusia, selagi ia menatap iri pada semua orang yang melemparkan uang mereka ke
arah selusur kayu mahogani berukir itu, jelas sekali berharap ia juga punya
sesuatu untuk dilemparkan.
Ia bisa
langsung tahu bahwa aku adalah seorang dewi dengan sekali lirik dan melompat
untuk memperkenalkan dirinya sendiri dan bertanya apakah aku bisa meminjamkannya
sejumlah uang untuk dilemparkan, karena ia merasa jahat apabila tidak
memberikan apa pun.
Aku agak heran,
mengapa si dewi kecil ini, yang jelas-jelas punya ilmu sihir, tidak mampu
melakukan hal sederhana seperti memunculkan beberapa keping koin, tetapi aku
tetap meminjamkannya beberapa mutiara malam.
Mulanya, kami
hanya seperti kenalan saja, tetapi setiap kali aku pergi ke dunia manusia untuk
menonton pertunjukan, aku selalu berpapasan dengannya, dan seiring berjalannya
waktu, kami pun berteman.
Zhi Yue adalah
seorang gadis yang ceria, tetapi ia tidak pernah mendesakku dengan bertanya hal
detail mengenai darimanakah asalku, siapa keluargaku, berapa usiaku, dan
lainnya, yang mana agak tidak biasa. Dan hal yang menyenangkan pergi ke
pertunjukan bersama orang lain, dan bisa memperbincangkannya dengan mereka
setelah itu.
Ia dan aku
pasti sudah pergi menonton lebih dari sepuluh pertunjukan selama dua bulan ini.
Pertunjukan
malam ini adalah Paviliun Peoni, yang mana menceritakan sepasang kekasih
melalui kesulitan agar mereka bisa bersama-sama. Itu tanggal lima Oktober, yang
dalam penanggalan Cina, adalah hari bagus untuk pernikahan, tetapi hari buruk
untuk berargumen ataupun pergi berperang. Tiga tahun yang lalu hari itu, Ye Hua
pergi. Aku meneguk anggur dan memandang ke panggung, dimana seorang pemeran
wanita mengenakan gaun biru sedang menari dan mengibaskan lengan bajunya.
“Kau secantik
sekuntum bunga dan semuda air yang mengalir, tetapi mengapakah dirimu duduk
sendirian di dalam kamar riasmu, diliputi oleh kesedihan?” salah satu pemeran
prianya sedang bernyanyi.
Di saat itulah
Zhi Yue tiba. Ia berjalan masuk terlambat tanpa sejejak pun rasa malu dan duduk
di sebelahku.
Di pertengahan
pertunjukan, ia menoleh ke arahku dan menutupi mulutnya, berbisik, “Apakah kau ingat
aku pernah menceritakan padamu tentang sepupu berbakatku yang meninggal
beberapa waktu lalu?”
Aku mengangguk.
Selain
membicarakan tentang pertunjukan yang kami saksikan, Zhi Yue akan sering
menyebut tentang sepupu lelakinya yang lebih tua ini. Ia adalah seseorang yang
brilian, pejuang bijaksana, dan pemuda yang sangat berbakat, tetapi sayangnya,
meninggal dalam pertarungan ketika ia masih sangat muda, meninggalkan orang
tuanya penuh duka hingga mereka sulit meneruskan kehidupan dan seorang putra
kecil yang menghabiskan harinya menangisinya.
Malangnya.
Malang, malang
sekali.
Setiap kali ia
menghela napas dan berkata, “Malang sekali,” ia terlihat penuh kesedihan akan
kemalangan nasib mereka.
Aku merasa agak
sulit menimbulkan perasaan simpati bagi keluarga sepupunya. Mungkin aku
benar-benar sudah belajar menerima kenyataan dari kematian.
Zhi Yue meraih
teko teh dan menuangkan secangkir teh dingin untuk membasahi tenggorokannya.
Ia melihat ke
sekitar, menutupi mulutnya lagi, dan bergeser mendekatiku, berkata, “Bukankah
aku sudah memberitahumu kalau sepupuku itu sudah meninggal selama tiga tahun?
Klan He mengira bahwa, yang tersisa darinya hanyalah jasadnya saja, dan jiwa
primordialnya sudah musnah sejak lama. Mereka membuatkan sebuah peti mati es
dari kristal hitam dan menurunkannya ke dalam laut itu.
