Ten Miles of Peach Blossoms
Chapter 17 Part 1
Aku terbangun
di tengah malam oleh suara ketukan di pintu kamarku.
Karena aku
berada di ranjang baru yang aneh, aku tidak tertidur sangat lelap, dan segera
setelah aku mendengarkan ketukannya, aku mengangkat diriku, mengenakan sebuah
jubah di tubuhku, dan pergi membukakan pintunya.
Nai Nai berdiri
di bawah langit yang diterangi bintang, matanya memerah, dan ia sedang
menggendong Buntalan yang masih tertidur dalam pelukannya.
Alisnya agak
mengerut saat ia melihatku.
“Kemarin Anda
bilang kalau Yang Mulia Pangeran Kecil akan terbangun di tengah malam, tetapi
sekarang sudah tengah malam, dan ia masih belum juga menunjukkan tanda-tanda
akan terbangun,” katanya dengan suara panik.
“Dan wajah
kecilnya jadi semakin memerah. Hamba minta maaf karena mengganggu Anda, Dewi
Agung, tetapi hamba sangat cemas.”
Aku setengah
terbangun sekarang. Nai Nai masuk ke dalam kamarku dan menyalakan sebatang
lilin sementara aku menggendong Buntalan ke ranjang. Aku menggerakkan tanganku
di seluruh tubuhnya dan merasa lega mengetahui kalau ia sudah lebih sejuk.
Anak-anak
memang biasanya toleransi alkoholnya rendah, tetapi toleransi alkohol Buntalan
jauh lebih rendah daripada dugaanku. Aku melihat Nai Nai masih tampak gelisah
dan memberikannya senyum menenangkan.
“Kebanyakan anak
kecil yang mabuk karena anggur buah terbangun di tengah malam, jadi itulah
asumsiku apa yang akan terjadi pada Buntalan. Sebenarnya, kelihatannya ia akan
tertidur hingga pagi esok hari. Fakta bahwa wajahnya cerah adalah pertanda
bagus. Menunjukkan kalau alkoholnya sedang dikeluarkan. Kau tidak perlu terlalu
cemas.”
Nai Nai
mengembuskan napas keras.
Saat aku
melihat betapa merah matanya, aku merasakan lonjakan kelembutan terhadapnya.
“Aku rasa, kau
tidak perlu membawa Buntalan kembali bersamamu. Kau belum tidur sedikitpun, kan?”
Ia tersenyum
malu.
Sebagai seorang
dewi agung yang berbelas kasihan, aku tidak menyukai pemikiran tentang Nai Nai
yang dilarang tidur selama sisa malamnya juga. Kami berdua melepaskan pakaian
Buntalan, menutupinya dengan selimut awan, dan memindahkannya ke bagian tengah
ranjang.
Aku tersenyum
ramah pada Nai Nai dan berkata, “Aku akan mentransferkan energi abadiku
kepadanya di titik-titik berselang sepanjang malam. Ia pasti akan terbangun
esok hari seperti Buntalan yang ceria lagi. Saat ia terbangun, ia akan
membutuhkan bubur nasi yang kental untuk mengisi perutnya. Pergi dan tidurlah,
pulihkan tenagamu, dan saat kau terbangun esok hari, buatkan bubur itu dan
bawakan kemari.”
Nai Nai ragu
sebelum berkata, “Tetapi jika Yang Mulia Pangeran Kecil di sini bersama Anda,
Anda tidak akan bisa tidur.”
Aku menepuk
pipi Buntalan. “Lihat betapa nyenyaknya ia tertidur sekarang. Kita bisa
membentuknya seperti bola dan menggulingkannya kembali ke Istana Qing Yun dan
ia tidak akan jadi lebih arif. Ia tidak akan mengganggu istirahatku.”
Nai Nai
terkikik, membungkuk kaku padaku, meniup lilinnya, dan pergi dengan hormat.
Tidak ada hal
serius yang terjadi pada Buntalan, tetapi ia banyak sekali berkeringat. Dari
wajahnya, kelihatan jelas betapa nyenyaknya ia tertidur, dan ia memang terlihat
sedikit lebih buruk. Aku membawakan sebaskom air dan melemparkan sebuah mantra
sihir untuk membuat suhu ruangannya jadi lebih hangat. Aku membuka selimut
awannya, benar-benar menelanjanginya, dan mengelapnya. Aku merawatnya dari
pukul dua pagi hari hingga Mao si Dewa Matahari mengambil posisinya kembali.
