Selasa, 08 Desember 2020

3L3W TMOPB - Chapter 15 Part 1

Ten Miles of Peach Blossoms

Chapter 15 Part 1


Begitu banyak waktu berlalu di dalam mimpi dan begitu banyak hal yang terjadi, tetapi ketika aku dengan malas membuka mataku dan melihat bayangan matahari yang miring ke barat, aku menyadari aku pastilah hanya tertidur selama tiga atau empat jam.

Mimpinya membuatku merasa aku sudah menjalani kehidupan selama 70.000 tahun lagi, dan saat terbangun, aku merasa aku telah menua.

Ye Hua sudah meninggalkan kamarku saat itu. Aku berbaring di sana sejenak, memandangi tirai ranjang, sebelum mencoba turun dari ranjang, menghindari cedera di dadaku sebisa mungkin.

Selagi caraku berbalik dan merangkak turun dari ranjang tidak bisa benar-benar disebut dengan lancar, di saat aku berhasil berdiri dengan keempat kakiku di atas tanah dan hanya membuat cederaku agak tegang, aku merasakan kebanggaan akan ketangkasanku sendiri.

***

Gua Yan Hua dipenuhi kabut tebal yang menyelimuti Mo Yuan, dan aku hanya bisa melihat bentuknya samar. Aku melemparkan sebuah mantra, mengubah diriku kembali ke wujud manusia, dan berjalan ke tempatnya berbaring.

Sia-sia aku cemas. Mi Gu sudah merawat Mo Yuan seperti seharusnya, bahkan menyebarkan rambutnya di seluruh bantal dan dengan saksama mengatur tiap helaiannya. Bahkan dengan perhatian setajam elangku, aku tidak mampu menemukan apa pun yang salah.

Aku duduk di sebelahnya dan melamun, menatap mata itu, terpejam selama 70.000 tahun, hidung lurus itu, bibir yang cemberut itu. Pernah menganggap wajah tampan begini sebagai banci. Betapa muda dan bodohnya aku saat aku pertama kali bertemu dengannya, betapa tidak jelasnya pemikiranku!

Tidak ada apa pun yang lebih menakutkan orang selain perubahan. Perubahan yang menyebabkan sebuah pandangan dari wajah menawan ini membeku selamanya dalam benakku. Sudah 70.000 tahun sejak aku melihat senyumannya, tetapi aku masih teringat jelas akan dirinya yang tersenyum saat ia berdiri di kebun persik di belakang Gunung Kun Lun, saat kelopak bunga persik berterbangan dengan anggunnya di udara.

Benar-benar sunyi di dalam gua, dan setelah duduk di dalam sana sejenak, aku mulai merasa kedinginan. Aku meletakkan tangannya di dadaku, tetapi itu tidak menghentikanku mengigil.

Aku meninggalkan gua untuk memetik segenggam bunga liar, dan menggantikan mereka dengan bunga lama yang ada di dalam vas. Aku membawa vasnya keluar dan mengisinya dengan air dari sungai untuk membuat bunganya tetap segar dan meletakkan vasnya di sebelah Mo Yuan. Ini menambahkan sedikit kehidupan di gua dingin ini.

Duduk di sana, tiba-tiba aku teringat kalau musim bunga kaca piring akan segera tiba. Aku bisa memetik beberapa tangkai bunga kaca piring dan merangkai mereka di atas ranting dedalu tipis yang kukumpulkan setahun sebelumnya dan membuatkan tirai bunga untuk digantungkan di pintu masuk Gua Yan Hua.

Kapanpun guanya jadi dingin, aroma bunganya akan terlepas, yang pastinya akan membawakan sedikit kenyamanan bagi Mo Yuan yang malang di dalamnya. Ide ini benar-benar mencerahkan suasana hatiku.

Melihat langitnya mulai gelap, aku berlutut dan membungkuk ke arahnya. Aku menghormat ke arah guanya untuk terakhir kali dan mulai bergegas menuruni pegunungan.

Tadi, aku pening dan tidak tahu siapa yang merawat lukaku untukku. Antara Ye Hua, Mi Gu, atau Bi Fang, tetapi siapa pun itu, sangatlah sensitif akan fakta bahwa aku adalah seorang wanita, meskipun aku kembali ke wujud rubahku, dan mereka hanya mengelap darah di tubuhku, daripada melemparkanku ke dalam bak kayu dan memandikanku dengan benar.

