Minggu, 21 November 2021

3L3W TMOPB - Chapter 21 Part 3

Ten Miles of Peach Blossoms

Chapter 21 Part 3


Namun, setelahnya aku mulai mempertanyakan diriku sendiri, apa yang telah kucapai selama masa ini, dan aku merasa kemuraman menelusuri tulang punggungku.

Kakak Keempat mengeluarkan sebuah kuas dan duduk di pinggir, mencorat-coret catatan atas apa yang diucapkan semua orang dan berteriak, “Legenda! Legenda!”

Bersamaan dengan kemuramanku, aku pun jadi agak melamun.

“Kau adalah seorang wanita, dan wanita tidak perlu pencapaian dengan cara yang sama seperti yang dilakukan oleh pria,” Saudara Seperguruan Kesepuluh menghiburku.

“Semua adik perempuanku hanya ingin menikah ke keluarga yang baik. Menikah ke dalam keluarga yang baik adalah pencapaian yang sangat bagus, Xiao Shi Qi.”

Saudara Seperguruan Keenam belas tertawa.

“Di usia Xiao Shi Qi sekarang, mungkin ia sudah menikah bertahun-tahun. Ia pasti sudah memiliki beberapa anak sekarang. Omong-omong, kapan kau akan mengenalkan suamimu pada saudara-saudara seperguruanmu ini? Aku penasaran sekali ingin melihat pria macam apa yang akhirnya bersama dengan seseorang seperti dirimu!”

Ucapan ini seperti tinjuan di ususku. Aku mengusap keringat di keningku dan tertawa.

“Kau terlalu baik,” kataku.

“Sebenarnya aku akan menikah bulan depan. Tentu saja kalian semua akan diundang untuk merayakannya bersama kami.”

Mo Yuan yang duduk di samping selama percakapan ini, matanya terangkat selagi mendengarkan. Segera setelah aku mengucapkan kata-kata “merayakannya bersama kami”, aku melihat cangkir di tangannya miring dan setengah tehnya tumpah ke lantai. Aku bergegas membersihkannya, sementara Zhe Yan berdeham.

Saudara Seperguruan Kesembilan, Ling Yu menjaga Gunung Kun Lun tetap bersih.

Setelah Kakak Keempat pergi dari Gua Rubah selama beberapa bulan, kamarnya biasa terselimuti debu setebal setengah inci.

Sudah tujuh puluh ribu tahun semenjak aku menginjakkan kaki di gunung Kun Lun, namun kamar yang kugunakan untuk tidur semasa menjadi murid tidak mengandung setitik pun debu. Aku berbaring di ranjang lamaku, merasa agak malu, dan setelahnya memalingkan wajah ke arah lainnya.

Saudara Seperguruan Keenam belas, Zi Lan, berada di ranjang di kamar sebelah.

Ia mengetuk temboknya, bertanya, “Xiao Shi Qi, apakah kau sudah tidur?”

Aku mendesah keras dari hidungku untuk menunjukkan aku masih terjaga, tetapi suaranya tak lebih keras dari dengungan nyamuk, dan aku tidak yakin ia mendengarnya, jadi aku pun menambahkan, “Tidak, aku masih belum tidur!”

Sejenak sebelum suaranya melayang melalui tembok, berkata, “Kau sudah sangat menderita demi Guru selama tujuh puluh ribu tahun ini.”

Kesanku terhadap Saudara Seperguruan Keenam belas adalah seseorang yang selalu saja mengkritik dan menantangku. Jika aku bilang timur, ia pasti merasa harus mengatakan barat, dan jika aku membicarakan tentang apa yang kusukai, ia pasti akan menjelekkannya. Mendengarkan perkataan ini membuatku curiga, dan aku pun bertanya-tanya apakah ini sungguh adalah Saudara Seperguruan Keenam belas.

“Apakah ini benar-benar adalah Zi Lan?” tanyaku dengan suara meninggi.

Ia terdiam sejenak, lalu mendengus.

“Pantas saja kau masih belum menikah juga selama ini!”

Memang Zi Lan! Aku terkekeh, memutuskan untuk tidak terlibat argumen dengannya. Aku berbaring lagi di ranjang dan berbalik ke arah lainnya.

Aku sudah hidup sekian lama, dan sudah melakukan banyak hal yang kusesali, tetapi berbaring di atas ranjang sempitku di Gunung Kun Lun, aku merasa tak satu pun yang benar-benar penting.

