Ten Miles of Peach Blossoms
Chapter 20 Part 2
Aku pun merasa
cukup tersedak, dan hatiku terasa sangat berat.
Zhe Yan
bertanya padaku apakah aku ingin menginap di kebun persik. Aku berterima kasih
atas undangannya, tetapi menolaknya. Sebaliknya, aku meminta sejumlah besar pil
pemulih kesehatan dan pil suplemen energi, dan dengan adanya bulan jernih di
atasku, aku menaiki satu awan.
Zhe Yan sudah
memberikan semua perawatan yang ia bisa untuk Ye Hua, dan ia mencoba
meyakinkanku untuk tetap tinggal di kebun persik, mengatakan tidak ada lagi
yang bisa kulakukan untuk membantu pemulihan Ye Hua. Tetapi aku hanya ingin
berada di sana untuk menjaga Ye Hua. Meskipun tidak ada hal berguna yang bisa
kulakukan, aku hanya ingin berada di sana, merawatnya.
Aku melemparkan
sebuah mantra dan mengubah diriku jadi seekor ngengat untuk menghindari prajurit
langit dan harimau-harimau yang tidur di Gerbang Langit Selatan. Aku
menghabiskan waktu lama mencoba mengingat-ingat jalan menuju Istana Zi Chen
milik Ye Hua dan pada akhirnya terbang ke sana melalui gerbangnya.
***
Istana Zi Chen
gelap gulita ketika aku sampai. Aku jatuh di atas lantainya, tanpa sengaja
menyenggol sebuah bangku, yang jatuh ke samping dengan bunyi dentangan kuat.
Istananya langsung dibanjiri cahaya. Aku melihat Ye Hua duduk tegak di ranjangnya,
mengenakan jubah tidur sutra berwarna putih, memandangiku penasaran.
Aku hanya
pernah melihatnya mengenakan jubah hitamnya, dan melihatnya mengenakan jubah
sutra putih tipis ini, yah, membuat sesuatu bergejolak dalam diriku. Dan rambut
hitam legamnya yang menjuntai pun, oh ya, itu juga membuatku merasakan sesuatu.
Ia memandangiku
sejenak dan setelahnya mengerutkan kening.
“Bukankah
seharusnya kau sedang menjaga pangeran pertama Laut Barat?” tanyanya.
Caranya
mengerutkan kening juga memberikan efek yang kuat padaku.
Aku tertawa
gugup.
“Die Yong
baik-baik saja,” kataku tenang.
“Saat aku di
bawah sana, membereskan masalah di Laut Barat, aku mulai memikirkan tentang
lenganmu yang cedera. Aku khawatir kalau mungkin kau akan merasa kesulitan
memegangi cangkir tehmu dengan benar saat menuangkan air panas, jadi kuputuskan
kembali dan membantu menjagamu.”
Ia menatapku
bahkan lebih keheranan lagi, diikuti dengan senyum kecil, dan setelahnya
berpindah ke ujung ranjang, berkata, “Kemarilah, Qian Qian.”
Suaranya begitu
dalam hingga membuat telingaku memerah.
“Mungkin itu
bukan sebuah ide yang bagus,” kataku sembari berdeham.
“Bagaimana
kalau aku pergi ke tempat tidur Buntalan dan menyempil di sana bersamanya? Kau
harus istirahat dengan benar, dan aku akan kembali lagi kemari menemuimu
besok.”
Aku berbalik,
akan menyelinap keluar, tetapi sebelum aku melewati kamar Ye Hua, seluruh
aulanya jadi gelap gulita. Aku kehilangan pijakan dan tersandung bangku yang
sama lagi.
Tiba-tiba saja
Ye Hua berada di belakangku dengan lengannya merangkulku.
“Sekarang aku
hanya bisa memeluk dengan satu lengan, jadi apabila kau tidak menyukainya, kau
selalu bisa meloloskan diri,” katanya.
