Ten Miles of Peach Blossoms
Chapter 15 Part 1
Begitu banyak
waktu berlalu di dalam mimpi dan begitu banyak hal yang terjadi, tetapi ketika
aku dengan malas membuka mataku dan melihat bayangan matahari yang miring ke
barat, aku menyadari aku pastilah hanya tertidur selama tiga atau empat jam.
Mimpinya
membuatku merasa aku sudah menjalani kehidupan selama 70.000 tahun lagi, dan
saat terbangun, aku merasa aku telah menua.
Ye Hua sudah
meninggalkan kamarku saat itu. Aku berbaring di sana sejenak, memandangi tirai
ranjang, sebelum mencoba turun dari ranjang, menghindari cedera di dadaku
sebisa mungkin.
Selagi caraku
berbalik dan merangkak turun dari ranjang tidak bisa benar-benar disebut dengan
lancar, di saat aku berhasil berdiri dengan keempat kakiku di atas tanah dan
hanya membuat cederaku agak tegang, aku merasakan kebanggaan akan ketangkasanku
sendiri.
***
Gua Yan Hua
dipenuhi kabut tebal yang menyelimuti Mo Yuan, dan aku hanya bisa melihat
bentuknya samar. Aku melemparkan sebuah mantra, mengubah diriku kembali ke
wujud manusia, dan berjalan ke tempatnya berbaring.
Sia-sia aku
cemas. Mi Gu sudah merawat Mo Yuan seperti seharusnya, bahkan menyebarkan
rambutnya di seluruh bantal dan dengan saksama mengatur tiap helaiannya. Bahkan
dengan perhatian setajam elangku, aku tidak mampu menemukan apa pun yang salah.
Aku duduk di
sebelahnya dan melamun, menatap mata itu, terpejam selama 70.000 tahun, hidung
lurus itu, bibir yang cemberut itu. Pernah menganggap wajah tampan begini
sebagai banci. Betapa muda dan bodohnya aku saat aku pertama kali bertemu
dengannya, betapa tidak jelasnya pemikiranku!
Tidak ada apa pun
yang lebih menakutkan orang selain perubahan. Perubahan yang menyebabkan sebuah
pandangan dari wajah menawan ini membeku selamanya dalam benakku. Sudah 70.000
tahun sejak aku melihat senyumannya, tetapi aku masih teringat jelas akan
dirinya yang tersenyum saat ia berdiri di kebun persik di belakang Gunung Kun Lun,
saat kelopak bunga persik berterbangan dengan anggunnya di udara.
Benar-benar
sunyi di dalam gua, dan setelah duduk di dalam sana sejenak, aku mulai merasa
kedinginan. Aku meletakkan tangannya di dadaku, tetapi itu tidak menghentikanku
mengigil.
Aku
meninggalkan gua untuk memetik segenggam bunga liar, dan menggantikan mereka
dengan bunga lama yang ada di dalam vas. Aku membawa vasnya keluar dan mengisinya
dengan air dari sungai untuk membuat bunganya tetap segar dan meletakkan vasnya
di sebelah Mo Yuan. Ini menambahkan sedikit kehidupan di gua dingin ini.
Duduk di sana,
tiba-tiba aku teringat kalau musim bunga kaca piring akan segera tiba. Aku bisa
memetik beberapa tangkai bunga kaca piring dan merangkai mereka di atas ranting
dedalu tipis yang kukumpulkan setahun sebelumnya dan membuatkan tirai bunga
untuk digantungkan di pintu masuk Gua Yan Hua.
Kapanpun guanya
jadi dingin, aroma bunganya akan terlepas, yang pastinya akan membawakan
sedikit kenyamanan bagi Mo Yuan yang malang di dalamnya. Ide ini benar-benar
mencerahkan suasana hatiku.
Melihat
langitnya mulai gelap, aku berlutut dan membungkuk ke arahnya. Aku menghormat
ke arah guanya untuk terakhir kali dan mulai bergegas menuruni pegunungan.
Tadi, aku
pening dan tidak tahu siapa yang merawat lukaku untukku. Antara Ye Hua, Mi Gu,
atau Bi Fang, tetapi siapa pun itu, sangatlah sensitif akan fakta bahwa aku
adalah seorang wanita, meskipun aku kembali ke wujud rubahku, dan mereka hanya
mengelap darah di tubuhku, daripada melemparkanku ke dalam bak kayu dan
memandikanku dengan benar.
