Kamis, 04 Februari 2021

3L3W TMOPB - Chapter 17 Part 1

Ten Miles of Peach Blossoms

Chapter 17 Part 1


Aku terbangun di tengah malam oleh suara ketukan di pintu kamarku.

Karena aku berada di ranjang baru yang aneh, aku tidak tertidur sangat lelap, dan segera setelah aku mendengarkan ketukannya, aku mengangkat diriku, mengenakan sebuah jubah di tubuhku, dan pergi membukakan pintunya.

Nai Nai berdiri di bawah langit yang diterangi bintang, matanya memerah, dan ia sedang menggendong Buntalan yang masih tertidur dalam pelukannya.

Alisnya agak mengerut saat ia melihatku.

“Kemarin Anda bilang kalau Yang Mulia Pangeran Kecil akan terbangun di tengah malam, tetapi sekarang sudah tengah malam, dan ia masih belum juga menunjukkan tanda-tanda akan terbangun,” katanya dengan suara panik.

“Dan wajah kecilnya jadi semakin memerah. Hamba minta maaf karena mengganggu Anda, Dewi Agung, tetapi hamba sangat cemas.”

Aku setengah terbangun sekarang. Nai Nai masuk ke dalam kamarku dan menyalakan sebatang lilin sementara aku menggendong Buntalan ke ranjang. Aku menggerakkan tanganku di seluruh tubuhnya dan merasa lega mengetahui kalau ia sudah lebih sejuk.

Anak-anak memang biasanya toleransi alkoholnya rendah, tetapi toleransi alkohol Buntalan jauh lebih rendah daripada dugaanku. Aku melihat Nai Nai masih tampak gelisah dan memberikannya senyum menenangkan.

“Kebanyakan anak kecil yang mabuk karena anggur buah terbangun di tengah malam, jadi itulah asumsiku apa yang akan terjadi pada Buntalan. Sebenarnya, kelihatannya ia akan tertidur hingga pagi esok hari. Fakta bahwa wajahnya cerah adalah pertanda bagus. Menunjukkan kalau alkoholnya sedang dikeluarkan. Kau tidak perlu terlalu cemas.”

Nai Nai mengembuskan napas keras.

Saat aku melihat betapa merah matanya, aku merasakan lonjakan kelembutan terhadapnya.

“Aku rasa, kau tidak perlu membawa Buntalan kembali bersamamu. Kau belum tidur sedikitpun, kan?”

Ia tersenyum malu.

Sebagai seorang dewi agung yang berbelas kasihan, aku tidak menyukai pemikiran tentang Nai Nai yang dilarang tidur selama sisa malamnya juga. Kami berdua melepaskan pakaian Buntalan, menutupinya dengan selimut awan, dan memindahkannya ke bagian tengah ranjang.

Aku tersenyum ramah pada Nai Nai dan berkata, “Aku akan mentransferkan energi abadiku kepadanya di titik-titik berselang sepanjang malam. Ia pasti akan terbangun esok hari seperti Buntalan yang ceria lagi. Saat ia terbangun, ia akan membutuhkan bubur nasi yang kental untuk mengisi perutnya. Pergi dan tidurlah, pulihkan tenagamu, dan saat kau terbangun esok hari, buatkan bubur itu dan bawakan kemari.”

Nai Nai ragu sebelum berkata, “Tetapi jika Yang Mulia Pangeran Kecil di sini bersama Anda, Anda tidak akan bisa tidur.”

Aku menepuk pipi Buntalan. “Lihat betapa nyenyaknya ia tertidur sekarang. Kita bisa membentuknya seperti bola dan menggulingkannya kembali ke Istana Qing Yun dan ia tidak akan jadi lebih arif. Ia tidak akan mengganggu istirahatku.”

Nai Nai terkikik, membungkuk kaku padaku, meniup lilinnya, dan pergi dengan hormat.

Tidak ada hal serius yang terjadi pada Buntalan, tetapi ia banyak sekali berkeringat. Dari wajahnya, kelihatan jelas betapa nyenyaknya ia tertidur, dan ia memang terlihat sedikit lebih buruk. Aku membawakan sebaskom air dan melemparkan sebuah mantra sihir untuk membuat suhu ruangannya jadi lebih hangat. Aku membuka selimut awannya, benar-benar menelanjanginya, dan mengelapnya. Aku merawatnya dari pukul dua pagi hari hingga Mao si Dewa Matahari mengambil posisinya kembali.

