Kamis, 04 Februari 2021

3L3W TMOPB - Chapter 17 Part 2

Ten Miles of Peach Blossoms

Chapter 17 Part 2


Aku baru saja akan membuka pintu Yi Lan Fang Hua ketika pintunya terbuka dari dalam. Ada Ye Hua, dengan Buntalan yang tertidur pulas digendongannya, sementara satu tangan lainnya terletak di kusen pintu. Ye Hua melihat dua kali saat ia melihatku berdiri di sana dan alisnya mengernyit.

Pertama kalinya aku melihat Ye Hua di Istana Kristal Air Laut Selatan, ia tampak seperti pemuda yang tidak ramah dan dingin. Semenjak mengenalnya, aku tidak benar-benar melihat sisi dirinya yang itu lagi. Sebaliknya, senyumnya selalu membuatku merasa seakan-akan ada angin sepoi-sepoi musim semi mengenai wajahku, dan sebenarnya membuatku lupa akan dingin yang melekat padanya. Namun, ekspresi wajahnya sekarang ini dengan cepat mengingatkanku, dan aku merinding.

Bola matanya gelap.

“A Li sepertinya mabuk,” katanya sedih.

“Aku bertanya kesana-kemari dan mengetahui kalau ia sudah tertidur sejak kemarin. Bisakah kau memberitahuku apa yang terjadi?”

Aku memandangi pipi memerah Buntalan Kecil di lengannya.

“Aku memberikannya setengah guci lebih banyak anggur kemarin dan ia mabuk,” kataku tenang. “Itu saja.”

Ia mengerutkan keningnya.

“Ia jadi semabuk ini sampai tertidur hingga sekarang? Kenapa kau tidak memberitahuku, atau membawanya ke kediaman dewa pengobatan untuk diperiksa?”

“Kau tidak boleh memanjakan anak kecil seperti ini!” komentarku.

“Aku sering mencuri anggur dari Zhe Yan saat aku masih anak-anak, dan aku tertidur selama empat atau lima hari sekaligus. Ayah dan Ibu tidak pernah membawaku untuk pemeriksaan. Dan Buntalan adalah seorang anak lelaki. Jika kau memanjakannya seperti ini, ia akan berubah jadi seorang pengecut.”

Ye Hua terdiam sangat lama. Ia melewatiku.

“Kau tidak ada di sini untuk membesarkan A Li,” katanya serak.

“Kau melihatnya tak lebih dari seorang anak tiri. Kau tidak pernah mencintainya seperti seorang ibu kandung. Mungkinkah kau bicara seperti ini jika ia adalah anak kandungmu?”

Aku tertegun. Segera setelah aku menangkapnya dengan telingaku, aku merasa darahku berubah dingin. Dulu, aku pernah mendengar orang membicarakan tentang hati mereka berubah dingin, tetapi aku tidak pernah tahu sebenarnya akan seperti apa rasanya, hingga sekarang.

Aku mungkin tidak pernah menjadi seorang ibu, tetapi aku tahu, bahwa jikalau aku seorang ibu pun, aku pasti tidak akan membuat keributan karena anakku seperti itu.

Fakta bahwa ibu kandung Buntalan melompat dari Zhu Xian Tai saat ia masih begitu kecil merupakan sebuah tragedi, dan itu sangatlah menyedihkan karena sebagian besar hidupnya dihabiskan tanpa adanya kasih sayang atau perawatan seorang ibu. Itulah salah satu alasan mengapa aku merasa sangat mengabdikan diri sepenuh hati padanya. Dan itulah mengapa, sangat mengejutkan ketika pengabdian diriku dipertanyakan seperti ini.

Aku mengibaskan lenganku di balik punggungnya.

“Bagaimana mungkin aku pernah melahirkan seorang anak yang begitu menggemaskan dan ceria?” kataku sambil mencibir.

“Sayangnya, wanita luar biasa yang melahirkan A Li melompat dari Zhu Xian Tai bertahun-tahun lalu. Semasa pembelajaranku di Gunung Kun Lun, aku mempraktikkan kebebasan dan fleksibilitas Tao, tetapi aku tidak pernah mencapai Surga Barat, dan aku tidak pernah mendapatkan hati seorang Buddha, yang mana cukup jelas berarti aku kurang kebaikan untuk merawat A Li dengan baik.

