Rabu, 09 September 2020

TMPW - Chapter 13 Part 1

The Man's Perfect Wife - Chapter 13 Part 1


(T/N : Akhirnya saya bisa ngelanjut cerita ini. Makasih ya yang uda bersabar nungguinnya *peluk sayang* Selamat Membaca~)



"Ayo kita pergi."

Di dalam hutan, Choi Myung telah meninggalkan sebuah mobil beratap terbuka yang kecil. Mereka juga dapat melihat sebuah tas ransel yang dipenuhi dengan kebutuhan bepergian. Joon Hun membukakan pintu samping penumpang untuk Yuan. Setelah ia duduk, Joon Hun pun berjalan ke sisi lainnya dan duduk di kursi pengemudi.

"Sial, kenapa ia mengambil mobil sekecil ini?"

Dibandingkan dengan mobil-mobil yang biasa dikendarai oleh Joon Hun, mobil ini tampak sangat kecil.

Meskipun ia masih berkeringat dingin, Yuan pun tidak tahan untuk tertawa. Melihat Joon Hun meringkuk di kursi pengemudi selagi ia mengemudi, Yuan berpikir, pria itu tampak lucu.

"Bagaimana bisa kau tertawa sekarang ini?"

Ia menggerutu ketika ia bertanya.

"Lihatlah dirimu."

"Baiklah. Selama kau bersenang-senang."

Mesin mobilnya pun berbunyi vroom sementara perlahan-lahan mulai bergerak.

Sewaktu mereka keluar dari hutan, mereka melihat jalan dengan dua jalur. Perbukitan hijau terlihat seperti ombak yang bergulir. Mereka melihat ke lingkungan sekitar mereka selagi Joon Hun memutar setir kemudi dan mulai menuju ke barat.

Dengan kedua tangannya yang saling menggenggam, dengan panik Yuan memeriksa kaca spion. Terlepas dari kekhawatirannya, sepertinya tidak ada yang mengikuti mereka. Apakah mereka baik-baik saja? Apakah mereka sungguh berhasil?

Tiba-tiba saja, mereka mendengar bunyi sirene.

Darah serasa mengering dari wajah Yuan. Ia tidak bisa berbicara. Mulanya, ia berpikir ia hanya sedang berkhayal, tetapi setelah melihat wajah Joon Hun, ia tahu bahwa sudah pasti ia mendengar bunyi sirene polisi.

"Ya Tuhan."

Erangan terlepas dari bibirnya.

Apa yang harus mereka lakukan?

Berubah pucat pasi, Yuan melihat ke arah Joon Hun. Ia juga pucat. Ini adalah pertama kalinya Yuan melihat Joon Hun seperti ini. Apakah mereka sudah tertangkap? Secepat itu? Bagaimana mereka dapat lolos dari situasi ini?

Mereka melawan sebuah bank Swiss. Bahkan kesalahan sekecil apa pun akan mempunyai dampak yang sangat besar. Yuan harus menghadapi konsekuensinya. Termasuk Joon Hun.

"Hentikan mobilnya."

Suara Yuan terdengar kuat. Terkejut, Joon Hun menatapnya.

"Kau harus melarikan diri. Cepat!"

Mata Joon Hun menyipit dan menusuk ke arahnya. Tiba-tiba saja, ia mulai tertawa.

"Min Yuan, kuasai dirimu."

"Joon Hun-ssi! Sekarang bukan waktunya untuk melakukan ini!"

"Aku tidak akan pergi kemana-mana tanpa dirimu."

Suaranya tegas.

"Joon Hun­-ssi! Berhenti bersikap konyol. Kau tidak melakukan apa-apa. Hentikan mobilnya sekarang juga. Akulah orang yang melakukan ini!"

Ia mengulurkan tangannya dan menggenggam tangan Yuan. Ia menggenggamnya begitu erat hingga Yuan tidak bisa mengibaskannya.

"Min Yuan, dengarkan baik-baik."

Ia menolehkan kepalanya dan memelototinya. Ribuan emosi berputar-putar mengitari mereka seperti sebuah tornado, tetapi matanya tidak goyah.

"Aku tidak akan pergi kemana-mana. Kita berdua memutuskan untuk melakukan ini, dan kita berdua akan memecahkannya bersama-sama. Jangan cemas."

"Joon Hun-ssi!"

Yuan bisa melihat mobil-mobil polisi dengan jelas sekarang. Dua mobil putih dengan stiker oranye dengan cepat mengejar mereka. Tangan Joon Hun mengencang di setirnya.

Air mata mulai menggenang di mata Yuan. Ini semua adalah salahnya. Ini semua adalah salahnya hingga Joon Hun terseret ke dalam ini. Apa yang akan dilakukannya sekarang ...?!

