Sabtu, 07 November 2020

3L3W TPB 1 - Chapter 3 Part 3


Three Lives Three Worlds, The Pillow Book 1

Chapter 3 Part 3


Saat itu musim panas; bulu rubahnya membuatnya begitu gerah. Fengjiu akan duduk di sebuah perahu kecil di atas kolam teratai dan meletakkan dua daun tertatai di atas kepalanya agar tetap sejuk.

Melihat kondisinya yang memprihatinkan, beberapa hari setelahnya, Donghua menebang dua pohon cendana putih untuk mendirikan sebuah paviliun di atas air. Di lantai, ia memasang sebuah panel pendingin yang terbuat dari kaca untuk membuat Fengjiu tetap sejuk.

Sangat luar biasa nyaman untuk berbaring dengan punggungnya, dan Fengjiu merasa bahwa Donghua ternyata sangat cekatan.

Setelahnya, Fengjiu baru mengetahui kalau Donghua jauh lebih cekatan dari yang dikiranya. Dupa yang digunakan di Istana Taichen dibuat sendiri dengan tangannya; teh yang mereka minum juga ditanam sendiri; bahkan gelas dan peralatan makan juga buatan tangan; ditambah lagi layar-layar pembatas di Istana itu pun dilukis sendiri.

Fengjiu diam-diam mempertimbangkan semuanya dalam pikirannya. Di satu sisi, ia bangga akan pengelihatannya soal Donghua. Di sisi lain, Fengjiu berpikir, kalau ia menikahi Donghua, maka mereka akan menghabiskan banyak sekali pengeluaran.

Semakin Fengjiu menaksir, semakin bahagia dirinya, dan Fengjiu pun jadi semakin menyukai Donghua. Kekagumannya membutakan mata Fengjiu, membuatnya berpikir bahwa Donghua sempurna.

Kapan saja Donghua membuat sesuatu yang baru, Fengjiu akan jadi yang pertama untuk menunjukkan persetujuan dan rasa kagumnya. Kemudian, seolah jadi kebiasaan, Donghua akan membawakannya pada si rubah kecil untuk meminta pendapatnya.  

Karena waktu yang berlimpah, tak mengherankan segala hal yang dibuat Donghua pun sempurna. Terkadang, Fengjiu berpikir, mungkinkah sepanjang tahun selalu begini, dan mungkin saja Donghua sebenarnya sangat kesepian.

***

Ketika itu hanya hari yang biasa. Fengjiu berbaring dengan perut menghadap ke atas paviliun, memikirkan cara bagaimana agar ia bisa memenangkan hati Donghua.

Semakin Fengjiu menatap ke bintang-bintang, semakin laparlah dia. Semakin laparnya dia, semakin sedih pula dirinya. Bintang-bintang di atasnya tiba-tiba saja menghilang.

Donghua duduk di depannya dengan sebuah piring porselen. Di atas piring tampak cairan mirip kuah dari ikan asam manis. Aromanya memenuhi udara.

Donghua meletakkan makanan itu dan melirik ke arah Fengjiu si rubah; untuk beberapa alasan, terdapat keraguan dalam suaranya. 

“Aku baru saja membuatnya. Masih panas.”

Fengjiu tadinya terganggu karena ia dan Donghua tidak cocok, sebab ia tidak tahu apa pun yang diketahui pria itu. Namun, secara mengejutkan, Donghua pun ternyata seorang penggila makanan seperti dirinya. Akhirnya Fengjiu menemukan sebuah persamaan antara keduanya.

Fengjiu begitu terharu hingga ia langsung melompat bangun. Kemudian ia melompat menaiki meja kristal dan menggunakan cakarnya untuk mencedokkan kuahnya lebih dulu. Namun, teringat kalau ia bukan manusia lagi, Fengjiu pun menarik kembali kakinya dan malu-malu mulai menjilati ikan itu dengan lidahnya.

Fengjiu membeku di detik yang sama ketika ia merasakan sausnya. Donghua menopang pipinya di atas tangan dan memperhatikannya dengan saksama. 

“Bagaimana?”

Fengjiu menarik lidahnya. Dengan posisi yang sama, ia ingin sekali berkata bahwa itu sangat, amat, luar biasa mengerikan. Tetapi ia tiba-tiba teringat sebuah cerita yang disampaikan bibinya dulu.

Cerita itu tentang seorang pengantin wanita muda yang ridak pandai memasak. Lalu satu hari ia ingin memasak makan malam. Pengantin prianya memakan semuanya yang ada di meja dan memberitahu padanya bahwa makanannya lezat.