“Kasih sayang dan kebaikan adalah kualitas yang dimiliki oleh Selir Utamamu, Pangeran Ye Hua, mengapa tidak memintanya membesarkan anak kesayanganmu mulai dari sekarang? Jangan biarkan ia menderita di bawah kepengurusan tak memadaiku lebih lama lagi.”

Aku melihat punggungnya menegang.

“Berhenti mengatakan hal-hal ini hanya untuk membuatku marah,” akhirnya ia berkata. “Itu bukanlah maksudku.”

Dan dengan itu, ia melangkah menuju kediaman dewa pengobatan dengan Buntalan dalam pelukannya.

Aku memperhatikannya berjalan pergi, merasa benar-benar tak berdaya. Aku baru saja akan melangkah masuk ke dalam kediaman saat Nai Nai datang tergesa, matanya memerah.

Ia memandangiku seolah aku adalah seorang Buddha penuh kasih sayang dari Surga Barat.

Ia mencengkeram lenganku dan dengan suara gemetaran, ia berkata, “Apakah Anda melihat siapa yang baru saja meninggalkan kediaman ini?”

“Ada masalah apa?” aku bertanya pelan, mengusap keningku.

Dua tetes air mata berkilau memercik turun dari sudut matanya yang memerah.

“Ini salahku, Dewi Agung. Ini semua salahku,” katanya di tengah isakan tercekatnya.

“Anda begitu baik kepada Yang Mulia Pangeran Kecil, dan jikalau Niang Niang-ku masih hidup, ia pasti akan sangat menghargainya juga. Apabila Yang Mulia Pangeran Kecil jatuh ke tangan Su Jin Niang Niang dan terluka karena diriku, aku tidak a-a-akan ...”

Ia mengoceh sebentar, tetapi aku sama sekali tidak memahami apa yang sedang dikatakannya. Kalimatnya tidak masuk akal, dan tidak ada susunan logis dari apa yang dikatakannya. Aku mengetukkan kipasku untuk menghentikannya.

“Mari lewatkan detail yang tidak perlu,” aku menasehatinya baik hati.

“Kau mengatakan sesuatu tentang Buntalan jatuh ke tangan Su Jin dan terluka. Apa maksudmu?”

Nasihatku membuatnya fokus, dan ia mulai menceritakan padaku apa yang terjadi dengan cara yang koheren, berbicara dengan lebih jelas dan cakap daripada sebelumnya. Terungkap bahwa, Selir Utama, Su Jin membawa empat dayang ke kediamanku pagi ini. Ia memberitahu Nai Nai kalau ia sedang berjalan-jalan pagi ketika ia merasakan energi kuat hingga ia mengikutinya sepanjang jalan ke Yi Lan Fang Hua. Ia memutuskan ia akan berkunjung ke pemilik energi kuat ini dan menyapa Buntalan di saat bersamaan.

Selain fakta bahwa tidak ada satu pun makhluk abadi di Empat Lautan dan Delapan Dataran yang tidak memiliki energi yang kuat tak tergoyahkan, aku cukup berbesar hati untuk menerima pujian kecil yang ganjil ini. Aku tidak tahu, berapa panjang drama antara Su Jin, Ye Hua, dan Miao Qing dimainkan hingga akhirnya, tetapi fakta kalau ia terbangun pagi-pagi dengan energi untuk berjalan-jalan hingga sampai ke kediamanku itu mengagumkan.

Nai Nai menjelaskan kalau Ye Hua sudah melarang Su Jin menemui Buntalan dan tidak membiarkannya mendekati Yi Lan Fang Hua juga. Sebagai seorang selir panutan Empat Lautan dan Delapan Dataran, ia selalu mematuhi peraturan, tetapi entah mengapa hari ini ia melanggar dua sekaligus.

Nai Nai tak hentinya menolak membiarkan Su Jin memasuki kediaman itu, yang mana merupakan sebuah cara pemberani bagi seorang makhluk abadi kecil penjaga rumah, berhadapan dengan Selir Utama Istana Langit.

