Minggu, 23 Januari 2022

3L3W TMOPB - Chapter 23 Part 1

Ten Miles of Peach Blossoms

Chapter 23 Part 1

Aku duduk di kedai teh dunia manusia, menonton sebuah pertunjukan.

Sudah tiga tahun semenjak kepergian Ye Hua. Tiga tahun semenjak pertempuran Sungai Ruo, kematian Qing Cang, dan Ye Hua yang mengorbankan jiwa primordialnya pada Lonceng Dong Huang dan jiwanya melayang pergi. Kipas Kun Lun-ku sudah mengambil separuh energi abadiku dan menabrakkan dirinya ke Lonceng Dong Huang, lagi dan lagi, menyebabkan loncengnya berbunyi, meratap selama tujuh hari tujuh malam.

Menurut Zhe Yan, di saat ia bergegas tiba, Ye Hua sudah mengembuskan napas terakhirnya. Aku duduk di bawah lonceng besar itu dengan tubuhnya dalam pelukanku. Aku diselimuti darah dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. Aku membuat sebuah medan pelindung tebal di sekeliling kami berdua dan tak membiarkan siapa pun mendekat.

Lonceng Dong Huang berbunyi selama tujuh hari, memanggil semua makhluk abadi di Delapan Dataran, yang mana berkumpul di Sungai Ruo. Tianjun mengirimkan empat belas dewa turun dari Jiu Chong Tian untuk mengambil jasad Ye Hua. Mereka berdiri di luar medan pelindungku, menghantamnya dengan serangan guntur dan menggunakan petir untuk melemahkan medan pelindungnya, tetapi mereka bahkan tidak berhasil membuatnya retak.

Zhe Yan mulai berpikir kalau aku mungkin akan terus berada di pinggir Sungai Ruo, memeluk Ye Hua seperti itu sepanjang sisa hidupku. Beruntungnya, bunyi Lonceng Dong Huang menjangkau begitu jauh dan luas hingga bunyinya mengganggu proses mengasingkan diri Mo Yuan, dan di hari kedelapan, ia keluar.

Aku sama sekali tidak ingat tentang ini. Satu-satunya yang terlintas dalam kepalaku waktu itu adalah Ye Hua sudah mati, yang artinya aku juga sudah mati. Berbaring di pinggir Sungai Ruo, memeluknya sepanjang sisa hidupku, terdengar seperti pilihan terbaik.

Walaupun ia tak akan pernah lagi membuka matanya, meskipun sudut mulutnya tak akan pernah terangkat lagi membentuk senyuman kalem itu, walaupun ia tidak akan pernah mencondongkan diri ke arah telingaku dan memanggil namaku dengan suara dalamnya lagi. Biarpun tak ada satu hal ini yang akan terjadi lagi ... paling tidak, aku tetap bisa menatap wajahnya, dan tahu bahwa ia ada di sana, berada di sisiku.

Aku tidak benar-benar ingat datangnya Mo Yuan. Hanya sama-samar teringat duduk di bawah Lonceng Dong Huang, kepalaku kosong, benar-benar tidak tahu apa pun dari masa lalu, saat tiba-tiba saja aku melihat Mo Yuan mengernyit ke arahku dari sisi lain medan pelindungku.

Hatiku, yang mana terasa mati seperti daun yang berjatuhan, tiba-tiba saja bergejolak. Untuk pertama kalinya semenjak semua ini terjadi, aku menyadari bahwa aku masih hidup. Aku melihat Mo Yuan ada di sana, dan berpikir kalau ia pasti tahu sebuah cara untuk menyelamatkan Ye Hua. Biar bagaimanapun juga, ia pernah mengalami musibah serupa. Ia pernah mengorbankan jiwa primordialnya pada Lonceng Dong Huang dan tetap hidup untuk membagikan kisahnya.

Apabila ada cara apa saja untuk menyelamatkan Ye Hua, agar dapat mendengarnya memanggil nama Qian Qian lagi, aku bisa dengan mudah menanti selama tujuh puluh ribu tahun; aku akan dengan bahagia menantikannya tujuh puluh ribu tahun lagi.

