Ten Miles of Peach Blossoms
Chapter 17 Part 2
Aku baru saja
akan membuka pintu Yi Lan Fang Hua ketika pintunya terbuka dari dalam. Ada Ye
Hua, dengan Buntalan yang tertidur pulas digendongannya, sementara satu tangan
lainnya terletak di kusen pintu. Ye Hua melihat dua kali saat ia melihatku
berdiri di sana dan alisnya mengernyit.
Pertama kalinya
aku melihat Ye Hua di Istana Kristal Air Laut Selatan, ia tampak seperti pemuda
yang tidak ramah dan dingin. Semenjak mengenalnya, aku tidak benar-benar
melihat sisi dirinya yang itu lagi. Sebaliknya, senyumnya selalu membuatku
merasa seakan-akan ada angin sepoi-sepoi musim semi mengenai wajahku, dan
sebenarnya membuatku lupa akan dingin yang melekat padanya. Namun, ekspresi
wajahnya sekarang ini dengan cepat mengingatkanku, dan aku merinding.
Bola matanya
gelap.
“A Li
sepertinya mabuk,” katanya sedih.
“Aku bertanya
kesana-kemari dan mengetahui kalau ia sudah tertidur sejak kemarin. Bisakah kau
memberitahuku apa yang terjadi?”
Aku memandangi
pipi memerah Buntalan Kecil di lengannya.
“Aku
memberikannya setengah guci lebih banyak anggur kemarin dan ia mabuk,” kataku
tenang. “Itu saja.”
Ia mengerutkan
keningnya.
“Ia jadi
semabuk ini sampai tertidur hingga sekarang? Kenapa kau tidak memberitahuku,
atau membawanya ke kediaman dewa pengobatan untuk diperiksa?”
“Kau tidak
boleh memanjakan anak kecil seperti ini!” komentarku.
“Aku sering
mencuri anggur dari Zhe Yan saat aku masih anak-anak, dan aku tertidur selama
empat atau lima hari sekaligus. Ayah dan Ibu tidak pernah membawaku untuk
pemeriksaan. Dan Buntalan adalah seorang anak lelaki. Jika kau memanjakannya
seperti ini, ia akan berubah jadi seorang pengecut.”
Ye Hua terdiam
sangat lama. Ia melewatiku.
“Kau tidak ada
di sini untuk membesarkan A Li,” katanya serak.
“Kau melihatnya
tak lebih dari seorang anak tiri. Kau tidak pernah mencintainya seperti seorang
ibu kandung. Mungkinkah kau bicara seperti ini jika ia adalah anak kandungmu?”
Aku tertegun.
Segera setelah aku menangkapnya dengan telingaku, aku merasa darahku berubah
dingin. Dulu, aku pernah mendengar orang membicarakan tentang hati mereka
berubah dingin, tetapi aku tidak pernah tahu sebenarnya akan seperti apa
rasanya, hingga sekarang.
Aku mungkin
tidak pernah menjadi seorang ibu, tetapi aku tahu, bahwa jikalau aku seorang
ibu pun, aku pasti tidak akan membuat keributan karena anakku seperti itu.
Fakta bahwa ibu
kandung Buntalan melompat dari Zhu Xian Tai saat ia masih begitu kecil
merupakan sebuah tragedi, dan itu sangatlah menyedihkan karena sebagian besar
hidupnya dihabiskan tanpa adanya kasih sayang atau perawatan seorang ibu.
Itulah salah satu alasan mengapa aku merasa sangat mengabdikan diri sepenuh
hati padanya. Dan itulah mengapa, sangat mengejutkan ketika pengabdian diriku
dipertanyakan seperti ini.
Aku mengibaskan
lenganku di balik punggungnya.
“Bagaimana
mungkin aku pernah melahirkan seorang anak yang begitu menggemaskan dan ceria?”
kataku sambil mencibir.
“Sayangnya,
wanita luar biasa yang melahirkan A Li melompat dari Zhu Xian Tai
bertahun-tahun lalu. Semasa pembelajaranku di Gunung Kun Lun, aku mempraktikkan
kebebasan dan fleksibilitas Tao, tetapi aku tidak pernah mencapai Surga Barat,
dan aku tidak pernah mendapatkan hati seorang Buddha, yang mana cukup jelas
berarti aku kurang kebaikan untuk merawat A Li dengan baik.