Mereka menghentikan mobil itu. Keheningan yang luar biasa pun menekan mereka. Joon Hun menggenggam tangan Yuan erat-erat, dan mobil-mobil polisi mulai mendekat.

Weeewooo!

Sementara suara sirenenya semakin mendekat, mobil-mobil polisi tiba-tiba saja melewati mereka dan terus melaju ke depan.

Apa? Terkejut, Yuan menyaksikan mereka pergi. Ia menyaksikan sewaktu mobil-mobil polisi itu berpacu melintasi bukit, meninggalkan debu di belakang mereka.

Bukan ... kita?

"Haa."

Akhirnya Yuan menghela napasnya. Dalam semua kebingungan itu, ia tidak bisa berpikir dengan jernih. Ia sungguh mempercayai kalau polisi-polisi itu sedang mengejar mereka. Ia menatap Joon Hun. Pria itu juga menatap balik dirinya terkejut.

Selagi mereka saling berpegangan tangan, mereka tidak bisa bergerak. Keheningannya mereda. Mereka tidak tahu siapa yang memulainya, tetapi mereka berdua mulai tertawa.

"Pfft, hahaha."

Yuan dan Joon Hun tertawa seolah mereka sudah gila. Mereka teringat wajah pucat masing-masing dan tidak bisa berhenti tertawa. Wow, ia tidak pernah berpikir kalau ia akan melihat ekspresi semacam itu pada wajah Joon Hun. Ia pucat sekali. Tentu saja, Yuan pun demikian.

Tak peduli seberapa tanpa takut mereka, berpikir kalau mereka sudah melakukan sesuatu yang begitu gila terhadap sebuah bank Swiss ... Ketika mereka mendengar polisi, mereka benar-benar yakin kalau mereka akan ditangkap.

"Akan jadi merepotkan apabila kita berdua berakhir dipenjara."

Joon Hun nyaris tidak sanggup menahan tawanya sewaktu ia berbicara.

"Maafkan aku, Joon Hun-ssi. Tetapi semestinya kau melihat wajahmu barusan ini ... Pfft."

Yuan tahu, tidak seharusnya ia tertawa, tetapi itu adalah pertama kalinya ia melihat Joon Hun begitu ketakutan.

"Aku pikir, hidupku sudah berakhir karena kesialan akibat bertemu seorang istri seperti dirimu."

"Kau tidak salah. Kau memang sial karena bertemu seorang istri seperti diriku."

"Bagus. Selama kau mengetahuinya."

Joon Hun terkekeh selagi ia menyalakan mobilnya.

Mobilnya terus ke arah barat. Joon Hun masih memegangi tangan Yuan dan sedang memegang setir dengan tangan lainnya. Hanya ada beberapa mobil di jalan. Beberapa pedesaan yang mereka lewati tampak sangat damai. Sinar matahari yang lemah, dengan lembut membelai berbagai hutan dan dataran.

"Sekarang, kita akan mencuci tangan kita dari semua ini, kan? Semuanya sudah berakhir?"

Kata Joon Hun. Yuan menolehkan kepalanya dan menatapnya.

"Kalau orang lain mendengarmu, mereka akan mengira kita selalu melakukan hal seperti ini."

"Tetapi, bukannya itu benar? Dari apa yang kuingat, ini sudah yang ketiga kalinya."

"Apa maksudmu?"

"Apa kau lupa? Dubai dan Pyeong Chang. Wow, bagaimana bisa kau melupakan itu? Aku sungguh menikahimu tanpa mengetahui seberapa menyeramkannya dirimu sebenarnya."

"Kau benar. Maafkan aku, Seo Joon Hun-ssi."

"Aku tidak tahu bagaimana kau sanggup bertingkah selembut itu di pertemuan pernikahan kita."

"Aku menyiapkan banyak hal untuk itu."

"Itu membuatku berpikir bahwa, inilah bagaimana banyak pria yang tertipu dalam pernikahan."

Pfft, Yuan tertawa terbahak-bahak mendengar ucapannya.

"Seorang wanita yang kau kira baik dan lembut, ternyata sangat luar biasa."

"Kau benar. Tetapi kau sudah jadi seorang kaki tangan. Apa yang bisa kau perbuat?"

Meskipun mereka tertawa dan bercakap-cakap, Yuan masih merasa gugup. Walaupun mereka tidak mencuri uang itu dan hanya mentransfernya ke dalam rekening Hong Se Ryung, ia masih menyesal karena ia menyeret Joon Hun ke dalam ini.

"Tidak ada yang bisa kuperbuat. Aku hanya akan menyerahkannya pada nasib."

