Selasa, 03 Agustus 2021

3L3W TMOPB - Chapter 20 Part 2

Ten Miles of Peach Blossoms

Chapter 20 Part 2


Aku pun merasa cukup tersedak, dan hatiku terasa sangat berat.

Zhe Yan bertanya padaku apakah aku ingin menginap di kebun persik. Aku berterima kasih atas undangannya, tetapi menolaknya. Sebaliknya, aku meminta sejumlah besar pil pemulih kesehatan dan pil suplemen energi, dan dengan adanya bulan jernih di atasku, aku menaiki satu awan.

Zhe Yan sudah memberikan semua perawatan yang ia bisa untuk Ye Hua, dan ia mencoba meyakinkanku untuk tetap tinggal di kebun persik, mengatakan tidak ada lagi yang bisa kulakukan untuk membantu pemulihan Ye Hua. Tetapi aku hanya ingin berada di sana untuk menjaga Ye Hua. Meskipun tidak ada hal berguna yang bisa kulakukan, aku hanya ingin berada di sana, merawatnya.

Aku melemparkan sebuah mantra dan mengubah diriku jadi seekor ngengat untuk menghindari prajurit langit dan harimau-harimau yang tidur di Gerbang Langit Selatan. Aku menghabiskan waktu lama mencoba mengingat-ingat jalan menuju Istana Zi Chen milik Ye Hua dan pada akhirnya terbang ke sana melalui gerbangnya.

***

Istana Zi Chen gelap gulita ketika aku sampai. Aku jatuh di atas lantainya, tanpa sengaja menyenggol sebuah bangku, yang jatuh ke samping dengan bunyi dentangan kuat. Istananya langsung dibanjiri cahaya. Aku melihat Ye Hua duduk tegak di ranjangnya, mengenakan jubah tidur sutra berwarna putih, memandangiku penasaran.

Aku hanya pernah melihatnya mengenakan jubah hitamnya, dan melihatnya mengenakan jubah sutra putih tipis ini, yah, membuat sesuatu bergejolak dalam diriku. Dan rambut hitam legamnya yang menjuntai pun, oh ya, itu juga membuatku merasakan sesuatu.

Ia memandangiku sejenak dan setelahnya mengerutkan kening.

“Bukankah seharusnya kau sedang menjaga pangeran pertama Laut Barat?” tanyanya.

Caranya mengerutkan kening juga memberikan efek yang kuat padaku.

Aku tertawa gugup.

“Die Yong baik-baik saja,” kataku tenang.

“Saat aku di bawah sana, membereskan masalah di Laut Barat, aku mulai memikirkan tentang lenganmu yang cedera. Aku khawatir kalau mungkin kau akan merasa kesulitan memegangi cangkir tehmu dengan benar saat menuangkan air panas, jadi kuputuskan kembali dan membantu menjagamu.”

Ia menatapku bahkan lebih keheranan lagi, diikuti dengan senyum kecil, dan setelahnya berpindah ke ujung ranjang, berkata, “Kemarilah, Qian Qian.”

Suaranya begitu dalam hingga membuat telingaku memerah.

“Mungkin itu bukan sebuah ide yang bagus,” kataku sembari berdeham.

“Bagaimana kalau aku pergi ke tempat tidur Buntalan dan menyempil di sana bersamanya? Kau harus istirahat dengan benar, dan aku akan kembali lagi kemari menemuimu besok.”

Aku berbalik, akan menyelinap keluar, tetapi sebelum aku melewati kamar Ye Hua, seluruh aulanya jadi gelap gulita. Aku kehilangan pijakan dan tersandung bangku yang sama lagi.

Tiba-tiba saja Ye Hua berada di belakangku dengan lengannya merangkulku.

“Sekarang aku hanya bisa memeluk dengan satu lengan, jadi apabila kau tidak menyukainya, kau selalu bisa meloloskan diri,” katanya.

