Ten Miles of Peach Blossoms
Chapter 13 Part 2
Aku merasakan
segelombang keterkejutan di hatiku. Aku merasa pertanyaannya aneh.
Bukankah itu
jelas?
Apabila kami
tidak bertunangan, mana mungkin ia bisa tinggal bersamaku dan mengambil keuntungan
dari saat-saat intim seperti ini?
Jika di saat
pertama kali ia datang untuk tinggal di Qing Qiu, Mi Gu mengusirnya dengan sebatang
tongkat, mana mungkin ia memasuki Gua Rubah dan diberikan sebuah kamar, belum
lagi menyebutkan soal aku membersihkan kamar Kakak Ketiga untuk digunakannya
sebagai ruang bacanya?
Ia telah
diperlakukan dengan sangat tulus.
Ini merupakan
kali pertama semenjak mengenal Ye Hua, aku melihatnya begitu terpancing oleh
sesuatu. Aneh sekali menyaksikan sisi lemahnya.
“Aku baik
padamu, bukan hanya karena pertunangan kita,” kataku sambil tertawa canggung.
Ia menegang dan
mengangkat kepalanya untuk menatapku, matanya berbinar-binar. Tatapan
panjangnya mulai membuatku merasa tidak nyaman.
Aku berdeham
dan berkata, “Selama ini, kau tinggal di Gua Rubah, kau bekerja begitu keras di
siang hari mengurusi dokumen-dokumen resmi itu, dan yang terpenting, kau sudah
memasak juga untuk kami. Aku merasa sangat tersentuh terhadap apa yang telah
kau lakukan untuku, dan aku bisa mengatakan dengan tangan di jantungku, bahwa
aku tidak akan pernah melupakannya.
“Seperti kata
pepatah, kebaikan melibatkan memberi dan menerima. Kau melemparkan sebuah
persik dan aku melemparkan kembali sebuah pir. Jika aku tidak memiliki pir,
sebaliknya, aku akan melemparkanmu sebuah loquat. Jika aku bertunangan dengan
pria lain, tidak perlu seperti saat bersamamu. Dan aku tidak perlu juga minum
teh dan bermain catur dengannya.”
Aku merasa
bahwa ini merupakan hal yang benar untuk dikatakan. Aku membayangkan bahwa
saling mempedulikan seperti ini adalah bagaimana orang-orang tetap bahagia
dalam pernikahan panjang mereka.
Tetapi, saat Ye
Hua mendengar apa yang kukatakan, matanya menggelap. Aku tidak paham mengapa ia
terlihat begitu sedih, dan tidak ingin membuat masalah semakin runyam, aku
mengarahkan mataku ke atas, ke bingkai tempat tidur.
Pikiranku
kembali ke Gua Yan Hua dan bagaimana aku harus menyusun sebuah mantra penghalang
di pintu masuknya.
Ye Hua
menguburkan kepalanya di bahuku.
“Aku tidak
pernah memasak untuk siapa pun selain dirimu,” katanya.
Aku menepuk
punggungnya dengan cakarku dan mengangguk.
“Masakanmu luar
biasa. Carilah waktu untuk memasakkan ibu dan ayahmu. Oh, dan kakekmu juga. Itu
akan mewujudkan rasa berbaktimu.”
Ia
mengabaikanku dan berkata, “Aku tidak melakukan hal-hal ini hanya karena
pertunangan kita. Dan aku tidak pindah ke Qing Qiu hanya karena A Li
merindukanmu.”
“Ah.”
Akhirnya aku
mengerti.
“Memasak adalah
hobimu. Hobi yang bagus, sangat berguna.”
Ia memelukku
lebih erat lagi, terus mengabaikan apa yang kukatakan.
“Qian Qian, aku
mencintaimu,” katanya.
Aku duduk
terbengong di sana, mataku terbelalak terkejut.
Apa, apa, apa
yang baru saja terjadi?
Aku tidak akan
lebih terkejut lagi jika langit runtuh.
Aku selalu
menganggap takdir percintaanku sebagai pohon tua yang ditetak selama ribuan dan
ribuan tahun lamanya dan tak pernah di beri kesempatan untuk berbunga.
Mungkinkah
pohon tua ini akhirnya mulai berbunga, dan dengan dua bunga sekaligus?
Ye Hua
mengangkat kepalanya dan menatapku intens.
