Selasa, 08 Desember 2020

3L3W TMOPB - Chapter 13 Part 2

Ten Miles of Peach Blossoms

Chapter 13 Part 2

Aku merasakan segelombang keterkejutan di hatiku. Aku merasa pertanyaannya aneh.

Bukankah itu jelas?

Apabila kami tidak bertunangan, mana mungkin ia bisa tinggal bersamaku dan mengambil keuntungan dari saat-saat intim seperti ini?

Jika di saat pertama kali ia datang untuk tinggal di Qing Qiu, Mi Gu mengusirnya dengan sebatang tongkat, mana mungkin ia memasuki Gua Rubah dan diberikan sebuah kamar, belum lagi menyebutkan soal aku membersihkan kamar Kakak Ketiga untuk digunakannya sebagai ruang bacanya?

Ia telah diperlakukan dengan sangat tulus.

Ini merupakan kali pertama semenjak mengenal Ye Hua, aku melihatnya begitu terpancing oleh sesuatu. Aneh sekali menyaksikan sisi lemahnya.

“Aku baik padamu, bukan hanya karena pertunangan kita,” kataku sambil tertawa canggung.

Ia menegang dan mengangkat kepalanya untuk menatapku, matanya berbinar-binar. Tatapan panjangnya mulai membuatku merasa tidak nyaman.

Aku berdeham dan berkata, “Selama ini, kau tinggal di Gua Rubah, kau bekerja begitu keras di siang hari mengurusi dokumen-dokumen resmi itu, dan yang terpenting, kau sudah memasak juga untuk kami. Aku merasa sangat tersentuh terhadap apa yang telah kau lakukan untuku, dan aku bisa mengatakan dengan tangan di jantungku, bahwa aku tidak akan pernah melupakannya.

“Seperti kata pepatah, kebaikan melibatkan memberi dan menerima. Kau melemparkan sebuah persik dan aku melemparkan kembali sebuah pir. Jika aku tidak memiliki pir, sebaliknya, aku akan melemparkanmu sebuah loquat. Jika aku bertunangan dengan pria lain, tidak perlu seperti saat bersamamu. Dan aku tidak perlu juga minum teh dan bermain catur dengannya.”

Aku merasa bahwa ini merupakan hal yang benar untuk dikatakan. Aku membayangkan bahwa saling mempedulikan seperti ini adalah bagaimana orang-orang tetap bahagia dalam pernikahan panjang mereka.

Tetapi, saat Ye Hua mendengar apa yang kukatakan, matanya menggelap. Aku tidak paham mengapa ia terlihat begitu sedih, dan tidak ingin membuat masalah semakin runyam, aku mengarahkan mataku ke atas, ke bingkai tempat tidur.

Pikiranku kembali ke Gua Yan Hua dan bagaimana aku harus menyusun sebuah mantra penghalang di pintu masuknya.

Ye Hua menguburkan kepalanya di bahuku.

“Aku tidak pernah memasak untuk siapa pun selain dirimu,” katanya.

Aku menepuk punggungnya dengan cakarku dan mengangguk.

“Masakanmu luar biasa. Carilah waktu untuk memasakkan ibu dan ayahmu. Oh, dan kakekmu juga. Itu akan mewujudkan rasa berbaktimu.”

Ia mengabaikanku dan berkata, “Aku tidak melakukan hal-hal ini hanya karena pertunangan kita. Dan aku tidak pindah ke Qing Qiu hanya karena A Li merindukanmu.”

“Ah.”

Akhirnya aku mengerti.

“Memasak adalah hobimu. Hobi yang bagus, sangat berguna.”

Ia memelukku lebih erat lagi, terus mengabaikan apa yang kukatakan.

“Qian Qian, aku mencintaimu,” katanya.

Aku duduk terbengong di sana, mataku terbelalak terkejut.

Apa, apa, apa yang baru saja terjadi?

Aku tidak akan lebih terkejut lagi jika langit runtuh.

Aku selalu menganggap takdir percintaanku sebagai pohon tua yang ditetak selama ribuan dan ribuan tahun lamanya dan tak pernah di beri kesempatan untuk berbunga.

Mungkinkah pohon tua ini akhirnya mulai berbunga, dan dengan dua bunga sekaligus?

