Ten Miles of Peach Blossoms
Chapter 14 Part 2
Dikarenakan
ketidaksukaanku terhadap Mo Yuan, aku benci mendengar orang memujinya, dan
serangan oposisi Zi Lan mengipasi api amarahku. Aku mulai menggariskan sebuah
rencana untuk membuat Zi Lan mengakui anggur buatan Mo Yuan tidak lebih baik
dari punya Zhe Yan di hadapan seluruh saudara seperguruan kami agar aku dapat
menunjukkan ketidakmampuan Mo Yuan sekali seumur hidup.
Sesungguhnya,
itu adalah ide yang sederhana. Yang kulakukan adalah menerobos masuk ke dalam
gudang anggur Gunung Kun Lun dan mencuri seguci anggur Mo Yuan. Aku akan
membawa anggur ini kepada Zhe Yan, yang akan menggunakannya sebagai contoh
untuk membuat seguci juga yang ratusan atau mungkin ribuan kali lebih baik. Aku
akan membawa pulang guci ini dan memberikannya kepada Zi Lan, yang akan
terpaksa mengakui kehebatannya.
Gudang anggur
Gunung Kun Lun tidak dijaga ketat, dan aku berhasil menyusup ke dalam dan
mengambil satu guci tanpa masalah. Sifat operasi curang ini berarti, aku tidak
bisa berjalan kembali melalui pintu masuk utama pegunungan, jadi aku berjalan
melalui kebun persik di belakang puncak gunung, dari sana, rencananya aku akan
memanggil sebuah awan keberuntungan dan melonjak ke tempat Zhe Yan.
Tetapi, aku
membuat diriku tersesat di dalam kebun persik. Setelah sekian lama mencoba
mencari jalan keluar, aku kelelahan dan mulai merasa agak haus. Menyadari aku
membawa seguci anggur Mo Yuan, aku memutuskan untuk menyesapnya sedikit untuk
meredakan dahagaku.
Setelah satu
tegukan, aku mulai merasa kabur. Hanya seteguk kecil, tetapi rasanya meresap
dan menyebar di mulutku. Aku merasa terbakar saat anggurnya mengalir turun di
tenggorokanku. Zhe Yan benar-benar harus meningkatkan permainannya jika
anggurnya akan bersaing di tingkat ini.
Mo Yuan memang
seorang pembuat anggur yang hebat. Amarah memenuhi dadaku. Aku menyadari, tidak
ada gunanya membawa anggur ini ke tempat Zhe Yan. Aku duduk di sana sejenak,
menggerutu, sebelum menegak seluruh isi gucinya, hingga tetes terakhir.
Kepalaku jadi
pusing, dan aku melihat bintang-bintang di depan mataku. Aku membaringkan
kepalaku di sebatang pohon persik dan langsung tertidur.
***
Aku terbangun
dengan cara yang tak biasa. Bukan seperti biasa dengan matahari ataupun dengan
Saudara Seperguruan Pertama yang menggoncangkanku sampai terbangun. Aku
terbangun dengan seember air dingin yang diguyurkan kepadaku. Mengoyakku dari
mimpiku dan membangunkanku dengan tersentak.
Saat itu awal
musim semi, dan salju baru saja mulai meleleh, dan airnya yang mengenaiku
pastilah berasal dari salju yang baru saja mencair. Airnya meresap ke
pakaianku, dan aku merespon dengan sebuah bersin yang keras dan melengking.
Aku melihat
seorang wanita duduk di sebuah bangku kayu hitam. Ia menyesap teh dari cangkir
porselen, meletakkan cangkirnya, dan menatapku dingin tanpa ekspresi.
Gadis-gadis pelayan dengan potongan rambut mangkuk berdiri di kedua sisi bangku
kayu hitamnya.
Hari pertama
aku tiba di Gunung Kun Lun, saudara seperguruanku memperingatkanku agar tidak
mendatangkan amarah gadis-gadis dengan potongan rambut mangkuk. Meskipun mereka
sangat kasar, menuangkan air dingin di kepalaku, sebagai seorang murid Gunung
Kun Lun, aku harus tetap sopan. Itu adalah gadis-gadis pelayan Dewi Agung Yao
Guang, yang rambutnya digunting dengan gaya ini dan sering kali berkeliaran di
sekitar Gunung Kun Lun, jadilah aku menduga kalau ini pastinya orang yang
sedang kuhadapi.
