Senin, 14 Juli 2025

Beauty to Ashes - Chapter 1

Chapter 1


Bulan lunar ketiga, tahun ke-43 dari sepuluh cabang surgawi dan dua belas cabang duniawi. Musim semi semakin dekat.

Tahun itu, Xiao Jin Xiu masih belum berumur tujuh tahun. Sinar cahaya musim semi menyebar di seluruh wilayah istana. Rambut hitam legamnya yang panjang menyapu lantai saat ia duduk di pangkuan ayahnya, sambil membacakan kutipan dari lagu rakyat biasa.

(T/N: Lagu Tengah Malam, lagu rakyat yang menceritakan pertemuan pertama pasangan yang jatuh cinta.)

Lalu, orang itu, yang berasal dari Kerajaan Chen pun tiba. Si pemuda, seorang pangeran yang dijauhkan dari tanah airnya sebagai tawanan, mengikuti suaranya yang muda dan lembut sewaktu ia berjalan masuk ke aula istana. Ia membungkuk dan bersujud.

Pemuda itu berusia di bawah dua puluh tahun. Wajahnya terdiri dari rahang yang tajam dan kulit yang lembut. Ada tanda merah kecil yang tercetak di antara alisnya, mirip dengan bangau bermahkota merah—memikat dan sangat berbisa. Ia tampak dingin dan acuh tak acuh, tetapi sangat tampan.

Di sampingnya, beberapa dayang istana sedang berbisik di antara mereka, mengatakan bagaimana ia, seorang pangeran yang dikirimkan Kerajaan Chen sebagai seorang utusan, dan betapa indahnya roman mukanya.

Jin Xiu terlahir buta, tidak dapat melihat. Di usia mudanya, ia tidak tahu apa artinya 'roman muka yang indah' dan mulai jadi penasaran. Ia menajamkan telinganya dan mendengarkan dengan saksama, tubuhnya terbungkus rapi dengan selimut brokat. Ia merangkak turun dari pangkuan ayahnya dan mendarat dengan bunyi gedebuk, sebelum berlari dengan pergelangan kaki yang telanjang.

Pemuda itu sedang berlutut dalam diam di tempatnya, dengan keningnya yang menyentuh lantai. Tubuh kurusnya membungkuk jadi busur yang kaku selagi ia tetap di sana, tak bergerak.

"Putri, hati-hati, jangan sampai terserang flu!" Sewaktu para dayang istana meninggikan suara mereka dalam keterkejutan, pemuda itu perlahan mengangkat kepalanya.

Rambut hitam sepanjang lantai milik gadis kecil itu menyapu tanah selagi ia berlari ke arahnya. Sebutir mutiara yang halus dan bundar bergantung di lehernya, permukaannya tampak berkilauan. Untaian emas alami di dalam mutiara itu membentuk seperti teratai yang hidup. Mutiara teratai berharga ini merupakan upeti yang dipersembahkan Kerajaan Chen, bersama dengan dirinya. Sepintas lihat, mata sehitam tinta pemuda itu tampaknya menekan sesuatu yang tidak bisa dilihat.

Berdiri dengan teguh di hadapannya, tangan kurus Jin Xiu mengelus pipinya dengan takut-takut.

Ia mengedipkan mata besarnya dan berbisik kekanak-kanakan, "Namaku adalah Jin Xiu ... Kakak, siapa namamu?"

Sentuhan gadis kecil itu di wajahnya, terasa hangat dan lembut, menyebabkan tubuhnya, yang diliputi rasa dingin, seketika bangkit kembali.

Anak kecil yang berdiri di hadapannya berpikiran sederhana dan polos. Dengan cara apa ia disayangi dan dilindungi, sehingga dirinya yang halus itu dapat tetap tidak ternoda di dalam istana?

Mata pemuda itu terpaku padanya untuk sesaat. Tiba-tiba saja, bibirnya melengkung ke atas, dan dalam sekejap mata, roman wajahnya yang semula tampak cantik, menjadi semakin mempesona.

