Ten Miles of Peach Blossoms
Chapter 20 Part 3
WARNING : SEDIKIT ADEGAN 17+ DI BAGIAN INI
Beratnya tas kain itu membuatnya berjalan membentuk jalur zigzag. Saat Ye Hua melihatnya, ia berhenti mengerjakan diagramnya dan berjalan ke tangga paviliun untuk melihat. Aku bangun dari bangku paviliun dan melangkah untuk melihatnya juga.
“Ibu!”
Buntalan
berteriak lagi dari sekitar seratus langkah atau lebih. Aku memanggilnya
sebagai tanggapanku.
Ia merendahkan
tubuh kecil gempalnya dan berjongkok agar dapat pelan-pelan dan berhati-hati
mengangkat tas kain di punggungnya dan meletakkannya di atas tanah.
Ia mengangkat
satu tangan kecilnya dan mengusap keringat dari wajahnya, berteriak, “Ibu, Ibu!
A Li membawakanmu beberapa batang tebu dari Gunung Arwah. Aku memotong-motongnya
sendiri!”
“Aku memilih
batang tebu yang terbesar dan paling tebal untuk ditebang,” ia menambahkan,
terkikik bangga.
Ia berbalik dan
menarik ujung tas kain itu agar tidak ada satu pun batang tebu yang berjatuhan,
dan menahannya dengan seluruh tubuhnya, menariknya selangkah demi selangkah
menuju tempat kami berada.
Aku baru saja
akan pergi dan membantunya, tetapi Ye Hua menghentikanku.
“Biarkan ia
membawanya kemari sendiri.”
Seluruh
perhatianku tertuju pada Buntalan, dan aku bahkan tidak menyadari kalau ia
tidak sendirian sampai aku melihat sekelebat sosok dari belakang semak bunga
yang aku lupa namanya apa. Orang ini membawa sebuah tas kain juga, hanya saja
miliknya lebih kecil dari milik Buntalan.
Ia berjalan
beberapa langkah ke arah kami, dan di bawah cahaya lembut bersinar dari
lentera, aku melihat wajah mungil cantik yang pucat menatap kosong ke depan.
“Cheng Yu,
Cheng Yu, ini adalah ibuku,” Buntalan berteriak dari belakang.
“Lihatlah,
bukankah ia cantik?”
Jadi, wajah
cantik pucat ini milik Cheng Yu, dewa yang berani menentang kekuasaan kuat dan
mencabuti bulu dari ekor harimau.
Cheng Yu
berdiri diam di sana, menatap kosong ke arahku untuk waktu yang lama. Kemudian,
ia mengulurkan tangan dan mencubiti pahaku.
Selagi aku
meringis kesakitan, ia menoleh ke arah Ye Hua.
“Yang Mulia,”
katanya sementara, “Bolehkah aku menyentuh Gu
Gu?”
Ye Hua
berdeham.
Aku terkejut.
Cheng Yu
mengenakan gaun lebar dengan lengan lebar pula, pakaian pria, tetapi suaranya
halus dan lembut, dan daging di dadanya menonjol, sangat tidak laki-laki. Aku
sudah sering melakukan cross-dress
sepanjang tahun, dan kebijaksanaan serta pengalamanku mengatakan kalau Cheng Yu
ini sebenarnya adalah seorang gadis.
Sebelum Ye Hua
berkesempatan untuk merespon, Buntalan berjalan kemari terengah-engah dan sesak
napas.
Ia menengadah
menantang dan berkata, “Bukankah Kakek Ketiga sudah menyembuhkan kebiasaan
burukmu ini? Kenapa kau harus menyentuh semua hal baru dan menarik yang kau
jumpai? Ibuku adalah milik ayahku. Ia satu-satunya yang boleh menyentuhnya. Kau
tidak boleh.”
Ye Hua
terkekeh, sementara aku berdeham.
Wajah Cheng Yu
menghijau, dan terdengar pedih, ia berkata, “Ia adalah Dewi Agung pertama yang
pernah kulihat. Apa salahnya hanya menyentuhnya saja?”
Buntalan
mendengus tak puas.
Cheng Yu, tetap
terdengar menyedihkan, berkata, “Aku hanya akan menyentuhnya satu kali dan
hanya sedetik saja, tentunya kau tidak akan keberatan, kan?”
Buntalan
terus-terusan mendengus tak puas.
Cheng Yu
menarik sehelai saputangan dari lengan jubahnya dan menggunakannya untuk
mengelap matanya.