Aku baru saja
mendaki sebuah gunung dan memaksakan diriku lebih jauh dengan bolak-balik
keluar masuk Gua Yan Hua. Sekarang, akhirnya aku bisa santai. Merasakan angin
pegunungan berembus mengenaiku, aku menyadari kalau aku lengket akibat keringat
karena semua kerja keras ini.
Ada sebuah
danau kecil di pertengahan jalan Gunung Feng Yi, dan selagi itu tidak ada
apa-apanya dibandingkan dengan mata air Ling Bao yang terhormat, aku sering
mandi di sana dan merasa airnya sangatlah menyenangkan. Butuh waktu beberapa
lama bagiku untuk mengingat jalannya, tetapi setelah aku yakin akan arahnya,
aku berbalik dan mulai menuju ke sana dengan semangat.
Aku melepaskan
jubahku, dan memunculkan energi abadi untuk melindungi lukaku, aku masuk ke
dalam airnya. Air di danau ini berasal dari es yang mencair, dan meskipun ini
adalah malam di awal musim panas, rasa dinginnya meresap hingga ke dalam hatiku,
dan gigiku mulai bergemeletuk. Aku berdiri diam, meraup airnya dan membasahi
tubuhku sedikit demi sedikit. Setelah aku menyesuaikan diri sepenuhnya,
perlahan-lahan aku mulai membenamkan diriku.
Aku menatap
kagum pada dua jejak merah terang di dalam danau sehijau giok yang
terefleksikan ke gaun putihku.
Sepertinya
tidak akan ada siapa pun yang berjalan-jalan di danau pada jam segini, dan
setelah komat-kamit, aku memutuskan aman untuk melepaskan gaunku.
Sebelum aku
berhasil melepaskannya, aku mendengar sebuah teriakan marah: “Bai Qian!”
Aku gemetaran
mendengarkan namaku di panggil seperti itu.
Suara ini
familier, tetapi itu pertama kalinya aku mendengarnya memanggilku dengan nama
lengkapku. Aku gemetaran, masih terkejut. Aku terlalu berkonsentrasi berdiri di
tengah-tengah danau dengan tegak, dan panggilannya mengalihkanku, menyebabkanku
kehilangan keseimbanganku.
Aku tersandung
di dalam air dan akan tenggelam jika Ye Hua tidak cepat-cepat bergegas ke
tengah danau dan mencengkeramku kuat-kuat.
Ia begitu tinggi
dan berdada bidang, setelah ia merangkulku, ia berhasil menekanku ke dadanya
dengan mudah. Cederaku tidak bisa ditekan di dada yang kuat begini, dan cedera
itu berdenyut dengan sangat sakit sampai aku nyaris memuntahkan darah. Ia tidak
mengeluarkan energi abadi apa pun untuk melindungi dirinya, dan pakaiannya
basah kuyup, sementara rambut basahnya tersangkut di telinganya.
Aku ditekan ke
tubuhnya, terkunci. Aku tidak bisa melihat ekspresi di wajahnya, tetapi aku
tepat berada di atas jantungnya dan dapat mendengarnya berdegup kencang sekali
di dadanya.
Diam-diam aku
menghela napas lega karena aku tidak sampai melepaskan gaunku. Ia melonggarkan
cengkeramannya padaku dan menempelkan bibirnya pada bibirku.
Rahangku menganga
saking terkejutnya, membuatnya berhasil mendorong lidahnya melewati gigiku dan
masuk dalam mulutku.
Aku
memandanginya dengan mata terbelalakku, tetapi ia begitu dekat hingga yang
dapat kulihat adalah bola matanya, kegelapan di dalamnya melonjak dan berputar.
Ia dapat melihat jelas aku yang menatap dengan mata melebar terkejut, tetapi
tidak menghentikannya dari acara menghisap dan mengigit yang intens ini.
Dalam sekejap,
bibir dan lidahku benar-benar mati rasa, dan aku dapat merasakan apa yang
kuduga adalah beberapa tetes darah.
Aku agak
tersedak, air mata menusuk sudut mataku. Aku merasakan déjà vu, dan aku
merasakan perasaan aneh yang tak bisa kusebutkan, bergerak seperti gelombang di
dalam diriku.
Ia mengigiti
bibir bawahku pelan dan menggumam, “Qian Qian, pejamkan matamu.”
Kata-kata yang
digumamkannya memfokuskan kembali benakku, dan aku mengulurkan tangan dan
mendorongnya menjauh.
Tubuhku yang
terluka parah dan kebingungan berkecamuk dalam benakku, artinya segera setelah
aku mendorong topangan Ye Hua, kakiku jadi lemas dan aku tersandung parah,
nyaris saja terjatuh.