Ia berujar dengan lembut, "Namaku adalah Chen Ruo."

Memang, namanya adalah Chen Ruo. Ia merupakan putra sulung dari permaisuri Kerajaan Chen, calon penerus takhta. Setelah kalah dalam perang, ia dikirimkan ke kerajaan musuh, Da Yue, sebagai utusan untuk dijadikan tawanan.

***

Itu adalah tahun ke-27 pemerintahan Kaisar Long Qing.

Di antara mereka berdua, yang satu merupakan harta paling berharga ayahnya, seorang putri berumur tujuh tahun yang dimanjakan oleh mahkamah Da Yue. Yang satunya adalah pangeran berumur sebelas tahun, dikirimkan sebagai utusan oleh kerajaan yang kalah.

Nasibnya belum diputuskan dan masa depannya tampak suram.

Kecantikan sang putri melimpah dan prospeknya cerah.

Mereka berada di titik awal kehidupan mereka, dan mereka berdiri bahu membahu di persimpangan yang sama.

Jin Xiu menyukainya sebesar itu.

Mungkin disebabkan karena hanya ada sedikit anak-anak seusianya di istana, semenjak hari itu, Jin Xiu akan terus-terusan menempeli Chen Ruo.

Saat Chen Ruo memanjat sebatang pohon untuk memetik bunga, ia akan mengikutinya juga. Setelah itu, ia akan bergelantungan dengan menyedihkannya di atas pohon, menolak digendong oleh siapa pun kecuali Chen Ruo.

Kerangka lemah dari pemuda berusia sebelas atau dua belas tahun itu juga tertekuk dan jatuh saat ia menyambut gadis itu dalam pelukannya. Sikunya bahkan tergores, tetapi saat itu, di bawah kelopak bunga dari pohon pir salju yang berjatuhan, bunganya mengenai rambut hitamnya yang berkilauan. Gadis itu terkekeh dan meraih tangannya, hanya mengizinkan dirinya sendiri untuk menggendongnya.

Ini bukanlah kejadian yang terisolasi. Setiap hari, Jin Xiu akan selalu bersikap seperti anak kucing yang jinak dan lembut sewaktu ia bersarang di dalam pelukannya. Ia akan merayu namanya dengan lembut. Ah Ruo, Ah Ruo, dengan penuh kepercayaan—dengan tingkat kehangatan dan kasih sayang seperti itu.

Mengobrol dengan gadis itu dengan hangat, tertawa bersamanya dengan hangat, dengan lembut membelai rambutnya. Kapan saja Chen Ruo melihat mutiara teratai berkilau itu menggantung dari lehernya, kebencian pun akan berangsur pasang lagi.

Jauh di kedalaman istana, hak apa yang dimilikinya, menjadi sepolos dan sebaik hati ini? Di antara semua hal yang membesarkannya hingga memiliki kepolosan seperti ini, apakah itu termasuk darah dan daging dari Kerajaan Chen-nya?

Leher sekurus ini, hanya sedikit kekuatan saja yang diperlukan untuk mematahkannya.

Selagi Chen Ruo terbawa dalam pemikirannya, senyuman di wajah itu, yang tampaknya milik seorang dewi, menjadi lebih lembut lagi. Desahan yang tak terdengar mengikuti, dan terlepas dari kebenciannya, ia mengeratkan pegangannya di sekitar gadis kecil dalam pelukannya itu. Jin Xiu begitu baik, dan di istana musuh ini, ia merupakan satu-satunya kehangatannya.

***

Di tahun Chen Ruo berusia sembilan belas tahun, adik keduanya, Chen Lan, yang juga dibesarkan oleh permaisuri karena ibunya meninggal lebih awal, bepergian sejauh ribuan mil untuk membawakannya sepotong kabar mengerikan—Ibunya, yang selalu sakit-sakitan, akhirnya didiagnosis berada dalam tahapan terakhir penyakitnya.