Rupanya, Yao
Guang biasanya adalah seorang Dewi Agung yang lembut, tetapi di masa
peperangan, ia dikenal ganas dan brutal. Ia selalu sangat memperhatikan Guru Mo
Yuan, tetapi selama bertahun-tahun ini, cinta bertepuk sebelah tangannya jadi
intesif, dan ia memindahkan kediaman abadinya dekat Gunung Kun Lun dan akan
mengirimkan gadis-gadis pelayannya ke Gunung Kun Lun untuk mencari masalah.
Tujuannya adalah untuk membuat Mo Yuan marah agar ia mau bertarung dengannya.
Ia kira, jika Mo Yuan melihat kehebatan militernya, ia mungkin bisa
memenangkannya.
Terlepas dari
semua usahanya, Mo Yuan gagal menangkap umpannya. Ia menginstruksikan
murid-muridnya untuk memperlakukan bawahan-bawahannya dengan sangat santun, dan
berusaha sebisa mungkin untuk tetap sabar dan toleran terhadap mereka.
Melihat para
gadis pelayan dengan potongan rambut mangkuk, aku menyadari kalau wanita yang
duduk di atas kursi kayu hitam sembari meminum teh pastilah Yao Guang, Dewi
Agung yang mencintai Mo Yuan.
Ia mengikatku
sementara aku mabuk dan tertidur, sudah jelas berharap agar ini akhirnya cukup
untuk memancing Mo Yuan agar ia bersedia bertarung dengannya di pertempuran.
Dewi Agung Yao
Guang memberikan tatapan pada dewi pelayan di kanannya, dan gadis pelayan itu
menanggapi dengan berdeham keras dan mulai menegurku.
“Gunung Kun Lun
adalah yang paling suci dan keramat di Keempat Lautan dan Delapan Dataran,”
katanya, suaranya penuh kemarahan.
“Bagaimana bisa
seorang dewa rubah berpenampilan seperti wanita ini masuk ke dalam dan berhasil
menggoda Mo Yuan?”
Aku terlalu
muda untuk memahami dengan baik arti kata menggoda, dan perkataannya
membingungkanku. Aku mengeluarkan suara kebingungan.
Ia memelototiku
seram.
“Lihat saja
matamu, alismu, mulutmu, semuanya terlalu berhias. Karena menerimamu sebagai
muridnya, Mo Yuan memperhatikanmu setulus hatinya.”
Yao Guang
menatapku penuh kebencian.
“Mo Yuan telah
mengabaikan jalan keabadian,” lanjut si gadis pelayan.
“Dan memandangnya
sebagai sesama rekan makhluk abadi, Dewi Agung kami tidak sanggup melihatnya
tersesat dan terpaksa ikut campur dan menawarkan bantuannya.
“Kau telah
melakukan kesalahan serius, tetapi Dewi Agung kami selalu berbelas kasih,”
pelan-pelan ia menjelaskan.
“Kau akan
menjadi pembantu Dewi Agung kami. Kau akan mengabdikan dirimu untuk mempraktikkan
penempaan energi spiritual dan menghilangkan segala sikap main-main dan vulgar
dari hatimu. Berlututlah sekarang dan berterimakasihlah kepada Dewi Agung kami
atas kemurahan hatinya dan anugerahnya.”
Aku terdiam
memandangi mereka, melongo, tidak mampu membuat perkataan mereka terasa masuk
akal. Aku merenunginya, tetapi satu-satunya hal yang dapat kuingat pernah
melakukan kesalahan semenjak datang ke Gunung Kun Lun adalah mencuri anggur Mo
Yuan. Selain itu, aku selalu mematuhi peraturan.
“Aku tidak pernah
merugikan Guruku,” kataku dengan berani.
“Ia
memperlakukanku dengan baik karena seorang teman lamanya memintanya untuk
mengasihaniku dan kehidupan menyedihkan yang kujalani. Dengan mengikatku
seperti ini dan menyiramkan air padaku, kau telah menunjukkan padaku bahwa Guru
mempunyai kebaikan di satu ujung jarinya ketimbang yang kau miliki di seluruh
tubuhmu. Aku menolak menjadi pembantumu.”
