Ten Miles of Peach Blossoms
Chapter 21 Part 3
Namun,
setelahnya aku mulai mempertanyakan diriku sendiri, apa yang telah kucapai
selama masa ini, dan aku merasa kemuraman menelusuri tulang punggungku.
Kakak Keempat
mengeluarkan sebuah kuas dan duduk di pinggir, mencorat-coret catatan atas apa
yang diucapkan semua orang dan berteriak, “Legenda! Legenda!”
Bersamaan
dengan kemuramanku, aku pun jadi agak melamun.
“Kau adalah
seorang wanita, dan wanita tidak perlu pencapaian dengan cara yang sama seperti
yang dilakukan oleh pria,” Saudara Seperguruan Kesepuluh menghiburku.
“Semua adik
perempuanku hanya ingin menikah ke keluarga yang baik. Menikah ke dalam
keluarga yang baik adalah pencapaian yang sangat bagus, Xiao Shi Qi.”
Saudara
Seperguruan Keenam belas tertawa.
“Di usia Xiao
Shi Qi sekarang, mungkin ia sudah menikah bertahun-tahun. Ia pasti sudah
memiliki beberapa anak sekarang. Omong-omong, kapan kau akan mengenalkan
suamimu pada saudara-saudara seperguruanmu ini? Aku penasaran sekali ingin
melihat pria macam apa yang akhirnya bersama dengan seseorang seperti dirimu!”
Ucapan ini
seperti tinjuan di ususku. Aku mengusap keringat di keningku dan tertawa.
“Kau terlalu
baik,” kataku.
“Sebenarnya aku
akan menikah bulan depan. Tentu saja kalian semua akan diundang untuk
merayakannya bersama kami.”
Mo Yuan yang
duduk di samping selama percakapan ini, matanya terangkat selagi mendengarkan.
Segera setelah aku mengucapkan kata-kata “merayakannya bersama kami”, aku
melihat cangkir di tangannya miring dan setengah tehnya tumpah ke lantai. Aku
bergegas membersihkannya, sementara Zhe Yan berdeham.
Saudara
Seperguruan Kesembilan, Ling Yu menjaga Gunung Kun Lun tetap bersih.
Setelah Kakak
Keempat pergi dari Gua Rubah selama beberapa bulan, kamarnya biasa terselimuti
debu setebal setengah inci.
Sudah tujuh puluh
ribu tahun semenjak aku menginjakkan kaki di gunung Kun Lun, namun kamar yang
kugunakan untuk tidur semasa menjadi murid tidak mengandung setitik pun debu.
Aku berbaring di ranjang lamaku, merasa agak malu, dan setelahnya memalingkan
wajah ke arah lainnya.
Saudara Seperguruan
Keenam belas, Zi Lan, berada di ranjang di kamar sebelah.
Ia mengetuk
temboknya, bertanya, “Xiao Shi Qi, apakah kau sudah tidur?”
Aku mendesah
keras dari hidungku untuk menunjukkan aku masih terjaga, tetapi suaranya tak
lebih keras dari dengungan nyamuk, dan aku tidak yakin ia mendengarnya, jadi
aku pun menambahkan, “Tidak, aku masih belum tidur!”
Sejenak sebelum
suaranya melayang melalui tembok, berkata, “Kau sudah sangat menderita demi
Guru selama tujuh puluh ribu tahun ini.”
Kesanku terhadap
Saudara Seperguruan Keenam belas adalah seseorang yang selalu saja mengkritik
dan menantangku. Jika aku bilang timur, ia pasti merasa harus mengatakan barat,
dan jika aku membicarakan tentang apa yang kusukai, ia pasti akan
menjelekkannya. Mendengarkan perkataan ini membuatku curiga, dan aku pun
bertanya-tanya apakah ini sungguh adalah Saudara Seperguruan Keenam belas.
“Apakah ini
benar-benar adalah Zi Lan?” tanyaku dengan suara meninggi.
Ia terdiam
sejenak, lalu mendengus.
“Pantas saja
kau masih belum menikah juga selama ini!”
Memang Zi Lan!
Aku terkekeh, memutuskan untuk tidak terlibat argumen dengannya. Aku berbaring
lagi di ranjang dan berbalik ke arah lainnya.
Aku sudah hidup
sekian lama, dan sudah melakukan banyak hal yang kusesali, tetapi berbaring di
atas ranjang sempitku di Gunung Kun Lun, aku merasa tak satu pun yang
benar-benar penting.