Adiknya, anak yang berusia satu tahun lebih muda darinya, tergeletak di atas lantai sedingin es di mahkamah istana Da Yue, memohon kepada sang Kaisar, agar membiarkan Chen Ruo pergi. Ia bersedia menggantikan tempat Chen Ruo sebagai tawanan.

Pria yang duduk di takhta giok pun tertawa melihat pemandangan itu.

Akhirnya, ia tertawa kecil, "Kau hanyalah putra seorang dayang istana. Apa kau sungguh berpikir kau pantas untuk menjadi tawanan?"

Setelah itu, ia mengibaskan lengan jubahnya dan keluar.

Ia mendapatkan penghinaan seperti itu, hanya karena kerajaannya yang kekurangan kekuasaan.

Kegelapan yang terpancar dari Chen Ruo dapat dirasakan. Si gadis muda yang tidak bisa melihat yang duduk di sebelahnya, menarik lengan jubahnya, tetapi Chen Ruo diam-diam melepaskan diri dari genggamannya. Perlahan-lahan, ia berjalan maju ke depan dan membantu adiknya bangun—orang yang masih tergeletak di lantai, orang yang disayanginya semenjak mereka masih kecil. Dengan hati-hati, ia membersihkan kotoran di tubuhnya, menggandeng tangannya, dan membawanya keluar dari aula istana.

Tanah airnya diserang oleh angin dan hujan, dan di dalam mahkamah istana musuhnya, satu-satunya hal yang dimilikinya selain dirinya sendiri adalah adik lelakinya, orang yang terhubung darah dengannya.

Di belakangnya, suara lemah lembut Jin Xiu terdengar. Chen Ruo tidak melihat ke belakang.

Setelah itu, suara yang memanggilnya jadi lebih keras, sebelum berkurang sekali lagi. Pada akhirnya, suara itu hanya menjadi seutas benang yang menyatu di dalam angin, seperti tali yang putus yang terlempar ke kejauhan.

***

Hanya tiga hari setelah insiden ini, barulah Chen Ruo bertemu Jin Xiu sekali lagi.

Hari itu, ia baru saja kembali bersama Chen Lan dari sebuah pertemuan dengan utusan diplomasi yang dikirimkan oleh Kerajaan Chen. Sudah larut malam, dan di saat ia membuka pintunya, ia melihat seorang gadis lemah yang berdiri di pintu masuknya.

Di saat ia melihat Jin Xiu, Chen Ruo mengira kalau ia menangis. Setelah mengamati lebih dekat, ia menyadari bahwa itu hanyalah tetesan embun malam yang mengembun di matanya, menyatu membentuk tetesan kecil yang bergulir turun.

Ia meminta adiknya untuk pergi, sebelum diam-diam berjalan maju. Gadis muda itu mendongakkan kepalanya, dan mata itu, yang jelas-jelas tak bisa melihat apa-apa, menatapnya dengan lekat. Lalu, ia mengulurkan tangannya, dan sama seperti masa-masa kecil mereka, mencari sebuah pelukan.

Tidak ada yang berubah, itu masih tubuh lembut dan hangat yang sama.

Sepertinya ia jadi lebih ringan? Chen Ruo mendadak berpikir. Dampak dari tabrakannya sepertinya berbeda ketika ia membandingkannya dengan masa kecil mereka. Jin Xiu yang sekarang, mirip dengan teratai yang dapat dengan mudahnya tenggelam oleh satu gelombang. Tidak, itu adalah dirinya. Selama periode yang lama ini, ia perlahan-lahan tumbuh dewasa.

Gadis muda yang mungil itu bersandar di pundaknya dan bertanya dengan suara lirih, "... Apakah Ah Ruo ingin meninggalkan Da Yue?"

Chen Ruo tertegun sejenak. Bukankah ia sudah membuat keributan selama beberapa hari sambil menunggunya untuk kembali dan membujuknya? Mengapa ia tiba-tiba saja mengajukan pertanyaan semacam itu?