“Aku naik ke
Istana Langit, menjadi seorang makhluk abadi saat aku masih sangat muda. Yang
Mulia Ketiga mempekerjakanku begitu keras, dan aku terus-menerus kelelahan. Aku
punya setumpuk kemuraman selama bertahun-tahun tanpa adanya hal yang
dinantikan. Satu-satunya harapanku adalah bertemu dan menyentuh seorang Dewi
Agung. Itu adalah harapan yang rendah hati. Jahat sekali Si Ming, menjauhkan
kepuasanku.”
Ia tampak
begitu menyedihkan hingga kau mungkin akan mengira orang tuanya baru saja
meninggal. Otakku jumpalitan. Aku menduga, orang yang disebut Cheng Yu sebagai
Yang Mulia Ketiga adalah orang yang sama yang dipanggil Buntalan dengan sebutan
Kakek Ketiga, itu pasti adalah adik lelaki Sang Ji, paman ketiga Ye Hua, yaitu Pangeran
Lian Song.
Mulut Buntalan
pun berubah datar akibat kesal.
Awalnya ia
melihat ke arahku, lalu ayahnya, meragu sejenak sebelum berkata, “Baiklah, kau
boleh menyentuhnya, tetapi hanya satu kali.”
Ye Hua melirik
Cheng Yu, setelahnya kembali ke meja pualam dan melanjutkan pengerjaan diagram
taktiknya.
Sebelum ia
mengambil kuasnya, ia mengutarakan kata-kata lembut: “Bukan hanya kau berani
mengambil keuntungan dari istriku di depan wajahku, kau juga menipu putra kami
hingga memberikanmu izin. Kau benar-benar melampaui dirimu sendiri kali ini,
Cheng Yu.”
Bahkan, sebelum
ia menyentuh tepian jubahku, tangan terulur penuh sukacita milik Cheng Yu itu
jatuh dengan patuh ke sisi tubuhnya.
Buntalan
menyeret tas kainnya sepanjang jalan menuju paviliun, dan ia berdiri di sana
dengan ekspresi serius di wajahnya selagi ia membuka tasnya. Tas itu memang
terisi dengan batang tebu, terpotong menjadi beberapa bagian. Ia memilih
beberapa bagian berair yang segar dan menyerahkannya padaku, kemudian memilih
lagi yang lain untuk ayahnya.
Tetapi, Ye Hua
sedang memegangi kuas dengan tangan kirinya, dan karena tangan kanannya tidak
berfungsi, ia tidak bisa menerima batang tebunya.
Buntalan
berjalan perlahan dan berdiri berjinjit agar ia bisa memeluk lengan kanan
ayahnya yang tak bergerak itu. Ia mengerutkan hidungnya, dan dua tetes air mata
memercik menuruni pipinya.
“Tangan Ayah
masih belum sembuh?” tanyanya di sela air matanya.
“Kapan Ayah
bisa memeluk A Li lagi?”
Aku mencoba
menahan air mataku sendiri. Zhe Yan bilang, lengan baru Ye Hua membutuhkan
paling tidak 10.000 tahun sebelum bisa berfungsi.
Ye Hua
menyembunyikan ini dari Buntakan dan dariku, bertingkah seakan-akan semuanya
baik-baik saja dan bukan hal yang penting. Aku mengikuti ceritanya dengan
berpura-pura aku pun tidak merasa terganggu oleh hal itu.
Ia kehilangan
tangan kanannya demi diriku, jadi, mulai dari sekarang, aku akan menjadi tangan
kanannya.
Ye Hua
meletakkan kuasnya dan mengangkat Buntalan dengan tangan kirinya.
“Aku bisa
memelukmu juga dengan satu tangan, lihat? Menangis tersedu seperti itu bukanlah
cara yang bagus untuk bersikap bagi seorang anak lelaki, bukan?”
Ia melirikku,
dan tersenyum samar, berkata, “Aku selalu mengira ada sesuatu yang manis jika
ada seorang wanita cantik yang mencemaskanmu, tetapi kekhawatiranmu terasa
pahit. Aku sudah merasakan sesuatu di tanganku ini sejak beberapa hari yang
lalu. Kau tidak perlu terlalu mencemaskannya.”
Aku menghela
napas selagi berpura-pura tampak gembira.
“Aku tahu
tanganmu akan sembuh dalam waktu cepat, tetapi akankah tanganmu itu secekatan
sebelumnya? Kau sangat ahli menggambar lukisan, akan sangat disayangkan jika
kau tidak bisa lagi menggambar karena ini, Buntalan dan aku harus mencari
seseorang untuk menggambar kami.”
Ia menunduk dan
tertawa selagi menurunkan Buntalan kembali ke lantai.
“Bagaimanapun
juga, aku selalu lebih baik dengan tangan kiriku. Walau tangan kananku tidak
sepenuhnya sembuh, tidak akan menghentikanku mengerjakan apa pun. Bagaimana
kalau aku membuat sketsa kalian berdua sekarang untuk membuktikannya?”
