Minggu, 21 November 2021

3L3W TMOPB - Chapter 21 Part 2

 Ten Miles of Peach Blossoms

Chapter 21 Part 2


Ia menenangkan diri dan setelahnya bertanya dengan suara pelan, “Yah, ia jelas berselera bagus dalam mencari pengantin. Siapakah nama tunanganmu itu? Dan kapankah ia dilahirkan?”

Aku memberitahunya.

Ia menghitung menggunakan jemarinya dan kemudian menyesap tehnya dengan tenang.

“Bagaimana kau bisa bersama-sama dengan saudara kembarku, Xiao Shi Qi?” tanyanya.

“Apa?” tanyaku dengan suara kaget seperti tersambar petir.

Aku memandangi sekitar dan melihat bukan hanya diriku yang tampak kaget. Zhe Yan dan Kakak Keempat, yang biasanya terlihat lebih mengetahui tentang apa yang terjadi, mereka berdua juga terlihat seolah baru saja tersambar oleh petir.

Mo Yuan membalikkan cangkir teh di tangannya dan berkata, “Tidak heran kalian semua begitu terkejut. Aku pun baru mengetahuinya saat Ayah Semesta meninggal. Ibuku hanya melahirkan satu bayi, yaitu aku. Tetapi, di dalam rahimnya, aku masih punya satu saudara kembar.”

Mo Yuan menjelaskan, masalahnya dimulai ketika ibunya, Ibu Semesta, mengandung ia dan adik lelakinya. Itu adalah tahun dimana keempat pilar runtuh dan sembilan kerajaan hancur.

Ibu Semesta bekerja keras memperbaiki keempat pilar yang menopang langit, tetapi hal itu berimbas pada kesehatan bayi-bayinya yang belum dilahirkan, dan ia pun hanya mampu melahirkan satu bayi sehat, yang paling besar.

Ayah Semesta merasa kalau mereka telah sangat mengecewakan putra bungsu mereka, dan dengan keras kepalanya, ia menyimpan jiwa kecil itu, yang jika tidak disimpan akan terbang dan menghilang dari dunia. Ia membesarkannya di dalam jiwa primordialnya sendiri, menanti, ingin melihat apakah ia punya takdir serta keberuntungan untuk menciptakan embrio makhluk abadi untuk putranya, agar ia bisa bangkit dan terlahir kembali.

Ayah Semesta menggunakan setengah ilmu sihirnya untuk menciptakan embrio abadi, tetapi tetap saja jiwa putranya tidak bangkit. Ayah Semesta memutuskan untuk mengubah embrio abadi ini menjadi sebutir telur emas, yang dikuburkannya di belakang pengunungan Gunung Kun Lun, akan digali lagi setelah jiwa putranya bangkit.

Tetapi, takdir berkata lain, Ibu dan Ayah Semesta kembali ke kehampaan abadi sebelum jiwa putra mereka bisa bangkit. Sebelum Ayah Semesta meninggal, ia menjelaskan situasi ini pada Mo Yuan. Ia memisahkan jiwa putranya dari jiwa primordialnya dan mempercayakannya pada Mo Yuan. Mo Yuan meletakkan jiwa saudaranya di dalam jiwa primordialnya, sama seperti yang dilakukan Ayah Semesta, dan memeliharanya di sana. Begitu banyak waktu berlalu, tetapi saudara kembar Mo Yuan masih gagal untuk bangun.

“Itu pasti ketika aku memberikan jiwa primordialku ke Lonceng Dong Huang, hingga akhirnya ia terbangun. Aku rasa, ia pastinya mengumpulkan kepingan jiwaku yang berserakan, dan menyatukannya lagi, kalau tidak, aku tidak tahu lagi bagaimana caranya aku terbangun. Samar-samar aku teringat seorang anak kecil duduk di sisiku selama tujuh atau delapan ribu tahun, memperbaiki jiwaku. Ia berhasil memperbaiki setengahnya ketika cahaya keemasan bersinar masuk tepat ke dalam gua tempat kami berada, membawanya pergi. Setelah ia pergi, aku meneruskan pekerjaan memperbaiki jiwaku.

“Tidak mudah, dan membutuhkan waktu yang sangat lama. Kau bilang, ia adalah pewaris takhta langit, yang mana membuatku berpikir bahwa ada seorang Niang Niang dari Klan Langit yang berkeliaran di Gunung Kun Lun, menemukan telur emas yang dikubur Ayah Semesta, dan menelannya. Embrio abadinya pasti mengakar di perutnya. Itulah titik dimana cahaya keemasan itu bersinar masuk dan membawanya pergi.”