“Aku ada di
sana, aku melihatnya. Semalam, air lautnya, yang mana tenang selama puluhan
ribu tahun, tiba-tiba saja berputar. Airnya memercik, membentuk ombak setinggi
sepuluh kaki, dan peti mati es kristal hitamnya melayang di permukaan.
Ternyata, energi abadi menggulung di keempat sisi peti mati esnya, itulah
sebabnya airnya begitu berombak dan ombak-ombak itu begitu tinggi.
“Tidakkah
menurutmu itu aneh, karena jiwa primordial sepupuku sudah musnah, tetapi ia
masih punya sumber energi abadi yang begitu kuatnya untuk melindunginya? Tak
ada satu pun Klan He yang tahu harus berpikir apa. Anggota dari generasi yang
lebih muda dikirim keluar sementara para tetua klan mengirimkan sebuah pesan
kepada dewa kehormatan klan kami untuk menanyakan apa yang sedang terjadi.
Orang tuaku berpikir, ada kemungkinan kalau sepupuku ini sebenarnya tidak mati.
Oh, jika itu benar, maka si A Li kecil yang malang tak harus lagi menghabiskan
sepanjang harinya menangis dan meratap.”
Tiba-tiba saja
aku dikelilingi kesunyian mencekam.
Cangkir di
tanganku jatuh berserakan di lantai, dan aku mendengar suara kosongku sendiri,
berkata, “Apakah maksudmu adalah Wu Wang Hai? Sepupumu ... sepupumu ... apakah
ia adalah cucu lelaki tertua Tian Jun, pewaris Takhta Langit, Ye Hua?”
Zhi Yue
memandangiku, megap-megap, dan selanjutnya tergagap, “B-b-bagaimana kau bisa
tahu?”
Aku bergegas
keluar dari kedai teh dan terhuyung di jalanan sebelum aku ingat, aku
memerlukan sebuah awan untuk pergi ke Jiu Chong Tian. Aku memanggil awan dan
tersandung ke atasnya. Aku menatap ke bawah, melihat kerumunan manusia berlutut
di tanah di bawahku dan aku menyadari kalau aku langsung melompat ke awan
keberuntunganku tanpa membuat diriku tak terlihat di hadapan semua orang, di tengah
pasar yang ramai ini.
Aku turun dari
awan dan berpijak di udara. Aku berada tinggi sekali dari tanah. Menatap ke
bawah, aku melihat hamparan ladang yang luas. Benakku jadi kosong, dan aku
tidak bisa mengingat jalan menuju Gerbang Selatan Langit. Semakin resah,
semakin tak sabaranlah diriku, semakin kosong pula benakku jadinya. Aku menaiki
awan lagi dan melayang bolak-balik beberapa kali, tidak yakin apa yang mesti
kulakukan.
Kakiku
tergelincir dan aku nyaris saja terjatuh dari awan, tetapi beruntungnya, aku
ditangkap sepasang tangan kuat. Aku mendengar suara Mo Yuan dari belakangku.
“Bagaimana bisa
kau begitu sembrono, hampir terjatuh dari awan seperti itu?”
Aku berbalik
dan menggenggam tangannya.
“Dimana Ye
Hua?” tanyaku panik.
“Guru, katakan
padaku dimana Ye Hua!”
Ia mengerutkan
dahinya.
“Pertama-tama,
usap matamu,” katanya.
“Aku baru saja
datang untuk mengabarimu.”
Mo Yuan
menjelaskan bagaiamana Ayah Semesta menggunakan setengah kekuatan dewanya untuk
membuatkan embrio abadi agar Ye Hua dapat terlahir kembali. Setelah ia terlahir
kembali, kekuatan dewa ini terus berada di dalam dirinya, tersembunyi dalam
jiwa primordialnya.
Mo Yuan kurang
mengapresiasi ketika Ye Hua membantai empat monster dari Ying Zhou, ia telah
menerima setengah lagi kekuatan dewa Ayah Semesta, yang mana tanpa itu, ia
pasti sudah mati.
Ye Hua pasti
menggunakan semua kekuatan dewa Ayah Semesta untuk bertarung melawan kekuatan
Lonceng Dong Huang dan menghentikannya menghancurkan semua yang berada di bawah
langit. Jiwa primordialnya terluka begitu parah dalam pertarungan antara kedua
kekuatan ini, dan ia pun tidur abadi.