Aku tidak
sungguh-sungguh percaya apa yang barusan kukatakan tentang Mo Yuan lebih baik
daripada Yao Guang; aku hanya mengatakan hal-hal ini untuk membuatnya kesal.
Yao Guang
sangat marah sampai ia mulai bergetar. Dengan garangnya, ia menggebrak sandaran
lengan bangkunya.
“Dasar bocah
lelaki keras kepala!” katanya.
“Seret ia masuk
ke penjara air dan kurung ia di dalam sana selama tiga hari!”
Aku masih ingat
mata Yao Guang saat ia memberikan perintah ini, merah membara akibat
kecemburuan. Semuanya hanyalah kesalahpahaman, tetapi aku seorang anak kecil,
penuh dengan semangat anak muda dan tidak terbiasa mengekspresikan diriku
dengan benar. Daripada menjelaskan situasinya dan mengeluarkan diriku dari
kekacauan ini, aku menandatangani surat kematianku sendiri dan menghabiskan dua
hari berikutnya mengalami penderitaan intens sebagai hasilnya.
Penjara air Yao
Guang jauh lebih muthakhir daripada kebanyakan penjara air. Saat kosong, air
berlumpurnya setinggi pinggang, tetapi segera setelah kau dicelupkan ke
dalamnya, air ini akan mulai naik. Airnya naik ke tubuhmu, inci demi inci,
hingga menutupi kepalamu. Bahkan, saat kepalamu tertutupi, airnya tidak akan
benar-benar menenggelamkanmu, hanya memberikanmu sensasi mengerikan seperti
tenggelam.
Apabila kau
dibiarkan mengalami sensasi ini secara konstan, mungkin kau akan jadi terbiasa
seiring berjalannya waktu, tetapi, setelah beberapa jam, airnya surut, dan kau
akan tertinggal terengah-engah dan menanti proses menyiksa ini terulang dengan
sendirinya.
Aku
menghabiskan begitu banyak tahun tanpa melakukan apa-apa dan malas-malasan,
meskipun aku mengerahkan seluruh tenagaku, aku bukanlah tandingan si Dewi Agung
ini. Aku tidak berdaya mempertahankan diriku sendiri dan tidak punya pilihan
lain selain menanggung penyiksaanku.
Di saat Mo Yuan
menemukanku, aku sudah tersiksa sampai ke inci kehidupanku. Beruntungnya, aku
masih muda dan stamina berada di pihakku. Dalam keadaan linglungku, aku masih
ingat melihat wajah serius Mo Yuan saat ia membuka rantai baja hitam pintu
bawah tanah dengan satu tangan. Bunga api berterbangan kemana-mana. Ia
menarikku keluar dari air, menyelimutiku dengan sebuah jubah, dan memelukku
erat dekat dengannya.
Ia berbalik ke
arah Yao Guang yang berwajah pucat, dan dengan suara dinginnya ia berkata,
“Temui aku di puncak Gunung Cang Wu di tanggal 17 Februari, dan kita akan
menyelesaikan skor ini.”
“Aku sangat
berharap bertarung denganmu,” Yao Guang berkata dengan susah payah, “Tetapi
bukan seperti ini, dan bukan ...”
Aku tidak
mendengarkan akhir kalimatnya, karena Mo Yuan sudah melangkah lebar dengan
diriku dalam pelukannya. Di pintu masuk Gunung Kun Lun, kami berpapasan dengan
Saudara Seperguruan Pertama, yang mengulurkan tangan untuk menggendongku,
tetapi Guru tidak menyerahkanku. Ia terus berjalan bersama Saudara Seperguruan
Pertama denganku dalam dekapannya.
Untuk pertama
kalinya, hal itu membuatku tersadar, bahwa, meskipun Mo Yuan tidak bermulut
besar, suaranya masih dalam dan menggaung. Meskipun lengannya tidak sekuat dan
sekekar pilar, ia tetap kuat dan bertenaga.
Mo Yuan memang
tangguh.
Segera setelah
aku kembali ke Gunung Kun Lun, aku tertidur seperti mati. Saat aku terbangun,
Saudara Seperguruan Pertama memberitahuku kalau Mo Yuan sudah pergi ke puncak
Gunung Cang Wu untuk bertarung dengan Dewi Agung Yao Guang. Tontonan selangka
ini hanya datang sepuluh juta tahun sekali, dan Saudara Seperguruan Kedua
hingga Ke-16 semuanya pergi bersama-sama untuk menontonnya.