Joon Hun menatapnya dan nyengir.

"Tetapi, tetap saja, itu lumayan menyenangkan."

"Apa?"

"Kalau bukan karena dirimu, kapankah aku akan pernah merasakan sesuatu seperti ini? Aku diretas, aku masuk tanpa izin ke rumah orang lain, dan aku bahkan menipu sebuah bank Swiss. Kau tahu? Seharusnya kau juga bersyukur. Akulah satu-satunya orang yang akan bersedia untuk hidup bersama seseorang sepertimu. Kalau itu adalah pria lain, mereka hanya akan, 'Wow, Min Yuan' dan melarikan diri ke perbukitan."

Oh, Tuhanku. Yuan tertawa terbahak-bahak. Ia tidak pernah menyangka, Seo Joon Hun akan mengatakan sesuatu seperti ini. Selalu serius dan dingin, akhirnya ia terasa seperti seorang manusia. Yuan tahu bahwa, demi menenangkan ketegangannya, Joon Hun mengoceh tidak seperti biasanya. Merasa bersyukur, Yuan pun menyetujui dengan antusias.

"Tentu saja. Kaulah satu-satunya yang dapat menangani seseorang sepertiku."

"Kau benar. Kau harus bersyukur selama sisa hidupmu."

Selama sisa hidupnya. Senyum Yuan agak tersendat. Selama sisa hidupnya? Akankah ia bisa bersama Joon Hun selama sisa hidupnya? Apakah itu mungkin?

Anginnya bertiup masuk melalui jendela mobil. Rambut Yuan acak-acakan selagi ia melihat ke arah wajah tersenyum Seo Joon Hun. Yuan menarik napas. Ia belum pernah melihat Joon Hun seperti ini sebelumnya. Selalu memasang ekspresi dingin sementara memakai setelan jasnya yang kaku, wajah Joon Hun sekarang tampak begitu tanpa beban.

"Apa?"

Joon Hun mempertahankan matanya tetap pada jalanan sementara ia bertanya.

"Apa kau sangat terharu karena kau bisa hidup dengan seorang pria tampan seperti diriku selama sisa hidupmu?"

"Apa kau bilang?"

Bibir Yuan menganga syok. Joon Hun menolehkan kepalanya dan menatapnya sementara ia menyeringai. Mata Yuan melebar selagi ia melihat senyuman hangat Joon Hun untuk pertama kalinya selama hidupnya.

Joon Hun mengangkat tangannya dan mengetuk ringan pipi Yuan dengan tangannya.

***


Mobilnya tidak berhenti dan terus melaju menuju Paris. Dibutuhkan waktu tujuh jam dari Zurich ke Paris. Yuan begitu gelisah sampai-sampa ia tidak mau makan apa-apa, tetapi Joon Hun berhenti di tengah jalan dan membuatnya makan sup dan minum air.

Beberapa saat kemudian, Joon Hun menerima sebuah pesan teks pendek di ponselnya.

'Selesai.'

Tidak ada indikasi siapa yang telah mengirimkan pesan tersebut. Namun, mereka yakin kalau itu berasal dari Derrick dan Eri. Yuan melihat ke bawah pada pesan itu untuk waktu yang sangat lama sebelum mengangkat kepalanya dan menatap ke luar jendela mobil.

Mobil itu akhirnya sampai di pinggiran Paris. Yuan dapat melihat matahari tenggelam di antara bangunan-bangunan abu-abu kuno. Mataharinya tampak seperti telur berwarna oranye kemerahan yang menggantung di langit.

Akhirnya mereka kembali pada kenyataan.

Pemandangan malam Paris dari jet pribadi mereka sangat indah. Tampak seakan-akan, bintang-bintang telah bertaburan di langit. Menara Eiffel di kejauhan berkilauan seperti sebuah suvenir di sebuah toko hadiah. Joon Hun duduk di sebelah Yuan sementara ia melihat-lihat dokumen yang belum sempat dilihatnya.

Karena itu adalah sebuah pesawat pribadi, tidak ada orang lain lagi di dalam kabin kecil itu. Pesawat ini memiliki sebuah sofa yang nyaman dan luas, bahkan sebuah kamar tidur.

"Apa kau sedih karena kita akan pergi?"

Tanpa melihatnya, Joon Hun bertanya. Yuan mengalihkan pandangannya dari pemandangan di luar jendela dan menggelengkan kepalanya.

"Tidak. Aku sudah sering sekali ke sini, ketika aku bersekolah di Inggris."

"Tetap saja ... Mari kita kembali kemari untuk liburan lain kali."