Aku membuka medan pelindungku, berniat untuk mengangkat tubuh Mo Yuan dan membungkuk ke arah Mo Yuan, memohon bantuannya. Tetapi saat aku mencoba bangun, aku menyadari aku tak punya tenaga. Mo Yuan melangkah mendekat dan memandangiku.

“Baringkan ia di dalam sebuah peti mati,” katanya sedih.

“Biarkan Ye Hua pergi dengan bermartabat.”

Mo Yuan kembali ke Gunung Kun Lun, dan aku membawa jasad Ye Hua ke Qing Qiu, diikuti oleh keempat belas dewa dari Jiu Chong Tian. Sejauh yang kutahu, Ye Hua adalah milikku, dan aku tak akan menyerahkannya pada siapa pun. Formasi para dewa ini menanti di pintu masuk lembah selama setengah bulan sebelum kembali ke Jiu Chong Tian dengan ekor di antara kaki mereka dan melaporkan bahwa mereka gagal menjalankan misi, kepada Tian Jun.

Hari berikutnya, ayah dan ibu Ye Hua melakukan perjalanan ke Qing Qiu. Ibunya, yang tampak baik dan lemah, begitu marah sampai-sampai ia bergetar.

Ia mengusap sudut matanya dengan sehelai saputangan yang sudah basah dan berkata, “Baru hari inilah aku mengetahui kalau kau dan si manusia Su Su itu adalah orang yang sama. Apa kesalahan yang diperbuat putraku hingga dipasangkan denganmu dua kali dalam satu kehidupan? Ia mencintaimu sebagai Su Su dengan sepenuh hatinya. Ia bahkan berencana mengabaikan posisinya sebagai pewaris demi dirimu.

“Tian Jun-lah orang yang mendamaikan utangmu pada Su Jin dan memutuskan kau harus membayarnya dengan matamu. Ia juga menjatuhkan hukuman tiga bulan disambar petir, akan dilaksanakan setelah kau melahirkan. Pada akhirnya, kau hanya harus menderita kehilangan matamu; Ye Hua menggantikanmu menerima hukuman sambaran petir itu.

“Tetapi kau malah pergi, melompat dari Zhu Xian Tai. Putraku juga melompat dari Zhu Xian Tai mengejarmu. Ketika kau melompat, itu merupakan bagian dari ujianmu dan mengizinkanmu naik tingkatan dan menjadi seorang Dewi Agung. Di lain pihak, Ye Hua .... Yah, setelah melompat, ia tertidur selama enam tahun.

“Sekarang, tiga ratus tahun kemudian, ia musnah, juga adalah salahmu. Tak sekali pun putraku merasakan kebahagiaan semenjak bertemu denganmu. Ia melakukan begitu banyak hal untukmu, dan apa yang telah kau perbuat padanya?

“Lalu sekarang, kau ingin mengambil jasadnya, tanpa adanya kesadaran diri? Meskipun sudah mati, kau tetap ingin menguasainya, bahkan jasadnya sekali pun. Aku ingin bertanya satu hal padamu, apa hakmu?”

Tenggorokanku mengencang. Aku terhuyung mundur beberapa langkah, dan Mi Gu menangkapku dalam pelukannya.

“Cukup!”

Ayah Ye Hua menyela.

Ia berbalik ke arahku dan berkata, “Raja Hantu Qing Cang-lah yang membunuh putra kita. Ye Hua mempersembahkan jiwa primordialnya untuk menghentikan Lonceng Dong Huang menghancurkan semua yang ada di bawah langit. Ia mengorbankan dirinya sendiri demi menyelamatkan langit dan bumi, oleh karenanya Tian Jun memberikannya penghormatan terkemuka. Le Xu terlalu sedih untuk berpikir jernih. Kau tidak perlu memasukkan ucapannya ke dalam hati.

“Tetapi, kau harus menyerahkan jasad putra kami sekarang. Kalian berdua punya perjanjian pernikahan, tetapi kalian tidak pernah menikah, dan tidak masuk akal bagimu untuk menyimpan sendiri jasadnya seperti ini. Putra kami telah digelari sebagai pewaris Takhta Langit semenjak lahir. Menurut peraturan Istana Langit yang tak terbantahkan, ia harus dimakamkan di Wu Wang Hai di Langit Ketiga puluh enam. Aku mohon padamu, Dewi Agung, mohon jangan menghalangi jalan kami.”