***
Aku tidak dapat
tidur sama sekali, tetapi demi ini, aku tidak bisa menyalahkan orang lain
selain diriku. Saat aku mengenakan kembali pakaian Buntalan satu per satu,
tersadarlah aku, betapa merepotkannya mempunyai seorang anak kecil, dan
kekaguman yang kurasakan untuk Ye Hua mencapai ketinggian yang baru.
Aku baru saja
selesai mempersiapkan Buntalan saat Nai Nai tiba dengan buburnya, dan aku masih
belum berkesempatan untuk membawa keluar baskom airnya. Nai Nai terkejut
melihat baskom di lantai, sebelum berlutut, mengambil kain putih, memeras
airnya, dan membawa baskomnya keluar untuk membuang airnya.
Di saat ia
kembali, aku sudah selesai membersihkan diriku dan mencicipi buburnya, yang
lezat. Mengetahui kalau anak kecil bisa cerewet tentang makanan, ia menggunakan
sedikit gula untuk membuatnya manis. Menyuruhnya kembali agar ia terbangun
lebih awal untuk membuatkan bubur hanyalah sebuah tipuan; aku benar-benar tidak
berpikir kalau Buntalan akan terbangun sepagi ini.
Karena Buntalan
masih belum terbangun, ia tidak bisa menikmati semangkuk bubur manis yang lezat
ini. Aku menatap kasihan pada mangkuk di hadapanku, tentu saja, jika si bubur
bisa berpikir, ia akan merenungi tentang segala kesulitan yang telah
dilaluinya, diaduk kesana-kemari di kuali, dan direbus selama berjam-jam pada
akhirnya, semuanya hanya agar ia bisa duduk di atas meja ini, mengepul panas di
mangkuk ini. Membiarkan buburnya jadi dingin dan menyia-nyiakannya tampaknya
akan sayang sekali.
Aku menghela
napas tak puas.
Nai Nai
mengerutkan bibirnya dan tersenyum.
“Karena Yang
Mulia Pangeran Kecil masih tidur, akan sangat disayangkan jika buburnya dingin,
dan Anda masih belum sarapan. Jika Anda ingin mencoba masakan dayang ini,
silakan saja.”
Karena ia sudah
menawarkan, aku rasa aku tidak bisa bilang tidak, jadi aku menerimanya sembari
tertawa. Aku baru saja menghabiskannya saat ke-18 dayang yang berdiri menunggui
selagi aku berendam di dalam air sehari sebelumnya sudah memasuki Yi Lan Fang
Hua dengan bermartabat. Dua dayang yang ada di depan membawa nampan berisi
hidangan sarapan, sementara 16 lainnya membawakan buah, bunga, dan anggur, sama
seperti kemarin. Diam-diam aku mendesah. Yang Mulia Ling Bao memperlakukan tamunya
benar-benar dengan keramahan Kerajaan Langit, sangat baik hati tanpa pamrih.
Aku sudah
sarapan saat itu dan baru saja akan menyuruh dayang dengan nampan sarapan untuk
membawanya pergi, tetapi saat melihat semua kue itu, aku berpikir lagi dan
meminta mereka meninggalkan nampannya di kediamanku untuk Buntalan. Ia sudah
tertidur selama satu setengah hari dan akan memerlukan makanan setelah
terbangun. Aku menyerahkan Buntalan dalam penjagaan Nai Nai dan bergabung
dengan prosesi para dayang yang ceria ini dan menuju mata air langit milik Ling
Bao untuk berendam sehari lagi.
***
Kebanyakan
jalan di Jiu Chong Tian didekorasi dengan bebatuan besar yang membuat
penasaran, gunung buatan yang luas. Ini meningkatkan tampilan areanya, tetapi
membuat jalannya jadi sulit dilalui.
Aku berhenti
berjalan ketika aku mendengar dua dayang bergosip menyebut soal Putri Miao
Qing.
Aku sudah
kembali ke kamarku semalam karena urusan di antara ia dan Ye Hua sudah selesai,
dan meskipun aku dijemukan oleh jalannya drama terkait yang dimainkan Miao Qing
dan Su Jin, aku masih penasaran untuk mendengarkan bagaimana akhirnya. Seperti
sedang membaca setengah dari skenario pertunjukan yang bisa diprediksi, kau
menebak bagaimana akhirnya dan bisa melupakan babak keduanya, tetapi
kemungkinan akhirnya berputar-putar di benakmu, memaksamu untuk terus membaca
hanya untuk melihat apakah kau benar.
“Aku tahu saat
pertama kali aku melihat Miao Qing dari Laut Timur, ia tidak senang dengan
nasibnya,” salah satu dayang pemalu ini berkata. “Dan sudah pasti, lihat apa
yang terjadi kemarin.”