Aku baru saja mendaki sebuah gunung dan memaksakan diriku lebih jauh dengan bolak-balik keluar masuk Gua Yan Hua. Sekarang, akhirnya aku bisa santai. Merasakan angin pegunungan berembus mengenaiku, aku menyadari kalau aku lengket akibat keringat karena semua kerja keras ini.

Ada sebuah danau kecil di pertengahan jalan Gunung Feng Yi, dan selagi itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan mata air Ling Bao yang terhormat, aku sering mandi di sana dan merasa airnya sangatlah menyenangkan. Butuh waktu beberapa lama bagiku untuk mengingat jalannya, tetapi setelah aku yakin akan arahnya, aku berbalik dan mulai menuju ke sana dengan semangat.

Aku melepaskan jubahku, dan memunculkan energi abadi untuk melindungi lukaku, aku masuk ke dalam airnya. Air di danau ini berasal dari es yang mencair, dan meskipun ini adalah malam di awal musim panas, rasa dinginnya meresap hingga ke dalam hatiku, dan gigiku mulai bergemeletuk. Aku berdiri diam, meraup airnya dan membasahi tubuhku sedikit demi sedikit. Setelah aku menyesuaikan diri sepenuhnya, perlahan-lahan aku mulai membenamkan diriku.

Aku menatap kagum pada dua jejak merah terang di dalam danau sehijau giok yang terefleksikan ke gaun putihku.

Sepertinya tidak akan ada siapa pun yang berjalan-jalan di danau pada jam segini, dan setelah komat-kamit, aku memutuskan aman untuk melepaskan gaunku.

Sebelum aku berhasil melepaskannya, aku mendengar sebuah teriakan marah: “Bai Qian!”

Aku gemetaran mendengarkan namaku di panggil seperti itu.

Suara ini familier, tetapi itu pertama kalinya aku mendengarnya memanggilku dengan nama lengkapku. Aku gemetaran, masih terkejut. Aku terlalu berkonsentrasi berdiri di tengah-tengah danau dengan tegak, dan panggilannya mengalihkanku, menyebabkanku kehilangan keseimbanganku.

Aku tersandung di dalam air dan akan tenggelam jika Ye Hua tidak cepat-cepat bergegas ke tengah danau dan mencengkeramku kuat-kuat.

Ia begitu tinggi dan berdada bidang, setelah ia merangkulku, ia berhasil menekanku ke dadanya dengan mudah. Cederaku tidak bisa ditekan di dada yang kuat begini, dan cedera itu berdenyut dengan sangat sakit sampai aku nyaris memuntahkan darah. Ia tidak mengeluarkan energi abadi apa pun untuk melindungi dirinya, dan pakaiannya basah kuyup, sementara rambut basahnya tersangkut di telinganya.

Aku ditekan ke tubuhnya, terkunci. Aku tidak bisa melihat ekspresi di wajahnya, tetapi aku tepat berada di atas jantungnya dan dapat mendengarnya berdegup kencang sekali di dadanya.

Diam-diam aku menghela napas lega karena aku tidak sampai melepaskan gaunku. Ia melonggarkan cengkeramannya padaku dan menempelkan bibirnya pada bibirku.

Rahangku menganga saking terkejutnya, membuatnya berhasil mendorong lidahnya melewati gigiku dan masuk dalam mulutku.

Aku memandanginya dengan mata terbelalakku, tetapi ia begitu dekat hingga yang dapat kulihat adalah bola matanya, kegelapan di dalamnya melonjak dan berputar. Ia dapat melihat jelas aku yang menatap dengan mata melebar terkejut, tetapi tidak menghentikannya dari acara menghisap dan mengigit yang intens ini.

Dalam sekejap, bibir dan lidahku benar-benar mati rasa, dan aku dapat merasakan apa yang kuduga adalah beberapa tetes darah.

Aku agak tersedak, air mata menusuk sudut mataku. Aku merasakan déjà vu, dan aku merasakan perasaan aneh yang tak bisa kusebutkan, bergerak seperti gelombang di dalam diriku.

Ia mengigiti bibir bawahku pelan dan menggumam, “Qian Qian, pejamkan matamu.”

Kata-kata yang digumamkannya memfokuskan kembali benakku, dan aku mengulurkan tangan dan mendorongnya menjauh.

Tubuhku yang terluka parah dan kebingungan berkecamuk dalam benakku, artinya segera setelah aku mendorong topangan Ye Hua, kakiku jadi lemas dan aku tersandung parah, nyaris saja terjatuh.