Cahaya bulannya bersinar dengan lembut, walaupun tak ada pemandangan tertentu di luar sana untuk diteranginya.

***

Kabar mengenai kembalinya Mo Yuan menyebar dengan cepat. Pagi-pagi sekali esok harinya, semua yang terbang di langit, semua yang merangkak di tanah, semua yang memiliki akar spiritual sudah mendengar kabar bahwa Dewa Perang zaman prasejarah telah kembali.

Berdasarkan rumor yang beredar, Mo Yuan mengenakan mahkota emas keunguan di kepalanya, baju zirah kristal misterius di tubuhnya, dan sepatu berbentuk uir-uir di kakinya, dengan pedang Xuan Yuan di satu tangan dan gadis cantik di tangan satunya.

Pada tanggal enam belas Agustus, ia mendarat dengan hebatnya di atas Gunung Kun Lun. Seluruh area pegunungan pun bergetar selama tiga kali, dan semua binatang dan burung-burung pun mendongak ke atas langit, melolong, sementara semua ikan naik turun ke permukaan air dan meratap gembira.

Tak ada banyak kebenaran dari rumor ini, dan saat kami mendengarnya, keenam belas saudara seperguruanku juga aku terkejut hingga nyaris menangis. Mahkota emas keunguan, baju zirah kristal misterius, sepatu uir-uir, dan pedang Xuan Yuan semuanya merupakan seragam andalan Mo Yuan, dan telah dipajang di aula besar Gunung Kun Lun selama tujuh puluh ribu tahun terakhir ini agar dapat disembah oleh para muridnya. Setelah merenungi siapakah si gadis cantik di tangannya ini, Kakak Keempat dan aku memutuskan kalau itu mungkin adalah diriku.

Rumor aneh ini menyebar kemana-mana, dan segera saja, setiap makhluk abadi, Dewa dan Dewi Agung di Empat Lautan dan Delapan Dataran mendengarnya, gelombang demi gelombang makhluk abadi pun tiba di Gunung Kun Lun untuk memberi hormat mereka pada Mo Yuan.

Mo Yuan sudah berencana untuk mengurung diri demi pemulihannya sehari setelah ia kembali ke Gunung Kun Lun. Akan tetapi, dikarenakan gelombang pengunjung makhluk abadi ini, rencananya jadi ditunda selama beberapa hari.

Tak ada yang istimewa dari kebanyakan makhluk abadi muda yang datang memberi hormat padanya. Saudara Seperguruan Pertama dan Kedua membawa beberapa dari mereka menemui Mo Yuan agar dapat menyampaikan beberapa patah kata, sementara yang lainnya hanya minum teh di aula depan, dimana mereka beristirahat sejenak sebelum pulang. Makhluk abadi muda yang tiba di siang hari ketigalah yang entah mengapa agak aneh.

Si makhluk abadi muda ini mengenakan jubah putih dan bertingkah lembut juga pendiam dengan wajah ramah. Saat Mo Yuan melihatnya, wajah tenangnya pun melihat dua kali.

Si makhluk abadi muda berjubah putih ini cukup beruntung diberikan kesempatan bertemu Mo Yuan, tetapi ia tidak membungkuk ataupun memberi hormat, ia hanya mengangkat mata lembutnya dan berkata, “Ini Zhong Yin, apa kau masih ingat? Aku sudah lama sekali tidak bertemu dengan Dewa Agung, tetapi jiwamu sama sekali tidak berubah. Aku kemari ke Gunung Kun Lun mewakili kakak perempuanku. Ia muncul dalam mimpiku semalam dan menyuruhku, aku harus kemari dan menyampaikan sebuah pesan. Kakak perempuanku ....”

Ia tersenyum.

“Ia menyuruhku memberitahumu bahwa ia sangat kesepian seorang diri.”

Aku memberi isyarat pada si pelayan muda Saudara Seperguruan Ketujuh yang sedang berdiri di dekat sana dan menyuruhnya menawarkan secangkir teh untuk Zhong Yin.

Mo Yuan tak mengatakan apa-apa. Ia hanya menopangkan pipi di tangannya, bersandar acuh tak acuh di sandaran lengan kursinya.

Zhe Yan memandang Mo Yuan dan setelahnya menatap Zhong Yin.

“Saudara Zhong Yin, kau pasti sedang bercanda dengan kami,” katanya, tak ramah.