“Kasih sayang
dan kebaikan adalah kualitas yang dimiliki oleh Selir Utamamu, Pangeran Ye Hua,
mengapa tidak memintanya membesarkan anak kesayanganmu mulai dari sekarang?
Jangan biarkan ia menderita di bawah kepengurusan tak memadaiku lebih lama
lagi.”
Aku melihat
punggungnya menegang.
“Berhenti
mengatakan hal-hal ini hanya untuk membuatku marah,” akhirnya ia berkata. “Itu
bukanlah maksudku.”
Dan dengan itu,
ia melangkah menuju kediaman dewa pengobatan dengan Buntalan dalam pelukannya.
Aku
memperhatikannya berjalan pergi, merasa benar-benar tak berdaya. Aku baru saja
akan melangkah masuk ke dalam kediaman saat Nai Nai datang tergesa, matanya
memerah.
Ia memandangiku
seolah aku adalah seorang Buddha penuh kasih sayang dari Surga Barat.
Ia mencengkeram
lenganku dan dengan suara gemetaran, ia berkata, “Apakah Anda melihat siapa
yang baru saja meninggalkan kediaman ini?”
“Ada masalah
apa?” aku bertanya pelan, mengusap keningku.
Dua tetes air
mata berkilau memercik turun dari sudut matanya yang memerah.
“Ini salahku,
Dewi Agung. Ini semua salahku,” katanya di tengah isakan tercekatnya.
“Anda begitu
baik kepada Yang Mulia Pangeran Kecil, dan jikalau Niang Niang-ku masih hidup, ia pasti akan sangat menghargainya
juga. Apabila Yang Mulia Pangeran Kecil jatuh ke tangan Su Jin Niang Niang dan terluka karena diriku,
aku tidak a-a-akan ...”
Ia mengoceh
sebentar, tetapi aku sama sekali tidak memahami apa yang sedang dikatakannya.
Kalimatnya tidak masuk akal, dan tidak ada susunan logis dari apa yang
dikatakannya. Aku mengetukkan kipasku untuk menghentikannya.
“Mari lewatkan
detail yang tidak perlu,” aku menasehatinya baik hati.
“Kau mengatakan
sesuatu tentang Buntalan jatuh ke tangan Su Jin dan terluka. Apa maksudmu?”
Nasihatku
membuatnya fokus, dan ia mulai menceritakan padaku apa yang terjadi dengan cara
yang koheren, berbicara dengan lebih jelas dan cakap daripada sebelumnya.
Terungkap bahwa, Selir Utama, Su Jin membawa empat dayang ke kediamanku pagi
ini. Ia memberitahu Nai Nai kalau ia sedang berjalan-jalan pagi ketika ia
merasakan energi kuat hingga ia mengikutinya sepanjang jalan ke Yi Lan Fang
Hua. Ia memutuskan ia akan berkunjung ke pemilik energi kuat ini dan menyapa
Buntalan di saat bersamaan.
Selain fakta
bahwa tidak ada satu pun makhluk abadi di Empat Lautan dan Delapan Dataran yang
tidak memiliki energi yang kuat tak tergoyahkan, aku cukup berbesar hati untuk
menerima pujian kecil yang ganjil ini. Aku tidak tahu, berapa panjang drama
antara Su Jin, Ye Hua, dan Miao Qing dimainkan hingga akhirnya, tetapi fakta
kalau ia terbangun pagi-pagi dengan energi untuk berjalan-jalan hingga sampai ke
kediamanku itu mengagumkan.
Nai Nai
menjelaskan kalau Ye Hua sudah melarang Su Jin menemui Buntalan dan tidak
membiarkannya mendekati Yi Lan Fang Hua juga. Sebagai seorang selir panutan
Empat Lautan dan Delapan Dataran, ia selalu mematuhi peraturan, tetapi entah
mengapa hari ini ia melanggar dua sekaligus.
Nai Nai tak
hentinya menolak membiarkan Su Jin memasuki kediaman itu, yang mana merupakan
sebuah cara pemberani bagi seorang makhluk abadi kecil penjaga rumah,
berhadapan dengan Selir Utama Istana Langit.