Dulu, ketika Ibu menjelaskan padaku bagaimana caranya menjadi seorang istri yang baik, ia menyebutkan tentang etika suami istri, terutama situasi seperti ini. Ia menjelaskan, saat seorang gadis pertama kali menjadi istri dan suaminya mendatanginya, mencari kenikmatan, ia harus mendorongnya dengan lembut pada mulanya. Dengan begitu, suaminya akan melihatnya seperti seorang gadis berpengendalian yang akan dihargai.

Aku kira, dehaman kecilku sudah merupakan ekspresi penolakan halus yang jelas. Tetapi, tampaknya Ye Hua tidak menganggapnya begitu serius. Sayangnya, Ibu tidak pernah mengajariku apa yang harus dilakukan jika suami dari gadis yang baru menikah ini tidak menerima penolakan halusnya, dan bagaimana ia harus terus mempertahankan kesan kalau ia adalah gadis berpengendalian yang patut dihargai.

Rambut menjuntai Ye Hua mengenai telingaku, menggelitikinya dan membuatku kebingungan. Diam-diam aku berbalik dan memeluknya juga.

“Kalau aku tetap tinggal, apakah kau setuju untuk memberiku separuh dari ranjangmu?”

Ia berdeham, dan tersenyum.

“Dengan sosok lenturmu, kau tidak akan menghabiskan sampai separuh ranjangnya.”

Aku mendorongnya malu-malu dan meraba-raba ujung ranjang. Aku ragu-ragu sebelum memutuskan untuk melepaskan jubahku. Aku mengangkat tepian selimut awannya dan berbaring di bagian dalam. Aku mundur hingga ke dinding dan menarik selimut awannya, menutupi diriku. Aku menunggu hingga Ye Hua bergabung denganku di ranjang sebelum mundur lebih jauh lagi ke arah dindingnya.

Ia menggunakan satu lengannya untuk mengaitku dan dengan gesit menarik kembali selimut awannya menutupi tubuhku. Ia memegang ujung selimut dan menariknya ke arahnya, langsung membuat selimutnya melecutku.

Walaupun sekarang malam pertengahan musim panas di awal bulan Juli, sangat dingin di Jiu Chong Tian. Aku mengenakan lagi jubahku. Kalau aku menghabiskan sepanjang malam seperti ini, bukannya aku yang menjaga Ye Hua besok pagi, melainkan dirinyalah yang akan menjagaku.

Mempertahankan martabatku bukanlah sesuatu yang sangat kupentingkan. Aku mendekat kepadanya, dan kian mendekat. Ia berbalik untuk menghadap tepian ranjang, dan aku bergerak mendekat lagi.

Aku terus bergerak ke arahnya. Ia berbalik menghadapku, dan aku mendorong diriku masuk dalam pelukannya.

Ia memelukku dengan tangan kirinya, berkata, “Apakah kau lebih memilih menghabiskan sepanjang malam dengan tidur lelap di dalam pelukanku dengan selimut yang menutupimu, ataukah meringkuk di sudut tanpa selimutnya?”

Agak terkejut, aku berkata, “Kita berdua bisa tidur meringkuk di sudut dengan selimut yang menyelimuti kita.”

Segera setelah aku mengatakan ini, aku bertanya-tanya apakah ada sesuatu yang salah dengan otakku.

Memelukku, ia tertawa kecil.

“Bukan ide yang buruk.”

Kami menghabiskan malam dengan berpelukan, sepasang lovebirds yang menyempil di dindingnya. Mungkin agak sempit, tetapi tidurku sangat nyenyak, bersandar di dada Ye Hua.

Dalam keadaan mengantukku, aku mendengarnya berkata, “Kau tahu, kepribadianmu tetap sama seperti sebelumnya. Kau tetap tidak bisa menerima apa pun dari orang lain.”

Aku memberi jawaban samar dalam keadaan mengantukku. Melihatnya menenangkanku, aku tidur nyenyak hingga aku tak dapat mengingat apa jawabanku.