Semua orang
berasumsi, jiwanya sudah melayang dan ia sudah musnah. Ye Hua juga pasti
berasumsi begini.
Ia memerlukan
paling tidak beberapa dekade tidur abadi, tetapi peti mati es kristal hitam
punya beberapa kekuatan menguntungkan, dan walaupun digunakan sebagai tanah
pemakaman oleh Klan Langit, Wu Wang Hai sebenarnya merupakan sebuah situs
sakral dan punya kemampuan istimewa untuk membantu pemulihan. Ye Hua beruntung,
dan ia terbangun hanya setelah tiga tahun.
Aku tidak
mendengar kebanyakan yang diucapkan oleh Mo Yuan.
Satu-satunya
hal yang kudengar dengan benar adalah, “Xiao Shi Qi, Ye Hua sudah kembali! Sekarang
ini ia sedang menuju Qing Qiu untuk menemuimu. Kau harus segera pulang.”
Aku tidak
pernah benar-benar membayangkan kalau Ye Hua sebenarnya mungkin masih hidup.
Aku sudah berdoa sebanyak jutaan kali untuk hal ini, tetapi dari lubuk hatiku
yang terdalam, aku selalu tahu itu tak lebih dari mimpi tak jelas semata.
Tiga tahun yang
lalu, Ye Hua musnah. Dikuburkan di bawah pohon persikku adalah jubah yang
dikenakannya saat ia meninggal. Sebelum ia meninggal, ia pernah memintaku untuk
melupakannya dan mendesakku untuk menjalani kehidupan yang berbahagia.
Tetapi.
Mo Yuan bilang
Ye Hua sudah bangun.
Bahwa dirinya
belum mati.
Ia terus hidup
selama ini.
***
Aku menaiki awan
dan melonjak langsung ke Qing Qiu, tetapi aku terus saja kehilangan konsentrasi
dan tersandung empat kali sepanjang jalan.
Saat aku
melewati mulut lembah, aku turun dari awanku dan terhuyung-huyung di sepanjang
jalan menuju gua rubah. Beberapa makhluk abadi kecil yang kulewati di jalan pun
memanggil, menyapaku, tetapi aku tidak melihat mereka. Tangan dan kakiku mulai
bergetar. Aku takut kalau Ye Hua tidak ada di sana, bahwa apa yang dikatakan
oleh Mo Yuan hanyalah sebuah muslihat untukku.
Segera setelah
gua rubah terlihat, aku melambatkan lajuku. Sudah agak lama semenjak aku
menggunakan jalan masuk utama, dan aku tidak menyadari seberapa besarnya pohon
persik yang kutanam di sana tiga tahun yang lalu. Ini adalah pertama kalinya
dalam tiga tahun, aku melihat dengan jelas warna biru kehijauan dari
pegunungan, rimbun hijaunya pepohonan, dan biru zamrud dari danaunya; segudang
warna khas Qing Qiu.
Cahaya mataharinya
tersaring melalui awan dan menyinari pohon persik yang dipenuhi bunga
bermekaran di antara biru kehijauannya pegunungan dan biru zamrudnya air dari
danau, menciptakan kabut merah muda yang indah.
Di bawah
bayang-bayang, berdirilah seorang pemuda berjubah hitam. Ia membungkuk,
mengelus nisan yang ada di hadapannya dengan jemari rampingnya.
Mirip seperti
pemandangan dalam mimpiku.
Menahan
napasku, aku maju dua langkah, takut kalau pergerakan tiba-tiba mungkin akan
menyebabkan pemandangan di hadapanku ini lenyap.
Saat ia
menolehkan kepalanya, angin sepoi-sepoi meniup pohonnya, menyebabkan
cabang-cabang kelopaknya berombak, tampak seperti serentetan gelombang merah
muda.
Ia agak
tersenyum.
Ia masih sama
seperti sebelumnya, dengan wajah tampan dan rambut hitam legamnya.
Kelopak bunga
berjatuhan dari lautan merah muda di atas kepala kami, dan di antara langit dan
bumi, tidak ada warna lain, tidak ada suara lain.
Ia mengulurkan
satu tangan, dan dengan suara pelan ia berkata, “Qian Qian, kemarilah.”
-TAMAT-
T/N : Masih ada epilog dan side story dari sudut pandang Ye Hua :)
0 comments:
Posting Komentar