Selasa, 08 Desember 2020

3L3W TMOPB - Chapter 14 Part 2

Ten Miles of Peach Blossoms

Chapter 14 Part 2

Dikarenakan ketidaksukaanku terhadap Mo Yuan, aku benci mendengar orang memujinya, dan serangan oposisi Zi Lan mengipasi api amarahku. Aku mulai menggariskan sebuah rencana untuk membuat Zi Lan mengakui anggur buatan Mo Yuan tidak lebih baik dari punya Zhe Yan di hadapan seluruh saudara seperguruan kami agar aku dapat menunjukkan ketidakmampuan Mo Yuan sekali seumur hidup.

Sesungguhnya, itu adalah ide yang sederhana. Yang kulakukan adalah menerobos masuk ke dalam gudang anggur Gunung Kun Lun dan mencuri seguci anggur Mo Yuan. Aku akan membawa anggur ini kepada Zhe Yan, yang akan menggunakannya sebagai contoh untuk membuat seguci juga yang ratusan atau mungkin ribuan kali lebih baik. Aku akan membawa pulang guci ini dan memberikannya kepada Zi Lan, yang akan terpaksa mengakui kehebatannya.

Gudang anggur Gunung Kun Lun tidak dijaga ketat, dan aku berhasil menyusup ke dalam dan mengambil satu guci tanpa masalah. Sifat operasi curang ini berarti, aku tidak bisa berjalan kembali melalui pintu masuk utama pegunungan, jadi aku berjalan melalui kebun persik di belakang puncak gunung, dari sana, rencananya aku akan memanggil sebuah awan keberuntungan dan melonjak ke tempat Zhe Yan.

Tetapi, aku membuat diriku tersesat di dalam kebun persik. Setelah sekian lama mencoba mencari jalan keluar, aku kelelahan dan mulai merasa agak haus. Menyadari aku membawa seguci anggur Mo Yuan, aku memutuskan untuk menyesapnya sedikit untuk meredakan dahagaku.

Setelah satu tegukan, aku mulai merasa kabur. Hanya seteguk kecil, tetapi rasanya meresap dan menyebar di mulutku. Aku merasa terbakar saat anggurnya mengalir turun di tenggorokanku. Zhe Yan benar-benar harus meningkatkan permainannya jika anggurnya akan bersaing di tingkat ini.

Mo Yuan memang seorang pembuat anggur yang hebat. Amarah memenuhi dadaku. Aku menyadari, tidak ada gunanya membawa anggur ini ke tempat Zhe Yan. Aku duduk di sana sejenak, menggerutu, sebelum menegak seluruh isi gucinya, hingga tetes terakhir.

Kepalaku jadi pusing, dan aku melihat bintang-bintang di depan mataku. Aku membaringkan kepalaku di sebatang pohon persik dan langsung tertidur.

***

Aku terbangun dengan cara yang tak biasa. Bukan seperti biasa dengan matahari ataupun dengan Saudara Seperguruan Pertama yang menggoncangkanku sampai terbangun. Aku terbangun dengan seember air dingin yang diguyurkan kepadaku. Mengoyakku dari mimpiku dan membangunkanku dengan tersentak.

Saat itu awal musim semi, dan salju baru saja mulai meleleh, dan airnya yang mengenaiku pastilah berasal dari salju yang baru saja mencair. Airnya meresap ke pakaianku, dan aku merespon dengan sebuah bersin yang keras dan melengking.

Aku melihat seorang wanita duduk di sebuah bangku kayu hitam. Ia menyesap teh dari cangkir porselen, meletakkan cangkirnya, dan menatapku dingin tanpa ekspresi. Gadis-gadis pelayan dengan potongan rambut mangkuk berdiri di kedua sisi bangku kayu hitamnya.

Hari pertama aku tiba di Gunung Kun Lun, saudara seperguruanku memperingatkanku agar tidak mendatangkan amarah gadis-gadis dengan potongan rambut mangkuk. Meskipun mereka sangat kasar, menuangkan air dingin di kepalaku, sebagai seorang murid Gunung Kun Lun, aku harus tetap sopan. Itu adalah gadis-gadis pelayan Dewi Agung Yao Guang, yang rambutnya digunting dengan gaya ini dan sering kali berkeliaran di sekitar Gunung Kun Lun, jadilah aku menduga kalau ini pastinya orang yang sedang kuhadapi.

