Chapter 8 (END)
Jin Xiu tersenyum.
"Lupakan saja. Ah Lan adalah satu-satunya yang dapat kau gunakan untuk mengancamku. Tetapi satu-satunya hal yang dapat kau manfaatkan darinya adalah untuk memaksaku kemari."
Senyumannya menjadi lebih cerah dan tulus. Itu adalah senyuman yang tampak seolah mengandung dan menekan rasa kebencian yang dalam.
"Chen Ruo, apa yang kau utangkan padaku, akan kau kembalikan satu per satu, dimulai dari hari ini."
Segala kebahagiaan yang telah direnggut secara paksa darinya, tolong kembalikan. Setelah Jin Xiu mengatakan ini, ia berbalik untuk pergi, meninggalkan Chen Ruo yang berdarah di belakangnya.
Sebelumnya, Chen Ruo telah meninggalkan Jin Xiu dan gagal melihat keputusasaan dan ketidakberdayaannya. Hari ini, Jin Xiu yang tidak berbalik, mengibaskan lengan jubahnya selagi ia pergi sementara meninggalkan Chen Ruo berjuang sendiri.
Retribusi.
Ini adalah ganjaran atas perlakukannya kepada Jin Xiu dulu. Meskipun utang ini telah dilunasi, tidak ada perasaan gembira.
Chen Ruo menggumamkan beberapa kata pada dirinya sendiri, dan tiba-tiba saja, ia menyeringai. Ia hanya akan membayarkan utangnya dengan cara seperti ini. Ia ingin Jin Xiu berada di sisinya dan tidak mempedulikan tentang yang lainnya. Jika Jin Xiu tidak ingin berbahagia bersamanya, maka ia tidak perlu berbahagia. Jin Xiu boleh mengambil apa pun yang diinginkan darinya, selama ia berada di sisinya. Untuk ini, Chen Ruo bersedia merendahkan dirinya sendiri.
Chen Ruo mengikuti di belakang gadis berambut putih seperti makhluk yang tak bernyawa.
Ketika Jin Xiu berjalan melalui pintu-pintu terpencil dari kediamannya sebelumnya, gadis itu mendadak menolehkan kepalanya dan tersenyum dengan cantiknya padanya, sebelum perlahan-lahan menutup pintu geser itu di depannya.
Semenjak saat itu, Chen Ruo tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk melihat pintu geser itu terbuka untuknya. Senyuman cantik dan tegas itu sudah memutuskan semua hubungan, menjadi lagu perpisahan dari satu-satunya gadis yang pernah dicintainya dalam hidupnya.
Setelah pintu itu perlahan-lahan tertutup di depan Chen Ruo, gadis berambut putih dengan pakaian polos itu pelan-pelan merosot di kusen pintu, tangannya memeluk dirinya sendiri dengan erat. Ia kembali ke wilayah mimpi buruknya.
Jin Xiu yang putus asa dan tak berdaya dari bertahun-tahun yang lalu, bersamanya di ruangan istana yang akrab ini. Seluruh tubuhnya dilanda hawa dingin yang pahit dan ia hanya bisa menggumamkan nama dari pria yang dicintainya selagi ia mencengkeram gelang manik-manik kayu di pergelangan tangannya.
Chen Lan, Chen Lan.
Ia diam-diam mengulangi nama orang tercintanya sementara jarinya mengelus perutnya yang masih datar itu dengan lembut. Kau pasti senang, ia berpikir seperti ini sebelum diam-diam memejamkan matanya selagi air mata seperti akan jatuh. Kali ini, Chen Lan tak akan lagi bisa muncul di hadapannya dan mengusap air matanya ...
Chen Lan, Chen Lan, Chen Lan ...
***
Pada tahun keenam pemerintahan Kaisar Ruo, istri dari Pangeran Wu meninggal dunia. Pangeran Wu mengajukan petisi yang meminta diutus untuk menjaga perbatasan. Hal itu dikabulkan.
Kaisar yang berkuasa menunjuk seorang permaisuri baru, Permaisuri Xiao. Permaisuri baru ini sakit kronis dan menjauh dari mata publik dari istana belakang.
Pada tahun ketujuh, Permaisuri Xiao melahirkan putra pertama, bernama Huan.
Makanya, kekacauan yang kusut ini datang dan pergi begitu saja. Sejarah mencatat semuanya dengan baris kalimat yang sedikit ini.