Cahaya bulannya
bersinar dengan lembut, walaupun tak ada pemandangan tertentu di luar sana
untuk diteranginya.
***
Kabar mengenai
kembalinya Mo Yuan menyebar dengan cepat. Pagi-pagi sekali esok harinya, semua
yang terbang di langit, semua yang merangkak di tanah, semua yang memiliki akar
spiritual sudah mendengar kabar bahwa Dewa Perang zaman prasejarah telah
kembali.
Berdasarkan
rumor yang beredar, Mo Yuan mengenakan mahkota emas keunguan di kepalanya, baju
zirah kristal misterius di tubuhnya, dan sepatu berbentuk uir-uir di kakinya,
dengan pedang Xuan Yuan di satu tangan dan gadis cantik di tangan satunya.
Pada tanggal enam
belas Agustus, ia mendarat dengan hebatnya di atas Gunung Kun Lun. Seluruh area
pegunungan pun bergetar selama tiga kali, dan semua binatang dan burung-burung
pun mendongak ke atas langit, melolong, sementara semua ikan naik turun ke
permukaan air dan meratap gembira.
Tak ada banyak
kebenaran dari rumor ini, dan saat kami mendengarnya, keenam belas saudara
seperguruanku juga aku terkejut hingga nyaris menangis. Mahkota emas keunguan,
baju zirah kristal misterius, sepatu uir-uir, dan pedang Xuan Yuan semuanya
merupakan seragam andalan Mo Yuan, dan telah dipajang di aula besar Gunung Kun Lun
selama tujuh puluh ribu tahun terakhir ini agar dapat disembah oleh para
muridnya. Setelah merenungi siapakah si gadis cantik di tangannya ini, Kakak
Keempat dan aku memutuskan kalau itu mungkin adalah diriku.
Rumor aneh ini
menyebar kemana-mana, dan segera saja, setiap makhluk abadi, Dewa dan Dewi
Agung di Empat Lautan dan Delapan Dataran mendengarnya, gelombang demi
gelombang makhluk abadi pun tiba di Gunung Kun Lun untuk memberi hormat mereka
pada Mo Yuan.
Mo Yuan sudah
berencana untuk mengurung diri demi pemulihannya sehari setelah ia kembali ke
Gunung Kun Lun. Akan tetapi, dikarenakan gelombang pengunjung makhluk abadi
ini, rencananya jadi ditunda selama beberapa hari.
Tak ada yang
istimewa dari kebanyakan makhluk abadi muda yang datang memberi hormat padanya.
Saudara Seperguruan Pertama dan Kedua membawa beberapa dari mereka menemui Mo
Yuan agar dapat menyampaikan beberapa patah kata, sementara yang lainnya hanya
minum teh di aula depan, dimana mereka beristirahat sejenak sebelum pulang. Makhluk
abadi muda yang tiba di siang hari ketigalah yang entah mengapa agak aneh.
Si makhluk
abadi muda ini mengenakan jubah putih dan bertingkah lembut juga pendiam dengan
wajah ramah. Saat Mo Yuan melihatnya, wajah tenangnya pun melihat dua kali.
Si makhluk
abadi muda berjubah putih ini cukup beruntung diberikan kesempatan bertemu Mo
Yuan, tetapi ia tidak membungkuk ataupun memberi hormat, ia hanya mengangkat
mata lembutnya dan berkata, “Ini Zhong Yin, apa kau masih ingat? Aku sudah lama
sekali tidak bertemu dengan Dewa Agung, tetapi jiwamu sama sekali tidak berubah.
Aku kemari ke Gunung Kun Lun mewakili kakak perempuanku. Ia muncul dalam
mimpiku semalam dan menyuruhku, aku harus kemari dan menyampaikan sebuah pesan.
Kakak perempuanku ....”
Ia tersenyum.
“Ia menyuruhku
memberitahumu bahwa ia sangat kesepian seorang diri.”
Aku memberi
isyarat pada si pelayan muda Saudara Seperguruan Ketujuh yang sedang berdiri di
dekat sana dan menyuruhnya menawarkan secangkir teh untuk Zhong Yin.
Mo Yuan tak
mengatakan apa-apa. Ia hanya menopangkan pipi di tangannya, bersandar acuh tak
acuh di sandaran lengan kursinya.
Zhe Yan
memandang Mo Yuan dan setelahnya menatap Zhong Yin.
“Saudara Zhong
Yin, kau pasti sedang bercanda dengan kami,” katanya, tak ramah.