Yuan tersenyum canggung ketika ia mendengar Joon Hun mengatakan 'lain kali'. Joon Hun berbicara seolah itu sudah pasti. Ia mengatakan 'lain kali' dan 'selama sisa hidup kita' dengan begitu mudahnya. Jujur saja, Yuan tidak begitu percaya diri.

Tidak ada seorang pun yang mengetahui situasi macam apa yang akan terjadi setelah bom dari transfer rekening itu dijatuhkan ke Korea. Ini berbeda dari apa yang telah dibayangkannya. Tak peduli seberapa banyak ia telah mempersiapkan dirinya, ia tidak akan pernah bisa yakin tentang masa depan.

Tidak seperti Seo Joon Hun.

Yuan mengenang pertama kali mereka bertemu. Joon Hun mengenakan setelan jas warna biru tua yang bergaya. Seorang pria yang dingin. Terhadap kata-kata dan sikapnya yang berdarah dingin itu, Yuan merasa lega. Ia merasa bahwa, akan mudah untuk menikahi dan menceraikan pria semacam ini.

Namun, pria ini tidak akan pernah menceraikannya. Joon Hun mengatakan ia punya perasaan terhadapnya, bahwa ia jatuh cinta padanya. Joon Hun muncul di lingkungan Pyeong Chang, bahkan menemaninya ke bank Swiss. Joon Hun menemaninya dalam misi yang berbahaya ini.

Apakah ia sanggup meninggalkan seorang pria seperti dirinya? Apakah Yuan sanggup untuk menolak seorang pria seperti dirinya? Rasa bersalah yang dirasakannya, yang menyebabkan Yuan tetap di sisinya ... Apakah itu cinta?

Yuan tidak tahu.

Yuan sudah kelelahan karena menghabiskan semua tenaganya memikirkan tentang situasi Presiden Min.

"Mengapa kau melakukan itu?"

Yuan mendongakkan kepalanya dan tiba-tiba saja bertanya pada Joon Hun.

"Hmm?"

"Kenapa ... Kau bilang kau tidak akan berpisah dariku ... Jadi, kapan kau ..."

Yuan ingin menanyainya, kapan Joon Hun mengetahui ia punya perasaan terhadap dirinya.

Joon Hun menatapnya sebelum kembali bersandar ke kursi. Senyum samar terbentuk di bibirnya.

"Aku penasaran. Aku tidak begitu yakin ..."

"Pastinya ada satu saat yang kau ingat?"

"Aku penasaran, apa itu ..."

Joon Hun menenglengkan kepalanya dan sebelum dengan lembut berkata, "Pendaratan darurat."

"Apa?"

"Aku rasa, itu terjadi selama pendaratan darurat."

Huh? Pendaratan darurat?

Tiba-tiba, Yuan sadar apa yang tengah dibicarakan Joon Hun. Itu terjadi tahun lalu, ketika pasangan tersebut pergi ke Rusia. Dikarenakan kerusakan mesin, pesawat mereka melakukan pendaratan darurat di sebuah kota kecil bernama Murun, Mongolia. Ada sebuah keluarga beranggotakan tiga orang yang berbagi kabin kelas pertama dengan mereka. Putri kedua dari keluarga itu mulai membuat keributan.

"Terbangkan lagi pesawatnya! Sekarang juga!"

Seorang pramugari sedang berlutut di depan wanita itu sementara ia berusaha untuk menjelaskan situasinya. Wanita itu berteriak marah dan memukul si pramugari.

"Apa kau tahu seberapa besar nilai kontrak yang akan kutandatangani? Apakah kalian akan bertanggung jawab apabila terjadi sesuatu yang salah? Apa yang akan kalian lakukan? Terbangkan kembali pesawatnya sekarang juga!"

Mesinnya rusak dan badai salju berkecamuk di luar jendela. Meskipun ia jelas-jelas tahu kalau mustahil bagi pesawatnya untuk terbang dalam situasi ini, wanita itu terus menjerit dan membuat keributan seperti seorang anak berusia tiga tahun.

Namun, status si pramugari di bawah wanita itu. Tidak, itu begitu jauh di bawahnya sampai-sampai ia bahkan tidak bisa menyentuh wanita tersebut.

"Pelanggan, mohon tenang dan ..."

"Tenang? Apakah kelihatannya aku bisa tenang dalam situasi ini?!"

Smack!

Wanita itu menarik kembali tinjunya dan memukuli si pramugari lagi. Namun, tidak ada orang yang berada di kabin kelas satu itu yang ikut campur. Wanita itu hanya melampiaskan kemarahannya. Itu hanyalah sebuah gangguan yang tak berarti bagi mereka.

0 comments:

Posting Komentar