Perjuangan yang mengeluarkan darah dan air mata ini, hanya seperti ini.
Setelah itu, waktu mengalir secara perlahan. Chen Ruo akhirnya duduk dengan stabil di takhtanya selama dua puluh tahun.
***
Di awal musim panas tahun itu, jauh di dalam malam yang gelap, wanita yang sudah lanjut usia itu mendadak bangun dari tidurnya di kedalaman istana. Di tengah keheningan yang samar, ia perlahan-lahan mengarahkan tangannya ke pipinya, yang basah penuh air mata, air mata yang mirip dengan darah yang hangat itu, yang tidak mau berhenti mengalir.
Jin Xiu tidak pernah melihat satu benda pun dari dunia ini dengan matanya, sehingga mimpinya selalu hitam pekat dan ia hanya mendengarkan suara-suara. Di dalam mimpinya malam itu, seseorang memegang pundaknya dan dengan lembut berbicara padanya. Ia tak bisa lagi mengingat apa yang dikatakan orang itu, tetapi yang diketahuinya adalah bahwa, di saat ia terbangun, air matanya mengalir tanpa henti.
Di dalam kehidupannya, Jin Xiu hanya menitikkan air mata di hadapan satu orang. Oleh sebab itu, firasat yang jelas pun muncul dari lubuk hatinya. Apa pun yang terjadi, ia akan segera mengetahuinya.
Jin Xiu mendengar keributan di luar sana. Anaknya yang gampang terbangun pun berlari masuk ke dalam. Ia menarik tangan Jin Xiu dan memanggilnya Ibu, sebelum menanyakan padanya ada masalah apa.
Jin Xiu menggelengkan kepalanya dalam keadaan linglung tanpa mengatakan apa-apa. Pemuda itu juga mengerutkan dahi, dan tepat saat ini, lonceng duka berbunyi di arah istana utama, menghancurkan ketenangan malam seperti ombak yang pecah.
Tiba-tiba saja, beberapa dayang berlarian kemari dengan waspada untuk menyampaikan sebuah pesan duka dari istana utama: Pangeran Wu telah meninggal dunia.
Di malam yang sama, istana dalam dari Kerajaan Chen kebakaran, dan satu-satunya orang yang terperangkap di dalam api adalah Jin Xiu. Ia duduk sendirian di tengah lautan api, mengunci pintu istana dari dalam. Ia merasakan putaran api yang dengan lembut menjilati lengan jubahnya ... tubuhnya ...
Kemudian, ia merasakan seseorang menggenggam tangannya. Genggaman itu terasa akrab, suara itu familier—Selembut dan sehangat itu. Pria yang begitu dicintainya memberitahunya, Jin Xiu, aku akan membawamu pergi, kita tidak akan terpisah lagi.
Jin Xiu setuju, senyumnya tampak tulus dan anggun.
Mm, aku akan pergi bersamamu, jangan pernah berpisah lagi.
Ia pun memejamkan matanya.
***
Apa yang tidak diketahui Jin Xiu adalah bahwa, di depan gerbang yang terkunci dan terbakar, suami dalam namanya sedang menahan putranya yang berurai air mata, yang sudah akan menerobos masuk. Ia menatap kosong ke api yang berkobar dan pemuda yang ambruk tak berdaya di tanah.
Chen Ruo mengendurkan cengkeramannya dan akhirnya melepaskannya. Kaisar Kerajaan Chen membalikkan punggungnya dan menatap ke langit, dan akhirnya, untuk pertama kali dalam hidupnya, zat yang basah merembes keluar dari matanya.
Karena ternyata, wanita yang bersikeras tetap dipertahankan di sisinya, Jin Xiu, bahkan tidak bersedia meninggalkannya tubuh yang utuh.
***
Duduk di atas singgasana kaisar, ia memijat pelipisnya sementara ia menyaksikan pemuda itu memegang guci berisi abu yang telah bececeran untuk dikumpulkan.
Chen Huan, putra dalam namanya, dan pewaris dari kerajaan ini, memperlihatkan senyuman kalah dan pahit, terselimuti selapis ketenangan.
Apa yang dapat dilakukannya? Ia merenung.
Diam-diam, ia memerintahkan agar Chen Huan membawa abu itu agar dikuburkan bersama dengan Chen Lan, sebelum memejamkan matanya.