Rupanya, Yao Guang biasanya adalah seorang Dewi Agung yang lembut, tetapi di masa peperangan, ia dikenal ganas dan brutal. Ia selalu sangat memperhatikan Guru Mo Yuan, tetapi selama bertahun-tahun ini, cinta bertepuk sebelah tangannya jadi intesif, dan ia memindahkan kediaman abadinya dekat Gunung Kun Lun dan akan mengirimkan gadis-gadis pelayannya ke Gunung Kun Lun untuk mencari masalah. Tujuannya adalah untuk membuat Mo Yuan marah agar ia mau bertarung dengannya. Ia kira, jika Mo Yuan melihat kehebatan militernya, ia mungkin bisa memenangkannya.

Terlepas dari semua usahanya, Mo Yuan gagal menangkap umpannya. Ia menginstruksikan murid-muridnya untuk memperlakukan bawahan-bawahannya dengan sangat santun, dan berusaha sebisa mungkin untuk tetap sabar dan toleran terhadap mereka.

Melihat para gadis pelayan dengan potongan rambut mangkuk, aku menyadari kalau wanita yang duduk di atas kursi kayu hitam sembari meminum teh pastilah Yao Guang, Dewi Agung yang mencintai Mo Yuan.

Ia mengikatku sementara aku mabuk dan tertidur, sudah jelas berharap agar ini akhirnya cukup untuk memancing Mo Yuan agar ia bersedia bertarung dengannya di pertempuran.

Dewi Agung Yao Guang memberikan tatapan pada dewi pelayan di kanannya, dan gadis pelayan itu menanggapi dengan berdeham keras dan mulai menegurku.

“Gunung Kun Lun adalah yang paling suci dan keramat di Keempat Lautan dan Delapan Dataran,” katanya, suaranya penuh kemarahan.

“Bagaimana bisa seorang dewa rubah berpenampilan seperti wanita ini masuk ke dalam dan berhasil menggoda Mo Yuan?”

Aku terlalu muda untuk memahami dengan baik arti kata menggoda, dan perkataannya membingungkanku. Aku mengeluarkan suara kebingungan.

Ia memelototiku seram.

“Lihat saja matamu, alismu, mulutmu, semuanya terlalu berhias. Karena menerimamu sebagai muridnya, Mo Yuan memperhatikanmu setulus hatinya.”

Yao Guang menatapku penuh kebencian.

“Mo Yuan telah mengabaikan jalan keabadian,” lanjut si gadis pelayan.

“Dan memandangnya sebagai sesama rekan makhluk abadi, Dewi Agung kami tidak sanggup melihatnya tersesat dan terpaksa ikut campur dan menawarkan bantuannya.

“Kau telah melakukan kesalahan serius, tetapi Dewi Agung kami selalu berbelas kasih,” pelan-pelan ia menjelaskan.

“Kau akan menjadi pembantu Dewi Agung kami. Kau akan mengabdikan dirimu untuk mempraktikkan penempaan energi spiritual dan menghilangkan segala sikap main-main dan vulgar dari hatimu. Berlututlah sekarang dan berterimakasihlah kepada Dewi Agung kami atas kemurahan hatinya dan anugerahnya.”

Aku terdiam memandangi mereka, melongo, tidak mampu membuat perkataan mereka terasa masuk akal. Aku merenunginya, tetapi satu-satunya hal yang dapat kuingat pernah melakukan kesalahan semenjak datang ke Gunung Kun Lun adalah mencuri anggur Mo Yuan. Selain itu, aku selalu mematuhi peraturan.

“Aku tidak pernah merugikan Guruku,” kataku dengan berani.

“Ia memperlakukanku dengan baik karena seorang teman lamanya memintanya untuk mengasihaniku dan kehidupan menyedihkan yang kujalani. Dengan mengikatku seperti ini dan menyiramkan air padaku, kau telah menunjukkan padaku bahwa Guru mempunyai kebaikan di satu ujung jarinya ketimbang yang kau miliki di seluruh tubuhmu. Aku menolak menjadi pembantumu.”