Di tengah malam, ia mulai batuk-batuk parah, dan aku terbangun kaget. Ia merangkak keluar diam-diam dari ranjang, menarik selimut di ujungnya untukku, dan setelahnya buru-buru membuka pintu istana dan pergi keluar. Aku mendengarkan dengan saksama rentetan batuknya di luar aula istana.

Ia jelas-jelas mencoba untuk batuk pelan-pelan, dan kalau bukan karena telinga rubahku yang tajam, dan perhatianku, aku mungkin tidak akan bisa mendengarnya. Aku mengelus tempat di ranjang sebelahku dimana ia baru saja berbaring, rasa sedih membuncah dalam dadaku.

Aku menghabiskan beberapa waktu menenangkan dirinya sendiri di luar sana sebelum kembali kepadaku. Aku berpura-pura tidur, jelas cukup meyakinkan, saat ia menarik selimutnya dan berbaring, sepertinya tidak menyadari kalau aku sudah bangun. Aku bisa mencium bau amis samar dari darah.

Aku berbaring bersandar padanya, dan setelah aku merasakan kalau ia sudah tidur lagi, aku menyurukkan diri ke dalam pelukannya dan mengulurkan satu lengan untuk memeluknya. Aku diliputi oleh kesedihan, kesedihan yang mendalam. Dan dengan kesedihan dalam hatiku, sedikit demi sedikit aku pun tertidur.

Hari berikutnya saat aku terbangun, aku tidak bisa melihat adanya tanda-tanda penyakitnya. Aku nyaris meragukan semua kesedihan, kebahagiaan, kecemasan, dan kekhawatiran yang kurasakan kemarin, bertanya-tanya apakah semuanya tak lebih daripada sebuah mimpi buruk.

Tetapi, aku tahu kalau itu bukanlah sebuah mimpi.

***

Bersama dengan Ye Hua membuatku benar-benar mulai merindukan Buntalan. Aku dengar kalau ada sebuah pertemuan keagamaan yang akan diadakan di Gunung Arwah beberapa hari lagi, dimana Buddha Gautama akan mengadakan forum untuk menyebarkan ajaran Buddha dan memberi pencerahan kepada semua makhluk hidup. Cheng Yu akan membawa Buntalan untuk menghadiri kegiatan ini.

Aku khawatir kalau atmosfer keagamaan di Surga Barat akan terlalu kuat bagi usia Buntalan dan ia mungkin akan cukup bosan, tetapi Ye Hua tidak setuju.

“Ia hanya pergi ke Surga Barat agar ia bisa memakan tebu Gunung Arwah. Lagipula, Cheng Yu ada di sana untuk menjaganya. Meskipun makhluk abadi lain di belakang altarnya akan sangat bosan hingga mereka tertidur, A Li akan baik-baik saja.”

Aku memutuskan kalau ia tahu apa yang sedang dibicarakannya. Raut wajah Ye Hua masih belum kembali normal. Zhe Yan memberitahuku kalau tangan kanannya benar-benar digigit hingga putus dan tangan barunya masih belum bisa digunakan. Setiap kali aku melihatnya, aku merasa benar-benar kesal, tetapi aku tahu kalau aku harus menyimpannya sendiri.

Sementara itu, ia berlagak seolah ia sama sekali tidak mempedulikannya.

Kabar mengenai cederanya sudah sampai pada semua pejabat, dari peringkat tertinggi Jiu Chong Tian hingga ke peringkat ke-9, dan sebagai hasilnya, beberapa hari ini, tak ada seorang pun yang datang mengganggunya dengan urusan remeh, membuatnya santai tanpa beban.

Aku mencemaskan luka Ye Hua dan ingin tetap di dekatnya selama itu. Yi Lan Fang Hua cukup jauh dari Istana Zi Chen, tidak sedekat Istana Qing Yun, selain itu, aku merasa aneh tinggal di tempat dimana istri pertama Ye Hua pernah tinggal.