Ketika si istri membereskan makan malam, ia mencicipi dan menyadari bahwa suaminya berbohong demi membuatnya bahagia. Sejak itulah, mereka terus hidup berbahagia bersama, meninggalkan sebuah dongeng indah untuk generasi mendatang.

Fengjiu menutup matanya dan menggertakkan giginya. Ia membersihkan piring itu dalam waktu kurang dari separuh bakaran dupa. Dengan sedih, ia memegangi perutnya dan berputar untuk memberikan Donghua senyuman cerah, menunjukkan padanya kalau itu lezat, tapi di saat bersamaan berharap kalau Donghua akan menyadari senyum terpaksanya dan mencicipi sendiri sausnya.

Tentu saja, Donghua menggesturkan jarinya. Fengjiu dengan lembut mendorong piringnya ke arah Donghua. Donghua terdiam, ia lanjut mendorong piring itu dengan perutnya.

Donghua mengetukkan jarinya di hidung bernoda saus milik Fengjiu dan memandanginya setengah harian. 

“Kau ... masih mau lagi? Tidak ada lagi yang tersisa hari ini. Akan kubuatkan lagi untukmu besok.” 

Fengjiu menatapnya mati rasa, berkedip, lalu tiba-tiba menarik jari Donghua untuk dicelupkan pada sausnya. Donghua akhirnya mengerti maksud Fengjiu. 

“Tidak apa. Aku sudah mencicipinya.”

Donghua mengernyit, “Sangat mengerikan.” 

Melihat ke arah Fengjiu, ia melanjutkan, “Tapi karena kita berbeda spesies, kupikir selera kita akan berbeda, jadi aku membawanya kemari untuk kau cicipi.”

Lalu Donghua menyimpulkan, “Aku benar. Rubah memang punya selera yang berbeda.”

Fengjiu tercengang. Ia mengeluarkan tangisan dan menjatuhkan diri di atas meja kristal. 

Donghua bertanya khawatir, “Apa kau sebegitu menginginkannya?”

Kemudian Donghua beranjak dan sebelum ia sadar, piring lain sudah muncul di hadapannya. Piring ini isinya dua kali lebih besar dari yang pertama, di atasnya terdapat dua ikan gemuk yang tergeletak berdampingan.

Fengjiu melebarkan matanya melihat piring itu, menangis, meringkuk, menangis lagi, dan meringkuk lagi.

Sejak saat itu, Donghua selalu membawakan Fengjiu ikan crap gemuk yang sama tiap pagi, dan rasa mengerikan itu pun selalu ada, sekuat pengendalian kualitasnya.

Fengjiu mengira kalau Donghua adalah seorang dewa dengan emosi tak tertebak. Jika ia tidak memakan ikannya, Donghua mungkin menyimpannya dalam hati dan menjadi melankolis seiring waktu. Tetapi, lanjut memakan benda seperti ini juga bukan solusi yang baik. Donghua sungguh telah salah paham padanya kali ini.

***

Lalu tibalah satu hari ketika Nenek Taishan berkunjung. Kebetulan, ia juga memelihara seekor rubah salju. Dengan licik, Fengjiu memberikan rubah salju itu separuh porsi ikannya di depan Donghua.

Rubah salju kecil itu mencicipinya dengan waspada, lalu tiba-tiba saja menjulurkan lehernya dan mulai menangis. Cakarnya mencakar-cakar tenggorokannya putus asa. Di saat terakhir, ia tanpa sengaja menelan ikannya dan harus bertahan untuk kemudian memuntahkan semuanya kembali.

Fengjiu memandang simpati pada si rubah salju yang berlari mengelilingi halaman untuk mencari air dan mencuci isi perutnya. 

Ia mengedipkan mata ke arah Donghua seraya ingin berkata, “Kami rubah pun memiliki selera yang normal. Aku menelan semuanya tiap hari hanya demi dirimu.”

Maksud tersirat Fengjiu cukup kuat. Menambahkan tehnya lagi, Donghua memegangi teko tehnya melihat ke arah Fengjiu sambil merenung hingga akhirnya mengerti. 

“Huh, jadi di antara para rubah, seleramu masih tetap unik.”

Fengjiu menaikkan cakarnya ke dada, terhuyung dua langkah ke belakang, dan jatuh ke tanah putus asa. 