Mulutku berubah
datar saking terkejutnya. Ia sudah cukup hebat karena dipilih oleh Tian Jun
sebagai pewarisnya. Lebih hebat lagi daripada kecakapan militernya adalah fakta
bahwa ia bisa menggambar dengan tangan kirinya!
Cheng Yu, yang
sedari tadi duduk di samping, terlihat menurut dan murung sepanjang waktu,
sekarang bergegas menghampiri, berkata, “Gugu,
Anda luar biasa anggun, tidak ada pelukis biasa yang akan berani menurunkan
kuasnya dan melukis Anda. Hanya Yang Mulia Ye Hua yang cukup berbakat untuk
menangkap penampilan indah Dewi Agung Anda. Akan kubawakan kertas, kuas, dan
meja melukis.”
Cheng Yu pandai
berkata-kata dan tahu bagaimana cara menggunakanya untuk membuat orang bahagia.
Pujiannya tentang diriku, jelas menyenangkan Ye Hua, yang mengangkat tangannya
untuk memberinya izin.
Cheng Yu
bergegas bolak-balik seperti embusan angin, membawakan tinta, kertas, kuas,
batu tinta, satu tempat untuk membilas kuas, dan meja melukis.
Aku membawa
Buntalan dalam pelukanku seperti yang diinstruksikan Ye Hua, dan duduk di atas
bangku paviliun. Aku melihat Cheng Yu duduk di pinggir tanpa melakukan apa-apa,
jadi aku memberi isyarat padanya untuk kemari dengan senyuman. Aku
mengundangnya duduk di sebelahku dan meminta Ye Hua melukisnya bersama kami.
Buntalan
menggeliat dalam pelukanku.
Ye Hua agak mengangkat
alisnya, tetapi tidak mengatakan apa-apa. Saat ia menurunkan kuasnya, ia
menatapku dan tersenyum samar. Langit hitam kelam di belakangnya terefleksikan
dalam senyuman ini, dan di bawah cahaya lembut lilin, tampak memancarkan
kecermelangan seluruh semesta. Hatiku bergetar, dan kehangatan menyebar dari
telingaku.
Walaupun tidak
ada pergerakan apa pun di tangan kanannya, Ye Hua bergerak dengan mudah dan
anggun selagi ia menyebarkan tintanya. Aku merasa puas karena sudah memilih
calon suami yang sangat luar biasa.
Setelah,
rasanya waktu yang singkat, Ye Hua selesai dengan lukisannya.
Buntalan
tertidur di pelukanku saat itu. Cheng Yu pergi menghampiri Ye Hua untuk melihat
apa apa yang telah dilukisnya.
Ia tidak cukup
berani untuk mengekspresikan kemarahannya, tetapi suaranya membawa kekecewaan
yang kuat.
“Aku duduk di
sini sepanjang waktu, dan bagian diriku yang mencerahkan si pangeran hebat
untuk dilukis adalah lengan jubahku,” ratapnya.
Aku menggendong
Buntalan untuk melihat juga. Kemampuan tangan kiri Ye Hua memang tak jauh
berbeda dari tangan kanannya. Setelah aku memberitahukan Kakak Kedua tentang
ini, ia pasti ingin berteman dengan Ye Hua.
Jalan
mondar-mandirku ini mengganggu Buntalan, yang mulai terbangun. Ia menatapku
dengan mata mengejapnya sebelum merosot turun dari lututku.
Ia memandangi
lukisannya dan berkata, “Wow! Wow!” beberapa kali, dan setelahnya, “Tetapi,
kenapa kau tidak ada dalam lukisannya, Cheng Yu?”
Cheng Yu
meliriknya sedih. Ia tampak menyedihkan hingga mendorongku menghampirinya dan
meletakkan satu tangan di pundaknya.
“Belakangan
ini, Ye Hua, agak tidak berguna secara fisik,” kataku demi menghiburnya.
“Tangannya
pasti jadi lelah setelah semua sketsa itu. Kau harus memaafkannya.”
Cheng Yu menutup
mulutnya dan berdeham.
“Fisik Ye Hua
tidak berguna?”
Ye Hua baru
saja akan membilas kuasnya, tetapi kini terhenti di tengah udara, dan aku
melihat kuas giok putih berukir dengan bulu-bulu keunguan di tangannya patah
jadi dua.
Oh,
ya ampun, aku sudah terlalu banyak bicara dari yang seharusnya.
Buntalan pun
memasang wajah naif dan bodohnya pada Cheng Yu.
“Apa artinya fisik tak berguna?” tanyanya.
“Apakah itu
artinya Ayahanda bisa menggendong A Li, tapi tidak bisa menggendong Ibu?”