Dulu, ketika
Ibu menjelaskan padaku bagaimana caranya menjadi seorang istri yang baik, ia
menyebutkan tentang etika suami istri, terutama situasi seperti ini. Ia
menjelaskan, saat seorang gadis pertama kali menjadi istri dan suaminya
mendatanginya, mencari kenikmatan, ia harus mendorongnya dengan lembut pada
mulanya. Dengan begitu, suaminya akan melihatnya seperti seorang gadis
berpengendalian yang akan dihargai.
Aku kira,
dehaman kecilku sudah merupakan ekspresi penolakan halus yang jelas. Tetapi,
tampaknya Ye Hua tidak menganggapnya begitu serius. Sayangnya, Ibu tidak pernah
mengajariku apa yang harus dilakukan jika suami dari gadis yang baru menikah
ini tidak menerima penolakan halusnya, dan bagaimana ia harus terus
mempertahankan kesan kalau ia adalah gadis berpengendalian yang patut dihargai.
Rambut
menjuntai Ye Hua mengenai telingaku, menggelitikinya dan membuatku kebingungan.
Diam-diam aku berbalik dan memeluknya juga.
“Kalau aku
tetap tinggal, apakah kau setuju untuk memberiku separuh dari ranjangmu?”
Ia berdeham,
dan tersenyum.
“Dengan sosok
lenturmu, kau tidak akan menghabiskan sampai separuh ranjangnya.”
Aku
mendorongnya malu-malu dan meraba-raba ujung ranjang. Aku ragu-ragu sebelum
memutuskan untuk melepaskan jubahku. Aku mengangkat tepian selimut awannya dan
berbaring di bagian dalam. Aku mundur hingga ke dinding dan menarik selimut
awannya, menutupi diriku. Aku menunggu hingga Ye Hua bergabung denganku di
ranjang sebelum mundur lebih jauh lagi ke arah dindingnya.
Ia menggunakan
satu lengannya untuk mengaitku dan dengan gesit menarik kembali selimut awannya
menutupi tubuhku. Ia memegang ujung selimut dan menariknya ke arahnya, langsung
membuat selimutnya melecutku.
Walaupun
sekarang malam pertengahan musim panas di awal bulan Juli, sangat dingin di Jiu
Chong Tian. Aku mengenakan lagi jubahku. Kalau aku menghabiskan sepanjang malam
seperti ini, bukannya aku yang menjaga Ye Hua besok pagi, melainkan dirinyalah
yang akan menjagaku.
Mempertahankan
martabatku bukanlah sesuatu yang sangat kupentingkan. Aku mendekat kepadanya,
dan kian mendekat. Ia berbalik untuk menghadap tepian ranjang, dan aku bergerak
mendekat lagi.
Aku terus
bergerak ke arahnya. Ia berbalik menghadapku, dan aku mendorong diriku masuk
dalam pelukannya.
Ia memelukku
dengan tangan kirinya, berkata, “Apakah kau lebih memilih menghabiskan
sepanjang malam dengan tidur lelap di dalam pelukanku dengan selimut yang
menutupimu, ataukah meringkuk di sudut tanpa selimutnya?”
Agak terkejut,
aku berkata, “Kita berdua bisa tidur meringkuk di sudut dengan selimut yang
menyelimuti kita.”
Segera setelah
aku mengatakan ini, aku bertanya-tanya apakah ada sesuatu yang salah dengan
otakku.
Memelukku, ia
tertawa kecil.
“Bukan ide yang
buruk.”
Kami
menghabiskan malam dengan berpelukan, sepasang lovebirds yang menyempil di dindingnya. Mungkin agak sempit, tetapi
tidurku sangat nyenyak, bersandar di dada Ye Hua.
Dalam keadaan
mengantukku, aku mendengarnya berkata, “Kau tahu, kepribadianmu tetap sama
seperti sebelumnya. Kau tetap tidak bisa menerima apa pun dari orang lain.”
Aku memberi
jawaban samar dalam keadaan mengantukku. Melihatnya menenangkanku, aku tidur
nyenyak hingga aku tak dapat mengingat apa jawabanku.