Ye Hua mengangkat kepalanya dan menatapku intens.

“Apa yang sedang kau pikirkan?” tanyanya.

Aku masih sangat terkejut dan tidak yakin bagaimana harus menanggapi.

Akhirnya, aku berhasil menarik napas dan berkata, “Ini ... ini bukan sebuah lelucon?”

Ia tersenyum samar dan berkata, “Aku tidak pernah lebih serius lagi dalam seluruh hidupku. Memang mungkin untuk menjalani pernikahan berusia panjang tanpa perasaan, tetapi bersamamu, aku menantikan sebuah pernikahan yang panjang penuh dengan perasaan.”

Ucapan intensnya membuat tubuhku menegang. Dari dalamnya keterkejutan dan ketakutan, aku menemukan waktu untuk memikirkan semuanya dengan jelas. Aku benar-benar tidak tahu kalau ia merasa seperti ini.

Aku mengingat kembali semua yang terjadi sebelumnya: segala hal yang telah kami lakukan bersama-sama melintas di depan mataku. Aku penasaran apakah perasaannya adalah nyata, dan kalau begitu, apakah aku mampu melihat tanda-tandanya. Aku tersipu malu, tetapi beruntungnya aku masih dalam wujud asliku, dan bulu-bulu di wajahku menyembunyikan pipi bersemu merah terangku.

Tetapi, aku berumpah demi kehormatanku, niatanku terhadapnya selalu benar-benar baik. Meskipun kami ditunangkan dan akan menjadi suami istri di masa yang akan datang, kami akan menjadi jenis suami istri yang merupakan teman baik. Aku tidak pernah mempunyai rencana lain terhadapnya.

Aku sangat menghormati Ye Hua dan mengagumi karakternya. Namun, aku memandangnya dengan segi seseorang dari generasi yang lebih tua terhadap generasi yang lebih muda, penuh kepedulian dan perhatian.

Tetapi, keterlibatan secara romantis, tampaknya agak ... yah, agak ... Ye Hua memandangku dengan cara yang aneh. Ia tidak mengatakan apa-apa, terus saja memandangiku.

Caranya memandangiku membuatku merasa tak nyaman.

Aku terdiam, meneguk ludah, dan berkata, “Ibu pernah memberitahuku, setelah pasangan menikah sekian lama, romantis dan perasaan akan menyusut. Seiring waktu, bersama-sama membuatmu terasa seperti kerabat. Aku sudah merasa seolah kau adalah kerabatku, jadi mungkin kita bisa melewatkan saja bagian tengahnya?”

Hatiku, pernah dihancurkan oleh Li Jing, telah sembuh dengan baik, tetapi sebuah bekas luka tetap tersisa. Mengajarkanku bahwa cinta dengan orang yang salah itu tidak baik.

Jika aku 40.000 atau 50.000 tahun lebih muda, kita mungkin bisa bersenang-senang bersama; meski jika akan berakhir dengan lebih banyak patah hati, aku masih bisa mencari penghiburan dengan kenyataan bahwa aku masih muda dan naif tentang kehidupan.

Tetapi aku sudah tua sekarang, dan tidak tertarik dengan hal itu. Biar begitu, Ye Hua masih muda, dan meskipun aku berhasrat dengan hari-hari tenang dan damai itu, bukan berarti kalau mereka harus ditimpakan kepadanya juga.

Aku sudah mengatakan dengan jelas sebelumnya, dan kurangnya tanggapan Ye Hua semakin menguatkanku. Setelah memikirkannya sejenak, aku memutuskan untuk membagikan pemikiranku dengannya.

“Kau berada di usia dimana dirimu ingin memiliki kisah percintaan yang menggebu dan merasakan patah hati. Ambillah kesempatan dari fakta bahwa cintamu padaku belum mengakar terlalu dalam. Masih ada waktu untuk mencabutnya jika kau cepat melakukannya, saat kau berada di usiaku, kau akan mengerti. Ketika kau telah hidup selama diriku, ketertarikan dan antusiasmemu terhadap percintaan akan menyusut.