Ia mendengar anak itu bertanya padanya apakah Pangeran Wu adalah ayah kandungnya. Chen Ruo tidak menjawab dan hanya memintanya untuk pergi.
Lalu, dengan tenang Chen Ruo mengeluarkan sebuah gelang manik-manik kecil yang sudah usang. Itu diukir dari kayu cendana, dengan ukiran keberuntungan yang rumit pada permukaannya. Pengerjaannya indah dan tepian bundar dari manik-maniknya mengilap dan halus.
Itu adalah gelang manik-manik yang dihilangkan Jin Xiu bertahun-tahun yang lalu. Itu diwariskan dari ibu Chen Lan, dan diberikan kepadanya saat ia meninggalkan kerajaan. Adik kecilnya, dengan kekanakannya menghadiahkannya gelang tersebut dan memakaikannya di pergelangan tangannya. Chen Ruo melindunginya dengan hati-hati, tidak pernah memperlihatkannya kepada orang lain.
Hari itu, ia berdiri di luar dinding berlumpur di kediaman Jin Xiu, untuk memerhatikannya secara diam-diam, seperti yang selalu dilakukannya. Ia mendengarkan Jin Xiu menumpahkan keluh-kesah di hatinya dalam diam, dan pada akhirnya, Jin Xiu meringkuk jadi seperti bola, menangis tersedu-sedu dengan pedihnya. Itu adalah pertama kalinya Chen Ruo melihat Jin Xiu menangis, dan pada saat itu, ia tidak tahu harus berbuat apa.
Semula, ia berasumsi bahwa Jin Xiu tidak akan pernah menangis, karena tak peduli seberapa sedih dan seberapa banyaknya ia menderita, Jin Xiu akan selalu tersenyum padanya.
Siapa yang tahu bahwa Chen Ruo akhirnya akan melihat Jin Xiu menangis, meski itu hanya satu contoh. Ia benar-benar bingung dan yang diketahuinya adalah bahwa hatinya pedih dan terluka melihat Jin Xiu menangis. Akhirnya, ia tak lagi bisa menahan diri, dan mengulurkan tangan untuk menghiburnya, hingga gelang itu terlepas.
Di hari Jin Xiu diusir keluar dari istana, ia menjatuhkan gelang manik-manik itu di tanah.
Chen Ruo memerintahkan orangnya agar mengambilkannya lagi secara diam-diam, tetapi ia tak punya kesempatan memakainya untuk Jin Xiu lagi.
Sedikit demi sedikit, Chen Ruo memejamkan matanya. Rasanya seolah ia sudah berkelana ke puluhan tahun yang lalu, karena itu adalah hari musim semi yang hangat. Ia berjalan secara perlahan melalui istananya yang dijaga.
Kemudian, ia melihat gadis kecil itu, dibungkus dengan seikat selimut di pangkuan ayahnya, memberikan senyuman malu-malu dan manis kepadanya.
Dengan kekanakannya, memberitahukan padanya, namaku adalah Jin Xiu ... Kakak, siapa namamu?
Bagaimana tanggapannya saat itu?
Benar, ia menjawab, Chen Ruo.
Saat itu, adalah bulan ketiga Imlek, tahun ke-43 dari sepuluh batang surgawi dan dua belas cabang duniawi.
Musim semi akan segera berakhir.
-TAMAT-
Pojokan Penerjemah Inggris :
Begitu banyak simbolisme, begitu banyak yang harus dibongkar. Pada dasarnya, setiap karakter di cerita ini memiliki kekurangan. Tetapi, kekurangan inilah yang merajut cerita ini. Seorang pemuda pendiam yang tidak mengeskpresikan dirinya, adik lelaki yang mundur selangkah, dan seorang gadis keras kepala yang setiap keputusannya, berubah menjadi narasi. Kisah ini mengakhiri siklus malang dengan siklus lainnya 兜兜转转,百折千回 di chapter 6, dengan harapan bahwa itu dengan keputusan yang tepat, segala hal yang indah tidak akan menjadi abu.
Terima kasih sudah membaca!
Pojokan Aling :
Akhirnya kisah pendek ini lengkap. Sederhana tapi kok rada nyesek gimana gitu T_T
Ngga Jin Xiu, Chen Lan, Chen Ruo, semuanya menderita. Gara-gara terlalu banyak yang ga diungkapkan.
Makasih udah baca, sampe ketemu di terjemahan lainnya~ Babay~
Aling
0 comments:
Posting Komentar