Hari mendung dan angin sepoi-sepoi bertiup ketika Ye Hua dibawa kembali ke Jiu Chong Tian. Aku menghujani wajahnya dengan ciuman: di seluruh alis, mata, pipi, dan hidungnya.

Selagi aku menempelkan bibirku pada bibirnya, aku mengharapkan yang mustahil bahwa ia akan terbangun, menempelkan bibirnya di keningku dan mengatakan, “Qian Qian, ini semua hanyalah sebuah lelucon.”

 Itu tak lebih dari sekadar delusi gila belaka.

Orang tua Ye Hua membaringkan jasadnya di dalam sebuah peti es dan membawanya pergi dari Qing Qiu. Mereka hanya meninggalkan jubah hitam berlumur darahnya untukku.

Pernah, sebelum ini, Zhe Yan memberikanku bibit pohon persik, yang kutanam di pintu masuk gua rubah. Aku menyiraminya setiap hari dan menambahkan pupuk di tanahnya, dan dalam sekejap saja sudah muncul tunas. Hari dimana pohon itu akhirnya berbunga pertama kali, aku meletakkan jubah hitam Ye Hua dalam sebuah peti mati untuk membuatkan sebuah tugu, yang kukuburkan di bawah cabang pohonnya. Aku mencoba membayangkan bagaimana rupa pohon persiknya dengan seluruh cabangnya yang terselimuti bunga.

“Jangan lupakan bahwa Anda punya seorang putra, Gu Gu,” kata Migu.

“Apakah Anda ingin agar aku pergi menjemput Yang Mulia Kecil dan membawanya pulang ke Qing Qiu?”

Aku melambaikan tangan enggan padanya. Tentu saja aku tidak lupa kalau aku punya seorang putra. Tetapi saat ini, aku bahkan tak punya tenaga untuk mengurus diriku sendiri. Ia akan jauh lebih baik diurus di Istana Langit.

***

Aku menghabiskan dua minggu pertama setelah kunjungan orang tua Ye Hua duduk di bawah pohon persik dalam kelinglungan parah, yang mana saat itu aku sering sekali dikunjungi halusinasi tentang Ye Hua.

Ia selalu mengenakan jubah hitamnya, dengan rambutnya menjuntai turun dan diikat longgar dengan sehelai pita sutra. Ia akan bersandar di lututku, membaca buku, atau duduk di depan meja berseberangan denganku, dan melukis. Saat turun hujan, Ye Hua akan menarikku masuk dalam pelukannya dan melindungiku dari hujan.

Aku mungkin sudah puas; namun, Zhe Yan, Kakak Keempat, Mi Gu, dan Bi Fang tidak demikian. Di malam hari keenam belas yang kuhabiskan di luar sana, Kakak Keempat akhirnya tak sanggup lagi, dan ia menggendongku, membawaku masuk ke gua rubah, dan menempatkanku di depan sebuah cermin air agar aku bisa melihat diriku sendiri.

Dengan amarah yang sulit sekali ditahannya, ia berkata, “Lihatlah, sudah jadi apa dirimu! Ye Hua mungkin sudah mati, tetapi itu bukan artinya kau harus berhenti menjalani hidup.”

Kakak Keempat benar: Aku tidak berpikir aku bisa terus menjalani hidup. Aku juga tidak yakin jika musnah menjadi debu bertebaran akan pasti membuatku bersatu kembali dengan Ye Hua; namun, aku selalu berpikiran kalau musnah berarti bahwa, tak ada lagi yang tersisa darimu, semua bagian kembali ke tanah. Jika itu terjadi padaku, aku tidak akan bisa lagi mengingat Ye Hua, dan aku tidak menginginkan itu. Paling tidak untuk sekarang, setiap beberapa saat sekali aku bisa menikmati melihatnya berdiri di hadapanku dan tersenyum.

Dewi Agung yang terefleksikan di cermin air itu pucat dan kurus kering. Ada kain tebal putih di sekeliling matanya, dengan beberapa daun kering tersangkut di sana. Tetapi, itu adalah kain putih berbeda dari yang biasanya kugunakan.

