Senin, 10 Januari 2022

3L3W TMOPB - Chapter 22 Part 2

Ten Miles of Peach Blossoms

Chapter 22 Part 2


Aku tidur selama dua hari, dan selagi tertidur, banyak kenangan kembali padaku.

Aku menyadari saat Qing Cang keluar dari Lonceng Dong Huang lima ratus tahun yang lalu, dan aku menggunakan segala yang kumiliki untuk menyegelnya kembali, bukan seperti yang dikatakan oleh Ayah dan Ibu padaku; aku tidak hanya tidur lelap di gua rubah selama dua ratus dua belas tahun. Sebaliknya, Qing Cang menyegel energi abadiku dan menurunkanku ke Gunung Jun Ji di Dataran Timur.

Tanpa mengetahuinya, selama ini sebenarnya aku adalah Su Su.

Ibu Buntalan.

Manusia yang melompat dari Zhu Xian Tai.

Aku sering bertanya-tanya pada diri sendiri, mengapa ujian yang kuhadapi untuk naik tingkatan menjadi Dewi Agung begitu lunaknya. Aku bertarung dengan Qing Cang, tidur selama dua ratus dua belas tahun, dan terbangun sebagai seorang Dewi Agung.

Saat terbangun di gua rubah tiga ratus tahun yang lalu, aku takjub ketika menemukan bahwa jiwa primordialku berubah dari cahaya putih bersinar menjadi cahaya emas bersinar dan menduga kalau ini adalah kebaikan hati yang dianugerahkan padaku oleh si Tua Takdir. Aku sangat berterima kasih pada si Tua Takdir itu karena menjadi makhluk yang murah hati.

Aku sama sekali tak menyangka bahwa pertarunganku dengan Qing Cang hanyalah sebuah pembuka dari ujian resmiku yang mengirimku menaiki tingkatan Dewi Agung. Bukan hanya aku kehilangan cinta sejatiku, tetapi juga mataku. Jika Qing Cang tidak menyegel jiwa primordialku, saat aku melompat dari Zhu Xian Tai, aku pasti akan kehilangan semua penempaan energi spiritualku juga.

Si Tua Takdir selalu tahu dengan tepat apa yang dilakukannya. Murah hati? Murah hati? Darimananya murah hati! Akhirnya aku paham, kenapa di Qing Qiu, Ye Hua tampak sering kali terlihat ingin mengatakan sesuatu padaku, tetapi setelahnya menghentikan dirinya sendiri.

Aku memahami hal aneh yang dapat kuingat samar sewaktu mendengarnya berkata di malam kami menginap di penginapan dunia manusia: “Aku berharap agar kau mengingatnya, dan juga berharap kau tak pernah mengingatnya.”

Itu bukanlah mimpi ataupun halusinasi. Semuanya lengkap dan masuk akal. Ye Hua bersalah padaku dulu, dan ia benar-benar mengecewakanku.

Ia mungkin tidak pernah mengerti kenapa aku meninggalkan Buntalan di melompat dari Zhu Xian Tai.

Longsoran kenangan tiba-tiba saja berguling di dalam benakku. Semua hari menyedihkan dari tiga ratus tahun tahun yang lalu terasa sesegar baru saja terjadi kemarin. Aku tidak peduli tentang apa yang dilakukan atau tidak dilakukannya dengan alasan demi melindungiku ketika aku adalah manusia biasa; ataupun aku sedang dalam kondisi pikiran yang baik untuk berpikir.

Saat terbangun dari mimpi ini, yang kuingat adalah tiga tahun penuh malam sepi yang kuhabiskan di kediamanku, selagi semua harapan berangsur dihancurkan. Aku dikuasai kesedihan sepi ini. Selama tahun-tahun itu, aku begitu tak berdaya dan diliputi kesedihan.

Aku menyadari dalam benak ini, akan sulit untuk menikahi Ye Hua di bulan Oktober, tetapi aku tahu aku masih mencintainya. Tiga ratus tahun yang lalu, ia benar-benar kebingungan dan membingungkanku, dan sekarang ia melakukannya lagi. Ini pasti adalah hukum karma dari sesuatu di masa laluku.

Aku masih mencintainya—aku tidak bisa mengendalikan apa yang dirasakan hatiku—tetapi kejadian-kejadian semasa tiga ratus tahun yang lalu seperti sebuah penghalang yang tak bisa kuloncati. Aku tak mampu memaafkannya atas apa yang telah dilakukannya.

Mi Gu membawalan air untuk membasuhku.

Ia memerhatikanku sejenak sebelum berkata, “Gu Gu, apakah kau mau kubawakan anggur lagi?”

Aku meletakkan tangan di wajahku, mengusapnya, dan langsung basah kuyup.

Mi Gu membawakan lebih banyak anggur. Selama sesi minum-minumku yang terakhir, aku menghabiskan tujuh atau delapan guci, yang kuduga adalah semua simpanan milik Kakak Keempat. Sudah jelas ada lebih banyak lagi dari yang kukira di pondok jerami, selagi tiba-tiba saja Mi Gu memunculkan lima atau enam guci lagi.