Saat ia tidak menerima jawaban Chen Ruo, gadis muda itu perlahan mengulurkan tangannya ke arahnya, untuk mengelus wajahnya.

Ia biasa menyentuhnya seperti ini. Ia mengetahui perubahan Chen Ruo lebih baik ketimbang pemuda itu mengenal dirinya sendiri. Setelah itu, Jin Xiu berbicara dengan suara yang terdengar seolah ia akan menangis. Ia mengulanginya, lagi dan lagi.

Ah Ruo, aku bisa membantumu meninggalkan Da Yue.

Apa yang Jin Xiu serahkan padanya adalah sebuah izin resmi yang memungkinkan pergerakan bebas dan tanpa hambatan untuk melewati perbatasan Da Yue. Itu adalah izin pedagang, dan dengan ini, ia dapat meninggalkan Da Yue tanpa hambatan.

Kaisar Da Yue adalah orang yang kejam dan tangguh, dan tak peduli seberapa besar ia menyayangi Jin Xiu, mendapatkan begitu banyak izin, sudah pasti bukanlah perkara yang mudah.

Ternyata, beberapa hari ini, Jin Xiu sedang menyiapkan ini.

Ia dapat melihat seluruh pemikiran Chen Ruo, dan tidak perlu kata-kata maupun petunjuk. Seolah-olah mereka memiliki pemahaman diam-diam satu sama lain.

***

Di bawah cahaya lilin, ia memandangi izin itu, dan ia masih bisa samar-samar merasakan kehangatan Jin Xiu di permukaannya. Dan kemudian, adiknya tertawa—orang yang berbagi hanya setengah dari darahnya, tetapi memiliki kemiripan terdekat dengannya, hampir seperti salinan persis dari kemiripannya.

"Kakak, kau harus pergi lebih dulu. Kalau tidak, kau tidak akan bisa sampai tepat waktu."

Chen Lan mengatakan ini sambil nyengir. Ia sama tampannya, tetapi tidak memiliki warna kulit yang lemah dan pucat seperti dirinya. Malahan, ia lebih tenang dan kalem.

Kau pergi bersama utusan diplomatik, aku akan tetap di sini, kata Chen Lan.

Chen Ruo tiba-tiba saja melamun. Sebenarnya, mereka bahkan memiliki suara yang mirip.

Memang, selama ia bersembunyi di dalam kereta kuda sewaktu utusan diplomatik berangkat, dan jika Chen Lan bersembunyi di dalam kamar tidur—

Tidak—Chen Ruo tiba-tiba mengangkat kepalanya, hanya untuk melihat adiknya berdiri di tengah cahaya lilin yang kabur, dengan hati-hati dan perlahan, membungkuk padanya.

Mereka tumbuh besar bersama-sama, ia selalu kurang ajar, menuntut hukuman dari para dayang istana berkali-kali. Ia tidak pernah memanggilnya dengan 'kakak kekaisaran', tetapi sebaliknya, ia memanggilnya kakak.

Kesopanan seperti itu—merupakan yang pertama kalinya bagi si pemuda berusia delapan belas tahun, dan bagi Chen Ruo, itu juga yang pertama kali baginya.

Rambut sehitam tinta Chen Lan memantulkan bayang-bayang gelap dan serius dari kegelapan. Suaranya tampaknya bangkit dari kedalaman air, dan tidak mirip dengan suara anak remaja ...

Adik kesayangannya, sedang berbicara padanya, dengan identitas sebagai seorang bawahan.

"Ayah kita, Yang Mulia, pengecut dan memanjakan selir-selir penjilat itu. Ibunda Kekaisaran kita, telah menderita penyakit kronis, tidak berdaya untuk menangani urusan istana belakang. Putri dari seorang menteri, seorang selir kekaisaran, kini mengendalikan istana belakang. Ia tidak punya putra, tetapi dengan paksa mengambil anak lelaki lain untuk dibesarkan sebagai anaknya sendiri.