Nai Nai berhasil menjaga Yi Lan Fang Hua, dan pada akhirnya Su Jin menyerah dan pergi dengan ekor di antara kedua kakinya. Setelah mengurusi Buntalan, Nai Nai pergi ke belakang kediaman untuk mengambil air. Saat ia kembali, Buntalan tak nampak dimana pun, dan ia mengira kalau Su Jin pasti kembali untuk menculiknya. Ia bergegas untuk mengejarnya saat ia bertabrakan denganku.

Aku menepuk bahunya seraya menenangkan.

“Ye Hua-lah yang membawa pergi Buntalan, tidak ada hubungannya dengan Su Jin. Kau tidak perlu khawatir.”

Nai Nai menggambarkan, mengusir selir utama Ye Hua, seperti sedang mengusir hama tikus. Aku memutar ulang ceritanya di kepalaku dan memahami apa yang terjadi. Penjelasan yang paling mungkin tampaknya adalah mantan majikan Nai Nai pernah bersitegang dengan Su Jin sebelum melompat dari Zhu Xian Tai.

Kelihatannya, Ye Hua memperlakukan Su Jin dengan sangat buruk.

Mendadak, aku mengerti. “Alasan mengapa ibu Buntalan melompat dari Zhu Xian Tai ada hubungannya dengan Su Jin, kan?” aku bertanya-tanya secara langsung, meyela Nai Nai.

Wajah Nai Nai berubah pucat, dan ia jadi terdiam.

“Tian Jun menurunkan sebuah titah yang secara tegas melarang kami mendiskusikan masalah ini,” akhirnya ia berkata.

“Tian Jun mengirimkan semua dayang yang mengetahui insiden ini ke sebuah gunung makhluk abdi yang jauh sekali dari Istana Langit.”

Aku menarik kesimpulan, kalau Su Jin mungkin bukanlah selalu selir panutan seperti dirinya hari ini. Untuk mencapai titik itu, ia mungkin sebenarnya memaksa ibu Buntalan terjun dari Zhu Xian Tai.

Buntalan berusia tiga ratus tahun, yang artinya ibu Buntalan melompat dari Zhu Xian Tai tiga ratus tahun yang lalu. Insiden sebesar ini dan baru-baru saja terjadi tentu saja akan menyebabkan kegemparan besar.

Lima ratus tahun yang lalu aku terluka oleh Qing Cang dan tertidur selama tiga ratus tahun. Fakta bahwa aku tidak ingat pernah mendengarkan insiden semacam ini di Jiu Chong Tian semenjak terbangun, cocok dengan apa yang dikatakan oleh Nai Nai tentang Tian Jun yang menekan kabarnya.

Tian Jun yang sekarang sangat baik dan adil. Ia sudah pasti memandang Su Jin dan bernostalgia dari masa ketika ia adalah selirnya dan memutuskan untuk menggunakan cara ini demi melindunginya. Ini merupakan cara yang memperbolehkan Su Jin menjaga reputasi sebagai selir panutan yang dinikmatinya hari ini.

Oh, kejadian yang haus darah.

Walau diganggu oleh Ye Hua dan Nai Nai, aku tidak melupakan alasan aku kembali ke Yi Lan Fang Hua, untuk mencari beberapa buku.

Istana Langit adalah sebuah tempat kuno dan teratur seperti yang sudah kuduga, menemukan rak bukunya diisi dengan kitab Buddha dan beberapa naskah Taoisme tentang penempaan fisik dan spiritual. Fakta bahwa aku bersedia memilih satu dari buku-buku ini menujukkan seberapa bosannya aku. Aku sangat terkejut menemukan beberapa naskah skenario di rak bukunya, dan aku memilih beberapa dan membaca sepintas. Mereka tidak pernah kucaa, dan terlihat cukup menarik. Dengan tenang aku menoleh pada Nai Nai dan tersenyum padanya.

“Majikanmu yang sebelumnya punya selera yang sangat bagus.”

Aku baru saja akan membawa buku-buku ini kembali ke mata air langit bersamaku ketika pintu utama kediamanku mulai terbuka lagi.