Aku akan minum sampai pingsan. Segera setelah terbangun, aku akan minum lagi. Aku minum dan tidur, minum dan tidur, menghabiskan tiga atau empat hari siklus menjemukan. Di hari kelima, aku terbangun saat senja, melihat Mi Gu duduk di kamarku, mengerutkan dahinya risau memandangiku.

“Kau sudah menghabiskan semua anggur dari gudang anggur sekarang. Sudah saatnya kau mulai mengurusi dirimu, Gu Gu.”

Mi Gu sangat mencemaskanku. Tak ada yang salah padaku secara fisik; aku hanya kekurangan tenaga. Aku tak seburuk Feng Jiu ketika ia patah hati, setelah beberapa kali minum, biasanya ia akan muntah-muntah. Aku sudah cukup latihan minum anggur hingga membentuk toleransi yang bagus.

Tanpa adanya alkohol kuat untuk menenggelamkan diri, aku mulai mendapatkan kembali kejernihan pikiranku. Dalam keadaan setengah jernih ini, aku teringat akan sesuatu yang penting, harus kuingat apa pun yang terjadi. Mataku masih ada di rongga mata Su Jin. Aku harus mendapatkan mereka kembali.

Su Jin memanfaatkan keadaan tak berdayaku saat aku sedang menjalani ujian percintaan dan mencuri mataku. Sekarang, karena ujianku sudah berakhir, aku rasa tak pantas baginya, masih berkeliaran dengan mataku. Pemikiran tentang mataku di wajahnya sungguh membuatku tidak nyaman.

Aku memanggil kipas Kunlun-ku dan berdiri di depan cermin, membuat diriku tampak lebih pantas. Warna kulitku sedang tidak dalam keadaan yang baik, dan agar tidak terlalu mempermalukan Qing Qiu, aku putuskan untuk membuka sekaleng pemerah pipi dan mengoleskan sedikit ke pipiku.

***

Bersinar penuh cahaya, aku menuju Jiu Chong Tian. Aku melemparkan satu mantra untuk melewati para penjaga di Pintu Gerbang Selatan Langit dan langsung menuju Aula Chang He di Istana Xi Wu: kediaman Su Jin.

Sebagai seorang selir panutan, ia menikmati hidup yang sangat nyaman, dan ia sedang berbaring di atas sebuah ranjang megah dengan mata terpejam saat aku masuk. Sewaktu aku berada di hadapannya, aku membuat diriku terlihat, menyebabkan si dayang yang baru saja masuk untuk menuangkan teh pun memekik terkejut. Mata si selir panutan pun terbuka, dan ia sedikit waspada saat melihatku.

“Dewi Agung, Anda menakutiku dengan datang seperti ini,” katanya, walaupun cara bicaranya yang tenang dan santai selagi berbalik dan kembali berbaring di ranjang tidaklah sesuai dengan ucapannya.

Aku duduk di pinggirnya.

Ia pun tersenyum lebar dan berkata, “Aku mencoba menebak mengapa Anda datang kemari. Aku bayangkan, itu pasti untuk mendapatkan informasi mengenai keadaan terbaru Pangeran. Jika Anda ingin mendengar soal Pangeran ....” Ia menjeda, dan senyumnya pun makin lebar.

“Su Su menjaga Pangeran dengan sangat baik di dunia manusia, dan Pangeran pun menjaganya dengan sangat baik sebagai balasannya.”

Senyum menjijikkan di wajahnya tampak aneh, bertentangan dengan mata baik berbinarnya. Aku mengelus permukaan kipas Kun Lun dan mencoba memperlihatkan toleransi di wajahku.

Yah, kalau memang demikian, itu jelas hal yang baik, ada ia di sana bersama Ye Hua. Benar-benar membuatku tenang ada dirimu di sini untuk mengurusi Ye Hua. Alasan aku kemari hari ini adalah karena sekarang giliranku mengurusimu.”

Ia memandangiku curiga, dan aku menanggapi dengan senyum datar.

“Kau sudah menggunakan mataku selama tiga ratus tahun terakhir ini, Su Jin. Apakah kau menikmatinya?” tanyaku.

Ia mendongakkan kepalanya tajam, dan aku melihat wajahnya bersemu merah darah sebelum berubah jadi merah muda, dan setelahnya jadi pucat pasi. Aku memerhatikan dengan penuh minat selagi ia melewati semua fase warna berbeda ini.

“A-a-apa katamu?” kicaunya.

Aku membuka kipasku dan sembari tertawa aku pun berkata, “Tiga ratus tahun yang lalu, aku melalui sebuah ujian percintaan dan kehilangan mataku. Kau adalah orang yang mencuri mereka. Setelah kupikirkan baik-baik, kuputuskan untuk kemari dan mengambilnya lagi. Jadi, apakah kau ingin jadi orang yang melakukan kehormatan ini, atau haruskah aku yang melakukannya untukmu?”

Ia mundur dua langkah ke belakang dan menabrak sandaran lengan di ranjang megahnya, walaupun sepertinya ia tidak menyadarinya.

