Selasa, 03 Agustus 2021

3L3W TMOPB - Chapter 20 Part 3

Ten Miles of Peach Blossoms

Chapter 20 Part 3

WARNING : SEDIKIT ADEGAN 17+ DI BAGIAN INI

Beratnya tas kain itu membuatnya berjalan membentuk jalur zigzag. Saat Ye Hua melihatnya, ia berhenti mengerjakan diagramnya dan berjalan ke tangga paviliun untuk melihat. Aku bangun dari bangku paviliun dan melangkah untuk melihatnya juga.

“Ibu!”

Buntalan berteriak lagi dari sekitar seratus langkah atau lebih. Aku memanggilnya sebagai tanggapanku.

Ia merendahkan tubuh kecil gempalnya dan berjongkok agar dapat pelan-pelan dan berhati-hati mengangkat tas kain di punggungnya dan meletakkannya di atas tanah.

Ia mengangkat satu tangan kecilnya dan mengusap keringat dari wajahnya, berteriak, “Ibu, Ibu! A Li membawakanmu beberapa batang tebu dari Gunung Arwah. Aku memotong-motongnya sendiri!”

“Aku memilih batang tebu yang terbesar dan paling tebal untuk ditebang,” ia menambahkan, terkikik bangga.

Ia berbalik dan menarik ujung tas kain itu agar tidak ada satu pun batang tebu yang berjatuhan, dan menahannya dengan seluruh tubuhnya, menariknya selangkah demi selangkah menuju tempat kami berada.

Aku baru saja akan pergi dan membantunya, tetapi Ye Hua menghentikanku.

“Biarkan ia membawanya kemari sendiri.”

Seluruh perhatianku tertuju pada Buntalan, dan aku bahkan tidak menyadari kalau ia tidak sendirian sampai aku melihat sekelebat sosok dari belakang semak bunga yang aku lupa namanya apa. Orang ini membawa sebuah tas kain juga, hanya saja miliknya lebih kecil dari milik Buntalan.

Ia berjalan beberapa langkah ke arah kami, dan di bawah cahaya lembut bersinar dari lentera, aku melihat wajah mungil cantik yang pucat menatap kosong ke depan.

“Cheng Yu, Cheng Yu, ini adalah ibuku,” Buntalan berteriak dari belakang.

“Lihatlah, bukankah ia cantik?”

Jadi, wajah cantik pucat ini milik Cheng Yu, dewa yang berani menentang kekuasaan kuat dan mencabuti bulu dari ekor harimau.

Cheng Yu berdiri diam di sana, menatap kosong ke arahku untuk waktu yang lama. Kemudian, ia mengulurkan tangan dan mencubiti pahaku.

Selagi aku meringis kesakitan, ia menoleh ke arah Ye Hua.

“Yang Mulia,” katanya sementara, “Bolehkah aku menyentuh Gu Gu?”

Ye Hua berdeham.

Aku terkejut.

Cheng Yu mengenakan gaun lebar dengan lengan lebar pula, pakaian pria, tetapi suaranya halus dan lembut, dan daging di dadanya menonjol, sangat tidak laki-laki. Aku sudah sering melakukan cross-dress sepanjang tahun, dan kebijaksanaan serta pengalamanku mengatakan kalau Cheng Yu ini sebenarnya adalah seorang gadis.

Sebelum Ye Hua berkesempatan untuk merespon, Buntalan berjalan kemari terengah-engah dan sesak napas.

Ia menengadah menantang dan berkata, “Bukankah Kakek Ketiga sudah menyembuhkan kebiasaan burukmu ini? Kenapa kau harus menyentuh semua hal baru dan menarik yang kau jumpai? Ibuku adalah milik ayahku. Ia satu-satunya yang boleh menyentuhnya. Kau tidak boleh.”

Ye Hua terkekeh, sementara aku berdeham.

Wajah Cheng Yu menghijau, dan terdengar pedih, ia berkata, “Ia adalah Dewi Agung pertama yang pernah kulihat. Apa salahnya hanya menyentuhnya saja?”

Buntalan mendengus tak puas.

Cheng Yu, tetap terdengar menyedihkan, berkata, “Aku hanya akan menyentuhnya satu kali dan hanya sedetik saja, tentunya kau tidak akan keberatan, kan?”

Buntalan terus-terusan mendengus tak puas.

Cheng Yu menarik sehelai saputangan dari lengan jubahnya dan menggunakannya untuk mengelap matanya.