"Bawahan ini lemah dan tidak berkuasa, dan harus memohon kepada Yang Mulia. Ibunda Permaisuri sekarang berada di ambang kematian, dan Yang Mulia sudah berencana untuk menetapkan permaisuri yang baru. Apabila Kakak Kekaisaran tidak kembali sekarang, posisi sebagai Putra Mahkota akan jadi posisi milik orang lain. Dengan kerajaan lemah dan tuan yang tidak becus, pejabat yang berkuasa, dan para selir yang licik, bagaimana Kerajaan Chen bisa terus ada?"

Adiknya mengatakannya dengan cara ini.

Chen Ruo tetap terdiam selama beberapa waktu, dan mendadak tertawa terbahak-bahak!

Tawanya datang dan pergi tanpa peringatan. Saat gemanya menggema di dalam cahaya lilin, suara tak berperasaannya sepertinya membekukan segalanya.

"Aku ingin kembali." Ia berkata, "Aku tidak akan ragu-ragu untuk membalasnya—"

Chen Lan mengangkat matanya untuk menatapnya. Setelah itu, ia bersujud dan menempelkan dahinya ke lantai.

Air mata mengalir dari mata remaja berusia delapan belas tahun itu.

***

Sepuluh hari kemudian, utusan diplomatik dari Kerajaan Chen pun berangkat—

Dan pada hari itu, Jin Xiu mengetahui bahwa pangeran tawanan dari Kerajaan Chen sudah diam-diam bertukar—Ia adalah satu-satunya yang mengetahuinya.

Chen Lan sangat penasaran tentang ini. Jin Xiu bersandar di jendela tanpa memberikan respon. Ia hanya menatap keluar jendela dengan matanya yang tidak bisa melihat.

Setelah beberapa saat, akhirnya suara Jin Xiu pun terdengar.

Suara dari langkah kakinya berbeda ... Ketika Ah Ruo berjalan, langkahnya ringan, dan lajunya lambat. Ia suka berjalan di garis lurus, dan dari pintu depan halaman ke koridor, ia melangkah tepat dua puluh langkah.

Saat ia mengatakan ini, Jin Xiu pun tersenyum tipis.

Chen Lan tercengang, dan satu baris tergelincir keluar dari mulutnya.

Apa kau menyukai kakakku?

Chen Lan tidak tahu kenapa ia mengajukan pertanyaan semacam itu.

Tentu saja. Jin Xiu menjawab dengan lembut. Ada rona merah di wajahnya, walaupun ia malu, tidak ada keraguan sama sekali.

Aku menyukai Ah Ruo, aku sangat menyukainya. Aku hanya ingin bersamanya. Kalau ia senang, aku juga senang. Jika ia kecewa, aku juga sedih.

Hari itu, cuacanya bagus dan langitnya seperi sebuah cermin. Jin Xiu mengenakan gaun istana berwarna putih, rambut hitamnya yang halus dan mengilap berkibar seperti mata air saat ia menopangkan wajahnya. Di bawah sinar matahari yang cerah, lapisan riasan tipis dan tembus cahaya, tampak beriak di wajahnya yang indah. Kecantikannya adalah sesuatu yang tidak semestinya dimiliki oleh dunia yang vulgar ini.

Saat itu, Chen Lan merasakan sesuatu di dalam hatinya, menghancurkan permukaannya. Itu lembut dan membawa kehangatan, dan di waktu yang bersamaan, itu membawakan sedikit rasa pahit yang tampaknya beriak dan menyebar ke seluruh dirinya.

Mm ... Bagus sekali ... gumamnya.

Ia sendiri tidak tahu kenapa ia mengatakan itu. Ia hanya merasa itu bagus, benar-benar sangat bagus.

Bagi seseorang secantik ini, untuk begitu mencintai kakaknya. Itu sangat bagus.

Benar-benar sangat bagus.

0 comments:

Posting Komentar