Aku memutuskan untuk pindah ke Istana Qing Yun milik Buntalan sementara waktu. Mungkin saja menyalahi peraturan Istana Langit atau yang lainnya, tetapi memahami kalau aku berasal dari sebuah tempat liar seperti Qingqiu, para dayang membiarkannya dan menyediakan sebuah ranjang untukku di Istana Qing Yun.

Aku bangun pagi-pagi sekali di beberapa pagi pertama dan menantang kegelapan dini hari, menggunakan tanganku untuk membimbingku sepanjang jalan menuju Istana Zi Chen milik Ye Hua. Setelah sampai di sana, aku akan membantunya berpakaian dan kami akan sarapan bersama-sama. Karena aku sudah puluhan ribu tahun tidak pernah bangun sepagi ini, kadang-kadang aku akan menguap selagi kami sedang makan.

Beberapa pagi setelahnya, aku berhasil memaksakan diriku untuk bangun dari tidurku dan bersiap-siap untuk membuat mata suramku menuju Istana Zi Chen. Tetapi, ketika aku membuka mataku, tiba-tiba saja aku melihat Ye Hua di sana, menopang dirinya di ranjang di sebelahku, membaca buku. Kepalaku bersandar di tangan kanannya yang tak bisa bergerak selagi tangan kirinya memegangi satu gulungan diagram penyebaran taktik tempur.

Ia melihat aku terbangun dan membalikkan halamannya, berkata, “Masih belum terang di luar sana. Tidurlah sebentar lagi. Aku akan membangunkanmu saat waktunya bangun pagi.”

Aku malu mengatakannya, semenjak saat itu hingga ke depannya, aku tidak lagi harus meraba-raba jalanku melewati kegelapan menuju istananya setiap pagi. Sebaliknya, ialah yang bangun lebih awal dan mendatangi istana Buntalan, dan tentunya, sarapan juga dipindahkan ke Istana Qing Yun.

Hari-hari di Istana Langit itu dihabiskan dengan cara yang sama sebagaimana kami menghabiskan waktu kami di Qingqiu.

Sehabis sarapan, kami akan berjalan-jalan bersama dan setelahnya menuju ruang bacanya, dimana kami akan menyeduh dua teko teh. Ia akan mengerjakan tugasnya, sementara aku juga sibuk sendiri. Saat malam tiba, kami akan memainkan satu atau dua set permainan catur ditemani cahaya lilin yang berkedip.

Setiap beberapa saat sekali, si Dewa Obat akan mengunjungi Istana Xi Wu, tetapi ia tidak pernah mengatakan apa-apa di depanku. Berpapasan dengannya mengingatkanku akan luka Ye Hua, sehingga aku tidak begitu menyukai kunjungannya. Selain dari hal itu, aku merasa semuanya sangat menyenangkan. Aku sudah berada pada usia dimana aku tidak lagi bisa mengingat kenangan dari masa mudaku, tetapi aku tahu bahwa, bersama dengan Li Jing tidak pernah memberikanku kebahagiaan juga keutuhan yang kualami sekarang.

Walaupun aku sudah tidak muda lagi, kurangnya pengalaman bunga persik bermekaran di kehidupan masa mudaku, artinya aku memiliki sentimen serta gagasan romantis: hal yang kubaca dalam puisi yang kusimpan dan tidak pernah punya kesempatan untuk kulakukan. Sekarang, karena perasaan itu sudah teraduk dalam diriku, aku membiarkan diriku kadang-kadang berhayal tentang bagaimana rasanya berkeliaran di bawah sinar rembulan dengan Ye Hua atau bermain-main di tengah bunga bersama-sama.

Tetapi, Istana Xi Wu jauh lebih tinggi daripada bulan, dan jika kami berdua ingin memandangi bulan bersama-sama, kami akan melakukannya dengan menatap ke bawah melalui kaki kami. Jika kami beruntung, kami bisa melihat bulannya, tetapi kami tidak akan punya kesempatan untuk berjemur di bawahnya dan membiarkan cahaya lembutnya menyinari tubuh kami, menciptakan suasana kabur, seperti mimpi.