Aku tertawa
kecil dan mundur selangkah. Bukan langkah yang mantap, dan tiba-tiba saja
langit dan buminya sudah terbalik. Di saat aku mendapatkan kembali
keseimbanganku, ternyata aku telah diangkat di atas bahu Ye Hua.
Aku terkejut.
“Singkirkan
meja melukisnya dan bawa A Li kembali ke kamar tidurnya,” dengan santainya Ye
Hua menginstruksikan Cheng Yu.
Cheng Yu
mengangguk selagi ia menyatukan tangannya.
Buntalan
menutupi mata dengan tangannya dan memekik, “Mesum! Mesum!” berulang-ulang
hingga Cheng Yu, yang tampak malu, mengulurkan tangan dan membekap mulut
Buntalan.
***
Saat kami
berada di Istana Kristal Air Laut Barat, Ye Hua sangat perhatian dan lembut
terhadapku, tetapi untuk beberapa alasan, ia lebih kasar kali ini.
Ia
membaringkanku di atas ranjang, kepalaku berbantalkan lengan kanannya yang tak
stabil, sementara ia memelukku erat dengan tangan kirinya.
Ia membuka
mulutku, tertawa tanpa suara, dan setelahnya menggigitiku. Ia tidak menggigitku
keras-keras, tetapi aku tidak merasa kalau ia boleh mengambil keuntungan
seperti itu, dan aku baru saja akan menggigitinya balik, tetapi bibirnya sudah
bergerak menuju telingaku saat itu ....
Ia mengulum
lubang telingaku di dalam mulutnya dan menghisapnya penuh gairah hingga mulai
terasa sakit. Ia menggigitinya lembut, dan seluruh tubuhku mendadak mulai
menggelanyar. Aku mendengar diriku sendiri ber-mhm seperti seekor nyamuk.
Saat ia
mendengarku, bibirnya lepas dari telingaku. Ia menghadapi satu rintangan: gaun
merahku. Gaun ini diberikan oleh istri Kakak Kedua saat ia tinggal di Gua
Rubah. Ia memberitahuku kalau ini adalah gaun yang spesial karena jenis sutra
yang menjadi bahannya.
Pengetahuanku
soal pakaian dan kain sangat minim, yang kutahu adalah kalau gaun ini sulit
dikenakan dan lebih sulit lagi untuk dilepaskan. Namun, meskipun faktanya ia
hanya punya satu tangan yang berfungsi, Ye Hua tetap berhasil melepaskan gaunku
dengan begitu mudahnya. Dalam sekejap mata, gaun itu sudah berada di tangannya,
terlempar dan jatuh di atas lantai.
Ia melepaskan
sisa pakaianku dengan sama mudah dan lancarnya, tetapi saat melucuti pakaiannya
sendiri, ia sangatlah ceroboh. Aku tidak tahan memperhatikannya mencoba sendiri
dan duduk untuk membantunya.
Ia tertawa. Ia
mencondongkan diri selagi aku melepaskan jubahnya dan melarikan bibirnya
menuruni leherku. Aku kehilangan kendali atas tubuhku. Kekuatan rasanya
menghilang dari tanganku, dan yang dapat kulakukan adalah menyentak pakaiannya
tanpa arah ke samping.
Namun, aku terkesan akan kemampuanku, karena dengan beberapa tarikan,
aku juga berhasil melepaskan seluruh pakaiannya.
Ia menguburkan
kepalanya di dadaku, menghisap area di sekitar bekas luka tusukan pisauku,
kadang lembut, kadang keras.
Bekas luka itu
sudah sembuh 500 tahun yang lalu, dan aku tak lagi merasakan sensasi di area
itu, tetapi entah mengapa, begitu ia menciumku dengan lembut di sana, ia
membuatku serasa terjepit dan tertusuk oleh jarum dari ujung ke ujung. Rasanya
seakan-akan ada seekor kucing mencakari hatiku.
Aku
melingkarkan tanganku di lehernya, dan rambut hitam halus dan kendurnya
mengenai kulitku. Selagi aku bergerak, rambutnya menyapuku. Aku menengadah dan
terengah-engah.
Ia melekatkan
bibirnya di telingaku dan bertanya, “Apakah kau merasa tidak nyaman?”
Suaranya penuh
perhatian lembut, benar-benar berbeda dari gerakan tangannya, yang mana menekan
kuat selagi mereka menuruni tulang punggungku.
Tangannya, yang
biasanya sangat dingin, terasa luar biasa hangat hari ini. Bagian tubuhku yang
disentuh olehnya terasa seperti kue panas yang baru dikeluarkan dari tungku,
cukup renyah untuk patah jadi remahan dalam sekali gigit.
0 comments:
Posting Komentar