Zhe Yan tertawa canggung.

“Ketika Ye Hua lahir, tujuh puluh dua ekor burung berbagai warna mengitari Istana Langit selama delapan puluh satu hari, dan kabut asap menggantung di langit timur selama tiga tahun. Mengetahui kalau ia adalah saudara kembarmu, tidak heran lagi.”

Mengetahui kabar ini rasanya seperti tersambar petir. Aku tak pernah membayangkan bahwa ini mungkin menjadi hubungan masa depanku dengan Mo Yuan. Selagi aku mendengarkannya menjelaskan hubungannya dengan Ye Hua, aku pun menjadi tenang, diikuti dengan keterkejutan luar biasa. Fakta bahwa mereka berdua adalah saudara kembar tampak begitu jelas sekarang, dilihat dari wajah mereka.

***

Mo Yuan ingin pergi dan menemui Ye Hua. Ia baru saja terbangun dan memerlukan istirahat mengurung diri selama beberapa tahun sebelum ia benar-benar pulih. Aku tidak berpikir ia cukup sehat untuk bergegas ke dunia manusia dan membayangkan hal itu akan memberi dampak negatif pada pemulihannya. Aku pun menentang kecenderungan alami seorang murid yang harus selalu jujur pada guru mereka, dan mengarang sebuah alasan untuk menggagalkannya. Aku berjanji, setelah cederanya membaik, aku akan membawa Ye Hua untuk menemuinya.

Walaupun ada energi spiritual, Gua Yan Hua sangat dingin dan bukanlah tempat yang sesuai untuk pemulihan Mo Yuan. Ia berniat kembali ke Gunung Kun Lun, ke gua di belakang gunung dimana ia selalu mengurung diri dulunya.

Aku tidak begitu bersemangat membiarkannya melihat keadaan menyedihkan yang menimpa Gunung Kun Lun, tetapi kertas tak akan bisa membungkus api: ia akan mengetahui kenyataan menjengkelkan ini suatu saat nanti.

Memutuskan akan lebih baik baginya mengetahui ini lebih awal ketimbang lebih lambat, setelah beberapa kali minum teh, aku menemaninya kembali ke Gunung Kun Lun. Zhe Yan dan Kakak Keempat, tidak ada tempat spesial yang perlu didatangi, memutuskan untuk ikut juga, begitupun dengan Bi Fang.

Dengan Kakak Keempat menunggangi Bi Fang, dan sisanya kami bertiga di atas awan keberuntungan, kami melayang menuju Gunung Kun Lun, ke tempat yang digambarkan Kakak Keempat begitu jauh berbeda dari bagaimana tadinya tempat itu.

Aku jelas takjub akan pemandangannya.

Sepanjang jalan menuruni pintu masuk pegunungan, kami melihat kerumunan makhluk abadi kecil. Beberapa berdiri, yang lainnya berjongkok atau duduk, dan ada satu lingkaran kabut berputar warna ungu dan hijau memenuhi setengah pegunungannya dengan keindahan yang bercahaya dan mistis. Energi abadi ini meruap dan mengepuh, membuatnya jelas pada semua yang hadir, kalau itu memang adalah gunung makhluk abadi.

Selama dua puluh ribu tahunku berlajar sihir di Gunung Kun Lun, ini selalu menjadi tempat yang agak bersahaja. Kenapa hari ini jadi begitu ramai?

Bi Fang menarik cakarnya dan menukik turun, Kakak Keempat masih menungganginya. Kakak Keempat mendekati seorang makhluk abadi kecil yang tampak jujur dan lembut. Ia menyatukan kedua tangannya, membungkuk sopan, bertanya apa yang sedang terjadi.

“Aku juga tidak tahu,” kata si makhluk abadi kecil di balik matanya yang berkedip cepat.

“Aku baru saja keluar untuk mengambil kecap, dan di jalan, aku mendengar kabar kalau napas mistis berputar-putar di atas gunung sebelah selama tiga atau empat hari ini. Aku dengar bahwa sejumlah besar makhluk abadi berkumpul untuk menyaksikan apa yang terjadi, jadi aku juga bergegas memanjat gunung untuk melihatnya. Seperti yang kau lihat, memang pantas dengan perjalannnya. Napas mistis ini ....”

Ia mendecakkan lidahnya penuh kekaguman.