Aku mendongakkan kepalaku dan melihat si selir panutan dari istana belakang Ye Hua berdiri di balik ambang pintu, dengan senyum yang nyaris tak terlihat di wajahnya.

Aku menghela napas. Ia pastinya sudah bersandiwara sebagai selir panutan terlalu lama dan merasa lelah secara emosional dan fisik sampai dengan terbuka melanggar perintah Ye Hua seperti hari ini. Si selir panutan melihatku, membungkuk dan memberi hormat.

“Kakak, aku kebetulan lewat untuk menemuimu beberapa waktu yang lalu, tetapi sayangnya kau sedang keluar. Aku baru saja akan menuju ke mata air langit untuk memberi hormat padamu di sana, tetapi kemudian aku mendengar kalau kau sudah kembali ke Yi Lan Fang Hua, jadi aku bergegas kemari, dan Kakak, betapa gembiranya aku karena akhirnya berhasil menyusulmu ...”

Perkataannya terdengar sungguh-sungguh, tetapi aku bisa mengetahui ia tidak mengatakan yang sebenarnya tentang bergegas: wajahnya tenang, ia tak berkeringat sama sekali, dan napasnya pun teratur.

Baru saja mendengar dua dayang itu bergosip, aku merasa agak terganggu. Dan mendengarnya memanggilku Kakak, menjengkelkanku dan menghancurkan keadaan tenang yang berusaha keras kukembalikan. Dalam sekejap, aku merasa marah dan bingung sekali lagi.

Aku tidak pernah suka dipanggil dengan sebutan Kakak, itu adalah apa yang dulunya Xuan Nu gunakan untuk memanggilku saat kami muda. Xuan Nu menjadi sebuah duri di sisiku dan juga duri di hatiku selama bertahun-tahun sekarang, dan segera setelah si selir panutan mengatakannya, aku merasa duri itu menancap semakin dalam, langsung membuatku merasa tertekan.

Dulu, aku arogan dan keras kepala saat aku masih muda, tetapi 10.000 tahun terakhir, mengabdikan diri pada penempaan spiritual dihabiskan dengan baik, dan sedikit demi sedikit membuatku menjadi lebih tenang, lebih tenang, dan sopan.

Itu berarti, meskipun aku jelas tak terkesan dengan si selir panutan yang berdiri di hadapanku, aku bisa meletakkan naskah skenario ke dalam sakuku dan dengan suara singkat bertanya padanya, “Jika kau begitu bersemangat untuk memberi hormat kepadaku, mengapa tidak kau lakukan saat kau melihatku kemarin malam?”

Senyuman di wajahnya membeku.

Terdapat sebuah meja pualam di bawah pohon persik besar di sebelahku, dikelilingi oleh dua atau tiga bangku pualam. Merasakan kalau percakapan dengannya mungkin akan bertele-tele, aku berjalan ke arah mejanya dan duduk.

Aku melihatnya menegang.

Ia berdiri di sana sejenak, punggungnya benar-benar tegak, sebelum ia tersenyum dan berkata, “Etika Istana Langit itu entah bagaimana, berbeda dari etika di tempat lainnya. Memberikan hormat harus diikuti dengan tingkatan upacara yang tepat untuk menunjukkan ketulusan pada orang yang disampaikan hormatnya.

“Menurut etika Istana Langit, seharusnya aku kemari menyapamu segera setelah kau tiba di Istana Langit, Kakak. Tetapi, Pangeran tidak memberitahukan padaku mengenai kedatanganmu, dan ketika aku melihatmu untuk yang pertama kalinya semalam, aku tidak mengetahui siapakah dirimu. Pagi ini, aku berniat datang memberi hormatku dan menyapamu, tetapi aku terhalang. Aku sudah tidak menghormatimu dengan datang begitu terlambat, jadi aku benar-benar menyesal.”

Ia adalah seseorang yang pandai berbicara, dan penjelasannya pun tak bercelah. Tidak heran ia mendapatkan julukan selir panutan di Empat Lautan dan Delapan Dataran. Tetapi, mendengarkannya memanggilku Kakak berulang-ulang seperti itu, mulai membuatku merasa pusing.

Aku mengusap keningku dan mengangkat kipasku.