“Aku naik ke Istana Langit, menjadi seorang makhluk abadi saat aku masih sangat muda. Yang Mulia Ketiga mempekerjakanku begitu keras, dan aku terus-menerus kelelahan. Aku punya setumpuk kemuraman selama bertahun-tahun tanpa adanya hal yang dinantikan. Satu-satunya harapanku adalah bertemu dan menyentuh seorang Dewi Agung. Itu adalah harapan yang rendah hati. Jahat sekali Si Ming, menjauhkan kepuasanku.”

Ia tampak begitu menyedihkan hingga kau mungkin akan mengira orang tuanya baru saja meninggal. Otakku jumpalitan. Aku menduga, orang yang disebut Cheng Yu sebagai Yang Mulia Ketiga adalah orang yang sama yang dipanggil Buntalan dengan sebutan Kakek Ketiga, itu pasti adalah adik lelaki Sang Ji, paman ketiga Ye Hua, yaitu Pangeran Lian Song.

Mulut Buntalan pun berubah datar akibat kesal.

Awalnya ia melihat ke arahku, lalu ayahnya, meragu sejenak sebelum berkata, “Baiklah, kau boleh menyentuhnya, tetapi hanya satu kali.”

Ye Hua melirik Cheng Yu, setelahnya kembali ke meja pualam dan melanjutkan pengerjaan diagram taktiknya.

Sebelum ia mengambil kuasnya, ia mengutarakan kata-kata lembut: “Bukan hanya kau berani mengambil keuntungan dari istriku di depan wajahku, kau juga menipu putra kami hingga memberikanmu izin. Kau benar-benar melampaui dirimu sendiri kali ini, Cheng Yu.”

Bahkan, sebelum ia menyentuh tepian jubahku, tangan terulur penuh sukacita milik Cheng Yu itu jatuh dengan patuh ke sisi tubuhnya.

Buntalan menyeret tas kainnya sepanjang jalan menuju paviliun, dan ia berdiri di sana dengan ekspresi serius di wajahnya selagi ia membuka tasnya. Tas itu memang terisi dengan batang tebu, terpotong menjadi beberapa bagian. Ia memilih beberapa bagian berair yang segar dan menyerahkannya padaku, kemudian memilih lagi yang lain untuk ayahnya.

Tetapi, Ye Hua sedang memegangi kuas dengan tangan kirinya, dan karena tangan kanannya tidak berfungsi, ia tidak bisa menerima batang tebunya.

Buntalan berjalan perlahan dan berdiri berjinjit agar ia bisa memeluk lengan kanan ayahnya yang tak bergerak itu. Ia mengerutkan hidungnya, dan dua tetes air mata memercik menuruni pipinya.

“Tangan Ayah masih belum sembuh?” tanyanya di sela air matanya.

“Kapan Ayah bisa memeluk A Li lagi?”

Aku mencoba menahan air mataku sendiri. Zhe Yan bilang, lengan baru Ye Hua membutuhkan paling tidak 10.000 tahun sebelum bisa berfungsi.

Ye Hua menyembunyikan ini dari Buntakan dan dariku, bertingkah seakan-akan semuanya baik-baik saja dan bukan hal yang penting. Aku mengikuti ceritanya dengan berpura-pura aku pun tidak merasa terganggu oleh hal itu.

Ia kehilangan tangan kanannya demi diriku, jadi, mulai dari sekarang, aku akan menjadi tangan kanannya.

Ye Hua meletakkan kuasnya dan mengangkat Buntalan dengan tangan kirinya.

“Aku bisa memelukmu juga dengan satu tangan, lihat? Menangis tersedu seperti itu bukanlah cara yang bagus untuk bersikap bagi seorang anak lelaki, bukan?”

Ia melirikku, dan tersenyum samar, berkata, “Aku selalu mengira ada sesuatu yang manis jika ada seorang wanita cantik yang mencemaskanmu, tetapi kekhawatiranmu terasa pahit. Aku sudah merasakan sesuatu di tanganku ini sejak beberapa hari yang lalu. Kau tidak perlu terlalu mencemaskannya.”

Aku menghela napas selagi berpura-pura tampak gembira.

“Aku tahu tanganmu akan sembuh dalam waktu cepat, tetapi akankah tanganmu itu secekatan sebelumnya? Kau sangat ahli menggambar lukisan, akan sangat disayangkan jika kau tidak bisa lagi menggambar karena ini, Buntalan dan aku harus mencari seseorang untuk menggambar kami.”

Ia menunduk dan tertawa selagi menurunkan Buntalan kembali ke lantai.

“Bagaimanapun juga, aku selalu lebih baik dengan tangan kiriku. Walau tangan kananku tidak sepenuhnya sembuh, tidak akan menghentikanku mengerjakan apa pun. Bagaimana kalau aku membuat sketsa kalian berdua sekarang untuk membuktikannya?”