***

Aku tidak dapat tidur sama sekali, tetapi demi ini, aku tidak bisa menyalahkan orang lain selain diriku. Saat aku mengenakan kembali pakaian Buntalan satu per satu, tersadarlah aku, betapa merepotkannya mempunyai seorang anak kecil, dan kekaguman yang kurasakan untuk Ye Hua mencapai ketinggian yang baru.

Aku baru saja selesai mempersiapkan Buntalan saat Nai Nai tiba dengan buburnya, dan aku masih belum berkesempatan untuk membawa keluar baskom airnya. Nai Nai terkejut melihat baskom di lantai, sebelum berlutut, mengambil kain putih, memeras airnya, dan membawa baskomnya keluar untuk membuang airnya.

Di saat ia kembali, aku sudah selesai membersihkan diriku dan mencicipi buburnya, yang lezat. Mengetahui kalau anak kecil bisa cerewet tentang makanan, ia menggunakan sedikit gula untuk membuatnya manis. Menyuruhnya kembali agar ia terbangun lebih awal untuk membuatkan bubur hanyalah sebuah tipuan; aku benar-benar tidak berpikir kalau Buntalan akan terbangun sepagi ini.

Karena Buntalan masih belum terbangun, ia tidak bisa menikmati semangkuk bubur manis yang lezat ini. Aku menatap kasihan pada mangkuk di hadapanku, tentu saja, jika si bubur bisa berpikir, ia akan merenungi tentang segala kesulitan yang telah dilaluinya, diaduk kesana-kemari di kuali, dan direbus selama berjam-jam pada akhirnya, semuanya hanya agar ia bisa duduk di atas meja ini, mengepul panas di mangkuk ini. Membiarkan buburnya jadi dingin dan menyia-nyiakannya tampaknya akan sayang sekali.

Aku menghela napas tak puas.

Nai Nai mengerutkan bibirnya dan tersenyum.

“Karena Yang Mulia Pangeran Kecil masih tidur, akan sangat disayangkan jika buburnya dingin, dan Anda masih belum sarapan. Jika Anda ingin mencoba masakan dayang ini, silakan saja.”

Karena ia sudah menawarkan, aku rasa aku tidak bisa bilang tidak, jadi aku menerimanya sembari tertawa. Aku baru saja menghabiskannya saat ke-18 dayang yang berdiri menunggui selagi aku berendam di dalam air sehari sebelumnya sudah memasuki Yi Lan Fang Hua dengan bermartabat. Dua dayang yang ada di depan membawa nampan berisi hidangan sarapan, sementara 16 lainnya membawakan buah, bunga, dan anggur, sama seperti kemarin. Diam-diam aku mendesah. Yang Mulia Ling Bao memperlakukan tamunya benar-benar dengan keramahan Kerajaan Langit, sangat baik hati tanpa pamrih.

Aku sudah sarapan saat itu dan baru saja akan menyuruh dayang dengan nampan sarapan untuk membawanya pergi, tetapi saat melihat semua kue itu, aku berpikir lagi dan meminta mereka meninggalkan nampannya di kediamanku untuk Buntalan. Ia sudah tertidur selama satu setengah hari dan akan memerlukan makanan setelah terbangun. Aku menyerahkan Buntalan dalam penjagaan Nai Nai dan bergabung dengan prosesi para dayang yang ceria ini dan menuju mata air langit milik Ling Bao untuk berendam sehari lagi.

***

Kebanyakan jalan di Jiu Chong Tian didekorasi dengan bebatuan besar yang membuat penasaran, gunung buatan yang luas. Ini meningkatkan tampilan areanya, tetapi membuat jalannya jadi sulit dilalui.

Aku berhenti berjalan ketika aku mendengar dua dayang bergosip menyebut soal Putri Miao Qing.

Aku sudah kembali ke kamarku semalam karena urusan di antara ia dan Ye Hua sudah selesai, dan meskipun aku dijemukan oleh jalannya drama terkait yang dimainkan Miao Qing dan Su Jin, aku masih penasaran untuk mendengarkan bagaimana akhirnya. Seperti sedang membaca setengah dari skenario pertunjukan yang bisa diprediksi, kau menebak bagaimana akhirnya dan bisa melupakan babak keduanya, tetapi kemungkinan akhirnya berputar-putar di benakmu, memaksamu untuk terus membaca hanya untuk melihat apakah kau benar.

“Aku tahu saat pertama kali aku melihat Miao Qing dari Laut Timur, ia tidak senang dengan nasibnya,” salah satu dayang pemalu ini berkata. “Dan sudah pasti, lihat apa yang terjadi kemarin.”