Aku mengangguk dan berkata, “Aku baru saja tiba di sini, dan aku masih belum memahami sekali mengenai peraturan di Jiu Chong Tian. Akan tetapi, aku tertarik untuk melihatnya secara nyata, jadi karena kau di sini, bagaimana kalau berhenti bertele-tele dan memberi hormat padaku.”

“Tetapi, aku baru saja memberi hormat padamu,” katanya, terlihat kaget.

Aku tidak pernah mendengar yang seperti itu. Aku menoleh dan memandanginya saksama dari atas ke bawah. Satu-satunya hal yang kubayangkan ia maksudkan dengan menghormat padaku adalah postur membungkuk ketika ia masuk dan itu pun nyaris tak terlihat jelas. Tentunya, selir tidak penting ini, tidak berpikir kalau ini adalah sebuah cara yang pantas untuk menghormati seorang Dewi Agung dengan 140.000 tahun penempaan energi spiritual, bukan?

Aku merasa sangat tidak puas, tetapi, sebagai seorang makhluk abadi yang berbesar hati, aku tidak ingin berdalih tentang titik utama dari etika yang tak ada artinya. Sebaliknya, aku menelan kekecewaanku, menatapnya serius, dan mengangguk.

“Oh, kau sudah memberi hormat padaku, bukan? Itu adalah sebuah cara yang sangat mudah dan dapat dilakukan, cara menghormat yang kau lakukan ...”

Sebelum aku bisa menyelesaikan kalimatku, si selir panutan berlutut. Ia berdiri dengan sopan di samping selama ini, selain dari waktu ia agak menekuk pinggangnya, yang mana ia anggap sebagai sedang menghormat. Sekarang tangannya terkepal bersamaan dan tubuh bagian atasnya menempel ke lantai. Saat ia sedang berada di posisi ini, aku melihat ujung mantel jubah mantel melewati ambang pintunya.

Sudut mulutku mulai berkedut.

Aku berdeham dan berkata, “Dan apa yang sedang kau lakukan sekarang?”

Si selir panutan mengangkat wajahnya, yang mana kulihat ada kekuatan dan juga kelembutan.

“Saat aku memberi hormat padamu barusan ini, itu adalah mengikuti etika dari selir utama, menghormat pada Tian Hou,” jelasnya dengan suara menderita.

“Sekarang aku memberi hormat padamu dengan rasa terima kasih. Kau sudah menjaga A Li kecil selama beberapa bulan ini, Kakak, dan untuk ini aku tidak akan cukup berterima kasih padamu. A Li kehilangan ibunya saat ia masih sangat muda, dan seperti yang sudah kau ketahui, ia salah mengenalimu sebagai ibunya, mungkin dikarenakan caramu menutupi wajahmu, persis seperti yang dilakukan oleh ibu kandungnya. Aku harap, kau akan terus menjaganya. Pangeran Ye Hua sangat mencintai ibu A Li, dan saat ia melompat dari Zhu Xian Tai, ia pun ikut melompat mengejarnya.

“Di saat Tian Jun menyelamatkannya, Pangeran Ye Hua hanya punya satu napas terakhir di tubuhnya, dan energi penempaan spiritualnya nyaris terkuras sepenuhnya. Ia menghabiskan lebih dari 60 tahun di Istana Zi Chen, tertidur. Jika bukan karena ibu Pangeran Ye Hua yang membawa A Li ke sisi ranjangnya setiap hari, dan A Li memanggil-manggil ‘Ayahanda’ berulang kali, Pangeran Ye Hua mungkin tidak akan pernah terbangun.

“Kau melihat semua pohon persik ini, bukan, Kakak? Pangeran menanamnya semua di Yi Lan Fang Hua setelah ia terbangun demi mengenang ibu A Li. Pangeran menghabiskan dua ratus tahun terakhir tanpa kegembiraan. Fakta bahwa kau tampak mirip dengan ibu A Li, menunjukkan betapa ditakdirkannya dirimu dengan Pangeran. Aku memberi hormat seperti ini padamu agar kau dapat membawakan kenyamanan bagi hati Pangeran yang setengah mati itu.”

Related Posts:

0 comments:

Posting Komentar