Ia mengulurkan
tangan dan mencengkeramku, mengingat untuk menghindari cedera di dadaku kali
ini. Sebelum aku dapat berterima kasih padanya atas pertimbangannya, ia
menyurukkan kepalanya di bahuku.
“Aku ... aku
pikir kau mencoba menenggelamkan diri,” katanya dengan suara dalam dan serak.
Aku terlalu
terkejut untuk merespon, tetapi juga merasa geli akan intepretasinya akan
situasi ini.
“Yang kulakukan
hanyalah mandi,” kataku sembari tertawa kecil.
Ia memelukku
lebih erat, bibirnya menempel di leherku, napasnya berat.
“... tidak akan
membiarkanmu ... tidak lagi ...,” katanya perlahan, sebuah kalimat tanpa awalan
maupun akhiran.
Semuanya terasa
cukup nyata, dan aku memutuskan sepertinya ini bukan saat yang tepat untuk
tetap diam. Aku mengucapkan nama Ye Hua beberapa kali, tetapi ia tidak
merespon. Meskipun canggung, aku tetap tenang, mencoba membawa percakapannya ke
area yang lebih nyaman.
“Bukankah kau
berada di ruang baca, sedang mengerjakan dokumenmu? Bagaimana bisa kau sampai di
sini?” tanyaku.
Aku merasakan
napasnya di leherku menjadi lebih teratur.
“Mi Gu
membawakan makananmu, dan menyadari kau tidak ada di sana,” jelasnya sedih.
“Aku keluar
mencarimu segera setelah ia memberitahuku.”
Aku
menepuk-nepuk punggungnya dan berkata, “Oh, waktunya makan malam? Kalau begitu,
haruskah kita pulang?”
Ia tidak
mengatakan apa-apa, hanya memelukku longgar di dalam air. Aku tidak tahu apa
yang sedang dipikirkannya. Menurut pengalamanku, orang yang jatuh cinta adalah
hukum bagi diri mereka sendiri dan sering kali membutuhkan panduan dari orang
lain. Tidak ingin mengganggunya, aku hanya membiarkannya terus memelukku.
Tak lama, aku
bersin, mungkin mengingatkan Ye Hua kalau aku terluka dan tidak bijaksana
bagiku untuk berendam di air dingin ini terlalu lama. Setengah menopang dan
setengah menggendong, ia membawaku ke tepi. Ia menggunakan sihir untuk
mengeringkan pakaian kami yang basah kuyup sebelum memungut jubahnya dan
memakaikannya padaku. Bersama-sama, kami berjalan menuruni pegunungan.
Aku merasa
pening karena ciuman di danau tadi. Aku masih ingat dengan jelas bagaimana
rasanya, seakan-akan ada sesuatu yang mengalir deras dalam tubuhku, melonjak
dan jatuh, sesuatu yang tak terlihat, tak berbentuk, tak berwujud. Itu ada di
sana sejenak, dan setelahnya menghilang. Aku menghela napas pelan pada diri
sendiri.
Ye Hua berjalan
di depan sepanjang jalan turun. Yang dapat kudengar adalah desakan angin
pegunungan dan cicitan serangga. Pikiranku melayang-layang, dan aku tidak
menyadari Ye Hua berhenti sampai aku menabrak punggungnya. Ia minggir ke
samping agar aku dapat melihat ke depan.
Aku mengerutkan
hidungku dan menjulurkan kepalaku ke depan, ke arah yang ditunjuknya. Di dalam
paviliun jerami tuan yang reyot di kaki Gunung Feng Yi, aku melihat Zhe Yan tersenyum
malas-malasan ke arah kami. Ia memegang sebuah kipas yang tertutup di
tangannya, yang mana terletak di atas bahu Kakak Keempat.
Kakak Keempat
duduk bersila, menyipitkan mata, sebatang rumput daun anjing di mulutnya.
Ia mengangkat
matanya padaku dan berkata, “Kenapa wajahmu begitu merah, Xiao Wu? Apakah kau
mabuk?”
Aku mencoba
tampak tenang, tetapi tepat saat aku baru saja akan beralasan, Ye Hua berdeham
kecil.
Zhe Yan
memandangiku dari atas ke bawah, dan mengetukkan kipas terlipatnya, ia berkata,
“Bulannya sedingin airnya malam ini. Dedalu tumbuh dengan mewahnya, dan
bunga-bunga memenuhi halaman. Kondisi yang tepat untuk janji temu.”
Aku tertawa
canggung, tetapi tak mampu menghentikan diri mencuri pandang ke arah Ye Hua.