“Apakah kau ... apakah kau adalah Su Su?” tanyanya, bibirnya bergetar.

Aku membuka lebar kipasku, dan dengan sejejak ketidaksabaran merayapi suaraku, aku berkata, “Jadi, siapa diantara kita yang akan mencungkilnya, kau atau aku?”

Ia memilin lengan bajunya, matanya tanpa ekspresi. Ia megap-megap beberapa kali, tetapi tak ada kata yang keluar. Setelah sekian lama, ia pun bersuara, antara tawa dan isakan.

“Gadis itu ... ia jelas-jelas adalah seorang manusia. Tidak mungkin ia adalah dirimu.”

Aku memungut satu cangkir teh dari atas meja, aromanya kuat dan mengepul.

“Apa bedanya ia manusia atau seorang Dewi Agung?” tanyaku.

“Hanya karena aku berubah jadi manusia tiga ratus tahun yang lalu dan tidak menyadari apa yang terjadi padaku, tidak serta merta membuat seorang dewi remeh yang tidak penting, berhak mengambil mataku dan menipuku hingga lompat dari Zhu Xian Tai.”

Kakinya jadi lemas, dan ia meringkuk di sisinya.

“Aku ... aku ... aku ....,” mulainya, tetapi ia tak pernah bisa menyelesaikan kalimatnya.

Aku pun mendekat dan menyentuh rongga matanya.

“Aku cukup beruntung karena belum lama ini diberikan anggur-anggur enak,” kataku pelan.

“Sayangnya, aku minum agak kebanyakan dan tanganku masih agak gemetaran. Mungkin tidak akan terlalu sakit jika kau sendiri yang melakukan prosedurnya.”

Tepat saat aku baru saja menurunkan tanganku, ia memekik nyaring. Aku membuat sebuah medan pelindung di depan Aula Chang He untuk mencegah adanya dewa-dewi ataupun para dayang masuk kemari. Ia begitu panik hingga manik matanya seperti jarum.

Ia menggenggam tanganku liar, berkata, “Tidak boleh ... kau tidak boleh ....”

Aku menepuk-nepuk wajahnya dan berkata, “Tiga ratus tahun yang lalu, kau selalu berpura-pura lemah lembut. Kau selalu bersandiwara begitu. Kau tidak mengizinkanku melihat yang lain selain sisi lemah lembutmu, kan? Ketika Ye Hua mencungkil mataku, ia bilang bahwa apa yang diutangkan harus dikembalikan, tetapi kita berdua sama-sama tahu kisah sebenarnya. Karena kau adalah orang yang bertanggung jawab atas dicungkilnya mata dari wajahku, dan memindahkannya ke dalam rongga matamu sendiri, berikan aku satu alasan mengapa aku tidak boleh mengambil mereka kembali sekarang juga. Kau kira, fakta bahwa kau menggunakan meraka selama tiga ratus tahun terakhir ini memberimu hak kepemilikan atas mereka?”

Aku menurunkan tanganku ke matanya dan melakukannya. Ia menjerit pahit.

Aku mencondongkan diri ke arah telinganya dan berkata, “Tian Jun menangani apa yang terjadi tiga ratus tahun yang lalu secara diam-diam. Dan apa yang terjadi hari ini akan ditangani diam-diam juga. Sekarang, kau sudah membayarkan utang matamu, tetapi kau masih berutang padaku karena membuatku melompat dari Zhu Xian Tai.

“Untuk membayarkan utang ini, kau bisa melompat juga dari sana atau kau bisa mencari Tian Jun dan memberitahunya kalau kau ingin dipindahkan ke tepi Sungari Ruo, dimana kau bisa menggunakan kekuatan abadimu yang lemah itu untuk menjaga Qing Cang di Lonceng Dong Huang, dan kau tak akan pernah kembali lagi ke Kerajaan Langit.”

Tampaknya ia sudah kebas. Rasa sakitnya pasti tak tertahankan. Aku pernah mengalami hal yang mirip, dan menjadi seorang manusia saat itu, aku jauh lebih menderita.

Ia kesulitan bernapas akibat rasa sakitnya, tetapi ia berhasil memaksakan kata-kata keluar, “Tidak mungkin aku akan ....”

Itulah: akhir dari kepura-puraan lemah lembutnya itu. Aku telah memaksanya untuk menunjukkan warna aslinya. Aku mengangkat wajah bersimbah darahnya dan tertawa.

“Oh? Apakah kau lebih suka aku pergi menemui Tian Jun dan mengatakannya sendiri secara langsung? Tetapi, aku adalah tipe orang yang mengatakan satu hal di satu hari dan hal yang benar-benar berbeda di hari berikutnya. Jika aku berakhir berbincang dengan Tian Jun, siapa tahu apa yang akan kuberitahukan kepadanya.”

Aku merasakannya jadi membeku di bawah tanganku, dan ia meringkuk layaknya bola demi menahan rasa sakitnya.

Aku melafalkan mantra Buddha: “Karma baik, karma buruk. Hukum alam dari sebab akibat.”

0 comments:

Posting Komentar