Mulutku berubah datar saking terkejutnya. Ia sudah cukup hebat karena dipilih oleh Tian Jun sebagai pewarisnya. Lebih hebat lagi daripada kecakapan militernya adalah fakta bahwa ia bisa menggambar dengan tangan kirinya!

Cheng Yu, yang sedari tadi duduk di samping, terlihat menurut dan murung sepanjang waktu, sekarang bergegas menghampiri, berkata, “Gugu, Anda luar biasa anggun, tidak ada pelukis biasa yang akan berani menurunkan kuasnya dan melukis Anda. Hanya Yang Mulia Ye Hua yang cukup berbakat untuk menangkap penampilan indah Dewi Agung Anda. Akan kubawakan kertas, kuas, dan meja melukis.”

Cheng Yu pandai berkata-kata dan tahu bagaimana cara menggunakanya untuk membuat orang bahagia. Pujiannya tentang diriku, jelas menyenangkan Ye Hua, yang mengangkat tangannya untuk memberinya izin.

Cheng Yu bergegas bolak-balik seperti embusan angin, membawakan tinta, kertas, kuas, batu tinta, satu tempat untuk membilas kuas, dan meja melukis.

Aku membawa Buntalan dalam pelukanku seperti yang diinstruksikan Ye Hua, dan duduk di atas bangku paviliun. Aku melihat Cheng Yu duduk di pinggir tanpa melakukan apa-apa, jadi aku memberi isyarat padanya untuk kemari dengan senyuman. Aku mengundangnya duduk di sebelahku dan meminta Ye Hua melukisnya bersama kami.

Buntalan menggeliat dalam pelukanku.

Ye Hua agak mengangkat alisnya, tetapi tidak mengatakan apa-apa. Saat ia menurunkan kuasnya, ia menatapku dan tersenyum samar. Langit hitam kelam di belakangnya terefleksikan dalam senyuman ini, dan di bawah cahaya lembut lilin, tampak memancarkan kecermelangan seluruh semesta. Hatiku bergetar, dan kehangatan menyebar dari telingaku.

Walaupun tidak ada pergerakan apa pun di tangan kanannya, Ye Hua bergerak dengan mudah dan anggun selagi ia menyebarkan tintanya. Aku merasa puas karena sudah memilih calon suami yang sangat luar biasa.

Setelah, rasanya waktu yang singkat, Ye Hua selesai dengan lukisannya.

Buntalan tertidur di pelukanku saat itu. Cheng Yu pergi menghampiri Ye Hua untuk melihat apa apa yang telah dilukisnya.

Ia tidak cukup berani untuk mengekspresikan kemarahannya, tetapi suaranya membawa kekecewaan yang kuat.

“Aku duduk di sini sepanjang waktu, dan bagian diriku yang mencerahkan si pangeran hebat untuk dilukis adalah lengan jubahku,” ratapnya.

Aku menggendong Buntalan untuk melihat juga. Kemampuan tangan kiri Ye Hua memang tak jauh berbeda dari tangan kanannya. Setelah aku memberitahukan Kakak Kedua tentang ini, ia pasti ingin berteman dengan Ye Hua.

Jalan mondar-mandirku ini mengganggu Buntalan, yang mulai terbangun. Ia menatapku dengan mata mengejapnya sebelum merosot turun dari lututku.

Ia memandangi lukisannya dan berkata, “Wow! Wow!” beberapa kali, dan setelahnya, “Tetapi, kenapa kau tidak ada dalam lukisannya, Cheng Yu?”

Cheng Yu meliriknya sedih. Ia tampak menyedihkan hingga mendorongku menghampirinya dan meletakkan satu tangan di pundaknya.

“Belakangan ini, Ye Hua, agak tidak berguna secara fisik,” kataku demi menghiburnya.

“Tangannya pasti jadi lelah setelah semua sketsa itu. Kau harus memaafkannya.”

Cheng Yu menutup mulutnya dan berdeham.

“Fisik Ye Hua tidak berguna?”

Ye Hua baru saja akan membilas kuasnya, tetapi kini terhenti di tengah udara, dan aku melihat kuas giok putih berukir dengan bulu-bulu keunguan di tangannya patah jadi dua.

Oh, ya ampun, aku sudah terlalu banyak bicara dari yang seharusnya.

Buntalan pun memasang wajah naif dan bodohnya pada Cheng Yu.

“Apa artinya fisik tak berguna?” tanyanya.

“Apakah itu artinya Ayahanda bisa menggendong A Li, tapi tidak bisa menggendong Ibu?”