Di tengah
malam, ia mulai batuk-batuk parah, dan aku terbangun kaget. Ia merangkak keluar
diam-diam dari ranjang, menarik selimut di ujungnya untukku, dan setelahnya
buru-buru membuka pintu istana dan pergi keluar. Aku mendengarkan dengan saksama
rentetan batuknya di luar aula istana.
Ia jelas-jelas
mencoba untuk batuk pelan-pelan, dan kalau bukan karena telinga rubahku yang
tajam, dan perhatianku, aku mungkin tidak akan bisa mendengarnya. Aku mengelus
tempat di ranjang sebelahku dimana ia baru saja berbaring, rasa sedih membuncah
dalam dadaku.
Aku
menghabiskan beberapa waktu menenangkan dirinya sendiri di luar sana sebelum
kembali kepadaku. Aku berpura-pura tidur, jelas cukup meyakinkan, saat ia
menarik selimutnya dan berbaring, sepertinya tidak menyadari kalau aku sudah
bangun. Aku bisa mencium bau amis samar dari darah.
Aku berbaring
bersandar padanya, dan setelah aku merasakan kalau ia sudah tidur lagi, aku
menyurukkan diri ke dalam pelukannya dan mengulurkan satu lengan untuk
memeluknya. Aku diliputi oleh kesedihan, kesedihan yang mendalam. Dan dengan
kesedihan dalam hatiku, sedikit demi sedikit aku pun tertidur.
Hari berikutnya
saat aku terbangun, aku tidak bisa melihat adanya tanda-tanda penyakitnya. Aku
nyaris meragukan semua kesedihan, kebahagiaan, kecemasan, dan kekhawatiran yang
kurasakan kemarin, bertanya-tanya apakah semuanya tak lebih daripada sebuah
mimpi buruk.
Tetapi, aku
tahu kalau itu bukanlah sebuah mimpi.
***
Bersama dengan
Ye Hua membuatku benar-benar mulai merindukan Buntalan. Aku dengar kalau ada
sebuah pertemuan keagamaan yang akan diadakan di Gunung Arwah beberapa hari
lagi, dimana Buddha Gautama akan mengadakan forum untuk menyebarkan ajaran
Buddha dan memberi pencerahan kepada semua makhluk hidup. Cheng Yu akan membawa
Buntalan untuk menghadiri kegiatan ini.
Aku khawatir
kalau atmosfer keagamaan di Surga Barat akan terlalu kuat bagi usia Buntalan
dan ia mungkin akan cukup bosan, tetapi Ye Hua tidak setuju.
“Ia hanya pergi
ke Surga Barat agar ia bisa memakan tebu Gunung Arwah. Lagipula, Cheng Yu ada
di sana untuk menjaganya. Meskipun makhluk abadi lain di belakang altarnya akan
sangat bosan hingga mereka tertidur, A Li akan baik-baik saja.”
Aku memutuskan
kalau ia tahu apa yang sedang dibicarakannya. Raut wajah Ye Hua masih belum
kembali normal. Zhe Yan memberitahuku kalau tangan kanannya benar-benar digigit
hingga putus dan tangan barunya masih belum bisa digunakan. Setiap kali aku
melihatnya, aku merasa benar-benar kesal, tetapi aku tahu kalau aku harus
menyimpannya sendiri.
Sementara itu,
ia berlagak seolah ia sama sekali tidak mempedulikannya.
Kabar mengenai
cederanya sudah sampai pada semua pejabat, dari peringkat tertinggi Jiu Chong
Tian hingga ke peringkat ke-9, dan sebagai hasilnya, beberapa hari ini, tak ada
seorang pun yang datang mengganggunya dengan urusan remeh, membuatnya santai
tanpa beban.
Aku mencemaskan
luka Ye Hua dan ingin tetap di dekatnya selama itu. Yi Lan Fang Hua cukup jauh
dari Istana Zi Chen, tidak sedekat Istana Qing Yun, selain itu, aku merasa aneh
tinggal di tempat dimana istri pertama Ye Hua pernah tinggal.