“Kakak
perempuanmu, Shao Wan, sudah musnah lebih dari seratus ribu tahun yang lalu.
Mana mungkin ia mendatangimu lewat mimpi?”
Zhong Yin
mengedip manis dan berkata, “Dewa Agung Zhe Yan, aku rasa kau sudah salah paham
padaku. Aku datang kemari untuk menyampaikan ucapan kakak perempuanku—aku tidak
punya rencana lain. Tadinya aku tidak ingin datang, tetapi kakak perempuanku
terlihat sangat menyedihkan dalam mimpi itu, sehingga aku melakukan perjalanan
panjang dan sulit ini ke Gunung Kun Lun.
“Pemahamanmu
tentang kakak perempuanku yang sudah musnah dan karena itulah tidak mungkin
mendatangiku dalam mimpi. Tetapi Dewa Agung Mo Yuan juga sudah musnah, tetapi
ia kembali lagi sekarang. Kakak perempuanku mungkin sudah musnah, tetapi siapa
yang tahu dimana sebenarnya jiwanya berserakan? Tentunya bukan tidak mungkin ia
mengirimkanku pesan lewat mimpi ini?”
Segera setelah
ia selesai berbicara, ia membungkukkan tubuhnya dan memberi hormat sebelum
meninggalkan aula besar. Mo Yuan bangkit dari tempat duduknya dan melangkah ke
arah halaman belakang tanpa kata. Aku baru saja akan mengikutinya untuk melihat
apa yang salah, tetapi Zhe Yan menghentikanku. Saudara Seperguruan Kedua
menghampiri, tampak kesal.
“Guru baru saja
pergi. Apa yang akan kita lakukan terhadap semua makhluk abadi yang datang
memberikan penghormatan?” tanyanya.
Zhe Yan menatap
murung ke langit dan berkata, “Bawa mereka semua ke aula depan untuk minum teh,
dan saat mereka selesai, bawa mereka keluar.”
Aku selalu
berpikir kalau Guru Mo Yuan pasti punya masa lalu. Walaupun ia melakukan
semuanya dengan segala ketepatan, aku benar: ia memang punya masa lalu, dan
dilihat dari apa yang dikatakan si jubah putih Zhong Yin ini, masa lalunya
terdengar penuh kekerasan dan goncangan. Aku mulai merasa gelisah. Aku putuskan
bertindak sebagai murid berbakti dengan pertama-tama menuju ke aula depan
menyapa si makhluk abadi Zhong Yin dan setelahnya menuju kamar Mo Yuan untuk
menghiburnya.
***
Ketika aku
mengetuk pintu Mo Yuan malam itu, ia sedang duduk di depan gu qin-nya, bermeditasi. Cahaya lilin yang kehitaman menyinari
wajahnya, memperlihatkan semua pengalamannya selama bertahun-tahun ini. Aku
berdiri gelisah di ambang pintu. Matanya berpindah dari gu qin ke arahku, dan ia pun tersenyum samar.
“Kenapa kau
hanya berdiri di ambang pintu seperti itu? Masuklah ke dalam.”
Aku
menghampirinya dalam diam. Tujuanku adalah untuk menghiburnya, tetapi aku malah
berdiri lama di sana, dan tak ada apa pun yang keluar dari bibirku. Aku dibuat
bingung dengan masalah yang disinggung oleh si makhluk abadi muda berjubah
putih itu, dan sepertinya itu menyangkut patah hati. Dan jika memang itulah
masalahnya, bagaimana aku mulai menghibur Mo Yuan?
Benakku mulai
berkeliaran lagi bersamaku saat aku mendengarkan beberapa nada gu qin yang bertebaran. Tangan kanan Mo
Yuan terhenti di atas senar-senar selagi ia memetiknya asal.
“Aku lihat
kalau pikiranmu masih berkeliaran seperti dulu. Beberapa hal tidak berubah,
tidak bahkan setelah puluhan ribu tahun,” katanya.
Aku mengusap
hidungku dan tertawa.
Aku berjalan
mendekati tempatnya berada, dan dengan suara lembut menghibur, aku berkata,
“Guru, orang biasanya tidak terlahir lagi setelah mereka mati. Zhong Yin
mungkin merindukan kakak perempuannya, dan itulah mengapa ia memimpikannya. Kau
tidak perlu memasukkannya dalam hati.”
Ia tampak
terkejut.
Ia menunduk dan
memetik beberapa senar gu qin sebelum
berkata, “Apakah hanya itu alasan kau datang kemari malam ini?”