Mulutnya terangkat di sudutnya, dan matanya bersinar terang di balik rambut
hitam basahnya yang kusut.
Zhe Yan dan
Kakak Keempat sudah jelas tidak kembali ke Qing Qiu untuk bersenang-senang di
bawah sinar bulan dan membuat puisi. Mereka menjelaskan kalau Bi Fang datang
menemui mereka sore itu dan memberitahukan mereka aku sudah dipukuli sampai
sekarat. Mereka tidak menyangka hal semacam ini mungkin terjadi dan langsung
bergegas melihat pemandangan langka ini dengan mata kepala mereka sendiri.
Aku
menggertakkan gigiku untuk menghentikan diriku berbicara, tetapi kata-kata itu
tetap saja keluar.
“Terakhir kali
aku dipukuli babak belur, aku jelas sekali sangatlah tidak sopan dan pulih
sebelum kalian berdua punya kesempatan kemari untuk mendapatkan pemandangan
bagus. Benar-benar tingkah yang buruk. Aku terluka parah, benar, tetapi tidak
cukup hingga membuatku sekarat. Maafkan aku karena mengecewakan kalian berdua.”
Zhe Yan berdiri
di sana sambil tersenyum tak peduli di wajahnya sebelum akhirnya menyerahkan
kipasnya padaku.
“Kecewa adalah
sebuah ungkapan yang agak meremehkan,” katanya sembari tertawa.
“Baik, baik.
Karena aku sudah membuatmu sangat marah, aku rasa dibutuhkan sebuah harta yang
luar biasa untuk menenangkanmu. Kami menugaskan Raja Laut Barat untuk
melukiskan kipas ini untukmu. Seperti yang kau lihat, kau sudah mendapatkan hal
baik dari penghinaanku.”
Aku
mengeluarkan kipasnya, dengan riang gembira, tetapi mengeluarkan humph yang acuh tak acuh untuk
menyembunyikan fakta ini. Kami kembali ke gua rubah, Zhe Yan dan Kakak Keempat
berjalan di depan, sementara Ye Hua dan aku berada di belakang.
“Aku terkejut
melihatmu jadi begitu kesal hanya dengan beberapa kata godaan,” Ye Hua
termenung, berkata dengan suara pelan.
“Zhe Yan sudah
jelas cukup berbakat.”
Aku menutupi
mulutku untuk menguap.
“Tidak ada
hubungannya dengan bakat. Ia jauh lebih tua dariku, yang artinya aku
benar-benar berhak untuk marah padanya. Jika itu adalah seorang dewa yang lebih
muda yang mengatakan sesuatu yang menyinggungku, sepertinya aku tidak akan
berdebat, tidak sesuai di usiaku.”
“Aku hanya
berharap kau merasa kau bisa berdebat dan mendiskusikan segala sesuatu
denganku,” kata Ye Hua setelah terdiam sesaat.
Aku merasa
mulutku akan terbuka untuk menguap kedua kalinya, tetapi aku berhasil
menelannya kembali.
Mi Gu sedang
menunggu kami di depan gua rubah. Sudah lewat dari pukul sembilan, dan
kebanyakan rumah sudah memadamkan lampu mereka, memanjati tempat tidur mereka
sekarang. Aku merasa bersalah karena membuatnya terjaga cemas.
Saat ia
melihatku, ia mulai berjalan menghampiri. Ia membungkuk, dan wajahnya berubah
dari hijau menjadi kehitaman.
“Raja Hantu Li
Jing meninggalkan sebuah kartu pemanggil. Ia ingin bertemu denganmu, Gu Gu. Ia sudah menunggu di mulut lembah
selama beberapa waktu sekarang.”
Ye Hua berhenti
berjalan dan mengernyit.
“Apa yang
diinginkannya sekarang?” tanyanya.
Zhe Yan menarik
Kakak Keempat di bagian belakang kerah bajunya saat ia baru saja akan memasuki
gua.
“Para dewa
jelas sedang tersenyum pada kita hari ini. Kita melakukan perjalanan kita
dengan baik. Kebetulan kita akan melihat apa yang disebut dengan drama
sungguhan,” katanya sambil tertawa.
Aku berjalan
menuju gua tanpa menghentikan langkahku.
“Usir si bodoh
itu,” aku menginstruksikan Mi Gu dengan suara datar.
Gemetaran, Mi Gu
berkata, “Ia menunggu di mulut lembah, Gu
Gu. Ia sama sekali tidak menginjakkan kaki ke dalam.”
“Begitu,”
kataku sembari mengangguk.
“Biarkan saja
ia kalau memang begitu.”
0 comments:
Posting Komentar