“Aku tidak yakin apa sebenarnya kesalahannya. Aku menanyai Hong Yuan, yang sedang bertugas dengan Pangeran Ye Hua semalam, tetapi ia tidak mau bicara, malahan menegurku karena bertanya,” kata yang lainnya.

“Itu pastilah sesuatu yang sangat buruk jika Pangeran Ye Hua ingin mengirimkannya kembali ke Laut Timur,” kata yang pertama.

“Kelihatannya Su Jin Niang Niang kita memohon demi Miao Qing semalam. Ia menghabiskan berjam-jam berlutut di ruang baca Pangeran.”

Yang kedua menghela napas sepenuh hati.

“Oh, ia sungguh tidak perlu melakukannya. Tetapi, ia adalah Niang Niang yang luar biasa, sangat cantik dan baik hati. Aku tidak mengerti kenapa Pangeran sangat meremehkannya. Tidak pernah sekalipun Pangeran mengunjunginya semenjak aku bekerja di istana Niang Niang. Dan insiden mengerikan dengan anak tak berguna dari si ular ba Laut Utara itu. Tian Jun sangat marah, namun ketika Xue Zhu berlari ke ruang baca Pangeran Ye Hua untuk memberitahukan apa yang terjadi, aku dengar, Pangeran Ye Hua bahkan tidak mengedipkan matanya.”

Sekarang, giliran yang pertama menghela napas keras.

“Aku tahu, sebagai seorang dayang, tidak seharusnya kita berbicara seperti ini, tetapi Niang Niang kita adalah Selir Utama Pangeran Ye Hua, tetapi ia bertingkah seolah Niang Niang tidak ada. Ia sangat dingin terhadapnya. Niang Niang kita tidak menjalaninya dengan mudah, benar-benar tidak mudah.”

Yang kedua menanggapi, “Sekarang, Pangeran telah tersihir oleh si rubah ekor sembilan dari Qing Qiu. Aku dengar kalau ini adalah suatu hal yang paling ahli mereka lakukan. Ia adalah calon istri Pangeran, tetapi mereka masih belum menikah, dan ia sudah membuatnya berputar-putar di sela jari kecilnya. Siapa yang tahu akan jadi seperti apa setelah mereka benar-benar menikah! Pangeran sangat tergila-gila padanya sampai ia menghabiskan semua waktunya di Qing Qiu.

“Su Jin Niang Niang takut masalah ini akan melahap pikirannya, jadi ia mengirimkan dayangnya, Qing Hua, untuk pergi ke Qing Qiu, mencoba mengingatkannya tentang tugas-tugas langitnya. Dan bagaimana mereka membalas perhatian serta usahanya? Dengan mengusir dayang ini dari Qing Qiu!”

Yang pertama menghela napas lagi.

“Oh, Niang Niang sangat baik dan penuh kasih. Aku cemas akan penderitaan yang akan dilepaskan oleh Dewi Agung Qing Qiu ini padanya.”

Keduanya terdiam sejenak. Ke-18 dayang yang berdiri bersamaku di sisi dindingnya tampaknya sudah berhenti bernapas. Kedua dayang yang memimpin iringan kami baru saja akan melewati bebatuannya, tetapi aku mengangkat kipasku untuk menghentikannya.

Mereka memandangiku resah, dan aku menanggapi dengan senyum menyenangkan.

Kedua dayang di sisi lain bebatuannya jelas sekali dalam suasana hati yang senang, dan diamnya mereka, adalah ketika mereka sedang merefleksikan dalamnya pengabdian mereka pada Su Jin, aku membayangkan, masih muda.

Aku teringat saat seusia itu dan memprediksi kalau setelah jeda percakapan ini, mereka akan kembali pada topik si rubah putih berekor sembilan dan cara menyihirnya.

Sudah pasti; aku tidak hidup sia-sia selama bertahun-tahun ini, dayang kecil pertama itu berbicara lagi dengan mengatakan, “Pastinya kau sudah mendengar kalau Dewi Agung Qing Qiu ini berusia 140.000 tahun.”

Yang lainnya tersentak.

“Benarkah? 140.000 tahun? Bu-bukankah itu artinya ia adalah seorang wanita tua? Pangeran lebih muda 90.000 tahun darinya. Ia jauh lebih tua dari Pangeran—cukup tua untuk menjadi neneknya. Betapa tidak tahu malunya dia. Aku tahu kalau mereka bertunangan, tetapi tetap saja. Mencoba memikat Pangeran di usianya. Cabul sekali!”

“Benar, benar itu,” jawab yang pertama.