“Apa yang
sedang kau pikirkan?” tanyanya.
Aku masih
sangat terkejut dan tidak yakin bagaimana harus menanggapi.
Akhirnya, aku
berhasil menarik napas dan berkata, “Ini ... ini bukan sebuah lelucon?”
Ia tersenyum
samar dan berkata, “Aku tidak pernah lebih serius lagi dalam seluruh hidupku.
Memang mungkin untuk menjalani pernikahan berusia panjang tanpa perasaan,
tetapi bersamamu, aku menantikan sebuah pernikahan yang panjang penuh dengan
perasaan.”
Ucapan
intensnya membuat tubuhku menegang. Dari dalamnya keterkejutan dan ketakutan,
aku menemukan waktu untuk memikirkan semuanya dengan jelas. Aku benar-benar
tidak tahu kalau ia merasa seperti ini.
Aku mengingat
kembali semua yang terjadi sebelumnya: segala hal yang telah kami lakukan
bersama-sama melintas di depan mataku. Aku penasaran apakah perasaannya adalah
nyata, dan kalau begitu, apakah aku mampu melihat tanda-tandanya. Aku tersipu
malu, tetapi beruntungnya aku masih dalam wujud asliku, dan bulu-bulu di
wajahku menyembunyikan pipi bersemu merah terangku.
Tetapi, aku
berumpah demi kehormatanku, niatanku terhadapnya selalu benar-benar baik.
Meskipun kami ditunangkan dan akan menjadi suami istri di masa yang akan
datang, kami akan menjadi jenis suami istri yang merupakan teman baik. Aku
tidak pernah mempunyai rencana lain terhadapnya.
Aku sangat
menghormati Ye Hua dan mengagumi karakternya. Namun, aku memandangnya dengan
segi seseorang dari generasi yang lebih tua terhadap generasi yang lebih muda,
penuh kepedulian dan perhatian.
Tetapi,
keterlibatan secara romantis, tampaknya agak ... yah, agak ... Ye Hua
memandangku dengan cara yang aneh. Ia tidak mengatakan apa-apa, terus saja
memandangiku.
Caranya
memandangiku membuatku merasa tak nyaman.
Aku terdiam,
meneguk ludah, dan berkata, “Ibu pernah memberitahuku, setelah pasangan menikah
sekian lama, romantis dan perasaan akan menyusut. Seiring waktu, bersama-sama
membuatmu terasa seperti kerabat. Aku sudah merasa seolah kau adalah kerabatku,
jadi mungkin kita bisa melewatkan saja bagian tengahnya?”
Hatiku, pernah
dihancurkan oleh Li Jing, telah sembuh dengan baik, tetapi sebuah bekas luka
tetap tersisa. Mengajarkanku bahwa cinta dengan orang yang salah itu tidak
baik.
Jika aku 40.000
atau 50.000 tahun lebih muda, kita mungkin bisa bersenang-senang bersama; meski
jika akan berakhir dengan lebih banyak patah hati, aku masih bisa mencari
penghiburan dengan kenyataan bahwa aku masih muda dan naif tentang kehidupan.
Tetapi aku
sudah tua sekarang, dan tidak tertarik dengan hal itu. Biar begitu, Ye Hua
masih muda, dan meskipun aku berhasrat dengan hari-hari tenang dan damai itu,
bukan berarti kalau mereka harus ditimpakan kepadanya juga.
Aku sudah
mengatakan dengan jelas sebelumnya, dan kurangnya tanggapan Ye Hua semakin
menguatkanku. Setelah memikirkannya sejenak, aku memutuskan untuk membagikan pemikiranku
dengannya.
“Kau berada di
usia dimana dirimu ingin memiliki kisah percintaan yang menggebu dan merasakan
patah hati. Ambillah kesempatan dari fakta bahwa cintamu padaku belum mengakar
terlalu dalam. Masih ada waktu untuk mencabutnya jika kau cepat melakukannya,
saat kau berada di usiaku, kau akan mengerti. Ketika kau telah hidup selama
diriku, ketertarikan dan antusiasmemu terhadap percintaan akan menyusut.
“Sama seperti
semakin tinggi kau mendaki, semakin dingin yang kau rasakan, semakin tua dirimu,
maka semakin banyak pula kau merasakan derita dari pasang surutnya percintaan.