“Bagaimana bisa
Guru memilihku untuk menjagamu?” Saudara Seperguruan Pertama bertanya sembari
menghela napas.
Aku tidak tahu,
tetapi aku pun sama kecewanya karena tidak bisa menyaksikan Mo Yuan bertarung
melawan Yao Guang.
Saudara
Seperguruan Pertama merupakan orang yang bicara tanpa henti, dan setelah
mendengarkannya komat-kamit selama beberapa hari, akhirnya aku mengerti
seberapa seriusnya operasi penculikanku yang dilakukan oleh Yao Guang.
Setelah
lampunya dimatikan di malam hari dan aku masih belum kembali ke kamarku,
saudara-saudara seperguruanku jadi risau. Mereka mencari di seluruh Gunung Kun Lun,
tetapi tidak bisa menemukanku. Setelah mengobrak-abrik tempat itu, mereka mulai
mencurigai kalau aku mungkin saja mencari masalah dengan para pelayan abadi Yao
Guang dan ditangkap.
Itu hanyalah
dugaan, dan mereka tidak punya bukti, tetapi saudara-saudara seperguruanku
semuanya sangat cemas, dan akhirnya mereka memutuskan untuk memperingatkan
Guru.
Guru baru saja
akan pergi tidur, tetapi segera setelah ia mendengarkan kabar ini, ia
mengenakan jubahnya, dan membawa Saudara Seperguruan Pertama bersamanya,
menerobos masuk ke kediaman Dewi Agung Yao Guang.
Yao Guang tidak
mengakui apa yang dilakukannya pada Mo Yuan, bahkan ketika Mo Yuan mengancam nyawanya.
Guru mengayunkan pedangnya ke arah Yao Guang, tanpa memandang segala macam
etika dan masuk ke dalam untuk mencariku.
Saudara
Seperguruan Pertama berseru dan menghela napas kuat.
“Jika bukan
karena keberanian Guru, mungkin kau tidak akan pernah melihat sinar siang hari
lagi, Xiao Shi Qi,” katanya sembari tertawa.
“Kau kelelahan.
Kau pingsan segera setelah Guru membawamu kembali ke Gunung Kun Lun. Kau
bermimpi buruk, menggenggam tangan Guru dan berteriak penuh kesengsaraan hingga
sulit didengarkan. Kami tidak bisa melepaskan tanganmu darinya.
“Guru marah
besar dengan keadaan ketika ia menemukanmu. Ia menepuk punggungmu untuk menenangkanmu
dan berkata, ‘Jangan takut. Jangan takut. Guru akan melindungimu.’ Kau terlihat
persis seperti bayi kecil,” katanya sambil terkekeh.
Wajahku
memerah.
“Apa yang kau
lakukan sampai begitu menyinggung Yao Guang?” ia bertanya keheranan.
“Ia terkenal
punya garisan jahat, tetapi tidak pernah sekejam dan sebengis itu sebelumnya.”
Aku
merenunginya hati-hati selagi aku memulihkan diri, dan berpikir aku memahami
dengan baik atas seluruh situasinya. Aku baru saja akan memberitahunya kalau
amarahnya disebabkan oleh kecemburuan, tetapi aku rasa, tidak adil membicarakan
seseorang di belakang mereka, jadi aku hanya mengumamkan beberapa alasan tak
jelas.
Inilah yang
terbeberkan di dalam mimpi yang baru saja kudapati tentang Mo Yuan. Sejauh itu,
apa yang terjadi di dalam mimpi tidak dapat dibedakan dengan apa yang terjadi
sebenarnya.
Tetapi,
kenyataannya, Mo Yuan kembali ke Gunung Kun Lun di sore hari setelah pertempuran
Cang Wu. Yao Guang dikalahkan dengan brutal dan tidak lagi mencintai Mo Yuan,
dan pindah jauh, jauh sekali. Namun, dalam mimpi, Mo Yuan tidak pernah kembali
dari Cang Wu.
Setiap hari aku
menggenggam Saudara Seperguruan Pertama dan menanyakan, “Kapan Guru akan
kembali?”
Dan Saudara
Seperguruan Pertama akan merespon dengan kata-kata, “Segera, segera.”
0 comments:
Posting Komentar