Aku memutuskan
untuk pindah ke Istana Qing Yun milik Buntalan sementara waktu. Mungkin saja
menyalahi peraturan Istana Langit atau yang lainnya, tetapi memahami kalau aku
berasal dari sebuah tempat liar seperti Qingqiu, para dayang membiarkannya dan
menyediakan sebuah ranjang untukku di Istana Qing Yun.
Aku bangun
pagi-pagi sekali di beberapa pagi pertama dan menantang kegelapan dini hari,
menggunakan tanganku untuk membimbingku sepanjang jalan menuju Istana Zi Chen
milik Ye Hua. Setelah sampai di sana, aku akan membantunya berpakaian dan kami
akan sarapan bersama-sama. Karena aku sudah puluhan ribu tahun tidak pernah
bangun sepagi ini, kadang-kadang aku akan menguap selagi kami sedang makan.
Beberapa pagi
setelahnya, aku berhasil memaksakan diriku untuk bangun dari tidurku dan
bersiap-siap untuk membuat mata suramku menuju Istana Zi Chen. Tetapi, ketika
aku membuka mataku, tiba-tiba saja aku melihat Ye Hua di sana, menopang dirinya
di ranjang di sebelahku, membaca buku. Kepalaku bersandar di tangan kanannya
yang tak bisa bergerak selagi tangan kirinya memegangi satu gulungan diagram
penyebaran taktik tempur.
Ia melihat aku
terbangun dan membalikkan halamannya, berkata, “Masih belum terang di luar
sana. Tidurlah sebentar lagi. Aku akan membangunkanmu saat waktunya bangun
pagi.”
Aku malu
mengatakannya, semenjak saat itu hingga ke depannya, aku tidak lagi harus
meraba-raba jalanku melewati kegelapan menuju istananya setiap pagi.
Sebaliknya, ialah yang bangun lebih awal dan mendatangi istana Buntalan, dan
tentunya, sarapan juga dipindahkan ke Istana Qing Yun.
Hari-hari di
Istana Langit itu dihabiskan dengan cara yang sama sebagaimana kami
menghabiskan waktu kami di Qingqiu.
Sehabis
sarapan, kami akan berjalan-jalan bersama dan setelahnya menuju ruang bacanya,
dimana kami akan menyeduh dua teko teh. Ia akan mengerjakan tugasnya, sementara
aku juga sibuk sendiri. Saat malam tiba, kami akan memainkan satu atau dua set
permainan catur ditemani cahaya lilin yang berkedip.
Setiap beberapa
saat sekali, si Dewa Obat akan mengunjungi Istana Xi Wu, tetapi ia tidak pernah
mengatakan apa-apa di depanku. Berpapasan dengannya mengingatkanku akan luka Ye
Hua, sehingga aku tidak begitu menyukai kunjungannya. Selain dari hal itu, aku
merasa semuanya sangat menyenangkan. Aku sudah berada pada usia dimana aku
tidak lagi bisa mengingat kenangan dari masa mudaku, tetapi aku tahu bahwa,
bersama dengan Li Jing tidak pernah memberikanku kebahagiaan juga keutuhan yang
kualami sekarang.
Walaupun aku
sudah tidak muda lagi, kurangnya pengalaman bunga persik bermekaran di
kehidupan masa mudaku, artinya aku memiliki sentimen serta gagasan romantis:
hal yang kubaca dalam puisi yang kusimpan dan tidak pernah punya kesempatan
untuk kulakukan. Sekarang, karena perasaan itu sudah teraduk dalam diriku, aku
membiarkan diriku kadang-kadang berhayal tentang bagaimana rasanya berkeliaran
di bawah sinar rembulan dengan Ye Hua atau bermain-main di tengah bunga
bersama-sama.
Tetapi, Istana
Xi Wu jauh lebih tinggi daripada bulan, dan jika kami berdua ingin memandangi
bulan bersama-sama, kami akan melakukannya dengan menatap ke bawah melalui kaki
kami. Jika kami beruntung, kami bisa melihat bulannya, tetapi kami tidak akan
punya kesempatan untuk berjemur di bawahnya dan membiarkan cahaya lembutnya
menyinari tubuh kami, menciptakan suasana kabur, seperti mimpi.