Jadi, kegiatan mulia seperti mengarang puisi di bawah bulan sepertinya tak akan bisa dilakukan; aku hanya bisa menelan kekecewaanku dan menyerah akan gagasan ini. Beruntungnya, saat Ye Hua dan aku berjalan-jalan, kami akan melalui banyak sekali jenis bunga dan semak belukar, jadi paling tidak, kami bermain-main di tengah bunga-bunga.

Ketika Ye Hua menyeretku untuk jalan-jalan pagi kami di Qingqiu, saat kami tiba di jalur kolam dan hutan bambu dekat Gua Rubah, biasanya ia akan menanyaiku apa yang kuinginkan untuk makan siang. Kami akan mendiskusikan apa yang akan kami makan dengan detail, dan saat kami melewati pondok jerami Migu, kami akan memanggilnya keluar dan memberikannya daftar bahan-bahan untuk dibelinya.

Tampaknya, Ye Hua tidak perlu mencemaskan untuk memasakkan kami di Kerajaan Langit, jadi sekarang, ketika kami berjalan-jalan, Ye Hua malah akan bertanya padaku tentang naskah lakon yang kubaca sehari sebelumnya.

Biasanya, setelah aku maraton membaca buku-buku ini, aku menganggapnya tak lebih dari sebuah cara untuk menghabiskan waktu, dan segera setelah aku menyelesaikan satu buku, aku akan melupakan segalanya, termasuk nama pemeran utama wanitanya. Yang tertinggal padaku hanya ide samar tentang jenis cerita macam apakah itu.

Tetapi, karena Ye Hua mulai tertarik, aku jadi semakin perhatian saat membacanya, memastikan kalau aku bisa menceritakan kembali kisahnya untuk Ye Hua keesokan harinya. Setelah beberapa hari menceritakan ulang kisah-kisah ini selagi kami berjalan-jalan, kuputuskan kalau aku memang berbakat.

***

Di tanggal 7 Juli, pertemuan Buddha di Gunung Arwah pun berakhir, dan itu artinya Buntalan sedang dalam perjalanan pulang ke Istana Langit. Angin sepoi-sepoi menyejukkan berembus malam itu, dan aroma bunga osmanthus di bulan yang bermekaran lebih awal tahun ini melayang di sepanjang Jiu Chong Tian.

Aku duduk bersama Ye Hua di paviliun Kolam Giok. Ada beberapa lentera digantung di dalamnya, dan lampu minyak diletakkan di atas meja pualam. Ye Hua sedang memegangi kuas di tangan kirinya dan menggambarkan diagram taktik penyergapan di bawah cahaya lampu.

Aku mempelajari taktik penyerbapan selama 20.000 tahun pembelajaranku di Gunung Kun Lun dan bangga sekali karena menguasainya jauh dibandingkan hasil pembelajaran Taoisme, pembelajaran Buddhist, dan segala pembelajaran lainnya yang kubenci dan berhasil selesai di peringkat pertama dalam kelas.

Tetapi, sekarang ini, kapan pun aku melihat sebuah diagram taktik penyergapan, bukan hanya memberikanku sakit kepala, namun juga seluruh tubuh yang sakit. Aku duduk sejenak sembari mengagumi cara Ye Hua memegangi kuasnya sebelum bersandar di sisi salah satu bangku paviliun, memejamkan mataku, dan membiarkan benakku berkelana.

Segera setelah aku memejamkan mataku, aku mendengar suara merdu nan jernih milik anak kecil melayang dari kejauhan.

“Ibu! Ibu!” panggil Buntalan.

Aku berdiri dan melihatnya. Sudah pasti, disitulah ia, mengenakan tunik hijau giok berkilau dan menyeret entah apa yang tampak seperti tas kain berat di bahu kirinya.

Related Posts:

0 comments:

Posting Komentar