“Kakak perempuanmu, Shao Wan, sudah musnah lebih dari seratus ribu tahun yang lalu. Mana mungkin ia mendatangimu lewat mimpi?”

Zhong Yin mengedip manis dan berkata, “Dewa Agung Zhe Yan, aku rasa kau sudah salah paham padaku. Aku datang kemari untuk menyampaikan ucapan kakak perempuanku—aku tidak punya rencana lain. Tadinya aku tidak ingin datang, tetapi kakak perempuanku terlihat sangat menyedihkan dalam mimpi itu, sehingga aku melakukan perjalanan panjang dan sulit ini ke Gunung Kun Lun.

“Pemahamanmu tentang kakak perempuanku yang sudah musnah dan karena itulah tidak mungkin mendatangiku dalam mimpi. Tetapi Dewa Agung Mo Yuan juga sudah musnah, tetapi ia kembali lagi sekarang. Kakak perempuanku mungkin sudah musnah, tetapi siapa yang tahu dimana sebenarnya jiwanya berserakan? Tentunya bukan tidak mungkin ia mengirimkanku pesan lewat mimpi ini?”

Segera setelah ia selesai berbicara, ia membungkukkan tubuhnya dan memberi hormat sebelum meninggalkan aula besar. Mo Yuan bangkit dari tempat duduknya dan melangkah ke arah halaman belakang tanpa kata. Aku baru saja akan mengikutinya untuk melihat apa yang salah, tetapi Zhe Yan menghentikanku. Saudara Seperguruan Kedua menghampiri, tampak kesal.

“Guru baru saja pergi. Apa yang akan kita lakukan terhadap semua makhluk abadi yang datang memberikan penghormatan?” tanyanya.

Zhe Yan menatap murung ke langit dan berkata, “Bawa mereka semua ke aula depan untuk minum teh, dan saat mereka selesai, bawa mereka keluar.”

Aku selalu berpikir kalau Guru Mo Yuan pasti punya masa lalu. Walaupun ia melakukan semuanya dengan segala ketepatan, aku benar: ia memang punya masa lalu, dan dilihat dari apa yang dikatakan si jubah putih Zhong Yin ini, masa lalunya terdengar penuh kekerasan dan goncangan. Aku mulai merasa gelisah. Aku putuskan bertindak sebagai murid berbakti dengan pertama-tama menuju ke aula depan menyapa si makhluk abadi Zhong Yin dan setelahnya menuju kamar Mo Yuan untuk menghiburnya.

***

Ketika aku mengetuk pintu Mo Yuan malam itu, ia sedang duduk di depan gu qin-nya, bermeditasi. Cahaya lilin yang kehitaman menyinari wajahnya, memperlihatkan semua pengalamannya selama bertahun-tahun ini. Aku berdiri gelisah di ambang pintu. Matanya berpindah dari gu qin ke arahku, dan ia pun tersenyum samar.

“Kenapa kau hanya berdiri di ambang pintu seperti itu? Masuklah ke dalam.”

Aku menghampirinya dalam diam. Tujuanku adalah untuk menghiburnya, tetapi aku malah berdiri lama di sana, dan tak ada apa pun yang keluar dari bibirku. Aku dibuat bingung dengan masalah yang disinggung oleh si makhluk abadi muda berjubah putih itu, dan sepertinya itu menyangkut patah hati. Dan jika memang itulah masalahnya, bagaimana aku mulai menghibur Mo Yuan?

Benakku mulai berkeliaran lagi bersamaku saat aku mendengarkan beberapa nada gu qin yang bertebaran. Tangan kanan Mo Yuan terhenti di atas senar-senar selagi ia memetiknya asal.

“Aku lihat kalau pikiranmu masih berkeliaran seperti dulu. Beberapa hal tidak berubah, tidak bahkan setelah puluhan ribu tahun,” katanya.

Aku mengusap hidungku dan tertawa.

Aku berjalan mendekati tempatnya berada, dan dengan suara lembut menghibur, aku berkata, “Guru, orang biasanya tidak terlahir lagi setelah mereka mati. Zhong Yin mungkin merindukan kakak perempuannya, dan itulah mengapa ia memimpikannya. Kau tidak perlu memasukkannya dalam hati.”

Ia tampak terkejut.

Ia menunduk dan memetik beberapa senar gu qin sebelum berkata, “Apakah hanya itu alasan kau datang kemari malam ini?”