Aku tidak sungguh-sungguh percaya apa yang barusan kukatakan tentang Mo Yuan lebih baik daripada Yao Guang; aku hanya mengatakan hal-hal ini untuk membuatnya kesal.

Yao Guang sangat marah sampai ia mulai bergetar. Dengan garangnya, ia menggebrak sandaran lengan bangkunya.

“Dasar bocah lelaki keras kepala!” katanya.

“Seret ia masuk ke penjara air dan kurung ia di dalam sana selama tiga hari!”

Aku masih ingat mata Yao Guang saat ia memberikan perintah ini, merah membara akibat kecemburuan. Semuanya hanyalah kesalahpahaman, tetapi aku seorang anak kecil, penuh dengan semangat anak muda dan tidak terbiasa mengekspresikan diriku dengan benar. Daripada menjelaskan situasinya dan mengeluarkan diriku dari kekacauan ini, aku menandatangani surat kematianku sendiri dan menghabiskan dua hari berikutnya mengalami penderitaan intens sebagai hasilnya.

Penjara air Yao Guang jauh lebih muthakhir daripada kebanyakan penjara air. Saat kosong, air berlumpurnya setinggi pinggang, tetapi segera setelah kau dicelupkan ke dalamnya, air ini akan mulai naik. Airnya naik ke tubuhmu, inci demi inci, hingga menutupi kepalamu. Bahkan, saat kepalamu tertutupi, airnya tidak akan benar-benar menenggelamkanmu, hanya memberikanmu sensasi mengerikan seperti tenggelam.

Apabila kau dibiarkan mengalami sensasi ini secara konstan, mungkin kau akan jadi terbiasa seiring berjalannya waktu, tetapi, setelah beberapa jam, airnya surut, dan kau akan tertinggal terengah-engah dan menanti proses menyiksa ini terulang dengan sendirinya.

Aku menghabiskan begitu banyak tahun tanpa melakukan apa-apa dan malas-malasan, meskipun aku mengerahkan seluruh tenagaku, aku bukanlah tandingan si Dewi Agung ini. Aku tidak berdaya mempertahankan diriku sendiri dan tidak punya pilihan lain selain menanggung penyiksaanku.

Di saat Mo Yuan menemukanku, aku sudah tersiksa sampai ke inci kehidupanku. Beruntungnya, aku masih muda dan stamina berada di pihakku. Dalam keadaan linglungku, aku masih ingat melihat wajah serius Mo Yuan saat ia membuka rantai baja hitam pintu bawah tanah dengan satu tangan. Bunga api berterbangan kemana-mana. Ia menarikku keluar dari air, menyelimutiku dengan sebuah jubah, dan memelukku erat dekat dengannya.

Ia berbalik ke arah Yao Guang yang berwajah pucat, dan dengan suara dinginnya ia berkata, “Temui aku di puncak Gunung Cang Wu di tanggal 17 Februari, dan kita akan menyelesaikan skor ini.”

“Aku sangat berharap bertarung denganmu,” Yao Guang berkata dengan susah payah, “Tetapi bukan seperti ini, dan bukan ...”

Aku tidak mendengarkan akhir kalimatnya, karena Mo Yuan sudah melangkah lebar dengan diriku dalam pelukannya. Di pintu masuk Gunung Kun Lun, kami berpapasan dengan Saudara Seperguruan Pertama, yang mengulurkan tangan untuk menggendongku, tetapi Guru tidak menyerahkanku. Ia terus berjalan bersama Saudara Seperguruan Pertama denganku dalam dekapannya.

Untuk pertama kalinya, hal itu membuatku tersadar, bahwa, meskipun Mo Yuan tidak bermulut besar, suaranya masih dalam dan menggaung. Meskipun lengannya tidak sekuat dan sekekar pilar, ia tetap kuat dan bertenaga.

Mo Yuan memang tangguh.

Segera setelah aku kembali ke Gunung Kun Lun, aku tertidur seperti mati. Saat aku terbangun, Saudara Seperguruan Pertama memberitahuku kalau Mo Yuan sudah pergi ke puncak Gunung Cang Wu untuk bertarung dengan Dewi Agung Yao Guang. Tontonan selangka ini hanya datang sepuluh juta tahun sekali, dan Saudara Seperguruan Kedua hingga Ke-16 semuanya pergi bersama-sama untuk menontonnya.