Ia mengulurkan tangan dan mencengkeramku, mengingat untuk menghindari cedera di dadaku kali ini. Sebelum aku dapat berterima kasih padanya atas pertimbangannya, ia menyurukkan kepalanya di bahuku.

“Aku ... aku pikir kau mencoba menenggelamkan diri,” katanya dengan suara dalam dan serak.

Aku terlalu terkejut untuk merespon, tetapi juga merasa geli akan intepretasinya akan situasi ini.

“Yang kulakukan hanyalah mandi,” kataku sembari tertawa kecil.

Ia memelukku lebih erat, bibirnya menempel di leherku, napasnya berat.

“... tidak akan membiarkanmu ... tidak lagi ...,” katanya perlahan, sebuah kalimat tanpa awalan maupun akhiran.

Semuanya terasa cukup nyata, dan aku memutuskan sepertinya ini bukan saat yang tepat untuk tetap diam. Aku mengucapkan nama Ye Hua beberapa kali, tetapi ia tidak merespon. Meskipun canggung, aku tetap tenang, mencoba membawa percakapannya ke area yang lebih nyaman.

“Bukankah kau berada di ruang baca, sedang mengerjakan dokumenmu? Bagaimana bisa kau sampai di sini?” tanyaku.

Aku merasakan napasnya di leherku menjadi lebih teratur.

“Mi Gu membawakan makananmu, dan menyadari kau tidak ada di sana,” jelasnya sedih.

“Aku keluar mencarimu segera setelah ia memberitahuku.”

Aku menepuk-nepuk punggungnya dan berkata, “Oh, waktunya makan malam? Kalau begitu, haruskah kita pulang?”

Ia tidak mengatakan apa-apa, hanya memelukku longgar di dalam air. Aku tidak tahu apa yang sedang dipikirkannya. Menurut pengalamanku, orang yang jatuh cinta adalah hukum bagi diri mereka sendiri dan sering kali membutuhkan panduan dari orang lain. Tidak ingin mengganggunya, aku hanya membiarkannya terus memelukku.

Tak lama, aku bersin, mungkin mengingatkan Ye Hua kalau aku terluka dan tidak bijaksana bagiku untuk berendam di air dingin ini terlalu lama. Setengah menopang dan setengah menggendong, ia membawaku ke tepi. Ia menggunakan sihir untuk mengeringkan pakaian kami yang basah kuyup sebelum memungut jubahnya dan memakaikannya padaku. Bersama-sama, kami berjalan menuruni pegunungan.

Aku merasa pening karena ciuman di danau tadi. Aku masih ingat dengan jelas bagaimana rasanya, seakan-akan ada sesuatu yang mengalir deras dalam tubuhku, melonjak dan jatuh, sesuatu yang tak terlihat, tak berbentuk, tak berwujud. Itu ada di sana sejenak, dan setelahnya menghilang. Aku menghela napas pelan pada diri sendiri.

Ye Hua berjalan di depan sepanjang jalan turun. Yang dapat kudengar adalah desakan angin pegunungan dan cicitan serangga. Pikiranku melayang-layang, dan aku tidak menyadari Ye Hua berhenti sampai aku menabrak punggungnya. Ia minggir ke samping agar aku dapat melihat ke depan.

Aku mengerutkan hidungku dan menjulurkan kepalaku ke depan, ke arah yang ditunjuknya. Di dalam paviliun jerami tuan yang reyot di kaki Gunung Feng Yi, aku melihat Zhe Yan tersenyum malas-malasan ke arah kami. Ia memegang sebuah kipas yang tertutup di tangannya, yang mana terletak di atas bahu Kakak Keempat.

Kakak Keempat duduk bersila, menyipitkan mata, sebatang rumput daun anjing di mulutnya.

Ia mengangkat matanya padaku dan berkata, “Kenapa wajahmu begitu merah, Xiao Wu? Apakah kau mabuk?”

Aku mencoba tampak tenang, tetapi tepat saat aku baru saja akan beralasan, Ye Hua berdeham kecil.

Zhe Yan memandangiku dari atas ke bawah, dan mengetukkan kipas terlipatnya, ia berkata, “Bulannya sedingin airnya malam ini. Dedalu tumbuh dengan mewahnya, dan bunga-bunga memenuhi halaman. Kondisi yang tepat untuk janji temu.”

Aku tertawa canggung, tetapi tak mampu menghentikan diri mencuri pandang ke arah Ye Hua. Mulutnya terangkat di sudutnya, dan matanya bersinar terang di balik rambut hitam basahnya yang kusut.

