Sabtu, 07 Agustus 2021

CTF - Chapter 117

Consort of A Thousand Faces

Chapter 117 : Memanggilnya 'Ibu'


Pei Qian Hao berjalan menghampiri dan menggunakan tangan kanannya di pinggang Su Xi-er sebagai pengungkit untuk membaringkannya lurus di atas ranjang, kemudian menarik selimut untuk menutupinya. Namun, tepat saat ia selesai melakukannya, Su Xi-er membalikkan selimutnya hingga terbuka dengan ekspresi nakal, pipinya bersemu lebih merah daripada sebelumnya.

Dengan sebegitu banyaknya ia bergerak sewaktu tidur, pantas saja ia masih sakit.

Pei Qian Hao menarik ujung selimut untuk menutupinya lagi, tetapi ia mengangkat tangannya dan menariknya dengan senyum di wajahnya. Jika saja Su Xi-er tidak memejamkan matanya dan bertingkah seaneh ini, ia pasti akan mengira gadis ini dalam keadaan sadar.

Tiba-tiba saja, Su Xi-er terkikik beberapa kali dan menggenggam tangan Pei Qian Hao erat, dan semakin erat saja, seolah ia adalah bagian tak terpisahkan dari hidupnya.

Namun, wajah Pei Qian Hao menggelap lagi saat ia memanggil dengan manisnya.

"Ibu ...." Saat ia menjadi Ning Ru Lan, ia selalu memanggil Ibunda Permaisurinya dengan sebutan 'Ibu'. Walaupun di depan orang lain, ia akan memanggilnya, 'Ibunda Permaisuri'.

Kata-katanya ini tak diragukan lagi, bukti kalau ia tengah bermimpi tentang ibunya.

Tetapi, ia sedang memegangi tangan Pei Qian Hao—tangan seorang pria. Meskipun ia tahu kalau gadis ini sedang bermimpi, ia tetap memanggilnya sebagai 'ibu' ....

Mata Pei Qian Hao gelap sewaktu ia menurunkan dirinya ke sebelah telinga Su Xi-er dan berbisik dengan suara rendah, "Apakah Pangeran ini adalah ibumu? Kau punya ibu yang mirip seperti Pangeran ini?"

Meskipun ia masih tertidur, Su Xi-er masih bisa merasakan secara naluriah akan bahaya yang terkandung dalam suaranya. Ia segera melepaskan tangannya, membalikkan tubuhnya ke satu sisi dan memunggunginya.

Pei Qian Hao sedikit mengamatinya, diam-diam menutupinya dengan sehelai selimut sebelum duduk di atas sebuah bangku di samping dan memijat keningnya pelan.

Ketika suara seorang pengawal terdengar dari luar kamar, Pei Qian Hao bangkit berdiri dan segera berjalan keluar. Setelah membukakan pintunya, ia mendiamkan si pengawal dengan pelototan dinginnya.

Pengawal itu langsung gemetar ketakutan dan mengecilkan suaranya. "Pangeran Hao, semuanya sudah diurus. Kasus kedua Nona Wei akan ditutup esok hari."

Pei Qian Hao mengangguk. "Awasi Su Xi-er besok. Jangan biarkan ia keluar dari rumah posnya."

Pengawal itu mengangguk beberapa kali sekaligus. "Mematuhi perintah."

Sementara semuanya tenang dan damai di rumah pos, lain ceritanya di pinggiran ibu kota ....

***

Hari berikutnya, Su Xi-er membuka mata mengantuknya akibat mabuk. Aku minum terlalu banyak anggur semalam. Ia memeriksa keadaan sekitarnya .... Ini adalah ... kamar Pangeran Hao.

Apakah ia membawaku kemari semalam? Su Xi-er mengernyitkan alisnya dan menyibakkan selimutnya hingga terbuka. Saat ia melihat korset Cina abu-abunya tergeletak di atas ranjang, ia hanya bisa bengong.