Nai Nai
berhasil menjaga Yi Lan Fang Hua, dan pada akhirnya Su Jin menyerah dan pergi
dengan ekor di antara kedua kakinya. Setelah mengurusi Buntalan, Nai Nai pergi
ke belakang kediaman untuk mengambil air. Saat ia kembali, Buntalan tak nampak
dimana pun, dan ia mengira kalau Su Jin pasti kembali untuk menculiknya. Ia
bergegas untuk mengejarnya saat ia bertabrakan denganku.
Aku menepuk
bahunya seraya menenangkan.
“Ye Hua-lah
yang membawa pergi Buntalan, tidak ada hubungannya dengan Su Jin. Kau tidak
perlu khawatir.”
Nai Nai
menggambarkan, mengusir selir utama Ye Hua, seperti sedang mengusir hama tikus.
Aku memutar ulang ceritanya di kepalaku dan memahami apa yang terjadi.
Penjelasan yang paling mungkin tampaknya adalah mantan majikan Nai Nai pernah
bersitegang dengan Su Jin sebelum melompat dari Zhu Xian Tai.
Kelihatannya,
Ye Hua memperlakukan Su Jin dengan sangat buruk.
Mendadak, aku
mengerti. “Alasan mengapa ibu Buntalan melompat dari Zhu Xian Tai ada
hubungannya dengan Su Jin, kan?” aku bertanya-tanya secara langsung, meyela Nai
Nai.
Wajah Nai Nai
berubah pucat, dan ia jadi terdiam.
“Tian Jun
menurunkan sebuah titah yang secara tegas melarang kami mendiskusikan masalah
ini,” akhirnya ia berkata.
“Tian Jun
mengirimkan semua dayang yang mengetahui insiden ini ke sebuah gunung makhluk
abdi yang jauh sekali dari Istana Langit.”
Aku menarik
kesimpulan, kalau Su Jin mungkin bukanlah selalu selir panutan seperti dirinya
hari ini. Untuk mencapai titik itu, ia mungkin sebenarnya memaksa ibu Buntalan
terjun dari Zhu Xian Tai.
Buntalan
berusia tiga ratus tahun, yang artinya ibu Buntalan melompat dari Zhu Xian Tai tiga
ratus tahun yang lalu. Insiden sebesar ini dan baru-baru saja terjadi tentu
saja akan menyebabkan kegemparan besar.
Lima ratus
tahun yang lalu aku terluka oleh Qing Cang dan tertidur selama tiga ratus
tahun. Fakta bahwa aku tidak ingat pernah mendengarkan insiden semacam ini di
Jiu Chong Tian semenjak terbangun, cocok dengan apa yang dikatakan oleh Nai Nai
tentang Tian Jun yang menekan kabarnya.
Tian Jun yang
sekarang sangat baik dan adil. Ia sudah pasti memandang Su Jin dan bernostalgia
dari masa ketika ia adalah selirnya dan memutuskan untuk menggunakan cara ini
demi melindunginya. Ini merupakan cara yang memperbolehkan Su Jin menjaga
reputasi sebagai selir panutan yang dinikmatinya hari ini.
Oh, kejadian
yang haus darah.
Walau diganggu
oleh Ye Hua dan Nai Nai, aku tidak melupakan alasan aku kembali ke Yi Lan Fang
Hua, untuk mencari beberapa buku.
Istana Langit
adalah sebuah tempat kuno dan teratur seperti yang sudah kuduga, menemukan rak
bukunya diisi dengan kitab Buddha dan beberapa naskah Taoisme tentang penempaan
fisik dan spiritual. Fakta bahwa aku bersedia memilih satu dari buku-buku ini
menujukkan seberapa bosannya aku. Aku sangat terkejut menemukan beberapa naskah
skenario di rak bukunya, dan aku memilih beberapa dan membaca sepintas. Mereka
tidak pernah kucaa, dan terlihat cukup menarik. Dengan tenang aku menoleh pada
Nai Nai dan tersenyum padanya.
“Majikanmu yang
sebelumnya punya selera yang sangat bagus.”
Aku baru saja
akan membawa buku-buku ini kembali ke mata air langit bersamaku ketika pintu
utama kediamanku mulai terbuka lagi.