Oh, titah Tian Jun yang menyatukan kita, tetapi aku selalu merasa kalau
pertunangan ini tidaklah adil bagimu. Meski begitu, kau tidak perlu terlalu
kecewa. Setelah kita menikah, kau boleh mengambil beberapa selir muda yang
cantik juga.”
Setelah aku
mengatakan ini, aku merasa sebongkah batu besar sudah terangkat dari dadaku.
Aku berbicara dengan sikap yang sangat tenang dan menundukkan.
Aku harus
menjadi seorang Tian Hou yang berbesar hati di seluruh Empat Lautan dan Delapan
Dataran yang pernah ada. Meskipun perbedaan usia kami tidak menguntungkan Ye
Hua, seharusnya ia menyalakan dupa dan berdoa karena berakhir dengan seorang
istri yang murah hati dan pengertian.
Ia tidak
kelihatan sebahagia yang kubayangkan. Sebenarnya, ia jadi pucat pasi.
“Apakah kau
mengatakannya dari hatimu?” tanyanya, memandangiku.
“Iya, aku
berbicara dari hatiku. Aku tidak mungkin lebih tulus lagi,” aku memberitahunya
dengan tenang.
Sekarang, kami
sedang membicarakan topik selir, aku membayangkan kalau ia pastinya
menginginkan sebuah kepastian tetapi tidak ingin mengutarakannya secara
gamblang. Bibirnya yang mengerut menjadi lebih berkerut erat, dan sinar di
matanya mulai meredup.
Aku menjadi
lebih toleransi seiring bertambahnya usia, tetapi satu hal yang kupelajari
adalah ketika ada perasaan yang terlibat, tidak ada ruang bagi ketidakjelasan.
Aku mempertahankan ketenanganku dan terus berbicara dengan tulus.
“Dalam 1.000
tahun aku masih tetap akan memberikanmu jawaban yang sama. Lebih baik bagi kita
berdua untuk menjaga pernikahan kita tetap suci dan jujur. Hasrat dan cinta
tidak sepenuhnya baik bagi pasangan. Jika suatu hari di masa depan, kau berniat
memilih seorang selir, akan membuat hal lebih rumit. Sekarang adalah waktu yang
tepat.
“Kau harus
memandang dalam jangka panjangnya. Apa yang kukatakan mungkin tidaklah masuk
akal bagimu hari ini, tetapi suatu hari nanti, kau akan menyukai beberapa dewi
dan ingin membawanya kembali ke Istana Xi Wu sebagai selirmu. Saat itulah kau
akan paham apa yang kukatakan di sini hari ini.”
Ia terdiam
sejenak.
“Apakah, apakah
kau mengatakan hal-hal ini untuk membuatku kesal?” tanyanya perlahan.
Hatiku
tersentak. Ia begitu bergairah akan cintanya padaku, dan meskipun itu
dimaksudkan dengan niat baik, aku bisa melihat kalau perkataanku sudah
terburu-buru dan tidak peka.
Aku tidak
mengatakan apa-apa. Aku hanya duduk di sana di bawah tatapannya, tidak tahu apa
yang bisa kukatakan untuk meyakinkannya. Aku memutuskan ini butuh ditangani
dengan lembut setelah memikirkannya sejenak.
Ia memelukku.
“Aku
mencintaimu. Hanya dirimu. Aku tidak akan pernah mencintai yang lain,” ucapnya
dengan suara serak.
Ia menjeda
sejenak sebelum menggumamkan hal lain yang tidak bisa kudengar dengan jelas.
Oh, betapa
merepotkan dan keras kepalanya pria ini!
Bahkan setelah
mengatakan kata-kata seintens itu, sampai menyebabkan bagian atas kepalaku
menggelanyar, Ye Hua masih tidak menunjukkan tanda-tanda akan pergi. Ia hanya
membantuku berbaring dan menarik keempat ujung selimutku.
Aku terluka
parah, tetapi tidak selemah itu sampai membutuhkannya untuk membantuku
berbaring. Tetapi, ia tampak begitu menyedihkan, dan aku tidak ingin
memperburuk keadaan, jadi aku hanya berbaring di sana dalam diam dan membiarkannya
menyelimutiku.
Ketika ia sudah
selesai dengan selimutnya, ia mengambil mangkuk obat dari bangku kecil dan
meletakkannya di atas meja. Ia mengambil satu cangkir dan menuangkan teh dingin
untuk dirinya sendiri.