Baju luaranku sudah menghilang, dan korsetku lepas. Apa yang terjadi semalam? Kepala Su Xi-er pun sakit lagi; semakin ia memikirkannya, kepalanya semakin sakit.

Ia mengusap-usap keningnya hingga sakit kepalanya sedikit berkurang, kemudian melanjutkan memungut korsetnya dan mengenakannya. Melihat-lihat ke sekitar bagian bawah ranjang, ia menemukan baju luarannya tergeletak di sebelah sehelai kain panjang.

Su Xi-er mengamati kain itu sementara berpakaian. Tampaknya, ini dirobek paksa oleh seseorang. Apakah aku melakukannya saat mabuk kemarin?

"Su Xi-er, obatmu di sini." Suara si juru masak wanita terdengar dari luar.

Su Xi-er mengangguk kemudian teringat kalau baju kasarnya ini adalah milik si juru masak wanita.

"Aku sengaja merebusnya selama enam jam semalam, tetapi kau sudah tidur waktu itu, jadi aku mengikuti perintah Pangeran Hao untuk menghangatkannya untukmu, dan aku tidak bisa tidur sepanjang malam." Si juru masak wanita menyerahkan semangkuk obat itu sembari tersenyum lebar, kemudian menyadari kalau Su Xi-er sedang memakai bajunya.

"Aku tidak tahu kalau kau suka pakai baju kasar. Aku masih punya yang lain yang baru dibuat beberapa hari yang lalu dari kain baru. Aku bisa membawakannya padamu jika kau menyukainya."

Su Xi-er menerima mangkuk obatnya. Aku tidak perlu lagi meminum obat ini karena aku sudah hampir sembuh, tetapi Juru Masak ini tidak tidur semalaman. Aku tidak boleh mengecewakannya.

"Aku akan mencucikan bajunya dan mengembalikannya padamu. Maafkan aku karena tidak bertanya terlebih dahulu sebelum mengambilnya darimu kemarin." Su Xi-er meminta maaf dengan sopan, lalu mengambil mangkuknya dan mulai meminum obatnya.

Direbus selama berjam-jam, rasa pahit obatnya jadi terasa sangat menonjol, membuat Su Xi-er mengerutkan alisnya.

Si juru masak pun tertawa. "Kau harus memakan beberapa manisan kurma, jika kau tidak menyukai rasa pahitnya. Aku punya pohon kurma di rumah yang sedang berbuah sekarang ini. Dalam beberapa hari, aku akan memetik beberapa dan membuatkan manisan kurma untukmu."

(T/N : contoh manisan kurma)

Contoh Manisan Kurma

"Terima kasih, Bibi." Su Xi-er tersenyum, kemudian menggertakkan giginya dan menghabiskan obat pahit tersebut.

"Pergilah ke dapur dan sarapan. Pangeran Hao sengaja menyuruh beberapa pengawal untuk mengawasimu sebelum ia meninggalkan rumah posnya pagi tadi, jadi kau tidak akan bisa menyelinap keluar lagi. Hati-hatilah, kau akan dihukum kalau kau melanggar peraturan lagi." Si juru masak wanita mendesak Su Xi-er selagi ia mengambil mangkuk kosongnya.

Su Xi-er mengangguk. "Terima kasih banyak karena mengingatkanku, Bibi. Aku tidak akan keluar lagi."

Setelah ia menghabiskan obatnya, Su Xi-er dan si juru masak meninggalkan kamar bersama-sama. Su Xi-er menuju ke kamarnya sendiri dan si juru masak wanita berjalan ke arah halaman belakang.

Su Xi-er mengganti baju kasar itu setelah ia masuk ke dalam kamarnya dan mengenakan gaun sewarna zamrud. Kemudian, ia membawa sebuah baskom kayu keluar dan bersiap mencuci baju kasar itu agar ia bisa mengembalikannya pada si juru masak wanita secepat mungkin.