Aku
mendongakkan kepalaku dan melihat si selir panutan dari istana belakang Ye Hua
berdiri di balik ambang pintu, dengan senyum yang nyaris tak terlihat di
wajahnya.
Aku menghela
napas. Ia pastinya sudah bersandiwara sebagai selir panutan terlalu lama dan
merasa lelah secara emosional dan fisik sampai dengan terbuka melanggar
perintah Ye Hua seperti hari ini. Si selir panutan melihatku, membungkuk dan
memberi hormat.
“Kakak, aku
kebetulan lewat untuk menemuimu beberapa waktu yang lalu, tetapi sayangnya kau
sedang keluar. Aku baru saja akan menuju ke mata air langit untuk memberi
hormat padamu di sana, tetapi kemudian aku mendengar kalau kau sudah kembali ke
Yi Lan Fang Hua, jadi aku bergegas kemari, dan Kakak, betapa gembiranya aku
karena akhirnya berhasil menyusulmu ...”
Perkataannya
terdengar sungguh-sungguh, tetapi aku bisa mengetahui ia tidak mengatakan yang
sebenarnya tentang bergegas: wajahnya tenang, ia tak berkeringat sama sekali,
dan napasnya pun teratur.
Baru saja
mendengar dua dayang itu bergosip, aku merasa agak terganggu. Dan mendengarnya
memanggilku Kakak, menjengkelkanku dan menghancurkan keadaan tenang yang
berusaha keras kukembalikan. Dalam sekejap, aku merasa marah dan bingung sekali
lagi.
Aku tidak
pernah suka dipanggil dengan sebutan Kakak, itu adalah apa yang dulunya Xuan Nu
gunakan untuk memanggilku saat kami muda. Xuan Nu menjadi sebuah duri di sisiku
dan juga duri di hatiku selama bertahun-tahun sekarang, dan segera setelah si
selir panutan mengatakannya, aku merasa duri itu menancap semakin dalam,
langsung membuatku merasa tertekan.
Dulu, aku
arogan dan keras kepala saat aku masih muda, tetapi 10.000 tahun terakhir, mengabdikan
diri pada penempaan spiritual dihabiskan dengan baik, dan sedikit demi sedikit
membuatku menjadi lebih tenang, lebih tenang, dan sopan.
Itu berarti,
meskipun aku jelas tak terkesan dengan si selir panutan yang berdiri di
hadapanku, aku bisa meletakkan naskah skenario ke dalam sakuku dan dengan suara
singkat bertanya padanya, “Jika kau begitu bersemangat untuk memberi hormat
kepadaku, mengapa tidak kau lakukan saat kau melihatku kemarin malam?”
Senyuman di
wajahnya membeku.
Terdapat sebuah
meja pualam di bawah pohon persik besar di sebelahku, dikelilingi oleh dua atau
tiga bangku pualam. Merasakan kalau percakapan dengannya mungkin akan
bertele-tele, aku berjalan ke arah mejanya dan duduk.
Aku melihatnya
menegang.
Ia berdiri di
sana sejenak, punggungnya benar-benar tegak, sebelum ia tersenyum dan berkata,
“Etika Istana Langit itu entah bagaimana, berbeda dari etika di tempat lainnya.
Memberikan hormat harus diikuti dengan tingkatan upacara yang tepat untuk menunjukkan
ketulusan pada orang yang disampaikan hormatnya.
“Menurut etika
Istana Langit, seharusnya aku kemari menyapamu segera setelah kau tiba di
Istana Langit, Kakak. Tetapi, Pangeran tidak memberitahukan padaku mengenai
kedatanganmu, dan ketika aku melihatmu untuk yang pertama kalinya semalam, aku
tidak mengetahui siapakah dirimu. Pagi ini, aku berniat datang memberi hormatku
dan menyapamu, tetapi aku terhalang. Aku sudah tidak menghormatimu dengan
datang begitu terlambat, jadi aku benar-benar menyesal.”
Ia adalah
seseorang yang pandai berbicara, dan penjelasannya pun tak bercelah. Tidak
heran ia mendapatkan julukan selir panutan di Empat Lautan dan Delapan Dataran.
Tetapi, mendengarkannya memanggilku Kakak berulang-ulang seperti itu, mulai
membuatku merasa pusing.
Aku mengusap
keningku dan mengangkat kipasku.