“Aku tidak
yakin apa sebenarnya kesalahannya. Aku menanyai Hong Yuan, yang sedang bertugas
dengan Pangeran Ye Hua semalam, tetapi ia tidak mau bicara, malahan menegurku
karena bertanya,” kata yang lainnya.
“Itu pastilah sesuatu
yang sangat buruk jika Pangeran Ye Hua ingin mengirimkannya kembali ke Laut
Timur,” kata yang pertama.
“Kelihatannya
Su Jin Niang Niang kita memohon demi
Miao Qing semalam. Ia menghabiskan berjam-jam berlutut di ruang baca Pangeran.”
Yang kedua menghela
napas sepenuh hati.
“Oh, ia sungguh
tidak perlu melakukannya. Tetapi, ia adalah Niang
Niang yang luar biasa, sangat cantik dan baik hati. Aku tidak mengerti
kenapa Pangeran sangat meremehkannya. Tidak pernah sekalipun Pangeran
mengunjunginya semenjak aku bekerja di istana Niang Niang. Dan insiden mengerikan dengan anak tak berguna dari si
ular ba Laut Utara itu. Tian Jun
sangat marah, namun ketika Xue Zhu berlari ke ruang baca Pangeran Ye Hua untuk
memberitahukan apa yang terjadi, aku dengar, Pangeran Ye Hua bahkan tidak
mengedipkan matanya.”
Sekarang,
giliran yang pertama menghela napas keras.
“Aku tahu,
sebagai seorang dayang, tidak seharusnya kita berbicara seperti ini, tetapi Niang Niang kita adalah Selir Utama
Pangeran Ye Hua, tetapi ia bertingkah seolah Niang Niang tidak ada. Ia sangat dingin terhadapnya. Niang Niang kita tidak menjalaninya
dengan mudah, benar-benar tidak mudah.”
Yang kedua
menanggapi, “Sekarang, Pangeran telah tersihir oleh si rubah ekor sembilan dari
Qing Qiu. Aku dengar kalau ini adalah suatu hal yang paling ahli mereka
lakukan. Ia adalah calon istri Pangeran, tetapi mereka masih belum menikah, dan
ia sudah membuatnya berputar-putar di sela jari kecilnya. Siapa yang tahu akan
jadi seperti apa setelah mereka benar-benar menikah! Pangeran sangat
tergila-gila padanya sampai ia menghabiskan semua waktunya di Qing Qiu.
“Su Jin Niang Niang takut masalah ini akan
melahap pikirannya, jadi ia mengirimkan dayangnya, Qing Hua, untuk pergi ke
Qing Qiu, mencoba mengingatkannya tentang tugas-tugas langitnya. Dan bagaimana
mereka membalas perhatian serta usahanya? Dengan mengusir dayang ini dari Qing Qiu!”
Yang pertama
menghela napas lagi.
“Oh, Niang Niang sangat baik dan penuh kasih.
Aku cemas akan penderitaan yang akan dilepaskan oleh Dewi Agung Qing Qiu ini
padanya.”
Keduanya
terdiam sejenak. Ke-18 dayang yang berdiri bersamaku di sisi dindingnya
tampaknya sudah berhenti bernapas. Kedua dayang yang memimpin iringan kami baru
saja akan melewati bebatuannya, tetapi aku mengangkat kipasku untuk menghentikannya.
Mereka
memandangiku resah, dan aku menanggapi dengan senyum menyenangkan.
Kedua dayang di
sisi lain bebatuannya jelas sekali dalam suasana hati yang senang, dan diamnya
mereka, adalah ketika mereka sedang merefleksikan dalamnya pengabdian mereka pada
Su Jin, aku membayangkan, masih muda.
Aku teringat
saat seusia itu dan memprediksi kalau setelah jeda percakapan ini, mereka akan
kembali pada topik si rubah putih berekor sembilan dan cara menyihirnya.
Sudah pasti;
aku tidak hidup sia-sia selama bertahun-tahun ini, dayang kecil pertama itu
berbicara lagi dengan mengatakan, “Pastinya kau sudah mendengar kalau Dewi
Agung Qing Qiu ini berusia 140.000 tahun.”
Yang lainnya
tersentak.
“Benarkah?
140.000 tahun? Bu-bukankah itu artinya ia adalah seorang wanita tua? Pangeran
lebih muda 90.000 tahun darinya. Ia jauh lebih tua dari Pangeran—cukup tua
untuk menjadi neneknya. Betapa tidak tahu malunya dia. Aku tahu kalau mereka
bertunangan, tetapi tetap saja. Mencoba memikat Pangeran di usianya. Cabul
sekali!”
“Benar, benar
itu,” jawab yang pertama.