***

Beberapa hari berlalu begitu cepat. Bulu merah Fengjiu mulai rontok membentuk gumpalan berkat kemampuan memasak Donghua. Menunggu Donghua menyadarinya akan jadi tidak praktis.

Fengjiu perlu mencari cara menyelamatkan dirinya sendiri. Setelah banyak berpikir, ia memutuskan bahwa tidak ada cara lain selain mengatakannya secara langsung.

Fengjiu telah memikirkan sebelumnya bahwa ia bisa menyampaikan perasaannya melalui bahasa tubuh. Hari ini, ia akan mengumpulkan keberanian dan menolak ikan crap gemuk Donghua.

Ketika Fengjiu berjalan ke arah ruang belajar Donghua, ia tanpa sengaja mendengar pembicaraan Pangeran Liansong yang sedang berkata pada Donghua, beberapa di antaranya mengenai dirinya. Fengjiu tidak bermaksud untuk menguping, tapi ada hal yang membatasinya ketika menjadi seekor rubah ... seperti tidak bisa menutupi telinganya sendiri.

Sebelum Fengjiu dapat memajukan tubuhnya, beberapa kata telah sampai ke telinganya.

Pertama, suara Liansong, “Aku tidak tahu kalau kau suka memelihara binatang. Aku menyadari kalau kau punya seekor rubah sekarang?”

Lalu, suara Donghua. 

“Sangat istimewa. Kau bisa bilang kalau kami terikat oleh takdir.”

Sekarang suara Liansong lagi. 

“Kau berbohong padaku. Aku bukannya tidak pernah melihat rubah yang lebih cantik. Lihat saja keluarga Bai dari Qingqiu, mereka semua punya kecantikan yang tak tertandingi. Apa istimewanya rubah merah kecilmu?”

“Ia pikir ikan asam manisku terasa enak.”

Liansong pun tergagap, “... memang sangat istimewa, sudah pasti.”

Percakapannya terhenti di sini. Di luar pintu, Fengjiu menatap sedih ke arah gumpalan bulu di cakarnya. Ini perasaan pahit dan manis jadi satu. Meskipun keadaan tidak seperti yang ia bayangkan, dan Donghua sama sekali tidak mengerti perasaannya, tampaknya Donghua menganggapnya menawan karena memuji masakannya.

Lalu, kalau sekarang Fengjiu masuk dan memberitahunya semua itu hanya bohong ... ia bergidik membayangkannya.

Apa pun alasannya, ini masih sebuah kebohongan yang indah. Lebih baik membiarkannya tetap indah. Bulu Fengjiu bisa saja rontok seluruhnya tetapi ia bisa menganggapnya sebagai musim pergantian bulu yang datang lebih awal.

Siapa yang bisa menebak dengan kekerasan hati untuk bisa tetap tinggal seperti ini, Fengjiu tetap pergi meninggalkan Jiuchongtian malam itu, dikecewakan.

***

Embusan angin terasa, agak membuat Fengjiu tersadar. Tiga puluh ribu tahun hanyalah usia bayi di Qingqiu. Tetapi Fengjiu sudah mendapatkan cukup banyak pelajaran hidup di saat itu. Sebagai contohnya, seseorang harusnya hanya mengingat hal menyenangkan, dan melepaskan yang tidak menyenangkan.

Bicara secara jujur, ada lebih banyak hal tidak menyenangkan di Istana Taichen daripada yang menyenangkan. Berada di sini membuat Fengjiu mengingat kembali segala hal yang disimpannya rapat-rapat.

Terlihat bahwa apa yang Fengjiu ingat kebanyakan adalah kenangan indah, jadi ia pun harus bersemangat. Ia melompat beberapa kali menuju paviliun, ingin mencoba kursi kristal yang selalu ingin didudukinya. Tetapi ketika ia mendudukinya, tidak senyaman yang ia bayangkan.

Donghua sering duduk di sini untuk memperbaiki sutra Buddha yang dikirimkan padanya dari Barat Jauh. Pada saat itu, Fengjiu akan meletakkan kepalanya di atas kaki Donghua untuk melihat bintang.

Bintang-bintang di Langit tidak punya efek seperti mimpi layaknya bintang di kampung halamannya. Malahan, mereka tampak bergantung jauh di ujung garis langit seperti permen yang tak habis terjual di penghujung hari.

Tidak banyak yang bisa dilihat sebenarnya. Fengjiu hanya ingin punya alasan untuk berada di sisi Donghua lebih lama.