Jadi, kegiatan
mulia seperti mengarang puisi di bawah bulan sepertinya tak akan bisa
dilakukan; aku hanya bisa menelan kekecewaanku dan menyerah akan gagasan ini.
Beruntungnya, saat Ye Hua dan aku berjalan-jalan, kami akan melalui banyak
sekali jenis bunga dan semak belukar, jadi paling tidak, kami bermain-main di
tengah bunga-bunga.
Ketika Ye Hua
menyeretku untuk jalan-jalan pagi kami di Qingqiu, saat kami tiba di jalur
kolam dan hutan bambu dekat Gua Rubah, biasanya ia akan menanyaiku apa yang
kuinginkan untuk makan siang. Kami akan mendiskusikan apa yang akan kami makan
dengan detail, dan saat kami melewati pondok jerami Migu, kami akan memanggilnya
keluar dan memberikannya daftar bahan-bahan untuk dibelinya.
Tampaknya, Ye
Hua tidak perlu mencemaskan untuk memasakkan kami di Kerajaan Langit, jadi
sekarang, ketika kami berjalan-jalan, Ye Hua malah akan bertanya padaku tentang
naskah lakon yang kubaca sehari sebelumnya.
Biasanya,
setelah aku maraton membaca buku-buku ini, aku menganggapnya tak lebih dari
sebuah cara untuk menghabiskan waktu, dan segera setelah aku menyelesaikan satu
buku, aku akan melupakan segalanya, termasuk nama pemeran utama wanitanya. Yang
tertinggal padaku hanya ide samar tentang jenis cerita macam apakah itu.
Tetapi, karena
Ye Hua mulai tertarik, aku jadi semakin perhatian saat membacanya, memastikan
kalau aku bisa menceritakan kembali kisahnya untuk Ye Hua keesokan harinya.
Setelah beberapa hari menceritakan ulang kisah-kisah ini selagi kami
berjalan-jalan, kuputuskan kalau aku memang berbakat.
***
Di tanggal 7
Juli, pertemuan Buddha di Gunung Arwah pun berakhir, dan itu artinya Buntalan
sedang dalam perjalanan pulang ke Istana Langit. Angin sepoi-sepoi menyejukkan
berembus malam itu, dan aroma bunga osmanthus di bulan yang bermekaran lebih
awal tahun ini melayang di sepanjang Jiu Chong Tian.
Aku duduk
bersama Ye Hua di paviliun Kolam Giok. Ada beberapa lentera digantung di
dalamnya, dan lampu minyak diletakkan di atas meja pualam. Ye Hua sedang
memegangi kuas di tangan kirinya dan menggambarkan diagram taktik penyergapan
di bawah cahaya lampu.
Aku mempelajari
taktik penyerbapan selama 20.000 tahun pembelajaranku di Gunung Kun Lun dan
bangga sekali karena menguasainya jauh dibandingkan hasil pembelajaran Taoisme,
pembelajaran Buddhist, dan segala pembelajaran lainnya yang kubenci dan
berhasil selesai di peringkat pertama dalam kelas.
Tetapi,
sekarang ini, kapan pun aku melihat sebuah diagram taktik penyergapan, bukan
hanya memberikanku sakit kepala, namun juga seluruh tubuh yang sakit. Aku duduk
sejenak sembari mengagumi cara Ye Hua memegangi kuasnya sebelum bersandar di
sisi salah satu bangku paviliun, memejamkan mataku, dan membiarkan benakku
berkelana.
Segera setelah
aku memejamkan mataku, aku mendengar suara merdu nan jernih milik anak kecil
melayang dari kejauhan.
“Ibu! Ibu!” panggil
Buntalan.
Aku berdiri dan
melihatnya. Sudah pasti, disitulah ia, mengenakan tunik hijau giok berkilau dan
menyeret entah apa yang tampak seperti tas kain berat di bahu kirinya.
0 comments:
Posting Komentar