“Bagaimana bisa Guru memilihku untuk menjagamu?” Saudara Seperguruan Pertama bertanya sembari menghela napas.

Aku tidak tahu, tetapi aku pun sama kecewanya karena tidak bisa menyaksikan Mo Yuan bertarung melawan Yao Guang.

Saudara Seperguruan Pertama merupakan orang yang bicara tanpa henti, dan setelah mendengarkannya komat-kamit selama beberapa hari, akhirnya aku mengerti seberapa seriusnya operasi penculikanku yang dilakukan oleh Yao Guang.

Setelah lampunya dimatikan di malam hari dan aku masih belum kembali ke kamarku, saudara-saudara seperguruanku jadi risau. Mereka mencari di seluruh Gunung Kun Lun, tetapi tidak bisa menemukanku. Setelah mengobrak-abrik tempat itu, mereka mulai mencurigai kalau aku mungkin saja mencari masalah dengan para pelayan abadi Yao Guang dan ditangkap.

Itu hanyalah dugaan, dan mereka tidak punya bukti, tetapi saudara-saudara seperguruanku semuanya sangat cemas, dan akhirnya mereka memutuskan untuk memperingatkan Guru.

Guru baru saja akan pergi tidur, tetapi segera setelah ia mendengarkan kabar ini, ia mengenakan jubahnya, dan membawa Saudara Seperguruan Pertama bersamanya, menerobos masuk ke kediaman Dewi Agung Yao Guang.

Yao Guang tidak mengakui apa yang dilakukannya pada Mo Yuan, bahkan ketika Mo Yuan mengancam nyawanya. Guru mengayunkan pedangnya ke arah Yao Guang, tanpa memandang segala macam etika dan masuk ke dalam untuk mencariku.

Saudara Seperguruan Pertama berseru dan menghela napas kuat.

“Jika bukan karena keberanian Guru, mungkin kau tidak akan pernah melihat sinar siang hari lagi, Xiao Shi Qi,” katanya sembari tertawa.

“Kau kelelahan. Kau pingsan segera setelah Guru membawamu kembali ke Gunung Kun Lun. Kau bermimpi buruk, menggenggam tangan Guru dan berteriak penuh kesengsaraan hingga sulit didengarkan. Kami tidak bisa melepaskan tanganmu darinya.

“Guru marah besar dengan keadaan ketika ia menemukanmu. Ia menepuk punggungmu untuk menenangkanmu dan berkata, ‘Jangan takut. Jangan takut. Guru akan melindungimu.’ Kau terlihat persis seperti bayi kecil,” katanya sambil terkekeh.

Wajahku memerah.

“Apa yang kau lakukan sampai begitu menyinggung Yao Guang?” ia bertanya keheranan.

“Ia terkenal punya garisan jahat, tetapi tidak pernah sekejam dan sebengis itu sebelumnya.”

Aku merenunginya hati-hati selagi aku memulihkan diri, dan berpikir aku memahami dengan baik atas seluruh situasinya. Aku baru saja akan memberitahunya kalau amarahnya disebabkan oleh kecemburuan, tetapi aku rasa, tidak adil membicarakan seseorang di belakang mereka, jadi aku hanya mengumamkan beberapa alasan tak jelas.

Inilah yang terbeberkan di dalam mimpi yang baru saja kudapati tentang Mo Yuan. Sejauh itu, apa yang terjadi di dalam mimpi tidak dapat dibedakan dengan apa yang terjadi sebenarnya.

Tetapi, kenyataannya, Mo Yuan kembali ke Gunung Kun Lun di sore hari setelah pertempuran Cang Wu. Yao Guang dikalahkan dengan brutal dan tidak lagi mencintai Mo Yuan, dan pindah jauh, jauh sekali. Namun, dalam mimpi, Mo Yuan tidak pernah kembali dari Cang Wu.

Setiap hari aku menggenggam Saudara Seperguruan Pertama dan menanyakan, “Kapan Guru akan kembali?”

Dan Saudara Seperguruan Pertama akan merespon dengan kata-kata, “Segera, segera.”

Related Posts:

0 comments:

Posting Komentar