Tetapi, ketika ia berjalan keluar dari kamarnya, ia melihat beberapa pria berusia tiga puluhan yang mengantarkan kayu bakar, sedang mendiskusikan sesuatu dengan hati-hati.

Diam-diam, Su Xi-er merayap beberapa langkah maju, dan mendengarkan percakapan mereka.

"Aku tidak menyangka kalau kedua Nona Wei dibunuh oleh si pengurus dan pelayan di Kedai Aprikot Keberuntungan. Mereka melarikan diri dan mati saat mereka bertarung melawan para petugas kehakiman."

"Tepat sekali. Kedai Aprikot Keberuntungan merupakan kedai teh terbesar di Nan Zhao, tetapi si pengurus benar-benar melakukan sesuatu seperti ini. Tidak peduli seberapa tak menyenangkannya para Nona Wei itu, tetap saja nyawa manusia!"

"Si pengurus dan pelayan itu mendambakan uang dan punya sesuatu untuk mengancam Nona-Nona Wei. Sayangnya bagi kedua bersaudari itu, bukan selalu hal yang bagus punya terlalu banyak uang, sebab mereka bahkan kehilangan nyawa karena itu. Tuan Besar Keluarga Wei juga kasihan sekali."

Su Xi-er kebingungan. Pengurus dan pelayan itu tidak mungkin membunuh kedua Nona Wei; mereka berdua begitu penakut. Terlebih lagi, dengan seberapa banyaknya uang dimilikinya sebagai pengurus kedai teh paling populer yang diraup tiap tahunnya, tidak mungkin motifnya adalah karena masalah keuangan.

Semuanya adalah perangkap; seseorang menjebak si pengurus dan pelayan, menjadikan mereka sebagai kambing hitam.

"Sudah, sudah, jangan dibicarakan lagi, ini adalah rumah pos. Tidak akan baik jika pengawal kekaisaran Kediaman Pangeran Hao menangkap basah kita tengah bergosip. Ayo, bongkar semuanya dengan cepat dan pergi dari sini."

Pria-pria lainnya mulai membongkar kayu bakarnya dan memasukkannya ke dalam gerobak kayu sebelum mendorong mereka ke bagian belakang rumah pos.

Ketika mereka mengitari sudutnya, mereka melihat Su Xi-er di samping. Meskipun ia mengenakan baju kasar, tidak cukup untuk menyembunyikan keanggunannya.

Selama beberapa dekade hidup mereka, mereka belum pernah melihat seorang wanita secantik ini. Mau tak mau, mereka terpikirkan akan si gadis cantik tiada tara yang mereka dengar kabarnya beberapa hari lalu.

Apakah si gadis cantik tiada tara itu secantik wanita yang ada di hadapan kami ini?

Su Xi-er melirik mereka, kemudian berjalan ke arah sumur. Para pria berusia tiga puluhan itu terus saja memandangi punggungnya, hanya tersadar dari keterguncangan mereka ketika mereka ditegur oleh pengawal kekaisaran Kediaman Pangeran Hao.

"Mohon ampun. Kami, orang rendahan ini tak akan berani melihatnya lagi."

Si pengawal menunjukkan kekecewaannya. "Cepat pergi dari rumah pos ini."

"Baik, baik, orang-orang rendahan ini akan pergi sekarang juga." Mereka buru-buru keluar dari rumah pos setelah mereka selesai membongkar kayu bakarnya.

Pengawal itu hanya bisa menggelengkan kepalanya dan menghela napas. Pantas saja Pangeran Hao memerintahkan kami untuk mengawasi Su Xi-er. Wanita ini terlalu menarik. Ia menarik pandangan orang meski di dalam rumah pos, apalagi di luar sana yang dipenuhi dengan rakyat jelata.

Jika Su Xi-er pergi keluar, mungkin ia hanya bisa berada di belakang Pangeran Hao. Kalau tidak, ia harus mengenakan riasan untuk tampak jelek.

Related Posts:

0 comments:

Posting Komentar