Ia bersandar di
tiang ranjang dan berkata, “Aku sudah membawa A Li kembali ke Istana Langit. Ia
kaget, tetapi tidak begitu serius. Ia hanya perlu istirahat beberapa hari. Aku
berencana membawamu kembali bersamaku ke Istana Langit. Dewa Agung Ling Bao mempunyai
sebuah mata air langit di Alam Shang Qing yang akan benar-benar membantu
mempercepat pemulihanmu.”
Ia mengerutkan
keningnya dan berkata, “Bi Fang setengah mati menentangku membawamu, tetapi
jika kau menyetujuinya, ia tidak bisa menghentikanmu. Berbaringlah dulu di sini
dan istirahatlah sekarang, dan kita akan pergi ke Istana langit esok pagi.”
Aku pernah
mendengar tentang mata air milik Dewa Agung Ling Bao dan terdengar sangat
bagus. Cedera seperti milikku yang normalnya butuh waktu sebulan untuk sembuh,
bisa sembuh sepenuhnya setelah berendam di dalam mata air langit itu selama
beberapa hari. Aku beruntung: posisi bergengsi Ye Hua mengizinkanku memasuki
kolam mata air itu.
Ye Hua
memejamkan matanya dan beristirahat dengan tenang. Aku masih harus pergi ke Gua
Yan Hua untuk memeriksa Mo Yuan.
“Apakah tidak
ada dokumen yang harus kau kerjakan hari ini?” tanyaku.
Ia setengah
membuka matanya.
“Tidak ada yang
terlalu mendesak. Kau bilang, kau lelah, jadi aku pikir, aku akan berbaring
denganmu dan memelukmu selama kau tidur.”
Mulutku
berkedut. Apakah ia tidak menyadari aku sedang membuat alasan?
Ia memberikanku
senyum lembut dan berkata, “Apa, tidak merasa lelah lagi?”
Aku frustasi.
“Benar, aku
lelah. Sangat lelah,” kataku di antara gertakan gigiku.
Filosofi umum
Ye Hua adalah tidak menunda sampai besok apa yang dapat kau kerjakan hari ini.
Semenjak hidup bersamaku di Qing Qiu, ia menghabiskan kebanyakan waktunya di
ruang baca dengan dokumen-dokumennya ini yang membuatnya begitu sibuk hingga ia
jarang sekali bisa istirahat sejenak dan menarik napas. Meski telah melalui
segala drama itu, pejabat Ye Hua, Jia Yun, sepertinya tidak dalam posisi untuk
memberikannya kelonggaran. Dokumen-dokumen resmi ini masih tetap berjatuhan
dari atas langit sederas biasanya.
Ketika kau
membawa pergi tumpukan dokumen kemarin dan menambahkan tumpukan hari ini,
tampak seakan-akan si malang Ye Hua mungkin tidak akan punya waktu tidur malam
sama sekali. Ia jelas tidak berbaring di ranjangku hanya untuk menahanku,
tetapi untuk beristirahat dan menghidupkan kembali semangatnya sendiri.
Saat manusia di
dunia fana melakukan kesalahan besar yang serius, sebagai hukumannya, mereka
dipenggal. Sebelum mereka dipenggal, mereka akan selalu diberikan makanan enak,
yang dapat mereka makan dengan penghiburan sebelum bertemu dengan alat
pemenggalnya.
Begitupula aku
membayangkan kalau Ye Hua membutuhkan istirahat yang cukup untuk memulihkan
energinya sebelum kembali ke ruang bacanya untuk menghadapi jatah dokumen dua
hari itu. Sehingga, aku menyerah dan tidur, berencana menunggu sampai ia
selesai istirahat dan pergi, sebelum berubah wujud kembali menjadi manusia dan
pergi ke Gua Yan Hua.
Aku tidak
menyangka kalau rencanaku akan gagal. Aku benar-benar kehabisan tenaga, dan
hanya dalam beberapa menit saja, kepalaku mulai merasa kabur dan tak fokus.
Setengah tidur
dan tersadar, berada di antara melayang dan tenggelam, aku bermimpi.
Itu adalah
sebuah mimpi yang selalu kuharapkan selama puluhan ribu tahun tanpa ada
hasilnya. Dan hari ini, akhirnya aku mendapatkannya.
Aku memimpikan
Mo Yuan.
0 comments:
Posting Komentar