Fengjiu tahu pasti bagaimana pamannya membujuk bibinya untuk menikah. Ketika ia bisa bicara, ia berencana mengikuti jejak mereka dan membujuk Donghua ke Qingqiu.

Pada saat itu, Fengjiu akan memberitahu Donghua, “Lihatlah bintang-bintang yang dingin ini, mereka sama sekali tidak indah. Aku akan membawamu mengamati bintang di Qingqiu suatu hari nanti.”

Dalam sekejap mata, seratus tahun telah berlalu. Perkataan cerdas yang ingin Fengjiu katakan, tak pernah terucap.

Sekarang sudah tengah malam. Dari tempat yang tak diketahui, terdengar susunan suara ajaib. Separuh langit diselimuti cahaya terang sinar bulan dan semua bintang berpusat di Milky Way.

Fengjiu bersandar pada telapak tangannya dan menatap sinar bulan yang dingin itu. 

Ia berbisik lebih pada dirinya sendiri: “Aku akan membawamu mengamati bintang di Qingqiu suatu hari nanti.”

Fengjiu terbangun dari lamunannya. Pertamanya, ia tersentak, kemudian menggelengkan kepala dan mulai tersenyum—perkataannya dengan mudah buyar oleh angin malam di samping kolam lili biru.

Dalam sekejap, mereka menghilang ... seperti Fengjiu duduk di sana, dan tak pernah mengatakan apa pun.

***

Ranting Yanfu membentuk bayangan yang bertabrakan dengan pintu masuk melengkung. Di tanah bertaburan kelopak ungu Yanfu.

Donghua dengan lesu bersandar di pintu berbentuk bulan itu. Ia mengenakan sebuah jubah tidur terbuat dari sutra putih tipis.

Diselimuti mantel panjang yang longgar sebagai luarannya. Donghua tadinya berniat mengikuti Fengjiu ke taman, ingin melihat bagaimana caranya melarikan diri.

Tadinya, Donghua pikir, Fengjiu tersesat karena ia terburu-buru, tetapi ternyata anak kecil itu berencana mencongkel salah satu tanaman miliknya. Ia bahkan menikmati pemandangan di sini; ekspresinya sebentar bahagia, setelah itu sebentar sedih, seolah ada hal yang membebani pikirannya.

Donghua mendongak dan melihat mantra tidur ungu mulai keluar dari kamarnya dan bersatu keluar. Menutupi lebih dari separuh Istana Taichen sekarang, mirip dengan awan yang tersisa layaknya sebuah pertanda.

Donghua berasumsi kalau anak kecil ini telah menggunakan seluruh energinya untuk mengeluarkan mantra tidur ini pada dirinya. Dari sudut sebelah tenggara, bahkan telah muncul suara ajaib yang juga mulai terlahap dalam kabut ungu.

Orang yang menciptakan mantranya juga tampaknya tidak sadar. Fengjiu terlihat masih asik melamun. Dalam sekejap, warna ungu telah menyebar hingga ke taman. Bercampur dengan air terjun, mencapai hingga ke pohon-pohon tertinggi, dan akhirnya mengalir hingga ke paviliun cendana.

Donghua menghitung sampai tiga diam-diam, dan di tengah sinar bulan, berputar menghadap gadis muda yang tenggelam dalam pikirannya. Sesuai perkiraan, Fengjiu mengantuk.

Menyingkirkan ranting Yanfu, Donghua berjalan dari belakang pintu melengkung. Segalanya hening di dalam halaman. Bahkan tanaman rambat Bodhi yang biasanya mengeluarkan cahaya lemah tampak lebih lemah dari biasanya.

Di dalam paviliun, aroma cendana putih kuno tertinggal di satu tempat, tampaknya tak bisa menghilang. Donghua mencondongkan tubuhnya untuk melihat Fengjiu yang tertidur di meja kristal dan tidak tahan untuk mendecak.

Bagaimana bisa Fengjiu terpengaruh sihirnya sendiri tanpa sadar? Ia mungkin satu-satunya di seluruh dunia. Siapa yang bisa menyalahkan ayahnya, Bai Yi yang melakukan segala yang ia mampu untuk mencarikannya seorang suami yang cakap.

Donghua dengan mudah mengulurkan tangan pada Fengjiu dan menciptakan sebuah mantra dari jarinya. Di taman yang diselimuti kabut kantuk, Donghua mengubah Fengjiu menjadi sehelai saputangan baru dan dengan santai memasukkannya kembali ke dalam dadanya.

0 comments:

Posting Komentar