“Sama seperti semakin tinggi kau mendaki, semakin dingin yang kau rasakan, semakin tua dirimu, maka semakin banyak pula kau merasakan derita dari pasang surutnya percintaan. Oh, titah Tian Jun yang menyatukan kita, tetapi aku selalu merasa kalau pertunangan ini tidaklah adil bagimu. Meski begitu, kau tidak perlu terlalu kecewa. Setelah kita menikah, kau boleh mengambil beberapa selir muda yang cantik juga.”

Setelah aku mengatakan ini, aku merasa sebongkah batu besar sudah terangkat dari dadaku. Aku berbicara dengan sikap yang sangat tenang dan menundukkan.

Aku harus menjadi seorang Tian Hou yang berbesar hati di seluruh Empat Lautan dan Delapan Dataran yang pernah ada. Meskipun perbedaan usia kami tidak menguntungkan Ye Hua, seharusnya ia menyalakan dupa dan berdoa karena berakhir dengan seorang istri yang murah hati dan pengertian.

Ia tidak kelihatan sebahagia yang kubayangkan. Sebenarnya, ia jadi pucat pasi.

“Apakah kau mengatakannya dari hatimu?” tanyanya, memandangiku.

“Iya, aku berbicara dari hatiku. Aku tidak mungkin lebih tulus lagi,” aku memberitahunya dengan tenang.

Sekarang, kami sedang membicarakan topik selir, aku membayangkan kalau ia pastinya menginginkan sebuah kepastian tetapi tidak ingin mengutarakannya secara gamblang. Bibirnya yang mengerut menjadi lebih berkerut erat, dan sinar di matanya mulai meredup.

Aku menjadi lebih toleransi seiring bertambahnya usia, tetapi satu hal yang kupelajari adalah ketika ada perasaan yang terlibat, tidak ada ruang bagi ketidakjelasan. Aku mempertahankan ketenanganku dan terus berbicara dengan tulus.

“Dalam 1.000 tahun aku masih tetap akan memberikanmu jawaban yang sama. Lebih baik bagi kita berdua untuk menjaga pernikahan kita tetap suci dan jujur. Hasrat dan cinta tidak sepenuhnya baik bagi pasangan. Jika suatu hari di masa depan, kau berniat memilih seorang selir, akan membuat hal lebih rumit. Sekarang adalah waktu yang tepat.

“Kau harus memandang dalam jangka panjangnya. Apa yang kukatakan mungkin tidaklah masuk akal bagimu hari ini, tetapi suatu hari nanti, kau akan menyukai beberapa dewi dan ingin membawanya kembali ke Istana Xi Wu sebagai selirmu. Saat itulah kau akan paham apa yang kukatakan di sini hari ini.”

Ia terdiam sejenak.

“Apakah, apakah kau mengatakan hal-hal ini untuk membuatku kesal?” tanyanya perlahan.

Hatiku tersentak. Ia begitu bergairah akan cintanya padaku, dan meskipun itu dimaksudkan dengan niat baik, aku bisa melihat kalau perkataanku sudah terburu-buru dan tidak peka.

Aku tidak mengatakan apa-apa. Aku hanya duduk di sana di bawah tatapannya, tidak tahu apa yang bisa kukatakan untuk meyakinkannya. Aku memutuskan ini butuh ditangani dengan lembut setelah memikirkannya sejenak.

Ia memelukku.

“Aku mencintaimu. Hanya dirimu. Aku tidak akan pernah mencintai yang lain,” ucapnya dengan suara serak.

Ia menjeda sejenak sebelum menggumamkan hal lain yang tidak bisa kudengar dengan jelas.

Oh, betapa merepotkan dan keras kepalanya pria ini!

Bahkan setelah mengatakan kata-kata seintens itu, sampai menyebabkan bagian atas kepalaku menggelanyar, Ye Hua masih tidak menunjukkan tanda-tanda akan pergi. Ia hanya membantuku berbaring dan menarik keempat ujung selimutku.

Aku terluka parah, tetapi tidak selemah itu sampai membutuhkannya untuk membantuku berbaring. Tetapi, ia tampak begitu menyedihkan, dan aku tidak ingin memperburuk keadaan, jadi aku hanya berbaring di sana dalam diam dan membiarkannya menyelimutiku.

Ketika ia sudah selesai dengan selimutnya, ia mengambil mangkuk obat dari bangku kecil dan meletakkannya di atas meja. Ia mengambil satu cangkir dan menuangkan teh dingin untuk dirinya sendiri.