“Ia tua dan
tidak tahu malu. Ia pasti menggunakan sihir untuk menyihir Pangeran. Aku hanya
berharap agar Pangeran bisa melihat yang sesungguhnya nanti dan menyadari
betapa mengabdikan dirinya Su Jin Niang
Niang kita dan kembali padanya.”
Percakapan
mereka terhenti sampai di sini. Kemungkinan ini adalah topik yang sering mereka
ulangi lagi dan lagi.
Aku tertarik
mendengarkan gosip mengenai Miao Qing, tetapi tanpa disengaja, malah bertemu
dengan dayang Su Jin yang bercerita mengenai diriku di belakangku. Nada
percakapan mereka sangat mengkritik, dan jika aku mendengarkan diriku
dibicarakan seperti itu saat aku masihlah Xiao Shi Qi di Gunung Kun Lun, aku
pasti sudah menangani mereka dengan begitu parah hingga orang tua mereka akan
kesulitan mengenali mereka.
Beruntungnya
bagi mereka, aku telah mengabdikan 70.000 tahun hanya untuk mempraktikkan
penempaan spiritual dan telah mencapai tingkatan tidak mementingkan diri
sendiri dan tidak egois. Sekarang ini, aku memandang urusan duniawi sama
seperti seseorang memandang awan yang mengambang di langit, dan sudah pasti aku
bersemangat untuk menghindari bertemu dengan kedua orang ini. Sebaliknya, aku
memberi isyarat pada dua dayang di bagian depan iring-iringan kami, yang sudah
hampir melewati bebatuannya.
Aku menutupi
mulutku dengan kipasku, dan dengan suara pelan, aku berkata, “Aku ingat, kalau
bergosip tentang Dewa dan Dewi Agung, terlarang di peraturan Kerajaan Langit?”
Kedua dayang
itu tampak tekejut, tetapi keduanya mengangguk. Mereka berdua mulai mengobrol.
“Kedua dayang
itu pasti ingin mati, berisiko membangkitkan amarah Dewa Dewi Agung seperti
itu. Kami pasti akan melaporkan mereka dan mendisiplinkan mereka sesuai dengan
peraturan langit.”
Aku berdeham.
“Amarahku masih
belum terbangkitkan,” kataku.
“Kau mendengar
hal-hal semacam ini begitu seringnya diucapkan, dan meskipun itu tidak enak
untuk didengar, itu juga tidak akan menyebabkan kerugian yang tetap.”
Aku menutup
kipasku dan menepuk pundak keduanya.
“Aku mengerti
kalau peraturan adalah peraturan,” kataku baik hati, “tetapi kalian berdua
terlalu menonjol tadi. Tidak seharusnya kalian mengganggu orang-orang yang
sedang bergosip seperti itu. Bisakah kalian membayangkan betapa memalukan dan
hinanya mereka jika kalian benar-benar melewati bebatuan itu tadi? Karena
mereka melanggar peraturan Istana Langit dengan tingkah laku mereka, cepat atau
lambat, mereka pasti akan tertangkap dan didisplinkan, tetapi hingga saat itu,
mengapa tidak biarkan saja mereka bergosip dengan bebas?
“Apabila mereka
bertingkah seperti ini lagi di masa mendatang, silakan laporkan mereka, agar
mereka dihukum. Kedua dayang ini tampaknya terlalu bersemangat dan tidak
bertanggung jawab atas posisi mereka sekarang ini. Aku sarankan agar mereka
digantikan dengan yang lebih sesuai.”
Kedua dayang
itu mengangguk setuju atas apa yang kukatakan dan pergi untuk melakukan
penggantian kedua dayang tadi, sementara 16 dayang lainnya tetap bersamaku.
***
Berendam di
mata air langit itu membosankan tanpa adanya Buntalan yang bermain bersamaku di
dalam airnya. Kedua dayangku mengeluarkan kecapi dan mulai memainkannya, yang
menghabiskan sejam atau dua jam. Tetapi, meskipun kemampuan bermusik mereka
luar biasa, mereka tidak bisa dibandingkan dengan Mo Yuan.
Saat pertama
aku mendengarkan musik mereka, aku merasa itu mempesona, tetapi setelah
beberapa waktu, mulai terdengar menjengkelkan, dan kesempatan pertama yang
kupunya, aku meminta mereka menyingkirkan instrumennya.
Aku terus
berendam, tetapi merasa diriku semakin bosan. Aku membayangkan mempunyai bacaan
yang mungkin bisa membuat waktu berlalu lebih cepat, jadi aku mengenakan lagi
pakaianku dan menyuruh dayangku untuk tetap di sana sementara aku kembali ke
kediamanku untuk mengambil beberapa buku.
0 comments:
Posting Komentar