“Ia tua dan tidak tahu malu. Ia pasti menggunakan sihir untuk menyihir Pangeran. Aku hanya berharap agar Pangeran bisa melihat yang sesungguhnya nanti dan menyadari betapa mengabdikan dirinya Su Jin Niang Niang kita dan kembali padanya.”

Percakapan mereka terhenti sampai di sini. Kemungkinan ini adalah topik yang sering mereka ulangi lagi dan lagi.

Aku tertarik mendengarkan gosip mengenai Miao Qing, tetapi tanpa disengaja, malah bertemu dengan dayang Su Jin yang bercerita mengenai diriku di belakangku. Nada percakapan mereka sangat mengkritik, dan jika aku mendengarkan diriku dibicarakan seperti itu saat aku masihlah Xiao Shi Qi di Gunung Kun Lun, aku pasti sudah menangani mereka dengan begitu parah hingga orang tua mereka akan kesulitan mengenali mereka.

Beruntungnya bagi mereka, aku telah mengabdikan 70.000 tahun hanya untuk mempraktikkan penempaan spiritual dan telah mencapai tingkatan tidak mementingkan diri sendiri dan tidak egois. Sekarang ini, aku memandang urusan duniawi sama seperti seseorang memandang awan yang mengambang di langit, dan sudah pasti aku bersemangat untuk menghindari bertemu dengan kedua orang ini. Sebaliknya, aku memberi isyarat pada dua dayang di bagian depan iring-iringan kami, yang sudah hampir melewati bebatuannya.

Aku menutupi mulutku dengan kipasku, dan dengan suara pelan, aku berkata, “Aku ingat, kalau bergosip tentang Dewa dan Dewi Agung, terlarang di peraturan Kerajaan Langit?”

Kedua dayang itu tampak tekejut, tetapi keduanya mengangguk. Mereka berdua mulai mengobrol.

“Kedua dayang itu pasti ingin mati, berisiko membangkitkan amarah Dewa Dewi Agung seperti itu. Kami pasti akan melaporkan mereka dan mendisiplinkan mereka sesuai dengan peraturan langit.”

Aku berdeham.

“Amarahku masih belum terbangkitkan,” kataku.

“Kau mendengar hal-hal semacam ini begitu seringnya diucapkan, dan meskipun itu tidak enak untuk didengar, itu juga tidak akan menyebabkan kerugian yang tetap.”

Aku menutup kipasku dan menepuk pundak keduanya.

“Aku mengerti kalau peraturan adalah peraturan,” kataku baik hati, “tetapi kalian berdua terlalu menonjol tadi. Tidak seharusnya kalian mengganggu orang-orang yang sedang bergosip seperti itu. Bisakah kalian membayangkan betapa memalukan dan hinanya mereka jika kalian benar-benar melewati bebatuan itu tadi? Karena mereka melanggar peraturan Istana Langit dengan tingkah laku mereka, cepat atau lambat, mereka pasti akan tertangkap dan didisplinkan, tetapi hingga saat itu, mengapa tidak biarkan saja mereka bergosip dengan bebas?

“Apabila mereka bertingkah seperti ini lagi di masa mendatang, silakan laporkan mereka, agar mereka dihukum. Kedua dayang ini tampaknya terlalu bersemangat dan tidak bertanggung jawab atas posisi mereka sekarang ini. Aku sarankan agar mereka digantikan dengan yang lebih sesuai.”

Kedua dayang itu mengangguk setuju atas apa yang kukatakan dan pergi untuk melakukan penggantian kedua dayang tadi, sementara 16 dayang lainnya tetap bersamaku.

***

Berendam di mata air langit itu membosankan tanpa adanya Buntalan yang bermain bersamaku di dalam airnya. Kedua dayangku mengeluarkan kecapi dan mulai memainkannya, yang menghabiskan sejam atau dua jam. Tetapi, meskipun kemampuan bermusik mereka luar biasa, mereka tidak bisa dibandingkan dengan Mo Yuan.

Saat pertama aku mendengarkan musik mereka, aku merasa itu mempesona, tetapi setelah beberapa waktu, mulai terdengar menjengkelkan, dan kesempatan pertama yang kupunya, aku meminta mereka menyingkirkan instrumennya.

Aku terus berendam, tetapi merasa diriku semakin bosan. Aku membayangkan mempunyai bacaan yang mungkin bisa membuat waktu berlalu lebih cepat, jadi aku mengenakan lagi pakaianku dan menyuruh dayangku untuk tetap di sana sementara aku kembali ke kediamanku untuk mengambil beberapa buku.

Related Posts:

0 comments:

Posting Komentar