Yah, bukan seperti napas mistis yang pernah kulihat sebelumnya. Benar-benar sangat indah. Aku sudah duduk di sini menontonnya selama dua hari sekarang. Turunlah dari burungmu dan biarkan ia mencari cacing sementara kau menonton ini bersama kami. Aku jamin, sangat memanjakan mata. Masih ada tempat di sebelahku. Aku bisa berhimpitan dan kita bisa menontonnya bersama-sama.”

Kakak Keempat berterima kasih atas kebaikan tawarannya sebelum pamit permisi dan diam-diam berjalan kembali ke tempat kami berada.

“Bukan apa-apa,” katanya sembari berdeham.

“Mereka hanya sedang mengagumi keagungan dan kehebatan Gunung Kun Lun, dan menempuh perjalanan jauh dan memberi pujian berlimpah.”

Zhe Yan menyembunyikan separuh wajahnya di balik lengan jubahnya dan ikut berdeham.

Dengan senyuman iseng, yang menyebar dari sudut mata hingga ke alisnya, ia menoleh ke arah Mo Yuan dan berkata, “Gunung Kun Lun merupakan gunung makhluk abadi yang muncul dari tulang punggung seekor naga. Mungkin, gunung ini merasakan kepulanganmu sebentar lagi, dan jadi gembira hingga mulai mengeluarkan napas mistis untuk menyambutmu, menarik perhatian dari para makhluk abadi bodoh dari tempat yang dekat sini.”

Mo Yuan terus mempertahankan ketenangannya, tetapi aku bisa melihat sudut mulutnya berkedut.

Kami berlima memutuskan untuk membuat diri kami tak terlihat untuk memasuki gunungnya agar tidak mengganggu para makhluk abadi kecil yang sedang menonton pertunjukan di lereng gunung. Saudara Seperguruan Kesembilan sangatlah kolot, dan larangan di pintu masuk gunung masih sama seperti puluhan ribu tahun sebelumnya. Ia mempertahankan segalanya sama seperti dulu.

Aku kira, Ling Yu adalah satu-satunya murid yang akan kami jumpai hari ini, tetapi segera setelah kami memasuki pintu gunung, aku melihat sepuluh langkah ke depan dan terlonjak kaget. Keenam belas saudara seperguruanku sedang berdiri berjajar membentuk dua barisan, satu baris di tiap sisi jalur batu selebar kaki. Mereka mengenakan jubah yang dipakai mereka dulu dengan rambut terikat di ujung atas.

Pohon Shorea yang dibawakan dua Buddha dari Surga Barat ketika mereka kemari untuk minum teh, masih berdiri tegak di halaman. Keenam belas saudara seperguruanku berdiri khidmat di bawah Pohon Shorea, lengan mereka tertekuk di depan dada, terlihat seakan-akan mereka berdiri menanti seperti ini selama tujuh puluh ribu tahun terakhir.

Saudara Seperguruan Pertamalah yang matanya memerah lebih dulu.

Ia pun berlutut dengan suara gedebuk, dan dengan suara bergetar berkata, “Saudara Seperguruan Kesembilan membagikan kabarnya beberapa hari yang lalu. Kami tahu kalau napas mistis ini sudah membumbung tinggi di langit di atas Gunung Kun Lun dan sering kali terdengar suara erangan naga. Meskipun kami tidak tahu apa arti sesungguhnya, kami semua menempuh perjalanan semalaman agar kami bisa berada di sini.

“Kami curiga kalau itu mungkin saja pertanda baik atas kembalinya Guru, tetapi tak seorang pun dari kami yang cukup meyakininya. Kami semua berdiri di aula barusan ini ketika kami merasakan energi abadimu melayang di luar pintu masuk pegunungan. Kami buru-buru keluar, tetapi tidak cukup cepat untuk menyambutmu di pintu masuk. Guru, kau telah pergi selama tujuh puluh ribu tahun, tetapi akhirnya kau kembali.”

Setelah ia menyelesaikan pidatonya, ia pun menangis tersedu-sedu. Wajahnya masih sama, tetapi sudah sangat menua. Kesedihannya mempengaruhi yang lainnya, dan kelima belas murid itu pun berlutut satu per satu, dan menangis tersedu-sedu. Tubuh Saudara Seperguruan Keenam belas didera tangisan tanpa suara.

Mo Yuan menurunkan pandangannya.

“Aku sudah membuat kalian menanti sekian lama. Semuanya, bangunlah. Ayo masuk dan bicara di dalam.”