Aku mengangguk.
Ada serangkaian
nada gu qin yang kacau dan setelahnya
musiknya pun terhenti.
Mo Yuan
mendongak dan menatapku lekat, terasa sangat lama sebelum bertanya, “Apakah kau
benar-benar mencintainya?”
Pertanyaan ini
membuatku lengah.
Aku merasa
canggung mendiskusikan masalah seperti ini dengan seorang anggota dari generasi
yang lebih tua, tetapi tak pula menciutkanku, aku mengusap hidungku dan
menjawabnya penuh sungguh-sungguh, “Aku mencintainya. Sangat amat
mencintainya.”
Ia memalingkan
wajahnya, menatap keluar jendela untuk waktu yang lama sebelum berkata, “Aku
senang mendengarnya. Kalau begitu, aku bisa tenang.”
Ia memasang
ekspresi aneh di wajahnya malam ini. Apakah ia cemas kalau aku mungkin tak akan
menjadi istri yang baik, mungkin aku akan membuat pernikahan yang tak
membahagiakan diriku sendiri?
Saat aku
menyadari kalau mungkin saja itu yang terjadi, dengan ceria aku menenangkannya
dengan berkata, “Oh, kau tidak perlu khawatir, Guru. Ye Hua adalah pria yang
baik, dan kami berdua saling mencintai. Aku benar-benar mencintainya, dan ia
pun benar-benar mencintaiku.”
Mo Yuan tidak
berbalik.
“Sudah larut.
Kau harus kembali ke kamarmu untuk beristirahat,” ucapnya tenang.
Mo Yuan jarang
datang ke aula besar setelah itu. Aku pergi ke sana menghiburnya, tetapi
setelah meninggalkan kamarnya, aku menyadari kalau aku sama sekali tidak
membawa penghiburan untuknya. Aku merasa agak malu pada diri sendiri. Sudah
jelas ia harus mengatasi apa yang terjadi seorang diri, tanpa ada orang lain
yang ikut campur.
Jika aku tidak
bisa menemui Mo Yuan, aku putuskan paling tidak, yang bisa kulakukan adalah
meredam semangat para makhluk abadi muda yang melakukan perjalanan kemari untuk
memberi hormat padanya. Keinginan kuat mereka sungguh tak bisa dipercaya.
Semakin lama mereka tinggal, semakin banyak teh yang mereka minum, dan cangkir
teh bekas pakai mereka pun menumpuk makin tinggi di aula depan.
Kakak Keempat
menduga bahwa mereka semua bersaing satu sama lain demi kehormatan, siapa yang
bisa tinggal di kediaman Dewa Agung Mo Yuan yang terhormat paling lama dan
meminum teh paling banyak di sana.
Sama seperti
ketika Kakak Keempat dan aku masih kecil dan sering bersaing siapa yang memetik
paling banyak persik di kebun persik Zhe Yan ataukah siapa yang bisa minum
alkohol paling banyak.
Kami putuskan
kalau satu-satunya pilihan kami adalah menempelkan serentetan poster yang
memberitahukan para makhluk abadi muda yang berdatangan ke Gunung Kun Lun untuk
menyampaikan hormat mereka, masing-masing hanya akan ditawari satu cangkir teh
dan tak ada isi ulang. Cukup membuat frustasi, hal ini pun tidak bisa
menghalangi para makhluk abadi kecil, yang terus memenuhi aula.
Aku
menghabiskan dua puluh hari bertugas di aula depan, dimana aku mulai merasa
diriku sebagai tuan dari upacara teh ini. Di malam kedua puluh, akhirnya aku
tak tahan lagi. Aku menyeret Kakak Keempat keluar di halaman tengah di bawah
pohon kurma, dan memintanya menggantikanku selagi aku kabur ke dunia manusia
selama beberapa jam untuk memeriksa keadaan Ye Hua.
Kurma di
pohonnya sudah seukuran ibu jari, tetapi masih hijau dan belum matang. Kakak
Keempat memetik beberapa dan menggenggamnya dalam telapak tangannya.
“Kenapa kau
merahasiakan ini? Apakah kau khawatir kalau para saudara seperguruanmu akan
mengolok-olokmu jika mereka mengetahui kemana kau akan pergi, menggodamu
sebagai seorang wanita yang sedang dimabuk cinta?”
Kakak Keempat
bisa jadi sangat intuitif, tetapi ini bukanlah salah satu waktunya.
0 comments:
Posting Komentar