Aku tertawa kecil dan mundur selangkah. Bukan langkah yang mantap, dan tiba-tiba saja langit dan buminya sudah terbalik. Di saat aku mendapatkan kembali keseimbanganku, ternyata aku telah diangkat di atas bahu Ye Hua.

Aku terkejut.

“Singkirkan meja melukisnya dan bawa A Li kembali ke kamar tidurnya,” dengan santainya Ye Hua menginstruksikan Cheng Yu.

Cheng Yu mengangguk selagi ia menyatukan tangannya.

Buntalan menutupi mata dengan tangannya dan memekik, “Mesum! Mesum!” berulang-ulang hingga Cheng Yu, yang tampak malu, mengulurkan tangan dan membekap mulut Buntalan.

***

Saat kami berada di Istana Kristal Air Laut Barat, Ye Hua sangat perhatian dan lembut terhadapku, tetapi untuk beberapa alasan, ia lebih kasar kali ini.

Ia membaringkanku di atas ranjang, kepalaku berbantalkan lengan kanannya yang tak stabil, sementara ia memelukku erat dengan tangan kirinya.

Ia membuka mulutku, tertawa tanpa suara, dan setelahnya menggigitiku. Ia tidak menggigitku keras-keras, tetapi aku tidak merasa kalau ia boleh mengambil keuntungan seperti itu, dan aku baru saja akan menggigitinya balik, tetapi bibirnya sudah bergerak menuju telingaku saat itu ....

Ia mengulum lubang telingaku di dalam mulutnya dan menghisapnya penuh gairah hingga mulai terasa sakit. Ia menggigitinya lembut, dan seluruh tubuhku mendadak mulai menggelanyar. Aku mendengar diriku sendiri ber-mhm seperti seekor nyamuk.

Saat ia mendengarku, bibirnya lepas dari telingaku. Ia menghadapi satu rintangan: gaun merahku. Gaun ini diberikan oleh istri Kakak Kedua saat ia tinggal di Gua Rubah. Ia memberitahuku kalau ini adalah gaun yang spesial karena jenis sutra yang menjadi bahannya.

Pengetahuanku soal pakaian dan kain sangat minim, yang kutahu adalah kalau gaun ini sulit dikenakan dan lebih sulit lagi untuk dilepaskan. Namun, meskipun faktanya ia hanya punya satu tangan yang berfungsi, Ye Hua tetap berhasil melepaskan gaunku dengan begitu mudahnya. Dalam sekejap mata, gaun itu sudah berada di tangannya, terlempar dan jatuh di atas lantai.

Ia melepaskan sisa pakaianku dengan sama mudah dan lancarnya, tetapi saat melucuti pakaiannya sendiri, ia sangatlah ceroboh. Aku tidak tahan memperhatikannya mencoba sendiri dan duduk untuk membantunya.

Ia tertawa. Ia mencondongkan diri selagi aku melepaskan jubahnya dan melarikan bibirnya menuruni leherku. Aku kehilangan kendali atas tubuhku. Kekuatan rasanya menghilang dari tanganku, dan yang dapat kulakukan adalah menyentak pakaiannya tanpa arah ke samping.

Namun, aku terkesan akan kemampuanku, karena dengan beberapa tarikan, aku juga berhasil melepaskan seluruh pakaiannya.

Ia menguburkan kepalanya di dadaku, menghisap area di sekitar bekas luka tusukan pisauku, kadang lembut, kadang keras.

Bekas luka itu sudah sembuh 500 tahun yang lalu, dan aku tak lagi merasakan sensasi di area itu, tetapi entah mengapa, begitu ia menciumku dengan lembut di sana, ia membuatku serasa terjepit dan tertusuk oleh jarum dari ujung ke ujung. Rasanya seakan-akan ada seekor kucing mencakari hatiku.

Aku melingkarkan tanganku di lehernya, dan rambut hitam halus dan kendurnya mengenai kulitku. Selagi aku bergerak, rambutnya menyapuku. Aku menengadah dan terengah-engah.

Ia melekatkan bibirnya di telingaku dan bertanya, “Apakah kau merasa tidak nyaman?”

Suaranya penuh perhatian lembut, benar-benar berbeda dari gerakan tangannya, yang mana menekan kuat selagi mereka menuruni tulang punggungku.

Tangannya, yang biasanya sangat dingin, terasa luar biasa hangat hari ini. Bagian tubuhku yang disentuh olehnya terasa seperti kue panas yang baru dikeluarkan dari tungku, cukup renyah untuk patah jadi remahan dalam sekali gigit.

Related Posts:

0 comments:

Posting Komentar