Aku mengangguk.

Ada serangkaian nada gu qin yang kacau dan setelahnya musiknya pun terhenti.

Mo Yuan mendongak dan menatapku lekat, terasa sangat lama sebelum bertanya, “Apakah kau benar-benar mencintainya?”

Pertanyaan ini membuatku lengah.

Aku merasa canggung mendiskusikan masalah seperti ini dengan seorang anggota dari generasi yang lebih tua, tetapi tak pula menciutkanku, aku mengusap hidungku dan menjawabnya penuh sungguh-sungguh, “Aku mencintainya. Sangat amat mencintainya.”

Ia memalingkan wajahnya, menatap keluar jendela untuk waktu yang lama sebelum berkata, “Aku senang mendengarnya. Kalau begitu, aku bisa tenang.”

Ia memasang ekspresi aneh di wajahnya malam ini. Apakah ia cemas kalau aku mungkin tak akan menjadi istri yang baik, mungkin aku akan membuat pernikahan yang tak membahagiakan diriku sendiri?

Saat aku menyadari kalau mungkin saja itu yang terjadi, dengan ceria aku menenangkannya dengan berkata, “Oh, kau tidak perlu khawatir, Guru. Ye Hua adalah pria yang baik, dan kami berdua saling mencintai. Aku benar-benar mencintainya, dan ia pun benar-benar mencintaiku.”

Mo Yuan tidak berbalik.

“Sudah larut. Kau harus kembali ke kamarmu untuk beristirahat,” ucapnya tenang.

Mo Yuan jarang datang ke aula besar setelah itu. Aku pergi ke sana menghiburnya, tetapi setelah meninggalkan kamarnya, aku menyadari kalau aku sama sekali tidak membawa penghiburan untuknya. Aku merasa agak malu pada diri sendiri. Sudah jelas ia harus mengatasi apa yang terjadi seorang diri, tanpa ada orang lain yang ikut campur.

Jika aku tidak bisa menemui Mo Yuan, aku putuskan paling tidak, yang bisa kulakukan adalah meredam semangat para makhluk abadi muda yang melakukan perjalanan kemari untuk memberi hormat padanya. Keinginan kuat mereka sungguh tak bisa dipercaya. Semakin lama mereka tinggal, semakin banyak teh yang mereka minum, dan cangkir teh bekas pakai mereka pun menumpuk makin tinggi di aula depan.

Kakak Keempat menduga bahwa mereka semua bersaing satu sama lain demi kehormatan, siapa yang bisa tinggal di kediaman Dewa Agung Mo Yuan yang terhormat paling lama dan meminum teh paling banyak di sana.

Sama seperti ketika Kakak Keempat dan aku masih kecil dan sering bersaing siapa yang memetik paling banyak persik di kebun persik Zhe Yan ataukah siapa yang bisa minum alkohol paling banyak.

Kami putuskan kalau satu-satunya pilihan kami adalah menempelkan serentetan poster yang memberitahukan para makhluk abadi muda yang berdatangan ke Gunung Kun Lun untuk menyampaikan hormat mereka, masing-masing hanya akan ditawari satu cangkir teh dan tak ada isi ulang. Cukup membuat frustasi, hal ini pun tidak bisa menghalangi para makhluk abadi kecil, yang terus memenuhi aula.

Aku menghabiskan dua puluh hari bertugas di aula depan, dimana aku mulai merasa diriku sebagai tuan dari upacara teh ini. Di malam kedua puluh, akhirnya aku tak tahan lagi. Aku menyeret Kakak Keempat keluar di halaman tengah di bawah pohon kurma, dan memintanya menggantikanku selagi aku kabur ke dunia manusia selama beberapa jam untuk memeriksa keadaan Ye Hua.

Kurma di pohonnya sudah seukuran ibu jari, tetapi masih hijau dan belum matang. Kakak Keempat memetik beberapa dan menggenggamnya dalam telapak tangannya.

“Kenapa kau merahasiakan ini? Apakah kau khawatir kalau para saudara seperguruanmu akan mengolok-olokmu jika mereka mengetahui kemana kau akan pergi, menggodamu sebagai seorang wanita yang sedang dimabuk cinta?”

Kakak Keempat bisa jadi sangat intuitif, tetapi ini bukanlah salah satu waktunya.

Related Posts:

0 comments:

Posting Komentar