Zhe Yan dan Kakak Keempat sudah jelas tidak kembali ke Qing Qiu untuk bersenang-senang di bawah sinar bulan dan membuat puisi. Mereka menjelaskan kalau Bi Fang datang menemui mereka sore itu dan memberitahukan mereka aku sudah dipukuli sampai sekarat. Mereka tidak menyangka hal semacam ini mungkin terjadi dan langsung bergegas melihat pemandangan langka ini dengan mata kepala mereka sendiri.

Aku menggertakkan gigiku untuk menghentikan diriku berbicara, tetapi kata-kata itu tetap saja keluar.

“Terakhir kali aku dipukuli babak belur, aku jelas sekali sangatlah tidak sopan dan pulih sebelum kalian berdua punya kesempatan kemari untuk mendapatkan pemandangan bagus. Benar-benar tingkah yang buruk. Aku terluka parah, benar, tetapi tidak cukup hingga membuatku sekarat. Maafkan aku karena mengecewakan kalian berdua.”

Zhe Yan berdiri di sana sambil tersenyum tak peduli di wajahnya sebelum akhirnya menyerahkan kipasnya padaku.

“Kecewa adalah sebuah ungkapan yang agak meremehkan,” katanya sembari tertawa.

“Baik, baik. Karena aku sudah membuatmu sangat marah, aku rasa dibutuhkan sebuah harta yang luar biasa untuk menenangkanmu. Kami menugaskan Raja Laut Barat untuk melukiskan kipas ini untukmu. Seperti yang kau lihat, kau sudah mendapatkan hal baik dari penghinaanku.”

Aku mengeluarkan kipasnya, dengan riang gembira, tetapi mengeluarkan humph yang acuh tak acuh untuk menyembunyikan fakta ini. Kami kembali ke gua rubah, Zhe Yan dan Kakak Keempat berjalan di depan, sementara Ye Hua dan aku berada di belakang.

“Aku terkejut melihatmu jadi begitu kesal hanya dengan beberapa kata godaan,” Ye Hua termenung, berkata dengan suara pelan.

“Zhe Yan sudah jelas cukup berbakat.”

Aku menutupi mulutku untuk menguap.

“Tidak ada hubungannya dengan bakat. Ia jauh lebih tua dariku, yang artinya aku benar-benar berhak untuk marah padanya. Jika itu adalah seorang dewa yang lebih muda yang mengatakan sesuatu yang menyinggungku, sepertinya aku tidak akan berdebat, tidak sesuai di usiaku.”

“Aku hanya berharap kau merasa kau bisa berdebat dan mendiskusikan segala sesuatu denganku,” kata Ye Hua setelah terdiam sesaat.

Aku merasa mulutku akan terbuka untuk menguap kedua kalinya, tetapi aku berhasil menelannya kembali.

Mi Gu sedang menunggu kami di depan gua rubah. Sudah lewat dari pukul sembilan, dan kebanyakan rumah sudah memadamkan lampu mereka, memanjati tempat tidur mereka sekarang. Aku merasa bersalah karena membuatnya terjaga cemas.

Saat ia melihatku, ia mulai berjalan menghampiri. Ia membungkuk, dan wajahnya berubah dari hijau menjadi kehitaman.

“Raja Hantu Li Jing meninggalkan sebuah kartu pemanggil. Ia ingin bertemu denganmu, Gu Gu. Ia sudah menunggu di mulut lembah selama beberapa waktu sekarang.”

Ye Hua berhenti berjalan dan mengernyit.

“Apa yang diinginkannya sekarang?” tanyanya.

Zhe Yan menarik Kakak Keempat di bagian belakang kerah bajunya saat ia baru saja akan memasuki gua.

“Para dewa jelas sedang tersenyum pada kita hari ini. Kita melakukan perjalanan kita dengan baik. Kebetulan kita akan melihat apa yang disebut dengan drama sungguhan,” katanya sambil tertawa.

Aku berjalan menuju gua tanpa menghentikan langkahku.

“Usir si bodoh itu,” aku menginstruksikan Mi Gu dengan suara datar.

Gemetaran, Mi Gu berkata, “Ia menunggu di mulut lembah, Gu Gu. Ia sama sekali tidak menginjakkan kaki ke dalam.”

“Begitu,” kataku sembari mengangguk.

“Biarkan saja ia kalau memang begitu.”

Related Posts:

0 comments:

Posting Komentar