Reuni kami dimulai dengan semua murid yang menangis tersedu-sedu. Setelah mereka selesai menangis, mereka membicarakan betapa cerobohnya mereka hingga menyebabkan menghilangnya Xiao Shi Qi, Si Yin.

Mendengarkan nama Si Yin, Saudara Seperguruan Pertama menjadi begitu sedih sampai ia nyaris tidak bisa bernapas. Aku adalah Si Yin. Akulah yang menambahkan obat ke makanan mereka agar mereka semua tertidur cukup pulas untukku mencuri tubuh abadi Mo Yuan dan kabur di tengah malam, jauh dari Gunung Kun Lun.

Ia tidak menyebut tentang kesalahan yang kuperbuat, hanya terus-terusan mengulangi betapa ceroboh dirinya dan menghilangnya diriku semua adalah karena kesalahannya. Ia menghabiskan bertahun-tahun ini mencariku tanpa henti, tetapi ia bahkan tidak mendengar satu bisikan pun tentangku dan membayangkan aku pasti tertimpa musibah.

Saudara Seperguruan Pertama bertanggung jawab menjaga semua murid yang lebih muda, dan gagal menjalankan tugasnya membuatnya malu. Ia memohon pengampuan dari Mo Yuan atas kecerobohannya.

Sedari tadi aku bersandar pada Kakak Keempat, tetapi saat aku mendengarkan kata-kata Saudara Seperguruan Pertama, aku bergegas maju untuk menjelaskan.

“Aku tidak tertimpa musibah! Aku berdiri di sini!”

Aku menjelaskan, tepi mataku memerah.

“Aku hanya mengenakan jubah yang berbeda, itu saja. Aku adalah Si Yin!”

Sekelompok murid itu berpaling ke arahku dan berdiri menatap bodoh. Saudara Seperguruan Pertama tersandung lantai, dan saat ia akhirnya merangkak berdiri lagi, ia menghampiri dan memelukku.

Ia mengusap air matanya, terdengar tak fokus, ia berkata, “Saudara Seperguruan Kesembilan selalu berkata kalau kita memiliki kecenderungan homoseksual di alam bawah sadar kita. Saat si pangeran kedua Klan Hantu itu datang menculikmu, aku memukulinya separah itu hingga aku mengeluarkan kecenderungan homoseksual itu darinya. Tetapi sudah terlambat untukmu. Xiao Shi Qi yang malang, tak hanya homoseksual, tetapi jadi seorang cross-dresser juga.”

Kakak Keempat terkekeh.

“Saudara Seperguruan Pertama, coba lihat wajahku baik-baik,” kataku pedih, menahan air mataku.

“Tak bisakah kau melihat aku bukanlah seorang pria?”

Saudara Seperguruan Kesepuluh menarik Saudara Seperguruan Pertama dariku.

“Kau tidak pernah mandi bersama kami, Xiao Shi Qi, apakah itu alasannya?” ia bertanya canggung.

“Karena sejak awal kau adalah seorang gadis?”

“Benar, ia adalah seorang wa-ni-ta,” kata Kakak Keempat.

Aku menginjak kakinya.

Saat mereka selesai membicarakan diriku, para murid beralih mendiskusikan pencapaian mereka selama tujuh puluh ribu tahun terakhir ini.

Keenam belas saudara seperguruanku hanyalah orang kasar dan bocah saat mereka muda, dan aku pun mengikuti jejak mereka.

Aku tak lagi memanjati pohon kurma atau mengarungi sungai untuk menangkap ikan, tetapi mereka mengajariku bagaimana caranya sabung ayam, bertarung jangkrik, lomba anjing, bermain, menargetkan gadis cantik, minum alkohol, dan menikmati erotika: segala hal yang dilakukan pemuda untuk mencari kenikmatan, aku mempelajarinya juga. Di belakang Guru, aku melakukan apa pun yang kuinginkan, menganggap diriku sebagai salah satu karakter romantis yang hilang secara tragis.

Paling tidak, keenam belas saudara seperguruanku ini bertanggung jawab atas jalan burukku. Tetapi sekelompok bocah ini entah bagaimana berhasil mengubah diri mereka menjadi sekumpulan pria terhormat dan sukses. Saat Takdir Tua menuliskan takdir mereka, ia jelas tertidur di tengah jalan.

Tetapi, aku bahagia karena semua berjalan sangat lancar untuk semua saudara seperguruanku, dan mendengarkan kesuksesan mereka jelas sangat menyenangkan Guru juga.

Related Posts:

0 comments:

Posting Komentar