Otakku berubah jadi sangat lamban. Oh, aku ingat sekarang, di awal bulan, Zhe Yan menyeretku dan menempatkan mata lamaku kembali di kepalaku. Ia mencelupkan kain putih ini pada ramuan obat istimewa demi melindungi mataku. Kainnya berbeda dari yang dibuatkan Ayah untukku.

Kakak Keempat pun menghela napas.

“Sadarlah!” katanya tegas.

“Kau sudah hidup sangat lama, pastinya kau sudah cukup melihat hidup dan mati, perpisahan dan pertemuan kembali. Tak bisakah kau terima situasimu dan bergerak maju?”

Bukannya aku tidak bisa menerima situasiku, lebih seperti aku tidak tahu bagaimana caranya. Kalau aku tahu bagaimana caranya, pasti sudah kulakukan. Saat aku mabuk-mabukan dan menghancurkan Jie Po Deng waktu itu, lenteranya melepaskan kenanganku akan apa yang terjadi tiga ratus tahun yang lalu. Untuk beberapa alasan, waktu itu, aku tidak mampu memikirkan apa pun yang baik tentang Ye Hua.

Semenjak ia pergi, aku tak bisa memikirkan satu pun kesalahannya: semua yang terlintas dalam benakku adalah kelebihannya.

Dulu, saat aku mencela Li Jing dengan suara meninggiku tentang bagaimana dirinya selalu menginginkan apa yang tak bisa dimilikinya dan tidak pernah menghargai hal itu ketika ia memilikinya. Tetapi, bukankah aku juga sama saja?

Bulannya bundar di atas langit dan bintang-bintang bersinar cerah. Sudah larut malam dan nyaris tak ada orang lagi. Tak ada yang bisa kulakukan selain tidur. Aku tidak pernah menduga kalau aku akan memimpikan Ye Hua, tetapi malam itu aku memimpikannya.

Ia sedang duduk di belakang meja, membaca kumpulan dokumennya. Ia meletakkan mereka di samping, meminum teh, dan agak mengernyit. Ia meletakkan cangkir tehnya, mendongak, dan tersenyum lebar padaku.

“Qian Qian, kemarilah dan ceritakan padaku tentang kisah yang kau baca kemarin,” katanya.

Aku benar-benar terserap dalam mimpi ini dan tidak ingin terbangun. Si Tua Takdir benar-benar sudah berbaik hati padaku kali ini. Saat aku berhalusinasi tentang Ye Hua duduk bersamaku di bawah pohon persik, ia tidak bisa berbicara, tetapi di mimpi ini, ia persis seperti nyata. Tak hanya kami berjalan-jalan bersama, bermain catur, ia bahkan bisa berbicara denganku.

Mulai saat itu, aku mulai memimpikannya setiap malam. Aku mulai menyukai tidur. Aku mengubah jalan pikiranku, yang mana membuatku jauh lebih nyaman.

Ada sebuah kisah di dunia manusia, disebut dengan mimpi kupu-kupu Zhuang Zi. Itu adalah kisah klasik tentang seorang manusia bernama Zhuang Zi, yang suatu malam bermimpi kalau ia adalah seekor kupu-kupu dan terbang melayang di sekitar penuh kebahagiaan. Tetapi kemudian, tiba-tiba saja, ia terbangun dan menemukan nyatanya ia adalah seorang manusia bernama Zhuang Zi dan bukanlah seekor kupu-kupu. Ia tidak tahu apakah ia adalah Zhuang Zi yang baru terbangun dari sebuah mimpi tentang menjadi seekor kupu-kupu ataukah seekor kupu-kupu yang sekarang ini tengah bermimpi menjadi Zhuang Zi.

Dulu, aku memandang kehidupanku yang berjalan sebagai kenyataan dan mimpiku sebagai ilusi. Tetapi kenyataan hidupku begitu membuatku murung sekarang. Bukankah lebih baik untuk mengubah sudut pandangku, oleh karenanya, memandang mimpi bersama Ye Hua sebagai realita dan siang hariku sebagai ilusi?

Related Posts:

0 comments:

Posting Komentar