Aku mengangguk
dan berkata, “Aku baru saja tiba di sini, dan aku masih belum memahami sekali
mengenai peraturan di Jiu Chong Tian. Akan tetapi, aku tertarik untuk
melihatnya secara nyata, jadi karena kau di sini, bagaimana kalau berhenti bertele-tele
dan memberi hormat padaku.”
“Tetapi, aku
baru saja memberi hormat padamu,” katanya, terlihat kaget.
Aku tidak
pernah mendengar yang seperti itu. Aku menoleh dan memandanginya saksama dari
atas ke bawah. Satu-satunya hal yang kubayangkan ia maksudkan dengan menghormat
padaku adalah postur membungkuk ketika ia masuk dan itu pun nyaris tak terlihat
jelas. Tentunya, selir tidak penting ini, tidak berpikir kalau ini adalah
sebuah cara yang pantas untuk menghormati seorang Dewi Agung dengan 140.000
tahun penempaan energi spiritual, bukan?
Aku merasa
sangat tidak puas, tetapi, sebagai seorang makhluk abadi yang berbesar hati,
aku tidak ingin berdalih tentang titik utama dari etika yang tak ada artinya.
Sebaliknya, aku menelan kekecewaanku, menatapnya serius, dan mengangguk.
“Oh, kau sudah
memberi hormat padaku, bukan? Itu adalah sebuah cara yang sangat mudah dan
dapat dilakukan, cara menghormat yang kau lakukan ...”
Sebelum aku
bisa menyelesaikan kalimatku, si selir panutan berlutut. Ia berdiri dengan
sopan di samping selama ini, selain dari waktu ia agak menekuk pinggangnya,
yang mana ia anggap sebagai sedang menghormat. Sekarang tangannya terkepal
bersamaan dan tubuh bagian atasnya menempel ke lantai. Saat ia sedang berada di
posisi ini, aku melihat ujung mantel jubah mantel melewati ambang pintunya.
Sudut mulutku
mulai berkedut.
Aku berdeham
dan berkata, “Dan apa yang sedang kau lakukan sekarang?”
Si selir
panutan mengangkat wajahnya, yang mana kulihat ada kekuatan dan juga
kelembutan.
“Saat aku memberi
hormat padamu barusan ini, itu adalah mengikuti etika dari selir utama,
menghormat pada Tian Hou,” jelasnya dengan suara menderita.
“Sekarang aku
memberi hormat padamu dengan rasa terima kasih. Kau sudah menjaga A Li kecil
selama beberapa bulan ini, Kakak, dan untuk ini aku tidak akan cukup berterima
kasih padamu. A Li kehilangan ibunya saat ia masih sangat muda, dan seperti
yang sudah kau ketahui, ia salah mengenalimu sebagai ibunya, mungkin
dikarenakan caramu menutupi wajahmu, persis seperti yang dilakukan oleh ibu
kandungnya. Aku harap, kau akan terus menjaganya. Pangeran Ye Hua sangat
mencintai ibu A Li, dan saat ia melompat dari Zhu Xian Tai, ia pun ikut melompat
mengejarnya.
“Di saat Tian Jun
menyelamatkannya, Pangeran Ye Hua hanya punya satu napas terakhir di tubuhnya,
dan energi penempaan spiritualnya nyaris terkuras sepenuhnya. Ia menghabiskan
lebih dari 60 tahun di Istana Zi Chen, tertidur. Jika bukan karena ibu Pangeran
Ye Hua yang membawa A Li ke sisi ranjangnya setiap hari, dan A Li memanggil-manggil
‘Ayahanda’ berulang kali, Pangeran Ye Hua mungkin tidak akan pernah terbangun.
“Kau melihat
semua pohon persik ini, bukan, Kakak? Pangeran menanamnya semua di Yi Lan Fang
Hua setelah ia terbangun demi mengenang ibu A Li. Pangeran menghabiskan dua ratus
tahun terakhir tanpa kegembiraan. Fakta bahwa kau tampak mirip dengan ibu A Li,
menunjukkan betapa ditakdirkannya dirimu dengan Pangeran. Aku memberi hormat
seperti ini padamu agar kau dapat membawakan kenyamanan bagi hati Pangeran yang
setengah mati itu.”
0 comments:
Posting Komentar