Ia bersandar di tiang ranjang dan berkata, “Aku sudah membawa A Li kembali ke Istana Langit. Ia kaget, tetapi tidak begitu serius. Ia hanya perlu istirahat beberapa hari. Aku berencana membawamu kembali bersamaku ke Istana Langit. Dewa Agung Ling Bao   mempunyai sebuah mata air langit di Alam Shang Qing yang akan benar-benar membantu mempercepat pemulihanmu.”

Ia mengerutkan keningnya dan berkata, “Bi Fang setengah mati menentangku membawamu, tetapi jika kau menyetujuinya, ia tidak bisa menghentikanmu. Berbaringlah dulu di sini dan istirahatlah sekarang, dan kita akan pergi ke Istana langit esok pagi.”

Aku pernah mendengar tentang mata air milik Dewa Agung Ling Bao dan terdengar sangat bagus. Cedera seperti milikku yang normalnya butuh waktu sebulan untuk sembuh, bisa sembuh sepenuhnya setelah berendam di dalam mata air langit itu selama beberapa hari. Aku beruntung: posisi bergengsi Ye Hua mengizinkanku memasuki kolam mata air itu.

Ye Hua memejamkan matanya dan beristirahat dengan tenang. Aku masih harus pergi ke Gua Yan Hua untuk memeriksa Mo Yuan.

“Apakah tidak ada dokumen yang harus kau kerjakan hari ini?” tanyaku.

Ia setengah membuka matanya.

“Tidak ada yang terlalu mendesak. Kau bilang, kau lelah, jadi aku pikir, aku akan berbaring denganmu dan memelukmu selama kau tidur.”

Mulutku berkedut. Apakah ia tidak menyadari aku sedang membuat alasan?

Ia memberikanku senyum lembut dan berkata, “Apa, tidak merasa lelah lagi?”

Aku frustasi.

“Benar, aku lelah. Sangat lelah,” kataku di antara gertakan gigiku.

Filosofi umum Ye Hua adalah tidak menunda sampai besok apa yang dapat kau kerjakan hari ini. Semenjak hidup bersamaku di Qing Qiu, ia menghabiskan kebanyakan waktunya di ruang baca dengan dokumen-dokumennya ini yang membuatnya begitu sibuk hingga ia jarang sekali bisa istirahat sejenak dan menarik napas. Meski telah melalui segala drama itu, pejabat Ye Hua, Jia Yun, sepertinya tidak dalam posisi untuk memberikannya kelonggaran. Dokumen-dokumen resmi ini masih tetap berjatuhan dari atas langit sederas biasanya.

Ketika kau membawa pergi tumpukan dokumen kemarin dan menambahkan tumpukan hari ini, tampak seakan-akan si malang Ye Hua mungkin tidak akan punya waktu tidur malam sama sekali. Ia jelas tidak berbaring di ranjangku hanya untuk menahanku, tetapi untuk beristirahat dan menghidupkan kembali semangatnya sendiri.

Saat manusia di dunia fana melakukan kesalahan besar yang serius, sebagai hukumannya, mereka dipenggal. Sebelum mereka dipenggal, mereka akan selalu diberikan makanan enak, yang dapat mereka makan dengan penghiburan sebelum bertemu dengan alat pemenggalnya.

Begitupula aku membayangkan kalau Ye Hua membutuhkan istirahat yang cukup untuk memulihkan energinya sebelum kembali ke ruang bacanya untuk menghadapi jatah dokumen dua hari itu. Sehingga, aku menyerah dan tidur, berencana menunggu sampai ia selesai istirahat dan pergi, sebelum berubah wujud kembali menjadi manusia dan pergi ke Gua Yan Hua.

Aku tidak menyangka kalau rencanaku akan gagal. Aku benar-benar kehabisan tenaga, dan hanya dalam beberapa menit saja, kepalaku mulai merasa kabur dan tak fokus.

Setengah tidur dan tersadar, berada di antara melayang dan tenggelam, aku bermimpi.

Itu adalah sebuah mimpi yang selalu kuharapkan selama puluhan ribu tahun tanpa ada hasilnya. Dan hari ini, akhirnya aku mendapatkannya.

Aku memimpikan Mo Yuan.

Related Posts:

0 comments:

Posting Komentar